Share

8. Mendidik Ayana

Jika ingin mager, maka jadilah orang sugih terlebih dahulu.

-Mas CEO Mager

Tidak ada yang berubah dari hidup Ayana setelah ia mencoba kabur dari Daniel dan akhirnya harus tertangkap oleh Bodyguard lelaki itu. Hanya hari itu, sang majikan bersikap seperti malaikat. Sangat penurut dan santun padanya. Namun, lewat dari hari itu Daniel kembali berulah. Suka mengejek Ayana dan menjadi lebih mager dari hari sebelumnya.

Jika biasanya ia masih ingin dipapah untuk melakukan ritual membunuh kuman di tubuhnya, tapi berbeda kali ini. Ia menolak ke kamar mandi dan hanya menyuruh Ayana melap tubuhnya dengan kain yang dibasahi air hangat.

Sungguh Ayana jengkel sekali. Bahkan saking parahnya, saat Ayana membasuh tubuh polos lelaki itu. Dengan santainya ia tertidur dengan dengkuran halus. Padahal gadis itu sudah setengah mati menahan hasrat untuk tidak membelai dada sixpack Tuan Besarnya.

Ayana tidak menyangka jika dibalik kemageran Daniel, ada tubuh menggoda yang terjaga seperti kitab suci Kera Sakti. Astaga, jika ia membayangkan lagi bagaimana tangannya dengan lihai meraba dada sang majikan, rasanya air liur gadis itu ingin menetes keluar. Jorok sekali memang pemikiran Ayana.

Lupakan tentang dada sang majikan yang menggoda, karena kini Ayana harus segera bergegas membersihkan ruangan kebesaran Daniel Hamilton. Iya, tempat di mana ia menjadi tawanan beberapa jam. Dengan langkan cepat seraya membawa peralatan tempur kebersihan, Ayana membuka pintu perlahan setelah memasukkan kode rahasia yang hanya dia dan Tuannya yang tahu.

“Tuan!”

Baru saja ia menyimpan sebagian peralatan kebersihannya dan bermaksud mulai melap-lap meja, Ayana dikejutkan dengan sosok lelaki mager yang terduduk dengan wajah penuh mengintimidasi.

Daniel sedang menatapnya seperti musuh bebuyutan. “Tuan, sejak kapan kau duduk di situ?” Ayana mendekat.

Loh, jadi tadi yang dikira Ayana tertidur lelap dengan selimut yang membungkus tubuh di kasur itu siapa? Astaga, apakah ada orang lain yang kini tinggal di kamar mewah itu?

“Tuan, lalu siapa yang tidur di luar?” Ayana membekap mulutnya.

Daniel mendengus. “Tidak ada orang di kasur itu, Ay. Hanya bantal guling,” beritahunya yang diangguki Ayana cepat.

“Ay, sini. Duduk di sampingku.” Ia mengacungkan tangannya memanggil Ayana.

“Ada apa, Tuan Besarku?” Ayana tidak lantas mengikuti perintah Sang Tuan Besar. Ia memilih untuk tetap berdiri di tempatnya dengan wajah dungunya.

“Aku perlu berdiskusi denganmu. Kita sedang di ambang kebangkrutan,” katanya dengan mimik wajah serius.

Mendengar hal menyeramkan seperti itu membuat Ayana langsung saja menarik kursi untuk duduk di samping Daniel. Keadaan ini gawat, jika Bosnya bangkrut maka otomatis hidupnya akan semakin melarat. Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan.

“Tuan, apa yang terjadi? Lalu jika kau bangkrut, bagaimana denganku? Dan bagaimana dengan kelangsungan kemageranmu?” panik Ayana.

“Mmm...” Daniel tampak berpikir.

“Ay, kau harus rileks. Tarik napas,” suruh Daniel yang langsung diikuti Ayana. “Embuskan perlahan,” lanjutnya.

“Bagaimana, Ay? Kau sudah merasa rileks?” tanya Daniel.

Ayana mengangguk lalu menggeleng sehingga membuat Daniel merasa bingung. “Jadi kau sudah rileks tapi juga tidak rileks? Begitu maksudmu?”

Apa itu sudah rileks tapi juga tidak rileks? Ayana tambah pusing saja dengan perkataan Tuan Besarnya itu. Oke, abaikan saja perkataan Daniel yang rempong.

“Tuan, cepat ceritakan kenapa kau bisa di ambang kebangkrutan?” Ayana benar-benar tidak sabar.

Daniel mengatupkan bibirnya sebelum mulai bercerita. “Ay, kau tahu, kan, undangan pernikahan kita sudah tersebar. Kemarin aku sudah mengumumkan pembatalan pernikahan kita dan hal itu memicu kemarahan para pemegang saham karena mereka merasa aku hanya sedang bermain-main.” Raut wajah Daniel menjadi sedih.

Begini nih yang Ayana tidak bisa tolak, jika wajah Daniel sudah memelas seperti bayi yang tak berdosa, maka naluri keibuannya untuk memeluk dan melindungi muncul seketika. Gadis itu jadi tidak tega melihat kesedihan sang majikan.

“Sabar yah, Tuan,” ucap Ayana sembari menepuk-nepuk pelan bahu Daniel.

Sebenarnya bukan kalimat itu yang Daniel ingin dengar dari bibir Ayana, ia lebih berharap gadis itu berkata, “Tuan, sebaiknya kita menikah saja!” Nah, kalimat itu terdengar indah jika diucapkan oleh asistennya.

“Terus bagaimana?”

Ayana mengerutkan keningnya, bagaimana apanya? Ia tidak paham maksud dari Tuannya mengatakan itu. “Gimana Tuan?”

“Gimana apa?” Daniel ikut bingung.

“Kebangkrutanmu?” Ayana menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sungguh, Tuhan kenapa Asistenku ini buduh sekali?

“Kau wakili aku untuk mengikuti rapat di perusahaan siang ini.”

“Hah? Tapi—"

Daniel memejamkan matanya, mengabaikan kekejutan Ayana. “Aku lelah, Ay. Pergilah dan jangan mengangguku.”

***

Daniel pusing melihat Ayana yang mondar-mandir tidak jelas di depannya. Lagian hanya mengikuti pertemuan saja, bukan gadis itu disuruh ikut audisi pencarian bakat menyanyi.

“Ay, bisakah kau duduk dengan tenang saja? Kepalaku sakit melihatmu seperti cacing kepanasan,” ucapnya.

Lelaki itu sedang menikmati posisi rebahannya di kasur empuk nan lembut seperti busa-busa saat ia mandi. Sungguh, nikmat Tuhan yang mana Daniel dustakan.

Pintar sekali Tuan Besar mengatakan itu, ia enak saja hanya tidur di kasur. Ngemil popcorn dan meminum cola. Sedangkan aku, harus menggantikan posisinya menghadiri rapat.

Ayana semakin gugup memikirkan wajah-wajah Para Petinggi di perusahaan Bosnya itu. “Tuan, bisakah aku tidak pergi saja?” Gadis itu mendekati Daniel dan mengenggam tangannya. “Maksudku, lakukan saja pertemuan by video call.”

Daniel Menghempaskan pegangan Ayana. “Teleconference. Begitu maksudmu?”

Ayana mengangguk dengan mata berbinar-binar. “Tidak semudah itu, Ayana Samiun!” Daniel langsung berbalik membelakangi gadis yang tampak anggun dengan baju hitam dipadukan rok krem selutut.

“Tuan, jangan seperti ini. Jika aku mewakilimu, pasti aku hanya akan mempermalukanmu,” rengek Ayana.

“Ay, ya ampun!” Daniel sungguh kesal dengan rengekan Ayana.

“Kau harus belajar Ay untuk menjadi diriku. Kau harus sudah dididik untuk menyamar menjadi orang kaya dari sekarang,” kata Daniel.

Konspirasi macam apalagi yang akan majikannya itu lakukan? Ia semakin gila jika terus mendengar perkataan rumit dari Tuan Besarnya itu.

“Aku tidak berniat menyamar menjadi orang kaya, Tuan Besarku.”

Lagipula untuk apa juga ia menyamar? Dia bukan penipu yang berlalu lalang mencari mangsa di luar sana. Hidupnya saja tidak bisa ia tangani sendiri, apalagi untuk mengurusi hidup orang lain. Mending Ayana mengabdi seumur hidup memelihara kemageran dari Tuannya itu.

“Jadi kau ingin terus menjadi orang susah dan jelek, Ay?” kesal Daniel.

Ayana mendesah pasrah. “Lebih baik begitu.”

Daniel memperbaiki posisinya. Ia tidak bisa membiarkan kebodohan merasuki pikiran Ayana. Ayana itu Pembokat Kelas Atas, seharusnya pikirannya lebih cerdas sedikit. Kalau begini, lelaki itu merasa gagal telah mempekerjakan gadis itu jika pikirannya tidak ingin maju-maju.

“Ay, kau itu harus berpikiran ke masa yang akan datang. Kebodohanmu itulah yang membuat kau miskin dan berwajah jelek.” Daniel tidak sedang mengejek Ayana. Memang kenyataannya sudah seperti itu.

Sabar Ayana!

“Kelak di masa yang aku dan kau tidak tahu, masa itu akan membuatmu jaya dan tidak buruk rupa lagi. Saat itu kau harus sudah cerdas, elegan dan berjiwa mulia.” Daniel menjelaskan dengan gerakan tangan layaknya seorang motivator.

“Pintarlah sedikit, Ay.” Daniel menangkup kepala Ayana gemas. Giginya bergemeletuk. “Paham kau, Ay?”

Aku bahkan tidak bisa mencerna apa yang sedang dia katakan?

“Tuan, bisakah kau lepaskan tanganmu? Rambutku pasti sudah seperti singa sekarang.”

“Kau sudah jelek, jadi tidak perlu sok cantik. Lebih bagus jika rambutmu seperti singa,” ucap Daniel santai.

Ya Tuhan, ambil saja nyawa Tuan Besarku sekarang.

“Pergilah cepat, supir akan mengantarmu ke perusahaan,” suruh Daniel tanpa ingin memandang Ayana.

“Kau yakin, Tuan?” Rasanya Ayana tidak ingin beranjak dari sisi Daniel. Namun bukannya iba, lelaki itu malah mengibas-ngibaskan tangannya agar asistennya itu segera pergi.

“Jangan ganggu aku, Ay. Tubuhku sedang sangat lelah.”

Ingin rasanya Ayana mengambil pisau dan mencincang-cincang mulut lemes dari sang majikan. Lelah apa Tuannya itu? Hanya rebahan dan memerintah Ayana sesuka hatinya.

“Tuan, aku pergi. Doakan semuanya lancar,” pamit Ayana. Meski sangat berat baginya untuk pergi, tapi ia sudah pasrah. Toh, ia hanya mewakili saja. Jika terjadi sesuatu yang buruk, salah, kan Tuannya yang keras kepala memercayakan posisi keramat padanya.

Tidak apa, Ay. Sekali-kali kau harus merasakan menjadi seperti Daniel!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status