Share

Dasar Sinting

Dia mendendangkan lagu janji suci dengan sudut mata yang sudah meleleh. Disisir rambut panjangnya dengan hati-hati. Rontok? Ah, mungkin stres penyebab yang terjadi. Dia semakin tergugu dan membenamkan diri di meja riasnya. Setelah tangisnya tumpah, beranjak ke meja makan untuk merayakan sendiri hari kebesaran pernikahannya. Disulut lilin dengan pemantik api. Cahayanya menerangi ruangan itu. Dimatikan lampu agar suasana lebih dramatis. Nyanyi sendiri, untuk menghibur hati.

“Happy birthday ... happy ...” Suara seraknya tidak mampu dilanjutkan. Semua tercekat di tenggorokan dengan tangis yang makin mencair membebani benaknya. Ditiup lilin kemudian  Dipotong kue bergambar bola tersebut. Warna coklat terlihat menarik, dia tidak suka coklat. Setelah dipotong, seolah memberikan kepada seseorang dan meletakkannya kembali. Sama seperti waktu kecil saat main.

“Ini kue untukmu. Potongan pertama spesial untuk orang yang sepesial.” Tergugu kembali dan dibiarkan kue itu di atas meja. Tias beranjak menuju kamarnya untuk membenamkan wajahnya pada bantal putih itu. Bantal tersebut sudah basah dengan air mata. Terlalu lelah, tertidur sendiri dalam tangis yang memilukan.

Sinar surya menerpa dari jendela kaca yang lupa kordennya semalaman ditutup. Tyas mengerjapkan mata karena sinarnya menembus dari kaca menuju ke wajahnya. Menyipitkan bola mata untuk menyeimbangkan cahaya yang masuk menerpa bola matanya. Dering ponsel terdengar. Dengan malas dirinya mendial tombol warna hijau.

“Assalamualakum,” sapanya dengan suara lemah khas bangun dari tibur.

“Waalaikumsalam. Yas, kamu nggak masuk? Kok nggak ada? Kamu tidak apa-apa ‘kan?” cecar sahabatnya Lita Hartanti.

“Gue agak pusing. Berangkat tapi mungkin siangan. Tolong kasih tahu Pak Ilham, ya?” Tias tidak bohong. Karena tangisnya semalam, matanya memang sembab dan kepalanya pusing. Wanita dengan rambut singa khas bangun tidur itu, berjalan menuju kamar mandi. Menenangkan syaraf dengan berendam mungkin jadi pilihan yang paling mujarap untuk menghindari stres. Diisi bathub kemudian dibubuhkan aromatheraphi khas lily yang dulu menjadi pesona untuk Galih. Kini menjadi hal yang paling menjijikan untuk suaminya. Setelah itu, busa-busa bertebaran karena tanganya mengaduk memutar air yang bercampur dengan sabun itu.

Ditanggalkan satu per satu gaun dan juga semua kain yang menempel di tubuhnya. Setelah itu, sudah pasti masuk ke dalam bathub dengan tubuh yang mulus tanpa busana. Memejamkan mata dan mendongak ke arak langit-langit, dengan ujung bathub menjadi tumpuan. Dia bagai bayi yang tenang dan damai saat di mandikan oleh ibunya. Senandung lirih mewarnai berendamnya saat ini. Tak terasa, sudah satu jam berendam, dan kulitnya sudah mulai keriput karena kelamaan. Menggigil juga terasa dingin menerpa waktu keluar dari air.

Wanita tanpa busana itu menghidupkan shower untuk menghilangkan busa-busa yang bertebaran di seluruh tubuhnya. Setelah bersih, meraih handuk yang ada di lemari khusus handuk di kamar mandi itu. Dililitkan pada tubuhnya kemudian keluar kamar mandi.

Diraihnya baju kerja, sekarang hari rabu. Demikian dia bermonolog pada dirinya sendiri. Ya, rabu yang ceria seharusnya. Tapi, tidak untuknya. Semua hari sama muram dan kelabu. Akan tetapi, dia punya jurus ampuh untuk membuat dirinya bahagia. Para sahabatnya. Ya, mereka akan membuatnya melupakan sejenak masalah yang menimpa.

Tias berputar-putar di depan kaca. Sudah terlihat perfect, tinggal mengukir alis dan membubuhi bibirnya dengan warna nude untuk membuat tampilannya sempurna. Kaos kaki coklat dan sepatu fantofel runcing akan mengikuti langkahnya kali ini. Dikenakan sarungkan kaos kaki tersebut pada kaki kanannya, kemudian berlanjut ke kaki kiri. Sepatu warna hitam menghiasi kaki jenjangnya, dengan hak sepuluh senti menjadikan tubuh jenjangnya terlihat lebih semampai.

Distater motor metik keluaran terbaru. Ada mobil, tapi dia lebih nyaman menggunakan motor. Mobilnya hanya digunakan kalau belanja saja untuk menganggkut barang. Atau kalau jalan-jalan dengan teman-temannya. Setelah memanasi mesin motor, melangkah menuju ke tempat kerjanya.

“Pagi ....” Sapaan hangat dari rekan-rekannya menyambangi telinganya. Tias tersenyum tanpa membuka kaca mata hitamnya. Bengkak mata akibat tangis semalam tidak hilang. Malu jika di ketahui oleh teman-temanya. Akan jadi pertanyaan besar.

“Yas, lo kenapa pake kaca mata hitam sih? Di dalam ruangan juga.” Lita menyambangi sahabatnya itu.

“Gue sakit mata. Mau tertular lo?” bohong Tias.

“Oke, oke. Ogah! Lo di panggil Pak Ilham.” Tias terkaget. Baru kali ini ‘kan terlambat. Ralat, bukankah pagi sudah ijin?

“Lo tau nggak ada apa?” Lita menggeleng, sehingga Tias merasa sedikit frustrasi dengan dugaannya. Dari pada berfikir dan mengulur waktu, lebih baik beranjak dan mengetahui apa yang akan dis ampaikan oleh Ilham atasannya. Ilham adalah ketua Dinas di ikatan Dinas Pendidikan kota itu.

“Ya sudah. Gue menemui dia.” Tias berjalan ke arah ruangan CEO untuk menerima mandat apapun resikonya. Dengan hati bergejolak, wanita dengan rambut di gerai dan bandana di atas kepalanya mengetuk pintu ruangan atasannya itu.

“Masuk!” Suara bariton menerpa telinganya, sehingga nafas Tyas diembuskan untuk mengatur kembali oksigen yang mengisi paru-parunya.

“Selamat pagi, Pak.” Tias berdiri di depan pintu.

“Siang. Kamu tidak lihat jam berapa?” sarkas Ilham sang CEO

“Maaf, maksud saya selamat siang. Apakah bapak memanggil saya?” Tias mencoba melunak.

“Iya, kamu tahu ‘kan hari ini peninjauan? Kenapa telat?” sergah Ilham. Dia tidak melihat ke arah tias namun ekor matanya jelas meliriknya. Masih saja lelaki itu sibuk dengan laptopnya dan entah apa yang diketik.

“Saya tahu, Pak. Tapi, bukankah saya sudah ijin dengan bapak? Tadi pagi kepala saya pusing.” Ilham menghentikan mengetik. Dia menoleh lurus ke arah wanita yang berdiri di depan pintu tersebut.

“Kamu akan selamanya berdiri di situ?”sarkas Ilham.

“Maaf, bapak tidak menyilakan saya duduk.” Tias menunduk. Jantungnya sudah berdetak dua puluh kilo meter perjam rasanya. Menculat-menculat sangat hebat di dada.

“Duduk! Lepaskan kaca mata ! Siapkan berkas untuk hari ini. Kita peninjauan pukul sebelas.” Tias melotot. Bagaimana bisa? Lokasi yang akan dijangkau sangat jauh. Kalau berangkat pukul sebelas, pukul satu baru sampai. Belum lagi pengecekannya. Alamat tidak makan siang, tidak pulang tepat waktu. CEO yang baru ini memang super duper waw. Tias melepas kaca mata hitamnya, dari pada jadi perkara. CEO yang baru ini memang pingin ditampar bolak-balik. Tapi Tias tentu tidak berani.

Ilham tertegun sejenak melihat mata Tias yang bengkak. Mungkin dia ingin mengetahui arti bengkak di mata tersebut. Tapi, hanya sebentar ekspresi empati tersebut ditunjukan. Selebihnya, datar dan kaku membagi wajahnya menjadi seperti patung es batu yang ada di pernikahan. Sulit mencair karena diletakkan di kulkas transparan.

“Kok bengong? Kerjakan sekarang. Ada waktu dua jam untuk siap-siap.” Tias tergagap sampai lupa pamitan dia nyelonong saja.

“Mau kemana?” Tias memutar bola matanya sebelum berbalik melihat ke arah Ilham kembali.

“Bapak menyuruh saya menyiapkan berkas ‘kan?” Tias kembali duduk.

“Baiklah lanjutkan!”

“Dasar sinting!” dalam hati Tias berguman.

“Apa kamu bilang?” Tias mengernyitkan dahinya. Dia tidak bilang apa-apa, dia hanya berkata dalam hati. Eh, kok bisa tahu?.

“Maksud bapak?” tanya Tias dengan penuh heran.

“Kamu pasti ngatain saya di hati kamu ‘kan?”

“Tidak, Pak. Mana berani saya?” Tias menggelengkan kepalanya kemudian pamit untuk berlalu.

Note : Bagai mana kawan? Kalau punya CEO galak begitu ngenes ya? Untung ganteng. Kalau mau lebih dekat dengan author bisa hubungi 088216076937

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status