“Terima kasih banyak, Pak. Maaf merepotkan.” Ilham hanya mengangguk saja. Dia berbalik, kemudian masih memandang sekitar. Ilham melepas maskernya, untuk lebih menikmati suasana sekitar. Masa pandemi seperti ini, memakai masker menjadi keharusan. Segala yang ada pada Tias mengingatkan dirinya pada seorang remaja yang dia cari selama ini. Remaja putri bernama Divia yang dahulu selalu menarik perhatiannya. Remaja itu selalu mengendap-endap saat Ilham dan teman-temannya latihan bela diri. Anehnya perempuan itu bisa menyerap semua ilmu yang dia pelajari dari hasil mengintipnya itu.
Setelah Ilham pergi, rumah ini selalu sepi tanpa penghuni. Setiap pulang kerja, hanya kehampaan terlihat tanpa adanya tawa yang menghiasi. Seorang wanita yang hanya bagai serpihan kaca yang retak seribu tanpa dapat disatukan lagi. Hatinya terkoyak dan menjerit. Mau protes, kepada siapa? Memang kesalahan ada pada diri wanita tersebut katanya. Wanita mandul itu yang selalu didengungkan oleh suami saat bersama. Sudah hilang klembutan dari dalam diri suaminya untuknya.
“Assalamualaikum.” Meskipun tidak ada yang menjawab, mengucap salam sebelum masuk kerumah menjadi rutinitasnya. Dia menyalakan lampu. Rasa pusing yang menderanya beberapa menit yang lalu, sudah tidak terasa lagi. Bukan sakit kepala, akan tetapi hanya perasaan sepi yang tersisa.
Aroma sepi yang menyeruak menjadikan dirinya selalu dirundung kegalauan. Senja ini, rintik gerimis mengguyur kota tanpa adanya jeda untuk berhenti seolah menggambarkan suasana hati yang kelabu. Dibuka jendela untuk melihat tetesan kecil-kecil yang menimpa dedaunan. Hujan masih sama. Dia mengguyur tanpa henti setiap Januari. Ini tepat sepuluh tahun dia menikah. Ah, kata orang ulang tahun pernikahan. Karena di tanggal lima Januari sepuluh tahun lalu, suara ijab menggema di telinganya.
Akan tetapi, kue ulang tahun yang menghiasi hari ulang tahun pernikahannya penuh kehampaan. Ulang tahun itu dirayakan dengan kesunyian saja. Dia masih setia di depan jendela. Wanita berambut hitam itu tersenyum melihat kedua ayam jantan dan betina yang saling dukung untuk mencari perlindungan diri dari timpaan air hujan.
Hujan semakin lebat dan menyayat. Wanita dengan bola mata hitam arang itu masih setia di depan jendela. Walau dingin menyambangi kulitnya, tidak peduli dirinya tetap menyukai hujan. Tetesan airnya memancar dari langit tanpa henti bagai shower raksasa.
Senja tak terlihat menjingga karena hujan mendominasi warnanya. Kelabu hanya kelabu dan abu-abu seperti hatinya yang tidak pernah bisa penuh setiap saat. Dia masih berharap, ya berharap suaminya datang memberikan senyum seperti waktu-waktu itu. Tapi, tidak. Tidak ada senyum yang membuncah jika pulang. Yang ada hanya pertengkaran dan ketegangan.
Setelah puas memandangi hujan, wanita dengan baju kerja yang masih menempel di tubuhnya itu, melucuti pakaiannya bergegas untuk mandi. Air shower yang mengguyur dari ujung kepala membuat hawa dingin menyeruak. Tapi, ketidakpedulian menjadi solusi saat ini untuk meredam rasa remuk yang menyayat. Menjerit, ingin menjerit. Tapi siapa yang bisa mendengar? Hanya ruang kosong tidak berpenghuni menepi dalam teriakannya.
Handuk berwarna kebiruan diraihnya dari gantungan untuk menutup tubuhnya. Bertanda, sekarang sudah usai ritual membersihkan diri. Berjalan melewati pintu menuju ke sebuah almari kayu dengan ukiran naga di setiap pintunya. Mengingatkannya saat sebelum menikah. Dia mengembuskan napas basahnya untuk menghilangkan jejak lamunannya. Semakin sakit jika ingatan itu melayang ke masa silam.
Dres warna kuning telur menjadi pilihannya. Setelah dalaman masuk ke tubuhnya, sekarang giliran dres kuning dipasangkan. Berjalan ke depan kaca. Di bersihkan wajah kemudian sedikit make-up tipis untuk menyamarkan kerutan tipis yang timbul akibat sering berpikir keras.
Dia seorang wanita dewasa bernama Tias Divia Lestari. Usia menginjak tiga puluh dua tahun. Pekerjaan jangan di tanya lagi. Wanita dengan rambut basah yang panjang terurai itu seorang asisten CEO di perusahaan PT. Gema Pratama.
Wanita dengan dres kuning itu berjalan menuju dapur. Meskipun sudah tahu ujungnya, tetap saja kue anniversary dan juga makanan mewah sudah tersedia. Tidak masak memang. Wanita dengan rambut yang masih basah itu membelinya sebelum pulang dari pekerjaannya tadi, ditemani atasannya yang menolong.
“Semoga, malam ini Bang Galih pulang.” Padahal sudah tahu ujungnya, tapi harapan masih tetap ada. Ditata lauk pauk di atas meja. Semua masakan kesukaan sang lelaki. Ada cumi asam pedas, rendang daging, ayam olah bumbu pedas, capcay dengan selada sayur, segelas susu jahe.
“Susu jahenya nanti saja kali, ya? Kalau dingin tidak enak.” Sudah sedia semua di atas meja. Untuk menghindari kotoran dan serangga, ditutup dengan tudung saji. Kue anniversary dipersiapkan di atas meja dengan lilin angka satu dan nol di jejerkan menjadi sepuluh. Kue kesukaan suaminya. Ya, semua serba kesukaanya untuk menarik hati sang lelaki. Kue karakter bola yang di dalamnya balackforest yang legit dan manis. Coklat pagar menghias di seluruh pinggiran kue dengan pita warna biru sebagai pemanis dan pengencang.
Masih pukul tujuh. Dia masih setia duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya. Difoto semua hidangan kemudian di unggah di story aplikasi yang berlogo warna hijau tersebut. Dengan caption sepuluh tahun menjadi sejarah yang tidak pernah bisa terulang kebahagiaannya. Semua komentar membanjiri chatnya. Dibales satu-satu semua sahabatnya yang memberi komentar.
Bukan, bukan mereka saat ini yang ditunggu. Tetapi, Galih Restu Hutapea seorang keturunan batak yang udah sepuluh tahun menjadi suaminya. Bukan berarti abai akan sahabatnya. Tentu saja, kebahagiaan diperhatikan oleh para sahabat. Akan tetapi, harapannya kali ini suaminya. Dirinya yang diinginkan.
Satu jam berlalu tidak ada tanda-tanda suaminya akan pulang. Karena tidak sabar, dibuka aplikasi warna hijau kemudian mengirimkan chat kepada sang lelaki.
“Assalamualaikum, Abang. Apakah abang pulang? Aku menunggu.” Lama dirinya menanti jawaban. Gelisah mulai menggerayangi setiap nadinya. Malam ini saja. Tolong berikan ketegasan pada hubungan ini. Mau dibawa kemana? Lelah menyelubungi hati setiap kali diabaikan. Setengah sepuluh, chat itu dibaca. Centang biru terlihat. Akan tetapi, balasan tidak kunjung datang.
“Bang, aku masih istrimu ‘kan?” Kekesalan rupanya menjadi bencana. Dibalaslah chat itu, akan tetapi menghantam hati. Dadanya sangat sesak merasakan balasan chat itu. Bukan kemesraan apalagi kata-kata manis meminta maaf, akan tetapi cacian yang keluar dari rentetan tulisan itu.
Sudut mata Tias menggenang semakin berat. Hanya malam ini dirinya menginginkan suaminya. Selanjutnya tidak lagi. Malam ini, akan menjadi sejarah apakah hubungan ini bersemai kembali ataukah di pangkas. Namun, rupanya keberuntungan tak jadi miliknya. Bukan salah satu jawaban yang dia terima, akan tetapi makian yang menyesakan dada.
“Jalang sialan! Jangan ganggu gue! Kalau mau dianggap istri, kasih gue bayi. Baru bisa kuanggap istri. Dasar tak berguna!” Wanita dengan rambut yang mulai mengering itu beranjak dari kursinya. Kemudian menyisir rambutnya. Dilihat kembali refleksi wajahnya di depan cermin. Cantik, masih sama cantik karena selalu menyisihkan sebagian rizkinya untuk perawatan.
Dia mendendangkan lagu janji suci dengan sudut mata yang sudah meleleh. Disisir rambut panjangnya dengan hati-hati. Rontok? Ah, mungkin stres penyebab yang terjadi. Dia semakin tergugu dan membenamkan diri di meja riasnya. Setelah tangisnya tumpah, beranjak ke meja makan untuk merayakan sendiri hari kebesaran pernikahannya. Disulut lilin dengan pemantik api. Cahayanya menerangi ruangan itu. Dimatikan lampu agar suasana lebih dramatis. Nyanyi sendiri, untuk menghibur hati.
“Happy birthday ... happy ....”
Note : Sedih ya? Apa salah jika akhirnya Tias nanti selingkuh? Beri komentar ya teman-teman. Bisa japri pula di 088216076937
Dia mendendangkan lagu janji suci dengan sudut mata yang sudah meleleh. Disisir rambut panjangnya dengan hati-hati. Rontok? Ah, mungkin stres penyebab yang terjadi. Dia semakin tergugu dan membenamkan diri di meja riasnya. Setelah tangisnya tumpah, beranjak ke meja makan untuk merayakan sendiri hari kebesaran pernikahannya. Disulut lilin dengan pemantik api. Cahayanya menerangi ruangan itu. Dimatikan lampu agar suasana lebih dramatis. Nyanyi sendiri, untuk menghibur hati.“Happy birthday ... happy ...” Suara seraknya tidak mampu dilanjutkan. Semua tercekat di tenggorokan dengan tangis yang makin mencair membebani benaknya. Ditiup lilin kemudian Dipotong kue bergambar bola tersebut. Warna coklat terlihat menarik, dia tidak suka coklat. Setelah dipotong, seolah memberikan kepada seseorang dan meletakkannya kembali. Sama seperti waktu kecil saat main.“Ini kue untukmu. Potongan pertama spesial untuk orang yang sepesial.” Tergugu
“Pak, saya tidak bawa. Bagaimana mau ganti?” Tias terlihat frustrasi. Tidak dipungkiri lelaki di depan wajahnya ini selalu membuatnya gondok setengah mati. Bukan kali ini saja. Seminggu dia menggantikan CEO lama, sudah seperti neraka terasa suasana kantor. Jika bukan karena atasannya, mungkin sudah disamck down lelaki bertubuh jangkung itu.“Gampang saja. Sekarang naik!” Tias tetap bergeming. Dia tidak mau satu mobil hanya berdua dengan buaya darat menyebalkan itu. Bagaimana tidak, lelaki sarap itu selalu membuatnya fr emosi tingkat tinggi. Kalau dalam mobil berduaan selama setengah hari, bisa-bisa jantungnya Kolaps mendadak. Dia belum mau mati.“Kok bengong? Ayo!” Ajak Ilham sambil berbalik ke arah Tias, karena wanita itu hanya diam di tempat.“Bapak yakin, kita cuma berdua? Siapa yang nyetir?” tanya Tias sebaga
“Apa kamu bilang?” Tias mengernyitkan dahinya. Dia tidak bilang apa-apa? Tias hanya berkata dalam hati. Eh, kok bisa tahu?.“Maksud, Bapak?” tanya Tias dengan penuh heran.“Kamu pasti ngatain saya di hati kamu ‘kan?”“Tidak, Pak. Mana berani saya?” Tias menunduk karena takut. CEO yang baru itu sungguh terlalu killernya. Tidak tahu apa, kalau dia sedang patah hati karena suaminya tidak pulang semalaman. Duh, rasanya ingin menjambak rambutnya yang sangat tebal itu. Gedeg banget rasanya menghadapi spesies macam pak Ilham itu. Dia terdiam di kursi itu, dengan melirik blok name yang ada di meja itu. Ilham Sanjaya Sasmita. Tertulis dengan huruf kapital dan berbentuk balok seperti orangnya lempeng dan kotak seperti itu dalam pikirny
Tiba-tiba bannya kempis sehingga membuat mobil itu terasa oleng. Ilham menepikan mobilnya, kemudian turun memeriksa. Dia menghembuskan nafas kasar. Ternyata bannya kempes. Dia mengambil serep ban kemudian dengan tangan perkasanya mulai memutar pengait ban dan memulai menggantikan dengan yang baru. Baru akan mengganti, tiba-tiba ada tiga lelaki menghampiri mereka.“Tidak boleh parkir di sini. Semua ada aturannya. Kalian harus membayar.” Tias mengerutkan kening. Melihat dari gelagatnya,ada ketidakberesan pada mereka. Tias turun dari mobil, kemudian siaga jika ketiga lelaki itu akan berbuat semena-mana. Tangannya sudah gatal ingin memberi tanda perkenalan pada lelaki di depannya itu, yang sudah belagu.“Maaf, mas-mas. Kami ‘kan kempes bannya. Bukan karena ingin parkir. Kalau memang harus membayar, kami akan bayar.” Kawanan lelaki dengan baju warna hitam dan tato dimana-mana itu memandang mesum pada diri Tias. Seakan-akan Tias adalah mangsa em
Lelaki tua itu terlihat mengobati Ilham dengan berbagai alat yang Tias sendiri asing melihatnya. Yang pertama diliahat, lelaki itu menyedot dengan peralatan seperti pumping ASI untuk entah mengambil apanya, darah kehitaman keluar dari tubuh Ilham memenuhi pumping itu. Mungkin, menghisap racun yang masuk, demikian perkiraan Tias.p“Itu apa, Pak?” tanya Tias.“Ini adalah obat untuk pembekuan darah. Dia terkena racun bisa ular. Saya belum tahu, Neng ular apa. Tapi, akan kasih penawar dulu, untuk bisa bertahan hingga rumah sakit.” Lelaki tua itu menumbuk dedaunan untuk dibubuhkan ke lukanya Ilham. Hari sudah semakin sore. Akan tetapi, mau tidak mau dia harus melanjutkan perjalanan untuk mncari rumah sakit terdekat.“Pak, apakah ada bengkel terdekat?” tanya Tias.“Adanya bengkel motor, Neng. Kalau bengkel mobil tidak ada di daerah ini bahkan belum ada yang punya mobil kecuali pak lurah.” Wanita deng
Tias sesekali menoleh ke belakang, dilihat Ilham mulai menggerakkan kepalanya, mungkin mulai sadar. Ingin rasanya memegang tangannya dan memberikan semangat. Dia tidak tega melihat bosnya itu merasa kesakitan seperti ini.“Duh, apa yang ku pikirkan?” Tias menepuk jidadnya. Dia kembali fokus ke jalan untuk mencapai rumah sakit. Bekas hujan dan longsoran tanah membuat ban mobil sulit berputar karena licin. Dia sulit mengendlikan mobilnya. Nafas memburu karena adrenaline mulai berpacu. Dia berhenti sejenak.“Ya Allah, Tuhanku bantu saya.” Keyakinan itu tampak teguh. Dia mulai menginjak pedal gasnya sangat dalam. Setelah sekitar setengah jam berputar-putar di bagian lumpur, akhirnya dapat lolos juga. Dia berhenti mengatur napasnya. Sedangkan Ilham di belakang masih terlelap. Mungkin terlalu sakit, sehingga dia tidak dapat membuka matanya secara langsung.“Hufff ... sesuatu banget, Pak ... sudah malam, jalanan licin pula. Semoga sudah se
Wanita dengan baju lusuh itu meletakkan barang-barangnya di meja kemudian menghambur ke kamar mandi. Dia mandi dengan air dingin agar lebih segar. Dilihat sudah pukul delapan malam, setelah selesai mandi. Beribadah dulu, setelah seharian melewatkan ibadah karena musibah itu. Tuhan maha tahu. Jadi, sekarang dia akan menggantinya ibadah yang terlewat. Cukup lama dia bersujud, hingga sampai Ilham tersadar.“Semakin lama, kamu semakin mirip dengan dia. Wanita yang paling aku cari selama ini. Ah, atau mungkin cintaku sudah beralih padamu, Tias. Bolehkah aku berangan-angan? Jika kau menjadi milikku?” Karena berpikir demikian, maka perutnya kram. Ilham meringis karena hal itu. Tias yang baru saja selesai reflek berlari mendekatinya.“Bapak tidak apa-apa?” tanya Tias.“Hanya nyeri sedikit saja, Yas. Kamu sudah selesai?” Tias tersenyum. Ah, senyum itu membuat hatinya sangat berantakan.Tias kembali jalan ke arah sajadah dan muke
“Lama am ...” Ilham tidak dapat melanjutkan perkataannya. Diawasi lekat-lekat iris mata Tias yang masih menyisakan butiran bening menggenang di sana. Ilham sangat tahu, bahwa wanita itu bukan dalam keadaan baik-baik saja. Mengapa bisa demikian? Sebentar lagi, akan tahu jawabannya. Ilham memilih untuk mengawasi lewat gerak iris matanya yang mulai menunduk karena diperhatikan. Dia adalah wanita yang didamba. Bahkan lelaki dengan kumis tipis tersebut rela meninggalkan jabatan sementara mengurus perusahaan keluarga demi mengejar cintanya. Apakah dia sudah tahu, jika Tias sudah tak sendiri?“Kau menangis? Apa terjadi sesuatu?” Tias menggeleng. Dia wanita beragama. Tahu, bahwa menceritakan aib rumah tangganya pada laki-laki lain itu tidak dibenarkan. Tapi, mata tidak dapat berbohong. Lelaki itu melihat bahwa sang wanita sedang menderita. Ilham mencari cara lain agar Tias terpancing untuk bicara. Ilham adalah seorang pemimpin di sebuah perusahan