Share

Jaim

“Pak, saya tidak bawa. Bagaimana mau ganti?” Tias terlihat frustrasi. Tidak dipungkiri lelaki di depan wajahnya ini selalu membuatnya gondok setengah mati. Bukan kali ini saja. Seminggu dia menggantikan CEO lama, sudah seperti neraka terasa suasana kantor. Jika bukan karena atasannya, mungkin sudah disamck down lelaki bertubuh jangkung itu.

“Gampang saja. Sekarang naik!” Tias tetap bergeming. Dia tidak mau satu mobil hanya berdua dengan buaya darat menyebalkan itu. Bagaimana tidak, lelaki sarap itu selalu membuatnya fr emosi tingkat tinggi. Kalau dalam mobil berduaan selama setengah hari, bisa-bisa jantungnya Kolaps mendadak. Dia belum mau mati.

“Kok bengong? Ayo!” Ajak Ilham sambil berbalik ke arah Tias, karena wanita itu hanya diam di tempat.

“Bapak yakin, kita cuma berdua? Siapa yang nyetir?” tanya Tias sebagai alasan basa basi saja.

“Iyalah cuma berdua. Mau bawa pasangan? Jelas tidak boleh, ini perjalanan kantor. perjalanan dinas.”

“Hah ... bukan itu maksud saya. Maksudnya, apakah bapak yakin mau nyetir sendiri? Jauh lho, Pak.” Tias mencoba bernegoisasi agar mereka tidak hanya berdua saja.

“Udah masuk buruan jangan bawel. Aku sanggup menyetir Jakarta-Bali sendiri. Kalau hanya Bogor sangat enteng. Untuk sepatumu, kita beli di toko saja.” Eh, dia menyebut kita? Apa maksudnya. Ah, sudahlah nanti dia marah lagi kalau kebanyakan melamun dan nggak gerak cepat. Bodoh amat dia mau bilang kita atau mereka sekalian.

“Eh, katanya aku yang nyetir? Kok jadi bapak yang nyetir?”

“Emang bawel banget ya kamu? Ayo cepetan naik? Saya tinggal kalau nggak buru-buru.” Wanita yang  membawa plastik bag itu buru-buru naik ke bagian belakang, karena menurutnya hanya pasangannya saja, yang  berhak duduk di sampingnya.

“Saya bukan supir kamu, Nyonya. Jadi silakan pindah depan!” Eh, Ilham menyuruh Tias untuk pindah tempat menjadi di depan,tidak salah? Biasanya dia paling anti untuk membiarkan siapa pun duduk di sampingnya kecuali mama atau adiknya. Paling anti bagi perempuan selain muhrim duduk bersebelahan.

“Maaf, Pak. Bukannya bapak sendiri yang bilang, anti untuk wanita duduk di samping bapak selain mahram?” Tias masih saja berupaya untuk menjauh dari lelaki dengan kumis tipis yang baru tumbuh tersebut.

“Terserah saya, mobil saya. Cepetan!” Dari pada jadi perkara, wanita itu mengalah untuk duduk di sampingnya. Tias segera turun untuk masuk ke depan. Membuka pintu depan, kemudian duduk di samping ruang kemudi.

“Ck ...” Ilham mencondongkan tubuhnya ke arah Tias, kemudian memakaian sabuk pengaman. Setelah bunyi klik, lelaki dengan gaya rambut trend formal namun tetap macho itu, k menegakakn tubuhnya. Bisa dibayangkan bagaimana darah keduanya mendidih dengan posisi yang begitu dekat. Beberapa detik lalu, mata mereka saling bertemu dengan deru nafas yang masih bisa terhirup oleh keduanya.

“Kalau melakukan apa-apa itu fokus, jadi tidak berantakan,” Ilham mengoceh. Kedua insan itu memang sangat bertolak belakang, dengan karakter masing-masing. Tias dengan kepandaiannya namun sangat ceroboh dan tidak fokus, sedangkan Ilham pandai juga akan tetapi terlalu kaku dan juga sangat perfeksionis. Alhasil keduanya sering beradu argumen. Tentu saja, dimenangkan oleh Ilham sebagai atasannya. Sedangkan Tias berakhir dengan kekalahan dan rasa frustrasi.

Mereka menyusuri kota yang mulai agak padat karena jam makan siang. Setelah sedikit jalan, tiba-tiba Ilham menepikan mobilnya di sebuah butik yang cukup menguras kantong. Ilham mengajak wanita bercelana warna hitam itu ke toko tersebut. Karena tidak tahu maksudnya, Tias tidak turun. Sedangkan Ilham sudah ngacir meninggalkan dia masuk ke butik tersebut. Tidak lama, Ilham keluar dari butik tersebut untuk menghampiri Tias.

“Kamu itu bener-bener lemot, ya? Bagaimana aku tahu ukuran sepatumu? Turun!” Ilham sedikit membentak Tias, sehingga wanita itu melonjak karena kaget. Dia turun dengan sedikit enggan. Dilihat semua merek sepatu. Dia menyukai, tetapi setelah melihat harganya berguman, “ya Allah gajiku satu bulan. Bagaimana ini?”

“Pak, saya tidak apa-apa pakai heels toh sudah biasa.” Ilham mengeratkan gigi-giginya hingga rahangnya terlihat mengeras. Dipaksa wanita itu untuk duduk di kursi, dan mengambilkan sepasang sepatu dengan ukuran tiga puluh tujuh, karena memang kaki Tias tidak panjang.

“Ini, Mbak. Bisa pakai credit card ‘kan?” Lelaki berdarah Indonesia-China itu memberikan kartu kredit kepada pelayan untuk membayar sepatu yang di kenakan oleh wanita dengan bando selalu menghiasinya itu.

“Eh, Pak. Tidak usah, saya punya uang.” Tias masih berusaha menolak. Dia tidak mau ada yang salah paham dengan kebaikan yang di berikan oleh bosnya itu.

“Anggap hadiah karena sudah menemaniku melakukan tugas.”

“Terima kasih.” Jujur saja, hal itu membuatnya trenyuh. Belum pernah ada yang perhatian seperti itu kepada dirinya. Bahkan suaminya saja mengabaikannya. Hari ini, Ilham bahkan menyentuh kakinya untuk memakaikan sepatu. Jika tidak malu, tangis mungkin sudah pecah. Wanita itu walau garang akan tetapi terlihat sangat lembut hatinya.

Mereka kembali melajukan perjalanan menuju ke tempat di mana akan diadakan pengecekan proyek pembuatan gedung pendidikan. Mereka bekerja sama dengan dinas di area koordinasi wilayah daerah terpencil. Berbukit dengan jalan yang sempit dan curam dilalui. Beberapa kali Tias memejamkan mata karena ngeri melihat kecuraman jurang. Akan tetapi, takjub menjadi miliknya saat sampai di lokasi paling puncak. Terlihat gundukan tanah dengan pepohonan yang menghijau. Meliuk-liuk bagai sebilah maha karya yang  tersusun dalam bingkai keindahan.

“Bagaimana? Tertarik tugas di sini? Atau jadi orang desa?” tanya Ilham memecah kebuntuan.

“Hufff ... kalau sekali-sekali sih masih oke, Pak. Tapi, Bapak mau buang saya ke sini? Pertimbangkan lagi, Pak. Saya ‘kan asisten yang baik hati dan tidak sombong, Pak.” Wanita itu nyengir sambil mengikat rambutnya sehingga membentuk ekor kuda.

“Eh, kenapa diiket?” tanya Ilham.

“Gerah, Pak.”

“AC-nya di gedein saja ya?”

“Nggak usah.” Terlalu jaim rupanya Ilham mau bilang jika dirinya menyukai rambut sang wanita yang digerai. Lebih tepatnya, jaga wibawa mungkin. Mereka terus saja menyusuri jalanan yang berliku. Hingga turunan dan tanjakan entah sudah berapa kali tidak terhitung.

“Pak,”

“Hem ...” Ilham hanya menggeram menjawab panggilan Tias.

“Bapak ngitung nggak sudah berapa tanjakan?” tanya Tias. Ilham hanya menggeleng dan menautkan alisnya tanda tidak mengerti.

“Sudah dua puluh tiga kali dari tadi, kalau turunan baru tiga, kemudian belokan ada lima puluh tujuh.”

“Kamu kurang kerjaan ngitungin jalan.”

Tiba-tiba bannya kempes sehingga membuat mobil itu terasa oleng. Ilham menepikan mobilnya, kemudian turun memeriksa. Dia menghembuskan nafas kasar. Ternyata bannya kempes. Dia mengambil serep ban kemudian dengan tangan perkasanya mulai memutar pengait ban dan memulai menggantikan dengan yang baru. Baru akan mengganti, tiba-tiba ada tiga lelaki menghampiri mereka.

“Tidak boleh parkir di sini. Semua ada aturannya. Kalian harus membayar.” Tias mengerutkan kening. Melihat dari gelagatnya,ada ketidakberesan pada mereka. Tias turun dari mobil, kemudian siaga jika ketiga lelaki itu akan berbuat semena-mana. Tangannya sudah gatal ingin memberi tanda perkenalan pada lelaki di depannya itu, yang sudah belagu.      

Note : Ah, sepertinya Ilham mulai tertarik. Baca terus ya gaes. Kalau mau kenal lebih dekat dengan author, boleh kok hubungi 088216076937

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status