Keano menangis melihat mamanya mencium sepatu Gladis. Keano tidak bisa melakukan apa-apa mamanya dihina didepan matanya. Tangannya mengepal sangat kuat ingin rasanya memporandakan Galdis yang sudah demikian keterlaluan. Tapi nanti akan membuat semua makin kacau.
“Ma, Please!” Keano menarik bahu sang mama dan memeluknya.
“Dengar, Tuan Damian! Beri tahu putri Anda! Tidak selamanya Anda berada di atas. Jika cara mendidik yang Anda lakukan ini masih sama membiarkan putri Anda merendahkan orang lain, maka tidak mustahil jika kelak dia juga akan meninggalkanmu dan menginjak kepalamu!” Damian terdiam. Dia melihat mata itu, mata yang sama dengan milik Rara. Dia tidak mungkin melupakannya. Walau sudah sebelas tahun berlalu, masih tetap sama mata itu menghantuinya. Mata yang merasa terluka karenanya, mata yang membuatnya tidak melupakan malam itu. Damian hanya terpaku melihat Keano dan juga Zahwa berlalu.
“Mau kemana kalian?
Keano termenung. Tapi mamanya ada benarnya. Memang wanita harus selalu diutamakan. Begitu kata Arsan. Iya, anak itu selalu menurut dengan Arsan tanpa bantahan. Mereka sudah sampai rumah. “Keano, mama minta maaf, ya? Kita lupakan hari ini, oke? Om Arsan besok pulang week and. Kita akan jalan-jalan.” Keano mengangguk. “Jangan lupa tutup pintu kunci, hati-hati. Mama mencintaimu.” Zahwa setengah berteriak karena Keano semakin menjauh. Dia menggeleng kemudian kembali fokus menyetir. Jalanan begitu sangat padat. Zahwa tidak begitu buru-buru. Dia sudah memiliki bekal untuk dimakan, sehingga tidak perlu antri di kantin.Zahwa memarkirkan mobilnya. Dia setengah berlari. Masih ada seperempat jam. Dia menoleh ketika ada yang melihat. Sehingga kakinya menabrak pot. Dia mengaduh. Andra yang melihat dari kejauhan ingin menangkap tubuh itu. tapi tidak bisa. Lelaki i termenung. Perasaan apa ini? Dia menatap lurus tajam ke depan. Semua karena Arsan. Dia a
Damian menenggak minumannya kemudian meletakkannnya kembali di meja. Lelaki itu memandang lekat ke arah adiknya tersebut. Dia seakan tidak percaya dengan adiknya tersebut. “Hahaha, mana mungkin, Kak. Rara begitu aduhai. Sedangkan dia? Culun dan nggak banget.” Damian melihat ke arah sang adik kembali. Dia menjadi ragu dengan analisanya sendiri, bahwa Zahwa adalah Rara. Tapi kemudian dia hanya membatin saja. Dia akan tetap mencari tahu siapa Zahwa sebenarnya. Jika dia benar Rara, maka tidak akan melepaskannya. Apa pun akan dia lakukan jika Zahwa tidak menginginkannya, maka dia akan memaksanya.Sementara itu, siang ini akan ada rapat internal seluruh perusahaan, karena ulah Damian. Termasuk Arsan akan pulang ke Jakarta saat ini. Dengan mendengar berita itu, maka Andra makin mudah tidak usah menunggu akhir minggu untuk menanyai seorang Arsan. Bagaimanapun Arsan ada di bawahnya. Maka dari itu, dia akan tetap dapat menekannya. Kali ini Andra akan merebut k
“Hahaha, resiko punya calon suami ganteng. Tapi hatiku hanya untukmu. Kalau senyum doang mah sebagai hadiah dan ibadah.” Zahwa melirik saja.Mereka sampai di kantin. Kantin sudah penuh sesak dengan para karyawan yang ingin makan siang. sudah ada yang menyuap soto, gado-gadoi, nasi pecel dan lain sebagainya. Ada yang masih pesan juga. “Zahwa!” Ingrid melambaikan tangan. Dia sudah berada di meja bersama Lina dan juga yang lainnya. Zahwa membalas lambaiannya dengan senyum, kemudian jalan untuk memesan makanan.“Mas mau pesan apa?” tanya Zahwa yang berada di depan.“Aku nasi padang saja. Kau duduklah, biar Mas yang antri.” Zahwa mau menuruti. Lelaki itu berganti yang mengantri, sedangkan Zahwa melanggang untuk duduk bersama teman-temannya.“Ais, Zahwa, benarkah kalian pacaran?” tanya Dina. Zahwa hanya tersenyum sembari membetulkan kaca matanya.
“Gue yang perlu sama lo. Katakan! Siapa Zahwa?” Arsan memandang nyalang ke arah Damian. Jantungnya berdetak demikian kuat. Semoga saja mereka berdua tidak mendengarnya.“Dia calon istriku, kenapa? Andra sudah mengadu. Yang perlu kalian tahu, jangan pernah campuri urusan pribadiku. Kalian sudah membuatku menderita dulu. Jadi jangan pernah mencampuri kali ini.” Arsan emngepalkan tangannya.“Hahaha, apa tidak kebalik? Kau menolak bertanggung jawab dengan kehamilan Cassandra. Dan lihatlah! Siapa yang menjadi korban. Apa kau tahu, gue tidak pernah menyukai Cassandra. Hingga hari ini, aku tidak menyentuhnya. Sebelumnya, memang aku mencoba mengerti kesibukannya. Aku mencoba untuk jadi suami yang baik. tapi tahu kenapa? Dia tidak pernah hadir untukku.” Arsan tertawa mengejek. Matanya menyorot tajam.“Aku tidak lari. Tapi dijebak. Aku tahu ini ulah kalian,” pekik Arsan.
“Tunggu! Aku ada perlu denganmu. Keruanganku segera.” Damian melewati Zahwa yang bengong karena undangan ke ruangan Damian itu.“Ngapain kamu mengundang calon istriku ke ruangamu?” Arsan mengeratkan genggamannya.“Mas,” panggil Zahwa. Dia bermaksud untuk membuat Arsan berhenti berdebat. Kepalanya menggeleng bertanda memberi tahu Arsan agar jangan khawatir.“Dia masih karyawan sini ‘kan? Aku atasannya. Jadi wajar kalau aku memanggilnya ke ruangannya. Kau jangan berlebihan. Kalau dia jodohmu akan kembali kepadamu. Tapi kalau jodohku, pasti akan kembali kepadaku,” ujar Damian. Dia tertawa sinis ke arah Arsan. Arsan mengeratkan rahangnya. Itu juga membuat Andra bereaksi dalam hatinya.“Kalian berdua berantem mirip anak TK. Kalian boleh bedebat. Tapi aku pemenangnya. Aku yang akan merebut hatinya,” batin Andra. Mimpi apa seorang Zahwa yang
“A-aku ....” Zahwa tidak berani memandang mata Damian. Mata yang mengintimidasi yang membuat dirinya sangat menderita selama beberapa tahun. Untung ada Arsan yang menolongnya.“Aku apa? Kau tahu, aku mencarimu ke mana saja. aku mirip orang gila. Tapi semua nihil. Mereka tutup mulut tidak mau bicara. Sampai akhirnya hal tersialnya Papa menikahkanku dengan wanita yang bahkan bukan aku yang menghamili.” Damian menundukkan kepala. Zahwa menganga.“Jadi Nyonya Cassandra bukan kekasih sesungguhnya?” batin Zahwa. “Ta-tapi apa urusanku? Anda salah sangka, Tuan Damian. Saya bukan Rara yang Anda maksud. Permisi, saya tidak mau lembur untuk menyelesaikan pekerjaan saya.” Zahwa akan berdiri dan memutar kursi tersebut. tapi Damian masih menguncinya, hingga dia tidak dapat bergerak.“Sudah kubilang jangan pura-pura. Atau kau ingin peristiwa di Lombok itu terulang?” Dami
“Siapa yang menciummu?” Zahwa melonjak ketika pertanyaan itu terbit dari bilik toilet. Dia mengelus dadanya yang bergemuruh karena reaksi kaget tersebut.“Ingrid, kebiasaan ngagetin. Bukan siapa-siapa,ih kepo.” Ingrid membuka kran sebelah untuk mencuci tangannya, kemudian mengambil tisu.“Bukan ngagetin, tapi kamu yang kurang fokus. Siapa yang menciummu? Pasti Pak Arsan, ya? Ayo ngaku!” Zahwa bersemu merah sehingga Ingrid menduga bahwa yang dia katakan sebuah kebenaran.“Ada deh, ayo ah ....” Ingrid masih belum yakin.“Tunggu! Kenapa kamu marah-marah kalau dia menciummu? Bukankah kalian calon suami-istri? Untung dia nggak ngajak ML. Kalau iya, mungkin sudah ngamuk kali kamu?” Zahwa membulatkan matanya. Bisa-bisanya sahabatnya itu berkata demikian? ML sebelum menikah tidak ada dalam sejarahnya. Walau pernah hamil di luar nikiah, itu hanya kec
Sore sudah menjelang. Zahwa beres-beres untuk pulang. Dia pulang agak lambat sebab tadi rapat dan pekerjaannya terbengkelai. “Za, kita turun bareng, yuk?” ucap Ingrid.“Iya, baiklah.” Zahwa mengelap keringatnya. Dia mengeluaran keringat dingin. Sepertinya dia sakit.“Za, kamu sakit?” tanya Ingrid. Dia melihat sahabtnya itu pucat dan penuh dengan keringat.“Nggak tahu, gue rasanya sedikit pusing.” Ingrid menangkap tubuh Zahwa yang limbung.“Gue panggilin Pak Arsan, Zahwa ... Ya Allah ....” Zahwa pinsan. Kebetulan Damian lewat di depan ruangan itu. mendengar Ingris yang berteriak, maka Damian masuk ke ruangan itu.“Zahwa kenapa?” tanya Damian. Dia memeluk tubuh Zahwa yang sudah lunglai itu.“Baiklah, kita ke rumah sakit.” Damian menggendong tubuh Zahwa. Dalam hati Ingrid terseny