Lima tahun kemudian,
"Sean, baik-baik ya di sini! Nanti Tante Haruka yang jemput Sean," ucap Ananta sambil berjongkok, menatap sang putra.
"Okay, Ma. Sean kan memang anak baik," sahut bocah berusia lima tahun itu.
Ananta memeluk putranya lalu mencium pipinya sebelum menyerahkan Sean pada petugas day care.
Setelah memastikan Sean sudah berbaur dengan teman-temannya yang juga merupakan anak-anak yang dititipkan di tempat itu, Ananta segera mengambil motornya dan mengemudikannya menuju ke tempat kerja.
Sesungguhnya, Ananta sudah mampu membeli sebuah mobil, tapi prioritasnya saat ini adalah memberikan rumah yang lebih nyaman untuk sang putra, sehingga dia menabung uang hasil kerjanya untuk itu.
The Himalaya Resort. Sebuah resort yang menjadi tempat bekerja Ananta sejak tiga tahun lalu. Tempat itu berhektar-hektar luasnya dan menjadi salah satu yang paling terkenal di kota itu. Tamunya pun tidak hanya berasal dari dalam negeri, tapi juga luar negeri.
Tidak heran, dulu Ananta mati-matian mengusahakan dirinya bisa bekerja di sana. Dengan kemampuan yang dia miliki dia kini telah berhasil menjadi asisten manajer.
"Selamat pagi, Bu Nanta," sapa para staf.
Ananta mengangguk, "Selamat pagi."
Saat sudah sampai di ruangannya, Ananta didatangi oleh sang manajer, "Nanta. Akan ada tamu spesial hari ini. Dari Inggris."
"Hah? Dari Inggris? Siapa? Perasaan aku nggak lihat ada daftar tamu dari luar," sahut Ananta sembari menaruh tas kerjanya.
Sherly mendecak lidah, "Baru masuk semalam, pas kamu udah pulang."
"Kok mendadak, Bu?" ucap Ananta kaget.
"Iya nggak tahu, pokoknya dia bawa rombongan banyak dan dia booking bagian area Cleveland semua."
Ananta melongo.
Segera saja dia duduk di kursinya dan membuka layar mengenai informasi itu. Area yang dimaksud adalah area yang memiliki fasilitas paling lengkap di resort itu dan sudah tentu harganya pun paling tinggi.
"Gila. Dia pasti kaya banget sampai-sampai booking area itu secara penuh. Mana udah dibayar semua lagi." Ananta terbengong-bengong menatap layar.
Sherly manggut-manggut dengan senyum di wajah, "Kamu yang handle ya buat acara penyambutannya?"
"Kok aku, Bu? Bukannya kalau klien besar gini Ibu yang handle ya?" tanya Ananta kaget.
"Kamu aja kali ini, aku ada urusan di luar resort selama beberapa hari," ucap Sherly.
Ananta menghela napas.
"Jangan terlalu terlihat tertekan begitu! Ada bonus tambahan kok!" ucap Sherly.
Ananta yang semula lemas langsung bersemangat. "Berapa bonusnya, Bu?"
"Satu kali gaji, bagaimana?"
Ananta membelalakkan mata, "Serius ini, Bu?"
"Iya, Nan. Kapan sih aku pernah bercanda soal ginian?" balas perempuan berusia empat puluh dua tahun itu.
Ananta pun tersenyum, "Siap, Bu kalau begitu."
Shirley mengangguk, "Oke. Kerjakan yang benar ya."
"Baik, Bu."
"Dari info, dia akan sampai sekitar empat jam lagi," ucap Shirley.
Ananta pun seketika berdiri dan terburu-buru menyiapkan acara penyambutan itu.
Sementara itu, di Bandara Internasional, Mikael terlihat enggan berjalan menuju ke mobil yang telah menunggunya.
"Kamu nggak bisa ya pasang wajah yang enak dipandang gitu?" ucap Helen, kakak Mikael yang sedang menggendong putrinya.
Mikael dan Helen pernah cukup lama tinggal di Indonesia sehingga bahasa Indonesia mereka pun sangat bagus. Tak heran pula mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia untuk mengobrol.
Mendengar hal itu, Mikael hanya memasang senyum kaku.
"Astaga, kau sungguh mengerikan, Mike!" ucap Helen, sudah putus asa.
Mikael tak menghiraukan sang kakak dan masuk ke dalam mobilnya sendiri, sementara Helen masuk ke dalam mobil lain.
"Sir, apa ada yang membuat Anda tidak nyaman?" tanya Andrew yang masih menjadi sopirnya.
"Negara ini," jawab Mikael.
Andrew meringis, seketika langsung paham. "Itu ... sudah beberapa tahun berlalu, Sir."
Mikael mendelik ke arah depan, "Kau tahu, aku tidak suka kekalahan, An. Tidak bisa menemukan wanita itu termasuk suatu kekalahan dan aku tidak bisa menerimanya."
Andrew tidak tahu lagi harus bagaimana berkomentar.
Dia paham benar kekesalan yang dirasakan oleh sang tuan. Namun, dia tak memiliki cara untk membantunya.
"Tapi, mungkin Anda bisa menemukan wanita lain yang lebih-"
"Yang lebih seksi? Hebat di ranjang? Kalau itu banyak. Di Inggris banyak, tapi wanita itu sangat berbeda. Hanya dengan dia aku merasa ...."
Mikael tak jadi melanjutkan perkataannya, merasa percuma juga untuk dibahas. Tak ada hasilnya.
Maka, dia pun memilih untk melihat ke arah luar jendela selama perjalanan menuju resort yang akan menjadi tempat berlibur keluarga besarnya.
Sesungguhnya dia sangat kesal karena keluarga besarnya memilih Indonesia sebagai tempat berlibur. Namun, dia tidak bisa menolak keinginan sang kakak sehingga tetap memberi fasilitas bagi mereka.
Di sisi lain, Ananta sedang begitu sibuk menyiapkan acara penyambutan di resort itu.
"Ah, ganti bunga itu, Lea! Taruh bunga yang lebih segar!" ucap Ananta.
Dia kembali memeriksa, "Josh, taruh meja itu di sebelah sana."
"Oh, iya. Minta kitchen 2 untuk bersiap-siap ya, sekitar dua jam lagi mereka akan segera tiba," ucap Ananta setelah melirik arlojinya.
Semua staf mendengarkan perintah Ananta dan mengerjakannya sesuai yang diminta sebab Ananta memang dikenal sebagai asisten manajer yang cukup handal dan belum pernah membuat kecewa klien.
"Itu udah oke. Nah, sisanya tolong ya itu dicek lagi, apa aja yang masih kurang," ucap Ananta lagi.
"Siap, Bu," jawab seluruh staff di bagian ruangan yang akan digunakan sebagai tempat pertama tamu asal Inggris itu akan berkumpul sebelum mereka akan diantar ke Cleve land.
Ananta mulai gugup, "Tiga puluh menit lagi, guys."
"Sudah, Bu."
"Oke, sekarang bersiap-siaplah! Rapikan diri kalian!" Ananta kembali memerintah.
Dengan terburu-buru mereka berpencar. Ananta sendiri juga pergi ke kamar mandi dan memoles make up tipis lagi sebelum pergi ke lobby. Beberapa staf-nya telah berdandan dengan rapi dan berdiri dengan tegas.
"Huh, akhirnya," ucap Ananta.
"Sepuluh menit lagi," ujar Ananta lagi.
Dan tepat sepuluh menit kemudian, rombongan yang terdiri dari enam mobil itu pun tiba di sana.
Ananta menahan napas dan mencoba untuk melemaskan otot rahangnya, memasang senyum seramah mungkin untuk para tamu yang dikatakan spesial oleh manajernya itu.
Beberapa tamu mulai keluar dari mobil dan berjalan menuju ke arahnya. Ananta masih belum mengangkat wajah karena masih mencoba untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Begitu sudah beberapa langkah, Ananta pun mengangkat wajah dan tersenyum lalu berkata sambil menyerahkan buket bunga, "Selamat datang di The Himalaya Resort."
Namun, saat dia memperhatikan wajah dari tamu itu, dia seketika membeku.
Pria ini? Astaga, tidak mungkin.
Bagaimana dia bisa ada di sini?
Ananta masih ingat dengan jelas wajah itu meskipun saat itu dia hanya melihatnya dalam keadaan terpejam.
Terlebih lagi, warna mata pria itu sama persis dengan yang dimiliki oleh Sean, putranya.
Kaki Ananta seketika lemas. Matanya tetap terpaku pada laki-laki asing itu hingga tak berkedip sama sekali.
Otaknya tiba-tiba dipenuhi pertanyaan yang membuatnya terasa tercekik.
Apa yang sebenarnya dia lakukan di sini?
Apa tujuannya datang?
Apa jangan-jangan dia tahu sesuatu?
Apa dia tahu tentang Sean?
Namun, bagaimana mungkin? Dari mana dia tahu?
Tidak. Dia tidak akan membiarkan laki-laki itu tahu mengenai putranya.
Mikael sendiri juga sangat terkejut melihat wanita yang selama ini menghantui mimpinya di tempat itu.
Dia tidak bisa melupakan wajah itu. Dia tidak mungkin salah.
Wanita yang sedang berdiri di depannya itu adalah wanita yang sama yang sudah membuatnya tidak bisa tenang selama beberapa tahun ini.
Wajahnya selalu terbayang-bayang olehnya pun dengan apa yang pernah mereka lakukan dalam malam yang mendebarkan itu.
"Nona, apa kau tidak jadi memberiku bunga itu?" tanya Mikael dengan tatapan menusuk.
Tergagap, Ananta membiarkan pria asing itu mengambil buket bunga itu tapi dia sendiri masih terbengong-bengong. Tidak, Ananta. Dia tidak mungkin ingat kepadamu. Itu sudah bertahun-tahun berlalu. Laki-laki di depanmu ini seorang Don Juan. Mana mungkin dia ingat akan salah satu mangsanya? Kau hanya terlalu banyak berpikir, Ananta. Wanita itu menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan dirinya bila pria asing itu benar-benar sudah melupakannya. Mikael berdeham agak keras hingga Ananta tersadar dan segera berkata, "Sir, mari ikut kami!" Mikael tidak membalas dan hanya menatap Ananta dengan datar, tapi anehnya Ananta tahu pria itu sedang menunggu dirinya untuk menunjukkan jalan. Dengan hati yang sedang bercampur aduk, Ananta berjalan di depan Mikael, diikuti oleh rombongan. Mereka diarahkan ke sebuah ruangan yang telah dipersiapkan sebelumnya. "Silakan menikmati penyambutan kami, Sir, Maam." Ananta berujar dengan sopan, mencoba menenangkan diri meskipun gagal. Namun, melihat sika
Melihat tatapan sepasang mata sebiru lautan milik anak kecil itu, Mikael merasakan sesuatu yang aneh tengah menyergapnya. Suatu perasaan asing yang tak dikenalnya. Rasa iba dan tak tega. Tiba-tiba saja hanya dengan sebuah tatapan itu, Mikael mendadak menjadi luluh seketika, "Baiklah, baiklah. Paman akan menyelamatkannya untukmu." Si anak kecil itu langsung tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Bergegas Mikael memanjat pohon itu dengan begitu mudahnya, lalu membebaskan anak kucing yang terjerat tali itu dan membawanya turun ke bawah. Dia menyerahkannya pada anak itu. Anak kecil itu berteriak dengan gembira saat si binatang berbulu itu telah berada di dalam dekapannya. Matanya terlihat berbinar-binar. Tanpa sadar Mikael tersenyum. Mikael memperhatikan dia mengelus-elus kucing itu dengan penuh kelembutan sampai-sampai Mikael rasanya tak bisa melepaskan pandangannya dari anak kecil itu. "Kucing imut, kamu udah aman. Bermainlah dengan riang ya!" Anak kecil
"Oh, iya, baik. Mohon ditunggu. Saya akan segera ke sana, Sir," ucap Ananta. Begitu Ananta menutup panggilan itu, beberapa staf terlihat menunggu reaksi Ananta. Tapi, Handi yang jelas tidak memiliki kesabaran yang setebal kamus bahasa Indonesia itu pun bertanya, "Gimana, Bu? Siapa yang dari Cleveland memanggil, Bu?" Panggilan yang ditujukan pada nomor saluran Ananta adalah panggilan yang jelas hanya berasal dari gedung Cleveland. Sementara yang lain biasanya akan bertujuan ke saluran lain. "Kamar nomor 2." Handi melebarkan mata, "Si pria bule ganteng itu?" Ananta mendengus, "Semua pria di kamar Cleveland itu bule dan ganteng." Ananta tidak menampik fakta itu. "Ah, Bu Nanta. Maksud saya si pria pirang yang Ibu beri buket bunga tadi itu lho. Si kaya," jelas Handi. Ananta mengeryit heran, "Si kaya? Julukan apa lagi itu?" Staf lain berkomentar, "Bu Nanta gimana sih? Masa Ibu nggak tahu? Itu, Bu. Pak Mikael Alexander yang menyewa Cleveland kan memang kaya banget, Bu. Tadi, kami su
Ananta menatap ke arah sahabatnya itu dengan tatapan bingung, "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Haruka buru-buru meletakkan cokelat panasnya di atas meja dan berkata, "Bentar, Nan. Kamu ... yakin itu dia? Si bule itu?" Haruka bahkan terlihat lebih gugup daripada Ananta. "Ya. Itu benar-benar dia. Memang dia, Haruka." Ananta menghela napas panjang. Bayangan laki-laki itu secara tiba-tiba terlihat di depannya dan di sampingnya ada seorang anak kecil, yakni putranya sendiri sebagai perbandingan. Mendadak, Ananta langsung menelan ludah dengan gugup, "Rambut pirang, mata biru. Dia sangat mirip dengan Sean. Oh, tidak. Maksudku Sean sangat mirip dengannya." "Ya Tuhan. Mereka sangat-sangat mirip, Haruka." Ananta sudah terlihat begitu lemas kala menjelaskan hal itu. Dia kini sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. "Nan, ingat-ingat lagi deh. Mungkin kamu salah orang, Nan." Ananta menggeleng, tentu tidak mungkin salah mengenalinya. Untuk soal fisik memang Sean dan Mikael memang mirip
"Jangan ngaco! Mana ada orang yang suka sama seseorang hanya karena bertemu satu kali? Bahkan, kami tidak mengobrol apapun, Haruka," bantah Ananta. Haruka menyeringai, "Nggak mengobrol? Yakin?" "Iyalah, aku mabuk. Gimana bisa ngobrol?" balas Ananta, masuk akal. "Gimana pas di ranjang? Masa kamu atau dia nggak mengeluarkan suara?" tanya Haruka. Ananta menaikkan sebelah alis, "Apa maksudmu?" Haruka berkata sambil menahan senyum, "Oh, Baby. Ini sangat luar biasa." Gadis itu bahkan juga membuat suara desahan yang membuat daun telinga Ananta seketika berubah menjadi merah muda. "Iya, iya di sana. Aku menyukaimu, aku-" Haruka tak sempat melanjutkan perkataannya lantaran Ananta telah melemparinya dengan sebuah bantal. Gadis itu malah cengengesan. "Hih, kamu tuh. Kebanyakan nonton blue film ya, sampai omonganmu jadi ngawur!" ucap Ananta sedikit kesal. Bukannya mengoreksi ucapannya, Haruka malah berujar lagi, "Serius, Nan. Aku yakin kalian berdua pasti mengatakan hal-hal yangs semacam
Sean, si bocah lima tahun itu langsung mendongak ke arah Mikael, "Paman."Dengan senyum yang masih tersungging di bibir, Mikael pun berjalan mendekat dan melihat bocah itu terlihat sedang memegang beberapa lembar kertas. Sean duduk bersila di tanah yang penuh dengan rumput hijau yang terawat dan bersih. "Kamu sedang main apa?" Mikael bertanya dengan nada penuh dengan rasa ingin tahu. "Mau buat pesawat terbang, Paman."Mikael tertarik, "Pesawat terbang? Kamu bisa?""Bisa.""Oh ya? Boleh Paman melihatnya?" Mikael pun semakin antusias.Sean mengangguk pelan tapi anak kecil itu mengernyitkan dahi, seakan agak ragu.Laki-laki itu pun ikut duduk di tanah, tepat di hadapan bocah itu. Dia menatap sang bocah yang sudah mulai melipat-lipat kertas itu. Perhatiannya tak pernah teralih dari tangan mungil itu. Semakin diamati, bagi Mikael Sean sangatlah lucu. Dan ini pertama kalinya, dia berpikir bila seorang anak kecil itu lucu.Namun, setelah Mikael menunggu selama beberapa menit lamanya, a
Ananta berusaha mengendalikan diri dan berkata, "Selamat datang di the Himalayan Resort, Bu Alma."Alma menatap cucunya dengan rasa terkejut saat mendengar Ananta berkata dengan formal. Tapi itu semua dilakukan oleh Ananta lantaran perkataan neneknya sendiri yang telah mengeluarkannya dari data keluarga Wiriyo sehingga sudah sepantasnya dia memanggil sang nenek seperti itu.Terlebih lagi, saat ini Alma Wiriyo merupakan tamu mereka sehingga sudah sepantasnya Ananta melakukan hal itu.Vina terlihat menatap dengan tatapan penuh tanya pada sang kakak, sementara Alan tiba-tiba diam membisu."Nanta," panggil Belinda."Kamu bekerja di sini?" Johan bertanya.Ananta mengangguk, "Iya. Tadi saya dengar ada komplain untuk masalah area Cleveland. Mohon maaf, area itu sudah ditempati dan selama satu minggu ke depan tidak bisa ditempati, baru available minggu depan."Alma tersenyum sinis, "Oh, kamu bekerja di sini rupanya.""Iya, benar."Vina yang tidak suka dengan situasi itu pun berujar dengan nad
Mikael seketika tertawa jengkel, "Bercandamu terlalu belebihan, Helen."Helen membalas, "Aku nggak bercanda, Mike. Kalian memang benar-benar sangat mirip. Kalau kamu nggak percaya, kamu coba lihat foto masa kecil kamu, lalu bandingin sama Sean."Helen terlihat begitu serius tapi Mikael masih tidak terlalu menganggap perkataan sang kakak secara serius.Mikael malah tidak menggubrisnya.Sayangnya, Helen masih gigih dan tidak mau menyerah begitu saja. Helen berkata lagi, "Aku serius. Kamu pasti akan langsung paham apa yang aku maksud."Mikael menggaruk bagian daun telinganya, "Hei, aku memang sering berganti wanita, tapi aku selalu menggunakan pengaman."Sebenarnya Mikael agak kesal jika harus membicarakan masalah kegiatan seksualnya, meskipun itu dengan kakak kandungnya sendiri. Tapi, dia tidak ingin sang kakak salah paham dan malah terus menerus menanyainya jadi dia terpaksa menjelaskan."Wanita yang aku tiduri tidak mungkin hamil karena mereka selalu meminum obat. Paham? lanjut Mikae