"Wanita itu? Apa maksud Anda itu ...."
"Ya, wanita penghibur yang berdansa denganku dan menghabiskan malam denganku saat itu," jawab Mikael, semakin membuat Andrew terkesiap.
Ia cukup kaget. Pasalnya ini pertama kalinya tuan mudanya mencari-cari seorang wanita.
Apa yang membuat wanita begitu spesial? pikir Andrew bingung.
Saat sudah sampai di Indonesia, Mikael terheran-heran dengan apa yang ia sedang lakukan.
"Aku pikir aku memang sudah gila."
Ia menggelengkan kepalanya dan bergumam sendirian sambil berkacak pinggang, "Mikael, kamu memang benar-benar sudah tidak waras."
Pria bermata biru terang itu pun melangkahkan kakinya ke dalam klub malam yang mempertemukan dirinya dengan wanita yang tidak bisa lupakan sampai detik ini.
Seperti biasa, begitu ia masuk, ia langsung menjadi pusat perhatian. Dengan begitu mudahnya ia membuat beberapa wanita melihatnya dengan tatapan tertarik.
Siapa yang tak terpesona dan jatuh hati pada seorang Mikael Alexander yang memiliki garis wajah yang begitu sempurna?
Selain wajahnya yang tampan luar biasa, dia juga memiliki postur tubuh bak model yang menjadi idaman kaum hawa.
Di samping itu, penampilannya yang selalu elegan dan senyum mempesona selalu berhasil membuat para wanita terpikat hanya dalam beberapa menit saja.
Sang pria yang layak mendapat julukan Don Juan tampan itu sekarang mengedarkan pandangannya ke seluruh mencari wanita yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak selama berminggu-minggu.
"Hei, tampan. Apa kau butuh teman di ranjangmu?" tanya seorang wanita dengan gaun merah menyala.
Mikael hanya tersenyum tipis dan melanjutkan pencariannya.
"Sialan! Kenapa dia begitu sulit ditemukan?" ujarnya mulai frustrasi.
Andrew Finn telah mencari sang wanita keturunan Indonesia itu tapi tak berhasil menemukannya. Dia bahkan telah menyewa detektif untuk menyelidiki asal usulnya tapi tetap saja tak dapat ditemukan informasi sekecil apapun.
Sayangnya ia memang masih gagal. Wanita yang ingin ditemui oleh tuan-nya tersebut sepertinya memang telah hilang ditelan bumi.
Memang, Mikael hanya memiliki satu foto yang ia ambil diam-diam. Namun, sayangnya foto tersebut tak begitu jelas karena pencahayaan yang minim.
Mikael mengambilnya saat mereka berada di lorong hotel. Bahkan, dari foto tersebut hanya tampak hidung dan bibir sang wanita. Matanya tertutup oleh rambut lantaran saat itu keduanya mabuk berat.
Jadi, satu-satunya yang bisa dilakukan oleh Mikael adalah mendatangi klub malam itu dengan harapan sang wanita misterius itu muncul di sana.
"Apa kau sudah menemukannya?" tanya Mikael dengan penuh harap.
Andrew kebingungan setengah mati, "Belum, Sir. Saya tadi sudah meminta petugas untuk mengecek CCTV di malam itu tapi anehnya tak ada."
Mikael menoleh, "Apa maksudmu tak ada?"
"Tak ada yang terekam di hari itu, Sir. Sepertinya CCTV di seluruh gedung ini rusak di malam itu," jawab Andrew.
"Kenapa bisa begitu? Dia tidak bisa ditemukan di mana-mana dan bahkan CCTV pun rusak saat itu. Apa menurutmu ini tidak aneh?" Mikael mulai merasa ada yang janggal akan hal itu.
Andrew merespon, "Menurut saya, bisa saja memang terjadi kerusakan, Sir. Dan karena fotonya juga tidak terlalu jelas, maka ...."
Mikael sontak menatapnya tajam sehingga Andrew tak jadi menyelesaikan ucapannya.
"Ini aneh. Aku malah jadi penasaran. Siapa sebenarnya dia? Apa mungkin dia bukan wanita penghibur?" gumamnya bingung.
Andrew masih diam.
"Apa kau sudah menanyai para staf di sini?"
"Sudah, Sir. Dua kali, malah. Tapi jawaban mereka tetap sama. Tak ada yang mengenal wanita itu."
Mikael menyentuh dagunya, semakin tak mengerti. "Semakin aneh. Andrew, selidiki lagi. Aku tidak mau tahu, kau harus menemukan dia bagaimanapun caranya."
Akan tetapi, hari demi hari berlalu, Mikael tetap tidak bisa menemukan wanita yang dia cari itu.
***
Ananta pergi ke kota sebelah dan memulai hidup barunya sendirian di kota itu. Dikarenakan dia hanya memiliki uang cash yang terbilang cukup sedikit, dia memutuskan untuk menyewa kamar kos dan segera mencari pekerjaan.
Secara kebetulan, dia dengan mudah bisa mendapakan pekerjaan yang letaknya tak jauh dari tempat tinggalnya. Pekerjaan pertamanya adalah sebagai kasir di sebuah minimarket.
Tapi, baru beberapa hari bekerja, Ananta merasa kondisi badannya tidak enak. Dia sering mual-mual dan beberapa kali muntah.
"Nanta, kamu ... nggak coba cek?" tanya Haruka, salah satu rekan kerjanya dengan tatapan tidak enak, seolah takut Ananta tersinggung.
"Cek apa maksud kamu, Haruka?" tanya Ananta.
Haruka menjawab dengan berbisik, "Kehamilan."
Ananta terbelalak. Tiba-tiba jantungnya berpacu dengan cepat.
Cepat-cepat dia mengambil alat tes kehamilan dan membayarnya lalu pergi ke kamar mandi.
Haruka menemani gadis itu dengan cemas.
Begitu Ananta keluar dari kamar mandi dan merosot di dinding dengan wajah yang pucat, Haruka pun tahu hasil dari tes tersebut.
"Aku hamil, Haruka," ucap Ananta dengan ekspresi wajah masih syok.
Haruka segera memeluk dan menenangkan Ananta, "Nggak apa-apa, kamu pasti bisa melewatinya."
Ananta pun hanya bisa menangisi nasibnya.
Beberapa bulan setelahnya, perut Ananta pun telah semakin membesar.
"Nanta, udah biar sini biar aku aja. Kasihan kandungan kamu," ujar Haruka.
Ia langsung meraih bak jemuran berisi pakaian kering yang baru saja Ananta angkat.
"Kamu kan baru aja pulang, Haruka. Kamu pasti capek banget," ucap Ananta, merasa tak enak.
"Udah, nggak apa-apa. Aku malah kasihan kalau lihat kamu yang lagi hamil besar begini harus angkat-angkat," sahut Haruka.
Ananta pun menghela napas panjang sembari mengelus perutnya.
"Udah, kamu duduk aja. Biar aku yang taruh ini di belakang," ujar Haruka cepat.
Ananta pun duduk di sofa ruang tengah dan menyalakan televisi. Ia mencari drama favoritnya.
"Astaga, Nan. Kamu masih suka nonton drama itu? Apa nggak bosan?" celetuk Haruka yang telah kembali ke ruang tengah.
"Ya nggak ada acara menarik lainnya sih. Adanya reality show, malah tambah bosen aku," sahut Ananta sambil menyandarkan kepala pada sofa.
Haruka menyodorkan susu kotak, "Nih, minum. Biar kamu makin sehat. Bentar lagi kamu lahiran loh, harus lebih diperhatiin lagi gizinya."
Ananta mengulas senyum, "Terima kasih, Haruka."
Ia lalu meminum susu kotak itu sampai tandas.
Ananta yang kehamilannya memasuki usia ke-9 bulan pun mengambil cuti dan sekarang ini hanya Haruka yang masih bekerja.
Meskipun begitu, Ananta tetap tak mau merepotkan Haruka dan hidup dari hasil kerjanya serta tabungan yang ia miliki.
Walaupun terkadang ia merindukan keluarganya tapi ia tak pernah menyesali keputusannya pergi dari rumah keluarga besarnya.
Andai kata dia tetap bertahan dan keluarganya mengetahui bila dirinya hamil di luar nikah, maka sudah dipastikan dia juga akan tetap diusir dari rumah.
"Aku ganti ya Nan. Lihat infotainment aja deh," ujar Haruka.
"Wah, ada berita pertunangan anak orang kaya tuh," ucap Haruka lagi, membuat Ananta tertarik.
Suara host itu terdengar jelas, "Pertunangan yang cukup menggemparkan baru saja terjadi. Alan Samudera, pengusaha muda yang sedang naik daun akhirnya resmi melamar sang kekasih, Vina Wiriyo. Lamaran super romantis itu digelar di kota Paris yang dijuluki the City of Love ...."
Mulut Ananta terbuka lebar seketika.
"Mereka bertunangan? Bagaimana bisa?"
"Sama-sama anak orang kaya, Nan. Ya bisa aja. Aish, mereka serasi banget yah. Bikin iri kaum misqueen kaya kita aja," Haruka berseloroh.
"Bagaimana mungkin? Vina dan Alan?" ujar Ananta masih sulit mempercayainya.
Saat ia berpikir keras, tiba-tiba saja ia merasakan nyeri di perutnya. "Auh. Aduh ...."
Haruka menoleh kaget, "Kenapa, Nan? Perut kamu sakit?"
Ananta mengangguk pelan, "Tolong, anterin aku ke rumah sakit, Ka!"
"A-aku mau lahiran kayanya," ujar Ananta dengan napas putus-putus.
"I-iya Nan. Aku ambil barang-barang kamu dulu ya."
Persalinan pun berjalan dengan lancar. Ananta melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Sean.
Saat pertama melihat bayi itu, Haruka langsung berkata, "Bayi kamu bule banget. Apa ayahnya orang asing?"
Lima tahun kemudian, "Sean, baik-baik ya di sini! Nanti Tante Haruka yang jemput Sean," ucap Ananta sambil berjongkok, menatap sang putra. "Okay, Ma. Sean kan memang anak baik," sahut bocah berusia lima tahun itu. Ananta memeluk putranya lalu mencium pipinya sebelum menyerahkan Sean pada petugas day care. Setelah memastikan Sean sudah berbaur dengan teman-temannya yang juga merupakan anak-anak yang dititipkan di tempat itu, Ananta segera mengambil motornya dan mengemudikannya menuju ke tempat kerja. Sesungguhnya, Ananta sudah mampu membeli sebuah mobil, tapi prioritasnya saat ini adalah memberikan rumah yang lebih nyaman untuk sang putra, sehingga dia menabung uang hasil kerjanya untuk itu. The Himalaya Resort. Sebuah resort yang menjadi tempat bekerja Ananta sejak tiga tahun lalu. Tempat itu berhektar-hektar luasnya dan menjadi salah satu yang paling terkenal di kota itu. Tamunya pun tidak hanya berasal dari dalam negeri, tapi juga luar negeri. Tidak heran, dulu Ananta m
Tergagap, Ananta membiarkan pria asing itu mengambil buket bunga itu tapi dia sendiri masih terbengong-bengong. Tidak, Ananta. Dia tidak mungkin ingat kepadamu. Itu sudah bertahun-tahun berlalu. Laki-laki di depanmu ini seorang Don Juan. Mana mungkin dia ingat akan salah satu mangsanya? Kau hanya terlalu banyak berpikir, Ananta. Wanita itu menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan dirinya bila pria asing itu benar-benar sudah melupakannya. Mikael berdeham agak keras hingga Ananta tersadar dan segera berkata, "Sir, mari ikut kami!" Mikael tidak membalas dan hanya menatap Ananta dengan datar, tapi anehnya Ananta tahu pria itu sedang menunggu dirinya untuk menunjukkan jalan. Dengan hati yang sedang bercampur aduk, Ananta berjalan di depan Mikael, diikuti oleh rombongan. Mereka diarahkan ke sebuah ruangan yang telah dipersiapkan sebelumnya. "Silakan menikmati penyambutan kami, Sir, Maam." Ananta berujar dengan sopan, mencoba menenangkan diri meskipun gagal. Namun, melihat sika
Melihat tatapan sepasang mata sebiru lautan milik anak kecil itu, Mikael merasakan sesuatu yang aneh tengah menyergapnya. Suatu perasaan asing yang tak dikenalnya. Rasa iba dan tak tega. Tiba-tiba saja hanya dengan sebuah tatapan itu, Mikael mendadak menjadi luluh seketika, "Baiklah, baiklah. Paman akan menyelamatkannya untukmu." Si anak kecil itu langsung tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Bergegas Mikael memanjat pohon itu dengan begitu mudahnya, lalu membebaskan anak kucing yang terjerat tali itu dan membawanya turun ke bawah. Dia menyerahkannya pada anak itu. Anak kecil itu berteriak dengan gembira saat si binatang berbulu itu telah berada di dalam dekapannya. Matanya terlihat berbinar-binar. Tanpa sadar Mikael tersenyum. Mikael memperhatikan dia mengelus-elus kucing itu dengan penuh kelembutan sampai-sampai Mikael rasanya tak bisa melepaskan pandangannya dari anak kecil itu. "Kucing imut, kamu udah aman. Bermainlah dengan riang ya!" Anak kecil
"Oh, iya, baik. Mohon ditunggu. Saya akan segera ke sana, Sir," ucap Ananta. Begitu Ananta menutup panggilan itu, beberapa staf terlihat menunggu reaksi Ananta. Tapi, Handi yang jelas tidak memiliki kesabaran yang setebal kamus bahasa Indonesia itu pun bertanya, "Gimana, Bu? Siapa yang dari Cleveland memanggil, Bu?" Panggilan yang ditujukan pada nomor saluran Ananta adalah panggilan yang jelas hanya berasal dari gedung Cleveland. Sementara yang lain biasanya akan bertujuan ke saluran lain. "Kamar nomor 2." Handi melebarkan mata, "Si pria bule ganteng itu?" Ananta mendengus, "Semua pria di kamar Cleveland itu bule dan ganteng." Ananta tidak menampik fakta itu. "Ah, Bu Nanta. Maksud saya si pria pirang yang Ibu beri buket bunga tadi itu lho. Si kaya," jelas Handi. Ananta mengeryit heran, "Si kaya? Julukan apa lagi itu?" Staf lain berkomentar, "Bu Nanta gimana sih? Masa Ibu nggak tahu? Itu, Bu. Pak Mikael Alexander yang menyewa Cleveland kan memang kaya banget, Bu. Tadi, kami su
Ananta menatap ke arah sahabatnya itu dengan tatapan bingung, "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Haruka buru-buru meletakkan cokelat panasnya di atas meja dan berkata, "Bentar, Nan. Kamu ... yakin itu dia? Si bule itu?" Haruka bahkan terlihat lebih gugup daripada Ananta. "Ya. Itu benar-benar dia. Memang dia, Haruka." Ananta menghela napas panjang. Bayangan laki-laki itu secara tiba-tiba terlihat di depannya dan di sampingnya ada seorang anak kecil, yakni putranya sendiri sebagai perbandingan. Mendadak, Ananta langsung menelan ludah dengan gugup, "Rambut pirang, mata biru. Dia sangat mirip dengan Sean. Oh, tidak. Maksudku Sean sangat mirip dengannya." "Ya Tuhan. Mereka sangat-sangat mirip, Haruka." Ananta sudah terlihat begitu lemas kala menjelaskan hal itu. Dia kini sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. "Nan, ingat-ingat lagi deh. Mungkin kamu salah orang, Nan." Ananta menggeleng, tentu tidak mungkin salah mengenalinya. Untuk soal fisik memang Sean dan Mikael memang mirip
"Jangan ngaco! Mana ada orang yang suka sama seseorang hanya karena bertemu satu kali? Bahkan, kami tidak mengobrol apapun, Haruka," bantah Ananta. Haruka menyeringai, "Nggak mengobrol? Yakin?" "Iyalah, aku mabuk. Gimana bisa ngobrol?" balas Ananta, masuk akal. "Gimana pas di ranjang? Masa kamu atau dia nggak mengeluarkan suara?" tanya Haruka. Ananta menaikkan sebelah alis, "Apa maksudmu?" Haruka berkata sambil menahan senyum, "Oh, Baby. Ini sangat luar biasa." Gadis itu bahkan juga membuat suara desahan yang membuat daun telinga Ananta seketika berubah menjadi merah muda. "Iya, iya di sana. Aku menyukaimu, aku-" Haruka tak sempat melanjutkan perkataannya lantaran Ananta telah melemparinya dengan sebuah bantal. Gadis itu malah cengengesan. "Hih, kamu tuh. Kebanyakan nonton blue film ya, sampai omonganmu jadi ngawur!" ucap Ananta sedikit kesal. Bukannya mengoreksi ucapannya, Haruka malah berujar lagi, "Serius, Nan. Aku yakin kalian berdua pasti mengatakan hal-hal yangs semacam
Sean, si bocah lima tahun itu langsung mendongak ke arah Mikael, "Paman."Dengan senyum yang masih tersungging di bibir, Mikael pun berjalan mendekat dan melihat bocah itu terlihat sedang memegang beberapa lembar kertas. Sean duduk bersila di tanah yang penuh dengan rumput hijau yang terawat dan bersih. "Kamu sedang main apa?" Mikael bertanya dengan nada penuh dengan rasa ingin tahu. "Mau buat pesawat terbang, Paman."Mikael tertarik, "Pesawat terbang? Kamu bisa?""Bisa.""Oh ya? Boleh Paman melihatnya?" Mikael pun semakin antusias.Sean mengangguk pelan tapi anak kecil itu mengernyitkan dahi, seakan agak ragu.Laki-laki itu pun ikut duduk di tanah, tepat di hadapan bocah itu. Dia menatap sang bocah yang sudah mulai melipat-lipat kertas itu. Perhatiannya tak pernah teralih dari tangan mungil itu. Semakin diamati, bagi Mikael Sean sangatlah lucu. Dan ini pertama kalinya, dia berpikir bila seorang anak kecil itu lucu.Namun, setelah Mikael menunggu selama beberapa menit lamanya, a
Ananta berusaha mengendalikan diri dan berkata, "Selamat datang di the Himalayan Resort, Bu Alma."Alma menatap cucunya dengan rasa terkejut saat mendengar Ananta berkata dengan formal. Tapi itu semua dilakukan oleh Ananta lantaran perkataan neneknya sendiri yang telah mengeluarkannya dari data keluarga Wiriyo sehingga sudah sepantasnya dia memanggil sang nenek seperti itu.Terlebih lagi, saat ini Alma Wiriyo merupakan tamu mereka sehingga sudah sepantasnya Ananta melakukan hal itu.Vina terlihat menatap dengan tatapan penuh tanya pada sang kakak, sementara Alan tiba-tiba diam membisu."Nanta," panggil Belinda."Kamu bekerja di sini?" Johan bertanya.Ananta mengangguk, "Iya. Tadi saya dengar ada komplain untuk masalah area Cleveland. Mohon maaf, area itu sudah ditempati dan selama satu minggu ke depan tidak bisa ditempati, baru available minggu depan."Alma tersenyum sinis, "Oh, kamu bekerja di sini rupanya.""Iya, benar."Vina yang tidak suka dengan situasi itu pun berujar dengan nad