Setibanya di kantor, Akash langsung meminta kepada sekretarisnya obat sakit kepala yang biasa ia konsumsi. Rasa pusing yang tak kunjung reda sejak pagi membuatnya sedikit limbung.
"Ini obatnya, Pak," ujar Laudia sambil menyerahkan satu strip obat kepada atasannya. Sebagai sekretaris pribadi CEO, Laudia sudah sangat mengenal preferensi Akash, termasuk dalam urusan obat-obatan. Obat apa yang cocok dan biasa sang atasan konsumsi, dia pasti hapal.
"Terima kasih, Laudia," balas Akash singkat. Ia segera menelan obat tersebut dengan bantuan segelas air putih yang tersedia di meja kerjanya.
"Apa saja agenda saya hari ini?" tanyanya setelah itu, menatap Laudia yang masih berdiri menunggu instruksi lanjutan.
"Ada rapat dewan pemegang saham pukul tiga sore, Pak," jawab Laudia dengan nada formal dan rapi.
"Itu saja?"
"Iya, hanya itu jadwal utama hari ini."
Karena tidak ada pertemuan dengan klien di luar kantor, Akash memutuskan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaannya dari dalam ruangannya. Banyak berkas yang harus diperiksa dan ditandatangani sebelum rapat sore nanti.
Dengan ketelitian tinggi, ia memeriksa setiap dokumen satu per satu. Meskipun dokumen-dokumen tersebut telah disiapkan oleh tim profesional, sebagai CEO, Akash selalu memastikan setiap keputusan strategis yang ia tandatangani benar-benar bersih dari kesalahan atau celah yang bisa dimanfaatkan untuk tindakan manipulatif.
Tepat pukul 15.00, rapat pemegang saham dimulai. Akash memimpin rapat tersebut sebagai CEO dan pemegang kendali eksekutif perusahaan.
Rapat Pemegang Saham merupakan agenda tahunan yang penting bagi keberlangsungan dan pertumbuhan perusahaan. Forum ini menjadi wadah bagi seluruh pemegang saham untuk menyampaikan pendapat, memberikan masukan, serta mengevaluasi kinerja perusahaan berdasarkan laporan tahunan yang telah dibagikan sebelumnya. Pendapat yang disampaikan akan didengar secara formal oleh seluruh dewan, termasuk direksi dan komisaris. Apabila disetujui dalam forum ini, maka masukan tersebut akan menjadi keputusan strategis yang mengikat ke depannya.
Sebagai CEO sekaligus putra dari pemegang saham mayoritas, Akash memegang peranan penting dalam keberlangsungan forum ini. Itulah sebabnya sang ayah, Fauzan, sempat meluapkan amarah di pagi hari ketika tidak mendapati kehadiran putranya di kantor. Rapat ini bukan sekadar formalitas—keputusan yang diambil di sini akan memengaruhi arah masa depan perusahaan. Perusahaan yang dia sudah rintis dari nol hingga maju menjadi perusahaan raksasa seperti sekarang ini.
Karena banyak agenda yang harus dibahas, rapat berlangsung cukup lama. Namun Akash berhasil mengelola jalannya diskusi dengan tenang dan tegas. Tidak satu pun terlewat.
Usai rapat, Akash mengajak seluruh peserta untuk makan malam bersama di sebuah restoran fine dining yang telah ia reservasi sebelumnya. Jamuan ini merupakan tradisi tahunan untuk mempererat hubungan antar pemegang saham, sekaligus membahas ulang hasil rapat dalam suasana yang lebih santai namun tetap profesional.
Selama makan malam berlangsung, Fauzan beberapa kali menatap putra angkatnya dengan bangga. Meski sempat meragukan kematangan Akash beberapa tahun lalu, kini ia mulai percaya bahwa pria muda itu memang layak berada di pucuk kepemimpinan. Fauzan berhasil membentuk karakter Akash seperti yang dia harapkan.
***
Beberapa Hari Kemudian
Karena kesibukannya yang luar biasa, Akash perlahan mulai melupakan sosok wanita saleha yang sempat menarik perhatiannya beberapa waktu lalu. Fokusnya kini sepenuhnya tercurah pada berbagai proyek besar yang terus berdatangan. Bahkan, untuk sekadar memikirkan perempuan itu pun ia tak lagi punya waktu.
Tok! Tok! Tok!
Tiga ketukan pelan terdengar di pintu ruang kerja Akash sebelum seorang wanita muda masuk dengan langkah teratur.
"Permisi, Pak. Saya ingin menyampaikan bahwa tadi sekretaris dari Pak Ahmed menghubungi dan meminta waktu Bapak untuk bertemu langsung dengan beliau," ucap Laudia sopan.
Akash mengangkat alis. "Ahmed Bakhtiar Abinaya? Pengusaha dermawan yang sempat masuk daftar tokoh inspiratif majalah Forbes Asia itu?"
"Iya, benar, Pak," jawab Laudia sambil menyerahkan catatan kecil dari telepon yang ia terima.
"Untuk urusan apa dia ingin bertemu?"
"Berdasarkan informasi dari sekretarisnya, Pak Ahmed berencana membangun sebuah pesantren modern, dan beliau tertarik untuk menggunakan jasa perusahaan kita dalam pembangunan proyek tersebut. Namun, beliau bersikeras ingin bertemu langsung dengan Bapak," jelas Laudia dengan rapi dan profesional.
Akash menarik napas panjang. Sebenarnya, pertemuan semacam ini bisa saja ia delegasikan kepada Manajer Pemasaran. Tapi mengingat nama besar Ahmed Bakhtiar Abinaya yang tak hanya dikenal di dunia bisnis, tetapi juga dunia filantropi dan politik, Akash tahu pertemuan itu terlalu penting untuk ia lewatkan.
"Baiklah, buat janji dengan beliau besok saat makan siang. Tempatnya tanyakan pada beliau. Dan kamu ikut saya, biar Rashid yang tangani kantor besok," ucap Akash.
"Baik, Pak. Akan saya atur secepatnya," sahut Laudia sebelum meninggalkan ruangan dengan langkah efisien.
Setelah keluar dari ruang kerja atasannya, Laudia langsung menghubungi sekretaris Bapak Ahmed untuk mengatur pertemuan antara atasan mereka. Jam pertemuan sudah ditentukan oleh Akash, yakni saat makan siang, sementara lokasi diserahkan kepada pihak Ahmed. Sekretaris Bapak Ahmed memberi tahu bahwa pertemuan akan diadakan di sebuah restoran Turki yang terletak di kawasan segitiga emas pusat kota.
"Oke, Mbak Uti. Noted, ya—besok pukul 12.00 di restoran Turki. Terima kasih, Mbak. Selamat sore," ucap Laudia melalui telepon.
"Sama-sama, Mbak Laudia. Sampai jumpa besok," balas Uti, sekretaris Ahmed Bakhtiar Abinaya, dengan ramah.
Karena atasan mereka akan bekerja sama, maka otomatis keduanya juga harus menjalin kerja sama. Oleh sebab itu, kekompakan antara Laudia dan Uti menjadi penting.
***
Berbeda dari biasanya, hari ini Akash pulang lebih awal dari kantornya. Entah mengapa, tubuhnya terasa tidak enak, seolah seluruh tenaganya terkuras habis.
Sesampainya di rumah, ia langsung merebahkan diri di atas ranjang tanpa sempat melepas jas, dasi, maupun sepatunya. Dalam hitungan menit, pria itu sudah tertidur pulas, bahkan hingga melewatkan waktu makan malam.
Di ruang makan, Anya mulai merasa heran. Sudah hampir pukul delapan malam, tetapi putranya belum juga muncul. Hal itu tidak seperti biasanya. Setelah selesai makan, wanita paruh baya itu memutuskan untuk memeriksa kamar Akash. Ia mengetuk pintu beberapa kali.
Tok! Tok! Tok!
Namun, tak ada jawaban dari dalam. Merasa khawatir, Anya pun memutar kenop pintu dan ternyata tidak dikunci. Perlahan ia membuka pintu dan mendapati putranya sedang tertidur nyenyak di atas tempat tidur, masih lengkap dengan pakaian kerjanya.
“Ck! Segitu lelahnya sampai tertidur begitu saja,” gumam Anya dengan prihatin.
Hatinya mencelos melihat keadaan Akash. Meski bukan anak kandung, perasaan seorang ibu tetap bicara. Ia tahu betul beban pekerjaan putranya berat, namun melihatnya sampai seperti ini tetap saja menyesakkan dada.
Tanpa membangunkannya, Anya kemudian keluar dari kamar dan menutup kembali pintu dengan hati-hati.
Selamat membaca.
Niatnya hanya memejamkan mata sebentar untuk mengistirahatkan pandangan—namun lima menit menjadi sepuluh, lalu berlanjut hingga Akash benar-benar tertidur dalam posisi setengah duduk. Napasnya pelan dan teratur. Di layar laptop, email masih terbuka, dan kacamata nyaris tergelincir dari hidungnya.Tak lama kemudian, Innara keluar dari kamarnya. Penampilannya rapi, formal, dan seperti biasa: elegan tanpa perlu berlebihan. Ia tampak sibuk mengecek isi tasnya satu per satu, memastikan tak ada dokumen atau barang yang tertinggal. Di tengah kegiatannya, ia berpapasan dengan salah satu asisten rumah tangga yang sedang membersihkan ruang makan.“Mbok, nanti kalau Papa nanyain, bilang saya ke kantor, ya,” pesan Innara pelan.“Iya, Non,” jawab si Mbok sambil mengangguk sopan dan melanjutkan pekerjaannya.Sambil mengenakan tas di bahunya, Innara berjalan ke ruang tengah. Ia bermaksud pamit pada Akash.“Mas, kamu sudah selesai belum?” panggilnya sembari melongok ke arah sofa.Tak ada jawaban.“Ma
Alih-alih menjawab, Akash justru mengusap wajahnya dengan kasar. “Heh? Kenapa?” tanyanya balik, seolah baru tersadar.Innara mengerutkan kening. “Mas dengerin aku enggak sih?”“Maaf, tadi aku lagi fokus nyetir,” kelit Akash cepat, sambil menunjuk jalan di depannya. Suaranya agak tergesa.Innara hanya mendecak pelan. Ia kehilangan mood untuk melanjutkan percakapan. Rasa cemas dan kecewa yang menumpuk sejak di kantor polisi tadi, sekarang bercampur dengan kelelahan fisik dan emosional. Ia pun menyandarkan kepala ke jendela, membiarkan suasana hening mengisi ruang di antara mereka.Tak lama kemudian, napasnya mulai teratur. Akash melirik sekilas dan tersenyum kecil.“Ya Allah... tidur aja cantik,” gumamnya.Melihat wajah Innara yang damai dalam tidur membuat perasaan Akash bergejolak. Ia tahu, gadis itu sedang terluka. Semua yang terjadi malam ini bukan hanya mengoyak hati Akash, tapi juga menghancurkan harapan dan kepercayaan Innara pada orang yang dia anggap akan jadi imamnya.Akash ke
Ada perasaan aneh yang tumbuh dalam dadanya. Haru. Bangga. Sekaligus getir.Usai salat berjamaah, barulah mereka semua berkumpul kembali di meja makan untuk menikmati hidangan berat. Perut yang sejak pagi menahan lapar akhirnya bisa diisi kembali. Berbagai masakan hangat terhidang dengan rapi: sup bening ayam, sambal goreng ati, tumis buncis, dan sepiring besar nasi putih yang mengepul lembut.Innara telah menata semuanya dengan apik. Meski ia tak berpuasa, ia tetap duduk menemani sang ayah dan Akash dalam momen buka puasa ini. Senyumnya hangat, walau sedikit tertahan.Ahmed duduk di ujung meja, Akash di sisi kanannya, dan Innara di seberang.Mereka makan dalam diam yang damai. Suara sendok beradu dengan piring dan desiran angin malam menjadi latar musik alami. Sampai akhirnya, Ahmed angkat bicara, memecah kesunyian.“Setelah ini ... lebih baik kalian langsung ke kantor polisi,” ucapnya mantap, di sela menghabiskan suapan terakhirnya.Akash menghentikan gerak sendoknya. Matanya menata
“Tidak baik memendam marah terlalu lama, bukan?” ucap Ahmed membuka percakapan, seolah membaca isi pikiran Akash. “Apalagi di bulan Ramadhan begini.”Akash mengangguk pelan, sedikit tersenyum. “Saya sepakat, Pak.”Lalu setelah keheningan singkat, Akash mulai bertanya hati-hati, “Saya dengar dari Innara ... Anda berencana bekerja sama dengan kontraktor Wildan?”Ahmed terkekeh pelan, lalu menyandarkan punggungnya santai ke sofa. “Tadinya memang begitu niat saya. Tapi Innara menolak mentah-mentah. Gadis itu ... kalau sudah punya prinsip, sulit digoyahkan. Ada saja caranya membujuk saya agar berubah pikiran.”Matanya melirik ke arah dapur, di mana sang putri terlihat sibuk bersama dua asisten rumah tangga mempersiapkan hidangan buka. Rona kebanggaan terlihat jelas di wajahnya.Akash tersenyum melihat ekspresi itu.Ahmed kembali menoleh pada Akash. “Dan saya pikir, rasanya memang tak adil untuk Anda, Pak Akash,” lanjutnya.Akash mengangkat alis sedikit. Ahmed melanjutkan.“Karena emosi, sa
Di sisi lain, Innara berlari menghampiri korban yang tergeletak diam. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil.Dengan hati-hati, dia membalikkan tubuh pria itu."Mas Atthallah!" pekiknya, nyaris histeris.Akash yang tengah bergulat dengan salah satu pelaku langsung menoleh. Tatapannya membelalak melihat wajah Atthallah yang nyaris tak dikenali—penuh luka dan darah, pelipis robek, bibir pecah, dan matanya nyaris membengkak.Tanpa buang waktu, Akash menghampiri mereka."Masuk ke mobil. Sekarang!" ucapnya tegas.Innara dengan cekatan menopang kepala Atthallah ke pangkuannya. Tubuh tunangannya sudah lemas tak bergerak."Mas, cepat!" ucap Innara panik, napasnya memburu. "Mas Atthallah pingsan ... aku takut dia—"Suaranya tercekat. Ia tidak sanggup melanjutkan kalimat itu. Takut apa yang ia ucapkan justru menjadi nyata. Bagaimanapun juga, Atthallah adalah tunangannya. Bagaimana ia akan menjelaskan ini pada keluarganya jika sesuatu yang buruk terjadi?"Aku sedang usahakan," jawab Akash sambil mel
Begitu mobil Akash berhenti di depan gedung, Innara langsung membuka pintu dan masuk. Mobil melaju perlahan meninggalkan kawasan kantor, sementara keheningan mendominasi beberapa menit pertama perjalanan mereka.“Puasa, Mas?” tanya Innara akhirnya, memecah kesunyian dengan suara lembut.Akash meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. “Yup. Hari pertama,” jawabnya. “Maksudku … benar-benar pertama kali aku jalani ibadah ini.”Innara mengerjap pelan, terkejut. “Serius?”Akash mengangguk pelan. “Dulu waktu kecil pernah ... tapi waktu itu cuma ikut-ikutan. Sekarang ... aku benar-benar niat.”Mendengar itu, Innara tersenyum kecil. Ada sesuatu yang berbeda dari pria ini. Mungkin, pelan-pelan ... Akash sedang berubah.“Kamu?” tanya Akash balik, kini dengan suara lebih pelan, lebih hati-hati.Innara menghela napas pendek. “Belum bersih.”“Oh ....” Akash mengangguk mengerti, lalu spontan bertanya, “Biasanya berapa lama?”“Sekitar seminggu. Mungkin lusa aku mulai puasa.”Mendadak Akash me