Keesokan paginya, Akash terbangun saat sinar matahari menembus sela-sela tirai dan langsung menyilaukan matanya. Ia terkejut saat menyadari dirinya masih mengenakan pakaian lengkap, menandakan bahwa ia tertidur sejak pulang kerja sore kemarin.
Dengan tubuh masih sedikit pegal, Akash segera bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi. Di sana, ia menyalakan keran dan mulai mengisi bathtub dengan air hangat. Begitu hampir penuh, ia masuk dan membiarkan tubuhnya terendam, menikmati sensasi rileks yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
Setelah merasa cukup, ia menyelesaikan ritual mandinya, lalu keluar dengan tubuh terbalut baju handuk yang telah disediakan. Rambutnya masih sedikit basah saat ia mulai memilih pakaian kerja: dari pakaian dalam, kemeja, dasi, kaus kaki, hingga sapu tangan—semuanya ia siapkan sendiri.
Di momen seperti ini, ia sempat membatin, “Seandainya aku punya istri, mungkin semua ini sudah tertata rapi tanpa harus ku urus sendiri.”
Sesaat kemudian, bayangan gadis berkerudung yang pernah dilihatnya kembali terlintas di benaknya. Ia menggelengkan kepala beberapa kali, mencoba mengusir lamunan itu, lalu tersenyum kecil.
“Kayaknya gue udah gila, wajah gadis itu gak mau pergi dari otak gue,” gumamnya sambil mengenakan jam tangan di pergelangan.
Setelah rapi, Akash segera menuju ruang makan untuk sarapan. Di sana, ia melihat sang mama, Anya, sedang merapikan sisa makanannya sebelum menyerahkannya kepada pelayan.
“Morning, Ma,” sapa Akash sambil menarik kursi.
“Morning, Sayang,” balas Anya dengan senyum hangat.
Akash tak menanyakan keberadaan ayahnya. Ia tahu betul, pada jam segini, Fauzan pasti sudah berangkat ke kantor.
“Mama gak kerja hari ini?” tanyanya heran, melihat sang ibu masih mengenakan pakaian santai.
“Mama lagi kurang enak badan, jadi hari ini mama memutuskan untuk istirahat di rumah,” jawab Anya sambil mengoleskan selai cokelat ke selembar roti, lalu menyodorkannya pada Akash.
“Mama sakit? Yuk, kita ke dokter,” ujar Akash khawatir.
“Enggak perlu, Sayang. Mama sudah minum obat. Kalau istirahat cukup, pasti nanti juga membaik.”
“Yakin, Ma?” tanyanya sekali lagi, memastikan.
“Iya, Sayang. Terima kasih sudah mengkhawatirkan Mama,” jawab Anya sambil tersenyum lembut.
Setelah menghabiskan sarapannya, Akash berpamitan pada Anya. Hari ini, ia akan ke kantor lebih awal, sebelum siangnya dijadwalkan bertemu dengan klien barunya.
***
Setibanya di kantor, Akash meminta Laudia membacakan jadwalnya hari itu.
"Hari ini, jadwal Anda ada tiga pertemuan dengan klien setelah makan siang bersama Pak Ahmed di restoran Turki," ucap Laudia.
"Oke, terima kasih, Laudia. Sekarang kamu bisa kembali ke meja kerja. Tapi jangan lupa kopi saya, dan bawa semua berkas yang harus saya tanda tangani agar semuanya cepat beres," balas Akash.
"Baik, Pak."
Laudia langsung keluar dari ruang kerja Akash dan meminta salah satu office boy membuatkan kopi untuk bosnya seperti biasa. Karena sudah bekerja cukup lama sebagai sekretaris Akash, Laudia sudah sangat terbiasa dengan pekerjaannya. Tidak butuh waktu lama, dia mengumpulkan semua berkas yang membutuhkan tanda tangan Akash, kemudian membawanya ke dalam dan meletakkannya di pinggir meja kerja sang bos.
Karena Akash sedang menerima telepon, Laudia tidak banyak bicara. Akash hanya memberikan tanda oke dengan ibu jarinya, kemudian Laudia keluar dari ruangan.
"Maaf, Bro. Hari ini jadwal saya sangat padat, mungkin lain waktu," ucap Akash di ponselnya.
" … "
"Nanti saya kabari lagi. Bye."
Setelah selesai menerima telepon, Akash langsung mengerjakan pekerjaannya. Meski tampak mudah, hanya memeriksa lalu menandatangani berkas, Akash tahu jika tidak teliti, tanda tangannya bisa berakibat fatal bagi kelangsungan perusahaan.
Waktu terus berjalan hingga tibalah saatnya Akash bertemu dengan pengusaha dermawan tersebut. Pada pukul 11.00, Laudia mengingatkan Akash agar mereka segera berangkat, mengingat janji makan siang dan pembahasan bisnis sudah menunggu.
"Saya pergi dulu, kamu jaga kantor," ucap Akash tegas kepada Rashid, asisten pribadinya di kantor.
"Siap, Pak," jawab Rashid singkat, sudah terbiasa memback-up Akash saat bosnya sangat sibuk.
Akash dan Laudia kemudian berangkat menuju restoran Turki dengan mobil dan sopir pribadi Akash.
***
Setibanya di restoran bernuansa Timur Tengah itu, mobil berhenti tepat di depan pintu lobi. Sebagai sopir, Pak Rusdi tidak hanya menyetir, tetapi juga bertugas membukakan pintu mobil untuk majikannya. Akash dan Laudia keluar setelah pintu terbuka.
Pria paruh baya itu menundukkan kepala hormat kepada Akash. Meski usia mereka terpaut jauh, status Akash sebagai majikannya memberinya pekerjaan dan penghasilan yang cukup untuk menghidupi serta menyekolahkan anak-anak Pak Rusdi hingga jenjang perguruan tinggi.
"Terima kasih, Pak," ucap Laudia setelah keluar dari mobil, sementara Akash langsung melangkah masuk ke dalam restoran.
Rusdi tersenyum tipis membalas ucapan Laudia. Baginya, sikap Akash yang cenderung dingin sudah biasa, dan hanya Laudia yang selalu mengucapkan terima kasih atau sesekali berbincang selama perjalanan.
Setelah memastikan tidak ada yang dibutuhkan oleh Akash dan Laudia, Rusdi kembali melajukan mobilnya mencari lahan parkir yang kosong. Meski sedikit kesulitan, mengingat restoran itu sangat ramai pada jam makan siang, akhirnya ia berhasil menemukan tempat parkir.
Sementara itu, di dalam restoran, Akash sudah duduk di kursi yang telah dipesan Laudia sebelum mereka berangkat.
Seorang pelayan mendatangi meja dan menyerahkan buku menu. Laudia tersenyum saat menerima buku menu tersebut dari tangan pelayan.
"Pak Akash, Anda mau pesan makanan atau minuman dulu?" tanya Laudia sambil mengulurkan buku menu ke atasannya yang tengah fokus pada ponselnya. Namun, karena Akash tampak tidak memperhatikannya, Laudia urung memberikan buku menu itu.
Sebenarnya Laudia sudah hafal betul dengan makanan dan minuman favorit Akash. Namun, karena restoran ini baru dan mayoritas menunya makanan Timur Tengah, Laudia kira Akash ingin memilih sendiri. Ternyata, pria dengan karakter dingin seperti kulkas itu mengabaikan tawarannya.
"Saya pesan minum dulu saja, ya. Karena kami sedang menunggu seseorang," ujar Akash.
Laudia mengembalikan buku menu itu ke pelayan. Karena hanya memesan dua gelas minuman, pelayan tidak perlu mencatat pesanan tersebut.
Tidak butuh waktu lama, sang pelayan kembali menghampiri meja Akash dan Laudia dengan membawa sebuah nampan yang isinya satu cangkir kopi panas untuk Akash dan satu gelas jus jeruk untuk Laudia.
Laudia tersenyum manis saat menerima segelas jus jeruk kesukaannya, "Makasih, Mbak," ucap Laudia setelah dia menerima minumannya dan pelayan itu meletakkan secangkir kopi panas di depan Akash. Sang pelayan juga tersenyum manis dan matanya tidak berkedip memandang Akash. Laudia sudah biasa menghadapi para kaum hawa yang terpesona saat melihat Akash. Mereka selalu berpikir pria itu adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, pahatan masterpiece dari Tuhan. Hidup mereka akan sangat beruntung dan bahagia jika mendapatkan jodoh seperti dirinya.
Akash melirik tajam karena merasa sejak tadi diperhatikan oleh pelayan itu. Mendapat tatapan tajam dari tamunya, pelayan itu menjadi salah tingkah dan malu lalu pergi dari sana.
"Dia kenapa?" tanya Akash dengan menggedikkan dagunya pada pelayan yang sudah pergi jauh dari meja mereka.
"Biasa, terpesona," jawab Laudia singkat dan Akash menggedikkan kedua bahunya, tanda kalau dia tidak peduli karena dia merasa memang dirinya sempurna dan patut menjadi idaman para kaum hawa.
Akash menyeruput kopinya dan meletakkannya kembali di atas meja, "Mereka akan tiba jam berapa?" tanya Akash tanpa melihat lawan bicaranya.
"Mereka sedang dalam perjalanan, Pak. Mungkin sebentar lagi," jawab Laudia.
"Oh, itu mereka sudah tiba." Laudia langsung melambaikan tangannya pada Uti, sekretaris dari Ahmed.
Selamat membaca.
“Ganti baju dulu ya, Mas. Aku mandi sebentar,” bisik Innara dengan senyum malu-malu.Akash mengangguk. “Aku tunggu di sini. Tapi jangan terlalu lama. Aku sudah sangat menanti kamu …”***Innara keluar dari kamar mandi sekitar lima belas menit kemudian. Rambutnya kini terurai lembut, hanya disisir jari. Ia mengenakan lingerie tipis satin warna putih tulang, panjang hingga paha, dengan renda halus di bagian dada. Gaun tidur itu membentuk lekuk tubuhnya dengan indah, memperlihatkan kulit seputih susu dan bahu jenjangnya yang kini tanpa penutup.Akash menatap tanpa suara. Dada pria itu naik turun perlahan, mencoba mengatur napas yang mulai tak beraturan.“Ya Allah … kamu benar-benar bidadari,” gumamnya.“Aku nervous, Mas .…”Akash bangkit, berjalan mendekat, lalu mengusap lengan Innara dengan lembut.“Gak perlu nervous. Aku gak akan menyentuh kamu dengan kasar. Aku akan menyentuh kamu dengan cinta .…”Innara memejamkan mata sejenak saat jari Akash menyusuri garis rahangnya, turun ke leher,
Innara tersentak pelan saat tiba-tiba Akash menarik pinggangnya dan menepis jarak di antara mereka. Tubuh mereka kini nyaris tanpa sela.“Mas ... masih banyak orang di luar sana,” ucap Innara dengan nada lirih, wajahnya langsung merona. Ia mencoba mendorong dada Akash, tapi pelukan pria itu justru mengencang.“Ssst ... biarkan aku menatap istriku dulu. Sebentar saja,” balas Akash, matanya menatap lembut, namun dalam.Mata mereka saling bertaut. Tatapan yang mengunci napas dan menyulut debar jantung.“Selama seminggu ini ... apa saja yang kamu lakukan?” tanya Akash tiba-tiba, nadanya ambigu dan menggoda.Kening Innara mengernyit pelan. “Maksudnya?”Akash tersenyum miring. “Aku rasa, kamu nggak butuh waktu selama itu hanya untuk tampil secantik ini.”Innara terkekeh, lalu membalas dengan nada tak mau kalah, “Aku harus tampil cantik maksimal, Mas. Karena hari ini hari istimewa untukku.”“Benarkah?” Akash menggoda. “Seberapa istimewa?”“Sangat ... sangat istimewa. Karena hari ini aku menj
Tatapan Innara langsung tertuju pada ayahnya. Napasnya tercekat ketika menyadari betapa pucat wajah sang ayah. Panik kecil mulai merayap di hatinya."Ya Allah ... Pa, kita ke kamar, yuk," ucap Innara segera, dengan sigap memapah Ahmed dari sisi kanan sementara Akash menopang dari kiri.Langkah mereka perlahan namun pasti menuju kamar utama di lantai bawah. Para tamu yang masih tersisa di ruang tamu otomatis memperhatikan mereka dengan tatapan khawatir.“Ada apa ya?”“Pak Ahmed kenapa?”Beberapa bisik-bisik mulai terdengar. Namun Ayden, yang menyadari kepanikan mulai menyebar, langsung melangkah ke tengah ruangan dan menenangkan semua yang hadir."Tenang saja, semua. Pak Ahmed hanya kelelahan. Dari pagi belum sempat istirahat. Kita doakan saja beliau sehat selalu," ucap Ayden meyakinkan.Ucapan Ayden seolah menurunkan ketegangan. Para tamu pun mengangguk, dan beberapa dari mereka mulai berpamitan pulang dengan sopan.Di dalam kamar, Innara segera membantu ayahnya berbaring di tempat ti
"Siapa sih yang pertama kali bikin aturan itu?" tanya Akash dengan wajah masam saat mereka berdua sedang duduk santai di balkon lantai dua rumah Ahmed. Sinar matahari sore menyinari wajahnya, membuat raut kesalnya semakin terlihat jelas."Aturan apa?" tanya Innara sambil menyuapkan sesendok puding cokelat ke mulutnya. Matanya menyipit menahan silau, tapi wajahnya tetap kalem. Ia tidak langsung paham arah pertanyaan sang calon suami."Ya itu, peraturan pingitan!" sahut Akash sambil melipat tangan di dada. Ekspresi wajahnya seperti anak kecil yang tidak mendapatkan jatah mainan.Mendengar jawaban itu, Innara langsung terkikik geli. Ia sudah menduga cepat atau lambat Akash akan meluapkan unek-uneknya soal tradisi satu ini."Kan kamu sudah setuju kalau kita pakai adat dari Mama. Ya, pingitan ini bagian dari rangkaian adat pernikahan Jawa," jelas Innara, masih dengan senyum geli yang belum hilang dari wajahnya.Tradisi pingitan—sebuah kebiasaan dalam adat Jawa di mana calon pengantin wanit
Suara bedug dan takbir menggema sejak malam terakhir Ramadan hingga pagi menjelang. Anak-anak berlarian di gang kecil sambil membawa bedug kecil dan petasan mainan, sementara orang dewasa bersiap menuju masjid untuk melaksanakan salat Ied. Suasana penuh suka cita memenuhi udara, menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikan kebersamaan dan semangat kemenangan ini.Hari Raya Idul Fitri adalah momen kemenangan besar bagi seluruh umat Muslim. Setelah sebulan penuh menahan lapar, haus, amarah, dan berbagai bentuk hawa nafsu, tibalah saatnya untuk menyambut hari yang fitri. Hari yang bukan hanya tentang baju baru dan hidangan khas lebaran, tetapi juga tentang hati yang kembali bersih dan jernih, serta saling memaafkan dalam kehangatan keluarga.Pagi-pagi sekali, keluarga Akash sudah mendatangi rumah Ahmed untuk kembali bersama-sama melaksanakan salat Ied di masjid yang sama seperti malam sebelumnya. Semua tampil rapi dan menawan. Innara terpana melihat penampilan Akash yang mengenakan baju
Setelah dari makam, Akash mengantar Innara kembali ke rumah. Beruntung, jalanan ibu kota sedang sangat lengang. Aura Lebaran memang sudah terasa. Kebanyakan warga sudah mudik ke kampung halaman, membuat jalanan yang biasanya padat kini terasa lapang dan sunyi.Mobil Akash melaju mulus, dan mereka tiba di rumah tepat sebelum waktu berbuka.Sore itu, suasana rumah Ahmed terlihat lebih hidup. Beliau memang sengaja mengundang Anya dan Ayden—orang tua Akash—untuk berbuka puasa dan melaksanakan salat tarawih bersama. Sebagai hari terakhir di bulan suci, Ahmed ingin menciptakan kenangan yang hangat dan penuh kebersamaan.Akash sedikit terkejut saat melihat kedua orang tuanya sudah duduk santai di ruang tamu, tampak akrab berbincang dengan Ahmed sambil menunggu azan berkumandang.“Assalamualaikum,” sapa Akash sopan sambil membungkuk hormat.“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak, senyuman menghiasi wajah masing-masing.Innara turut memberi salam, lalu berpamitan sebentar untuk berganti pakai