Pagi itu, Akash terbangun dengan kepala berat seperti dihantam palu godam. Dia mengerang pelan, meremas rambutnya sendiri sambil memijat-mijat pelipis. Kepalanya pusing. Bagaimana tidak pusing kalau semalam dia menghabiskan beberapa gelas minuman beralkohol.
“Ah, sial ...,” gerutunya lirih sambil meremas rambutnya.
Matanya menyipit tajam menahan cahaya yang menembus jendela tanpa malu-malu. Ia meraih ponsel di atas nakas sebelah ranjang, menyalakannya, dan mendesah pelan saat melihat waktu.
08.17 AM.
Belum sempat otaknya mencerna lebih dalam, ponselnya tiba-tiba berdering keras. Layar menampilkan satu nama yang langsung membuat detak jantungnya melonjak.
Papa Fauzan calling...
Akash mengumpat dalam hati dan buru-buru menekan tombol hijau.
“Pagi, Pa,” ucapnya dengan suara serak dan setengah ngantuk.
“Di mana kamu?” suara berat Fauzan langsung menghujam tanpa basa-basi. “Kok belum di kantor? Hari ini rapat bulanan pemegang saham. Kamu harus hadir! Papa tunggu di ruang meeting.”
Klik.
Panggilan langsung terputus sebelum Akash sempat membalas. Tak ada salam, tak ada waktu untuk menjelaskan. Paham dengan tabiat sang ayah, pria itu pasti akan murka jika Akash tidak segera hadir di sana dalam waktu yang diinginkan.
Dengan kesal, Akash bangkit dari ranjang, melangkah lemas menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dalam balutan kemeja putih dan celana bahan gelap. Rambutnya masih sedikit basah, namun wajahnya sudah lebih segar meski tetap pucat akibat mabuk semalam.
Saat dia membuka pintu kamar, pemandangan yang menyambutnya di ruang tamu membuatnya nyaris kembali muntah.
Ruangannya berantakan. Kulit kacang berserakan di lantai. Botol minuman keras kosong tergeletak di meja, sebagian lagi terguling di bawah sofa. Asap rokok masih samar melayang di udara. Di tengah kekacauan itu, Wildan terlihat tidur pulas—memeluk seorang wanita tanpa busana yang hanya tertutup selimut tipis. Sangat tidak pantas untuk di lihat.
“WILDAN!!” teriak Akash sambil menghampiri mereka.
Tanpa ampun, dia menepuk kedua pipi Wildan dengan cepat dan cukup keras.
“Bangun, gila! Lo bikin rumah gue kayak kandang babi!”
Wildan mengerang, matanya membuka setengah. “Hah? Apa sih ... sakit tahu, Bro ....”
Wanita di sampingnya ikut tersentak bangun. Ia menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya, wajahnya panik dan malu saat sadar keberadaannya dipergoki oleh pemilik apartemen.
“Cepat lo beresin ini semua! Gue harus ke kantor, dan lo—” Akash menunjuk Wildan dengan wajah penuh amarah, “—lo beresin semua kekacauan ini sebelum gue balik sore nanti! Gue gak mau lihat setetes pun minuman atau cewek gak dikenal lagi nginep di sini!”
Wildan masih setengah sadar, tapi nada suara Akash cukup membuatnya terlonjak bangun, meski masih dengan selimut melilit tubuh.
Akash mengambil jas dan tas kerja, lalu berjalan cepat menuju dapur. Namun beberapa langkah, ia kembali menoleh dan mengeraskan suaranya sekali lagi.
"Bangun, dan beresin semuanya. Suruh dia pergi!" perintah Akash dingin, sambil menggedikkan dagunya ke arah wanita tak dikenal yang masih menunduk dengan selimut membungkus tubuhnya.
Suara Akash datar, tapi matanya tajam menusuk, membuat Wildan terdiam beberapa detik sebelum bangkit dengan malas. Wanita itu pun langsung berdiri, mengumpulkan pakaiannya dan bergegas ke kamar mandi tanpa sepatah kata pun.
Pagi itu, Akash benar-benar menyesali keputusannya membiarkan Wildan menumpang tinggal di apartemennya. Bukan karena persahabatan mereka telah berubah, tapi karena Wildan telah mencoreng tempat satu-satunya yang selama ini dijaganya bersih dari najis dunia.
Bukan berarti Akash merasa suci. Jauh dari itu. Dia tahu dirinya jauh dari kata alim. Tapi dia punya batas. Ada prinsip yang selama ini dia pegang: rumah adalah tempat bersih—ruang tenang untuk pulang. Segila apa pun hidupnya di luar sana, dia tidak akan pernah membawa najis itu masuk ke dalam dinding apartemen miliknya.
Untuknya, dosa ada tempatnya. Hotel, penginapan, tempat hiburan. Tapi bukan di sini. Bukan di apartemennya.
Dengan langkah tenang, Akash membuat kopi sendiri di dapur. Ia hanya sarapan dengan secangkir kopi hitam panas dan sepotong roti tawar, sembari memperhatikan Wildan dan perempuan itu sibuk merapikan ruang tamu. Ia menyesap kopinya perlahan, mata tetap mengawasi seisi ruangan tanpa ekspresi.
Setelah beberapa menit hening, Akash membuka suara.
“Dengar ya, Dan. Apartemen ini mau gue jual.”
Wildan yang tengah memungut kulit kacang langsung mendongak. “Heh? Serius lo?”
“Loe mau beli? Beli. Kalau gak, lo keluar dari sini secepatnya,” sahut Akash tajam, nada sarkas tak bisa disembunyikan.
Wildan terdiam sesaat. “Kenapa tiba-tiba?”
“Gue gak mau tinggal di tempat yang bawa sial,” balas Akash singkat.
“Maksud lo?”
Akash meletakkan cangkir kopinya ke meja dengan bunyi thak! pelan tapi tegas.
“Sudah berapa cewek yang lo ajak ke sini dan lo tidurin di ruang ini?” tanyanya tajam, tanpa menatap Wildan.
Wildan mendengus pelan. “Ck. Jangan sok suci, lah. Lo juga gak lebih baik dari gue.”
“Gue gak bilang gue suci. Tapi gue gak pernah ngelakuin hal kayak gitu di rumah gue sendiri, di kantor, atau di tempat pribadi gue. Buat gue itu pamali ... bad luck.”
Wildan tercekat. Matanya menatap Akash dengan campuran rasa marah dan malu.
Tapi Akash tak tertarik melanjutkan debat. Ia berdiri, mengenakan jasnya lalu mengambil tas kerja yang selalu dia bawa ketika ke kantor.
“Gue pergi. Gue kasih lo waktu sampai sore. Kalau lo masih ada di sini malam nanti, kita gak usah temenan lagi.”
Wildan hanya menatap punggung Akash yang meninggalkan ruangan dengan langkah tenang namun tegas. Tak ada lagi kalimat tambahan. Tak ada lagi tawa persahabatan seperti dulu.
Wildan terduduk lemas di sofa. Sementara wanita yang bersamanya sejak semalam hanya menunduk dalam diam, lalu bergegas keluar tanpa sepatah kata pun.
Diam-diam, Wildan tahu, kali ini dia benar-benar sudah kelewatan.
Pintu dibanting pelan saat Akash meninggalkan apartemen. Nafasnya masih tersengal karena emosi dan sisa pusing dari alkohol semalam. Ia menyetop mobilnya, memberi arahan singkat pada sopir untuk melaju cepat ke kantor.
Di dalam mobil, meskipun amarah dan peningnya belum reda, pikirannya kembali berkelana. Bukan ke Wildan, bukan ke pekerjaannya yang belum selesai, bahkan bukan ke rapat penting yang akan dia hadiri pagi ini.
Tapi ke seorang gadis asing yang dia lihat di pelataran masjid kemarin.
Senyumnya. Tatapan matanya yang menunduk. Cara dia melangkah ringan dan tenang. Semua itu masih berputar di kepala Akash seperti film pendek yang diputar berulang-ulang.
“Siapa kamu, sebenarnya?” gumam Akash lirih, menatap kosong ke luar jendela mobil.
Di balik segala kekacauan hidupnya, hanya sosok itu yang kini mampu menenangkan badai di hatinya.
Selamat membaca.
Niatnya hanya memejamkan mata sebentar untuk mengistirahatkan pandangan—namun lima menit menjadi sepuluh, lalu berlanjut hingga Akash benar-benar tertidur dalam posisi setengah duduk. Napasnya pelan dan teratur. Di layar laptop, email masih terbuka, dan kacamata nyaris tergelincir dari hidungnya.Tak lama kemudian, Innara keluar dari kamarnya. Penampilannya rapi, formal, dan seperti biasa: elegan tanpa perlu berlebihan. Ia tampak sibuk mengecek isi tasnya satu per satu, memastikan tak ada dokumen atau barang yang tertinggal. Di tengah kegiatannya, ia berpapasan dengan salah satu asisten rumah tangga yang sedang membersihkan ruang makan.“Mbok, nanti kalau Papa nanyain, bilang saya ke kantor, ya,” pesan Innara pelan.“Iya, Non,” jawab si Mbok sambil mengangguk sopan dan melanjutkan pekerjaannya.Sambil mengenakan tas di bahunya, Innara berjalan ke ruang tengah. Ia bermaksud pamit pada Akash.“Mas, kamu sudah selesai belum?” panggilnya sembari melongok ke arah sofa.Tak ada jawaban.“Ma
Alih-alih menjawab, Akash justru mengusap wajahnya dengan kasar. “Heh? Kenapa?” tanyanya balik, seolah baru tersadar.Innara mengerutkan kening. “Mas dengerin aku enggak sih?”“Maaf, tadi aku lagi fokus nyetir,” kelit Akash cepat, sambil menunjuk jalan di depannya. Suaranya agak tergesa.Innara hanya mendecak pelan. Ia kehilangan mood untuk melanjutkan percakapan. Rasa cemas dan kecewa yang menumpuk sejak di kantor polisi tadi, sekarang bercampur dengan kelelahan fisik dan emosional. Ia pun menyandarkan kepala ke jendela, membiarkan suasana hening mengisi ruang di antara mereka.Tak lama kemudian, napasnya mulai teratur. Akash melirik sekilas dan tersenyum kecil.“Ya Allah... tidur aja cantik,” gumamnya.Melihat wajah Innara yang damai dalam tidur membuat perasaan Akash bergejolak. Ia tahu, gadis itu sedang terluka. Semua yang terjadi malam ini bukan hanya mengoyak hati Akash, tapi juga menghancurkan harapan dan kepercayaan Innara pada orang yang dia anggap akan jadi imamnya.Akash ke
Ada perasaan aneh yang tumbuh dalam dadanya. Haru. Bangga. Sekaligus getir.Usai salat berjamaah, barulah mereka semua berkumpul kembali di meja makan untuk menikmati hidangan berat. Perut yang sejak pagi menahan lapar akhirnya bisa diisi kembali. Berbagai masakan hangat terhidang dengan rapi: sup bening ayam, sambal goreng ati, tumis buncis, dan sepiring besar nasi putih yang mengepul lembut.Innara telah menata semuanya dengan apik. Meski ia tak berpuasa, ia tetap duduk menemani sang ayah dan Akash dalam momen buka puasa ini. Senyumnya hangat, walau sedikit tertahan.Ahmed duduk di ujung meja, Akash di sisi kanannya, dan Innara di seberang.Mereka makan dalam diam yang damai. Suara sendok beradu dengan piring dan desiran angin malam menjadi latar musik alami. Sampai akhirnya, Ahmed angkat bicara, memecah kesunyian.“Setelah ini ... lebih baik kalian langsung ke kantor polisi,” ucapnya mantap, di sela menghabiskan suapan terakhirnya.Akash menghentikan gerak sendoknya. Matanya menata
“Tidak baik memendam marah terlalu lama, bukan?” ucap Ahmed membuka percakapan, seolah membaca isi pikiran Akash. “Apalagi di bulan Ramadhan begini.”Akash mengangguk pelan, sedikit tersenyum. “Saya sepakat, Pak.”Lalu setelah keheningan singkat, Akash mulai bertanya hati-hati, “Saya dengar dari Innara ... Anda berencana bekerja sama dengan kontraktor Wildan?”Ahmed terkekeh pelan, lalu menyandarkan punggungnya santai ke sofa. “Tadinya memang begitu niat saya. Tapi Innara menolak mentah-mentah. Gadis itu ... kalau sudah punya prinsip, sulit digoyahkan. Ada saja caranya membujuk saya agar berubah pikiran.”Matanya melirik ke arah dapur, di mana sang putri terlihat sibuk bersama dua asisten rumah tangga mempersiapkan hidangan buka. Rona kebanggaan terlihat jelas di wajahnya.Akash tersenyum melihat ekspresi itu.Ahmed kembali menoleh pada Akash. “Dan saya pikir, rasanya memang tak adil untuk Anda, Pak Akash,” lanjutnya.Akash mengangkat alis sedikit. Ahmed melanjutkan.“Karena emosi, sa
Di sisi lain, Innara berlari menghampiri korban yang tergeletak diam. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil.Dengan hati-hati, dia membalikkan tubuh pria itu."Mas Atthallah!" pekiknya, nyaris histeris.Akash yang tengah bergulat dengan salah satu pelaku langsung menoleh. Tatapannya membelalak melihat wajah Atthallah yang nyaris tak dikenali—penuh luka dan darah, pelipis robek, bibir pecah, dan matanya nyaris membengkak.Tanpa buang waktu, Akash menghampiri mereka."Masuk ke mobil. Sekarang!" ucapnya tegas.Innara dengan cekatan menopang kepala Atthallah ke pangkuannya. Tubuh tunangannya sudah lemas tak bergerak."Mas, cepat!" ucap Innara panik, napasnya memburu. "Mas Atthallah pingsan ... aku takut dia—"Suaranya tercekat. Ia tidak sanggup melanjutkan kalimat itu. Takut apa yang ia ucapkan justru menjadi nyata. Bagaimanapun juga, Atthallah adalah tunangannya. Bagaimana ia akan menjelaskan ini pada keluarganya jika sesuatu yang buruk terjadi?"Aku sedang usahakan," jawab Akash sambil mel
Begitu mobil Akash berhenti di depan gedung, Innara langsung membuka pintu dan masuk. Mobil melaju perlahan meninggalkan kawasan kantor, sementara keheningan mendominasi beberapa menit pertama perjalanan mereka.“Puasa, Mas?” tanya Innara akhirnya, memecah kesunyian dengan suara lembut.Akash meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. “Yup. Hari pertama,” jawabnya. “Maksudku … benar-benar pertama kali aku jalani ibadah ini.”Innara mengerjap pelan, terkejut. “Serius?”Akash mengangguk pelan. “Dulu waktu kecil pernah ... tapi waktu itu cuma ikut-ikutan. Sekarang ... aku benar-benar niat.”Mendengar itu, Innara tersenyum kecil. Ada sesuatu yang berbeda dari pria ini. Mungkin, pelan-pelan ... Akash sedang berubah.“Kamu?” tanya Akash balik, kini dengan suara lebih pelan, lebih hati-hati.Innara menghela napas pendek. “Belum bersih.”“Oh ....” Akash mengangguk mengerti, lalu spontan bertanya, “Biasanya berapa lama?”“Sekitar seminggu. Mungkin lusa aku mulai puasa.”Mendadak Akash me