Share

Bab 3. Pagi Kacau.

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-05-07 02:25:51

Pagi itu, Akash terbangun dengan kepala berat seperti dihantam palu godam. Dia mengerang pelan, meremas rambutnya sendiri sambil memijat-mijat pelipis. Kepalanya pusing. Bagaimana tidak pusing kalau semalam dia menghabiskan beberapa gelas minuman beralkohol. 

“Ah, sial ...,” gerutunya lirih sambil meremas rambutnya. 

Matanya menyipit tajam menahan cahaya yang menembus jendela tanpa malu-malu. Ia meraih ponsel di atas nakas sebelah ranjang, menyalakannya, dan mendesah pelan saat melihat waktu.

08.17 AM.

Belum sempat otaknya mencerna lebih dalam, ponselnya tiba-tiba berdering keras. Layar menampilkan satu nama yang langsung membuat detak jantungnya melonjak.

Papa Fauzan calling...

Akash mengumpat dalam hati dan buru-buru menekan tombol hijau.

“Pagi, Pa,” ucapnya dengan suara serak dan setengah ngantuk.

“Di mana kamu?” suara berat Fauzan langsung menghujam tanpa basa-basi. “Kok belum di kantor? Hari ini rapat bulanan pemegang saham. Kamu harus hadir! Papa tunggu di ruang meeting.”

Klik.

Panggilan langsung terputus sebelum Akash sempat membalas. Tak ada salam, tak ada waktu untuk menjelaskan. Paham dengan tabiat sang ayah, pria itu pasti akan murka jika Akash tidak segera hadir di sana dalam waktu yang diinginkan. 

Dengan kesal, Akash bangkit dari ranjang, melangkah lemas menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dalam balutan kemeja putih dan celana bahan gelap. Rambutnya masih sedikit basah, namun wajahnya sudah lebih segar meski tetap pucat akibat mabuk semalam.

Saat dia membuka pintu kamar, pemandangan yang menyambutnya di ruang tamu membuatnya nyaris kembali muntah.

Ruangannya berantakan. Kulit kacang berserakan di lantai. Botol minuman keras kosong tergeletak di meja, sebagian lagi terguling di bawah sofa. Asap rokok masih samar melayang di udara. Di tengah kekacauan itu, Wildan terlihat tidur pulas—memeluk seorang wanita tanpa busana yang hanya tertutup selimut tipis. Sangat tidak pantas untuk di lihat. 

“WILDAN!!” teriak Akash sambil menghampiri mereka.

Tanpa ampun, dia menepuk kedua pipi Wildan dengan cepat dan cukup keras.

“Bangun, gila! Lo bikin rumah gue kayak kandang babi!”

Wildan mengerang, matanya membuka setengah. “Hah? Apa sih ... sakit tahu, Bro ....”

Wanita di sampingnya ikut tersentak bangun. Ia menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya, wajahnya panik dan malu saat sadar keberadaannya dipergoki oleh pemilik apartemen.

“Cepat lo beresin ini semua! Gue harus ke kantor, dan lo—” Akash menunjuk Wildan dengan wajah penuh amarah, “—lo beresin semua kekacauan ini sebelum gue balik sore nanti! Gue gak mau lihat setetes pun minuman atau cewek gak dikenal lagi nginep di sini!”

Wildan masih setengah sadar, tapi nada suara Akash cukup membuatnya terlonjak bangun, meski masih dengan selimut melilit tubuh.

Akash mengambil jas dan tas kerja, lalu berjalan cepat menuju dapur. Namun beberapa langkah, ia kembali menoleh dan mengeraskan suaranya sekali lagi.

"Bangun, dan beresin semuanya. Suruh dia pergi!" perintah Akash dingin, sambil menggedikkan dagunya ke arah wanita tak dikenal yang masih menunduk dengan selimut membungkus tubuhnya.

Suara Akash datar, tapi matanya tajam menusuk, membuat Wildan terdiam beberapa detik sebelum bangkit dengan malas. Wanita itu pun langsung berdiri, mengumpulkan pakaiannya dan bergegas ke kamar mandi tanpa sepatah kata pun.

Pagi itu, Akash benar-benar menyesali keputusannya membiarkan Wildan menumpang tinggal di apartemennya. Bukan karena persahabatan mereka telah berubah, tapi karena Wildan telah mencoreng tempat satu-satunya yang selama ini dijaganya bersih dari najis dunia.

Bukan berarti Akash merasa suci. Jauh dari itu. Dia tahu dirinya jauh dari kata alim. Tapi dia punya batas. Ada prinsip yang selama ini dia pegang: rumah adalah tempat bersih—ruang tenang untuk pulang. Segila apa pun hidupnya di luar sana, dia tidak akan pernah membawa najis itu masuk ke dalam dinding apartemen miliknya.

Untuknya, dosa ada tempatnya. Hotel, penginapan, tempat hiburan. Tapi bukan di sini. Bukan di apartemennya.

Dengan langkah tenang, Akash membuat kopi sendiri di dapur. Ia hanya sarapan dengan secangkir kopi hitam panas dan sepotong roti tawar, sembari memperhatikan Wildan dan perempuan itu sibuk merapikan ruang tamu. Ia menyesap kopinya perlahan, mata tetap mengawasi seisi ruangan tanpa ekspresi.

Setelah beberapa menit hening, Akash membuka suara.

“Dengar ya, Dan. Apartemen ini mau gue jual.”

Wildan yang tengah memungut kulit kacang langsung mendongak. “Heh? Serius lo?”

“Loe mau beli? Beli. Kalau gak, lo keluar dari sini secepatnya,” sahut Akash tajam, nada sarkas tak bisa disembunyikan.

Wildan terdiam sesaat. “Kenapa tiba-tiba?”

“Gue gak mau tinggal di tempat yang bawa sial,” balas Akash singkat.

“Maksud lo?”

Akash meletakkan cangkir kopinya ke meja dengan bunyi thak! pelan tapi tegas.

“Sudah berapa cewek yang lo ajak ke sini dan lo tidurin di ruang ini?” tanyanya tajam, tanpa menatap Wildan.

Wildan mendengus pelan. “Ck. Jangan sok suci, lah. Lo juga gak lebih baik dari gue.”

“Gue gak bilang gue suci. Tapi gue gak pernah ngelakuin hal kayak gitu di rumah gue sendiri, di kantor, atau di tempat pribadi gue. Buat gue itu pamali ... bad luck.”

Wildan tercekat. Matanya menatap Akash dengan campuran rasa marah dan malu.

Tapi Akash tak tertarik melanjutkan debat. Ia berdiri, mengenakan jasnya lalu mengambil tas kerja yang selalu dia bawa ketika ke kantor. 

“Gue pergi. Gue kasih lo waktu sampai sore. Kalau lo masih ada di sini malam nanti, kita gak usah temenan lagi.”

Wildan hanya menatap punggung Akash yang meninggalkan ruangan dengan langkah tenang namun tegas. Tak ada lagi kalimat tambahan. Tak ada lagi tawa persahabatan seperti dulu.

Wildan terduduk lemas di sofa. Sementara wanita yang bersamanya sejak semalam hanya menunduk dalam diam, lalu bergegas keluar tanpa sepatah kata pun.

Diam-diam, Wildan tahu, kali ini dia benar-benar sudah kelewatan.

Pintu dibanting pelan saat Akash meninggalkan apartemen. Nafasnya masih tersengal karena emosi dan sisa pusing dari alkohol semalam. Ia menyetop mobilnya, memberi arahan singkat pada sopir untuk melaju cepat ke kantor.

Di dalam mobil, meskipun amarah dan peningnya belum reda, pikirannya kembali berkelana. Bukan ke Wildan, bukan ke pekerjaannya yang belum selesai, bahkan bukan ke rapat penting yang akan dia hadiri pagi ini.

Tapi ke seorang gadis asing yang dia lihat di pelataran masjid kemarin.

Senyumnya. Tatapan matanya yang menunduk. Cara dia melangkah ringan dan tenang. Semua itu masih berputar di kepala Akash seperti film pendek yang diputar berulang-ulang.

“Siapa kamu, sebenarnya?” gumam Akash lirih, menatap kosong ke luar jendela mobil.

Di balik segala kekacauan hidupnya, hanya sosok itu yang kini mampu menenangkan badai di hatinya.

Ucing Ucay

Selamat membaca.

| 4
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Alfiah Ummi Hani
emang kebaikan yg bisa msmbuat kita tenang..yg penting kamu berubah dlu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • CEO Tampan Mencari Istri Salihah   Bab 149. Malam Pengantin — TAMAT

    “Ganti baju dulu ya, Mas. Aku mandi sebentar,” bisik Innara dengan senyum malu-malu.Akash mengangguk. “Aku tunggu di sini. Tapi jangan terlalu lama. Aku sudah sangat menanti kamu …”***Innara keluar dari kamar mandi sekitar lima belas menit kemudian. Rambutnya kini terurai lembut, hanya disisir jari. Ia mengenakan lingerie tipis satin warna putih tulang, panjang hingga paha, dengan renda halus di bagian dada. Gaun tidur itu membentuk lekuk tubuhnya dengan indah, memperlihatkan kulit seputih susu dan bahu jenjangnya yang kini tanpa penutup.Akash menatap tanpa suara. Dada pria itu naik turun perlahan, mencoba mengatur napas yang mulai tak beraturan.“Ya Allah … kamu benar-benar bidadari,” gumamnya.“Aku nervous, Mas .…”Akash bangkit, berjalan mendekat, lalu mengusap lengan Innara dengan lembut.“Gak perlu nervous. Aku gak akan menyentuh kamu dengan kasar. Aku akan menyentuh kamu dengan cinta .…”Innara memejamkan mata sejenak saat jari Akash menyusuri garis rahangnya, turun ke leher,

  • CEO Tampan Mencari Istri Salihah   Bab 148. Sah 

    Innara tersentak pelan saat tiba-tiba Akash menarik pinggangnya dan menepis jarak di antara mereka. Tubuh mereka kini nyaris tanpa sela.“Mas ... masih banyak orang di luar sana,” ucap Innara dengan nada lirih, wajahnya langsung merona. Ia mencoba mendorong dada Akash, tapi pelukan pria itu justru mengencang.“Ssst ... biarkan aku menatap istriku dulu. Sebentar saja,” balas Akash, matanya menatap lembut, namun dalam.Mata mereka saling bertaut. Tatapan yang mengunci napas dan menyulut debar jantung.“Selama seminggu ini ... apa saja yang kamu lakukan?” tanya Akash tiba-tiba, nadanya ambigu dan menggoda.Kening Innara mengernyit pelan. “Maksudnya?”Akash tersenyum miring. “Aku rasa, kamu nggak butuh waktu selama itu hanya untuk tampil secantik ini.”Innara terkekeh, lalu membalas dengan nada tak mau kalah, “Aku harus tampil cantik maksimal, Mas. Karena hari ini hari istimewa untukku.”“Benarkah?” Akash menggoda. “Seberapa istimewa?”“Sangat ... sangat istimewa. Karena hari ini aku menj

  • CEO Tampan Mencari Istri Salihah   Bab 147. Pernikahan

    Tatapan Innara langsung tertuju pada ayahnya. Napasnya tercekat ketika menyadari betapa pucat wajah sang ayah. Panik kecil mulai merayap di hatinya."Ya Allah ... Pa, kita ke kamar, yuk," ucap Innara segera, dengan sigap memapah Ahmed dari sisi kanan sementara Akash menopang dari kiri.Langkah mereka perlahan namun pasti menuju kamar utama di lantai bawah. Para tamu yang masih tersisa di ruang tamu otomatis memperhatikan mereka dengan tatapan khawatir.“Ada apa ya?”“Pak Ahmed kenapa?”Beberapa bisik-bisik mulai terdengar. Namun Ayden, yang menyadari kepanikan mulai menyebar, langsung melangkah ke tengah ruangan dan menenangkan semua yang hadir."Tenang saja, semua. Pak Ahmed hanya kelelahan. Dari pagi belum sempat istirahat. Kita doakan saja beliau sehat selalu," ucap Ayden meyakinkan.Ucapan Ayden seolah menurunkan ketegangan. Para tamu pun mengangguk, dan beberapa dari mereka mulai berpamitan pulang dengan sopan.Di dalam kamar, Innara segera membantu ayahnya berbaring di tempat ti

  • CEO Tampan Mencari Istri Salihah   Bab 146. Tradisi Pingit

    "Siapa sih yang pertama kali bikin aturan itu?" tanya Akash dengan wajah masam saat mereka berdua sedang duduk santai di balkon lantai dua rumah Ahmed. Sinar matahari sore menyinari wajahnya, membuat raut kesalnya semakin terlihat jelas."Aturan apa?" tanya Innara sambil menyuapkan sesendok puding cokelat ke mulutnya. Matanya menyipit menahan silau, tapi wajahnya tetap kalem. Ia tidak langsung paham arah pertanyaan sang calon suami."Ya itu, peraturan pingitan!" sahut Akash sambil melipat tangan di dada. Ekspresi wajahnya seperti anak kecil yang tidak mendapatkan jatah mainan.Mendengar jawaban itu, Innara langsung terkikik geli. Ia sudah menduga cepat atau lambat Akash akan meluapkan unek-uneknya soal tradisi satu ini."Kan kamu sudah setuju kalau kita pakai adat dari Mama. Ya, pingitan ini bagian dari rangkaian adat pernikahan Jawa," jelas Innara, masih dengan senyum geli yang belum hilang dari wajahnya.Tradisi pingitan—sebuah kebiasaan dalam adat Jawa di mana calon pengantin wanit

  • CEO Tampan Mencari Istri Salihah   Bab 145. Hari Raya Idul Fitri

    Suara bedug dan takbir menggema sejak malam terakhir Ramadan hingga pagi menjelang. Anak-anak berlarian di gang kecil sambil membawa bedug kecil dan petasan mainan, sementara orang dewasa bersiap menuju masjid untuk melaksanakan salat Ied. Suasana penuh suka cita memenuhi udara, menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikan kebersamaan dan semangat kemenangan ini.Hari Raya Idul Fitri adalah momen kemenangan besar bagi seluruh umat Muslim. Setelah sebulan penuh menahan lapar, haus, amarah, dan berbagai bentuk hawa nafsu, tibalah saatnya untuk menyambut hari yang fitri. Hari yang bukan hanya tentang baju baru dan hidangan khas lebaran, tetapi juga tentang hati yang kembali bersih dan jernih, serta saling memaafkan dalam kehangatan keluarga.Pagi-pagi sekali, keluarga Akash sudah mendatangi rumah Ahmed untuk kembali bersama-sama melaksanakan salat Ied di masjid yang sama seperti malam sebelumnya. Semua tampil rapi dan menawan. Innara terpana melihat penampilan Akash yang mengenakan baju

  • CEO Tampan Mencari Istri Salihah   Bab 144. Malam Ramadhan. 

    Setelah dari makam, Akash mengantar Innara kembali ke rumah. Beruntung, jalanan ibu kota sedang sangat lengang. Aura Lebaran memang sudah terasa. Kebanyakan warga sudah mudik ke kampung halaman, membuat jalanan yang biasanya padat kini terasa lapang dan sunyi.Mobil Akash melaju mulus, dan mereka tiba di rumah tepat sebelum waktu berbuka.Sore itu, suasana rumah Ahmed terlihat lebih hidup. Beliau memang sengaja mengundang Anya dan Ayden—orang tua Akash—untuk berbuka puasa dan melaksanakan salat tarawih bersama. Sebagai hari terakhir di bulan suci, Ahmed ingin menciptakan kenangan yang hangat dan penuh kebersamaan.Akash sedikit terkejut saat melihat kedua orang tuanya sudah duduk santai di ruang tamu, tampak akrab berbincang dengan Ahmed sambil menunggu azan berkumandang.“Assalamualaikum,” sapa Akash sopan sambil membungkuk hormat.“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak, senyuman menghiasi wajah masing-masing.Innara turut memberi salam, lalu berpamitan sebentar untuk berganti pakai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status