Share

CEO Tampan itu Suami Baruku
CEO Tampan itu Suami Baruku
Author: BEEHAPPY

1. Tamu tak diundang

“Siapa dia?” Karen berkata dengan lembut meski getaran pada suaranya terdengar cukup jelas. 

Matanya mencuri pandang pada seorang wanita yang duduk di sofa, sedangkan mata wanita itu tengah sibuk menelusuri setiap inci rumah mereka. Perhatian Karen kemudian berpusat pada perut buncit wanita itu.

Jones tidak menjawab pertanyaannya, dia malah sibuk memastikan perempuan itu dapat duduk dengan nyaman di rumah mereka. Karen masih berpikir positif terhadap tingkah laku Jones. Setelah memastikan orang itu duduk nyaman, suaminya menarik tangannya dan melangkah menjauh dari perempuan itu. 

Sungguh karen mulai merasa takut akan apa yang dikatakan Suaminya. Karen memegang tangan Jones yang hangat, bertumpu di sana karena kakinya yang mulai lemas.

“Siapa dia? Jangan menakuti-ku!” gumam nya sekali lagi, Karen berusaha menyunggingkan senyum kecil, meskipun disisi lain dia tak siap mendengarnya. Dia yang paling tahu jika suaminya tidak suka dimarahi, apalagi jika Karen berprasangka buruk dalam hubungan mereka.

Jones menatap mata Karen dingin sambil berkata, “Dia calon istriku!”

Pernyataan itu membuat Karen mendadak lemas bal kerupuk di ruangan terbuka, jantungnya meraung hebat, tangan kurusnya meremas kuat tangan Jones, darah-darah tampak membuat telinganya memerah, air matanya keluar tanpa hambatan sehingga membasahi lehernya yang putih.

“Kau bercanda kan? Iya… kau hanya bercanda.” Tawa kecil keluar di sela-sela nafasnya yang kacau.

“Aku tidak bercanda, dia mengandung anakku!” 

Anakku? Satu kata yang membuat matanya membulat sempurna. Dia menatap perut buncit wanita itu dengan pandangan kosong. Karen menjambak rambutnya sendiri, tidak bisa mempercayai perkataan yang dilontarkan suaminya.

“Kau selingkuh?”

“Pernikahan kita tidak pernah dipublikasikan, kita akan bercerai! Jangan membuat pernyataan konyol!”

“Konyol? Ka-” Mulutnya tertutup rapat, matanya menatap tak percaya. Bagaimana suami yang begitu mencintainya tiba-tiba melontarkan kata cerai seringan dan sedingin itu. “Aku tidak mau.” Suara rendah dan bulatnya menarik perhatian seisi rumah yang tenang.

“Kami akan menikah, kau hanya akan jadi pengganggu. Karen. Jadilah baik dan penurut!”

'Pengganggu?' Otaknya tidak dapat mengidentifikasi maksud perkataan itu. Dia pengganggu? Apa pernyataan itu dapat diterima? Selama ini dia adalah istri sah dari orang yang sedang bicara di hadapannya saat ini. Bagian mana dari statusnya yang dapat dikatakan sebagai pengganggu?

"Aku sangat baik dan aku juga selalu menuruti semua yang kau mau. Aku selalu menjaga emosiku demi kenyamananmu, karena aku sangat-sangat menyayangimu."

Wanita di kursi tampak hendak berdiri mendekati mereka, namun sebelum dia berdiri Jones sudah mendekat dan menyuruhnya untuk duduk kembali.

“Jangan banyak bergerak!” Jones menyikap rambut panjang wanita itu ke belakang telinganya, wajah tampan dan dingin nya memandang perut wanita itu dalam diam. 

“Maaf! Sepertinya dia haus,” ucap wanita itu tersenyum lembut sembari mengelus perut besarnya, iris matanya menatap lekat wajah tampan di depannya.

Kuku-kuku tajam Karen menerobos masuk ke dalam daging telapak tangannya sendiri, darah segar mulai menggenang di dalam genggaman sesak itu. Kebiasaannya dalam menahan amarah seolah sudah mengakar di dalam alam bawah sadarnya. Mata basahnya memperhatikan bagaimana  suaminya menuangkan air putih ke dalam gelas diatas meja dengan gerakan yang lihai.

“Ini!” Jones memberikan segelas air pada wanita itu.

“Kau….” Kata-kata berikutnya tidak berhasil keluar dari bibir merah muda Karen. 'Kau seharusnya tidak menggunakan gelas itu. Gelas itu tidak pernah dipakai oleh orang lain'. “Kenapa kau lakukan ini?” tanyanya dengan penuh penekanan. Semua mungkin masih bisa berubah, setidaknya Karen masih mengharapkan itu.

Jones menatapnya dengan begitu tajam, tatapan itu menembus matanya dan masuk langsung ke hati kecilnya. Rasa sakit itu sukses membuat Karen kehilangan keberanian yang dia miliki sebelumnya.

Karen menoleh ke belakang dan menatap lurus celah pintu dapur yang tengah menyembunyikan kue ulang tahun pernikahan mereka, dia sangat jelas mengingat betapa bahagianya menanti Suaminya pulang untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka bersama-sama, kemudian mereka duduk dan berdoa bersama untuk kebahagiaan di hari-hari seterusnya. Lagi-lagi itu telah menjadi  bayangan semata.

“Kau tidak bisa memberikanku anak, oleh karena itu aku tidak perlu mempertahankanmu.”

Hatinya bak teriris pisau tumpul, Karen yang sudah lemah mulai melangkah maju dan memeluk Jones dengan lembut. Menarik jaket yang dikenakan pria itu serta perlahan mencari tempat bersembunyi di sana. “Kita masih bisa mencobanya, kenapa kau begitu terburu-buru!”

Jones mendorong Karen dan melebarkan jarak diantara mereka. “Aku tidak punya banyak waktu, segera selesaikan ini dan pergi! Setelah bercerai kau tidak perlu khawatir tentang uang atau masalah hidup lainnya.” Jones memberikan amplop yang berisikan surat cerai mereka.

Karen menggeleng cepat. “Aku mencintaimu. Aku tidak memerlukan itu.” Dia bahkan tidak dapat menghitung berapa kali dia sudah mengatakan itu. “Apa kau tidak mencintaiku?” sambungnya, tetapi Karen merasa itu tidak mungkin.

“Di dunia ini aku tidak memerlukan omong kosong itu.” Jones sangat tenang dan cepat dalam menanggapi setiap perkataan Karen.

Karen terduduk di lantai dengan air mata yang belum kering, dia merasa malu akan dirinya sendiri, dihadapkan dengan berbagai perasaan campur aduk. Dia tidak pernah berpikir untuk hidup tanpa Jones atau bahkan sampai bercerai dengannya. Tanpa dukungan pria itu hidupnya hanya akan memandang masa lalu, namun wanita itu tengah mengandung anak suaminya, dia adalah calon ratu yang akan mendampingi seorang raja. Karen bahkan tidak tahu sebagai apa dia dalam hubungan itu.

“Celin? Kau sudah datang!” Suara kencang dan hangat datang mendekat. Ibu mertua Karen yang baru saja datang segera langsung mendekat, sebelum mendekati Celin wanita itu lebih dulu memandang Karen dengan tatapan jijik. Setelah melihat ke arah Celin, bibirnya langsung membentuk senyuman, mengabaikan Karen yang seolah tidak ada di sana.

Rasa sakit sudah tidak dapat dia katakan. Bahkan harapannya untuk dibantu dalam situasi ini sirna tepat saat Ibu mertuanya sendiri tampak sangat tahu menahu tentang persoalan wanita itu. Dia merasa hampa karena menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu dengan hal itu, perut wanita itu terlihat sudah membesar. Jelas sekali Jones sudah mengkhianatinya sejak lama, serasa kembali dijatuhi batu, Karen mulai merasa sedikit demi sedikit kehilangan identitasnya sendiri.

“Jadi kapan kalian akan bercerai?” tanya ibu Jones dengan senyum cerah, terlukis jelas di wajahnya yang sudah lama menantikan hari ini tiba.

“Jones sudah mengatakan untuk bercerai, tapi dia menolak.” Bukan Jones atau Karena yang menjawab, melainkan Celin dengan wajah cemberutnya. Dia memasang wajah kelelahan karena bayi yang ada di perutnya tersebut. Melihat itu membuat Ibu Jones tidak tega dan berakhir memaki Karen.

“Kau ini kenapa, kau itu mandul dan menjijikan. Cepat tinggalkan anakku sekarang. Kau mau harta? Katakan saja berapa, aku akan memberikannya tapi setelah itu jangan ganggu keluarga kami lagi!”

Karen berdiri dengan tubuh gemetar. Dia memang tidak bisa marah di hadapan suaminya tapi dia ingin haknya kembali, dia ingin keluarganya kembali padanya.

“Jones adalah keluargaku begitu juga dengan Ibu. Kalian keluargaku yang berharga, seharusnya yang tidak mengganggu keluarga kita itu, dia.” Karen berkata dengan isak tangis yang semakin menjadi.

“Ibu… aku anakmu juga. Aku sudah bersama kalian lebih lama darinya, sejak SMA kami selalu bersama, kami menikah dan hari ini ulang tahun pernikahan pertama kami, Ibu! Tolong terima aku apa-adanya!”

Ibu mertuanya menepis kasar tangan dingin Karen, hal itu meninggalkan bekas darah Karen di pakaian wanita itu. “Dia sudah menjadi keluarga kami, dia memiliki cucu ku, dia akan menjadi nyonya keluarga ini dan pernikahan akan segera diumumkan, kau tidak akan mendapatkan pengakuan apa-apa. Karen… pergi dan jangan kembali!”

“Tap–”

“Karen!” suara dingin itu membius badan Karen. Karen ingin pemilik suara itu memanggil namanya dengan lembut seperti dulu. Dia muak dengan suara dingin itu, dia merindukan suaminya bukan pria gila di hadapannya.

“Kau tidak bisa jadi istriku, tapi kau bisa jadi maduku. Bagaimana?”

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status