Share

6. Depression

"Baik... " Karen menerima box yang berisi satu espresso dingin.

Saat keluar dari kafe Karen lagi-lagi membuka sedikit mulutnya. Melihat gedung raksasa itu membuat badannya merinding. Beralih ke lampu zebracroos yang berubah hijau dia berjalan mendekati pintu masuk gedung Shambara.

"Selamat pagi! Ada yang bisa Saya bantu?" Satpam berwajah ramah itu sedikit mengagetkan Karen. Meski begitu Karen tetap tersenyum manis seperti biasanya.

"Pagi. Saya mau mengantarkan kopi pesanan Tuan Ian Shambara," jawabnya lembut meski dia sedikit takut karena badan tinggi si Satpam.

"Direktur Yan ada di atas, Nona bisa langsung naik lift yang ada di tengah."

Karen mengangguk dan berterima kasih. "Direktur Yan? Ian? Haruskah aku memanggilnya seperti itu juga?" batinnya.

Sepanjang perjalanan ke atas, Karen terus bergelayutan dalam pikirannya sendiri. Sementara orang-orang di sana sesekali melihat ke arahnya.

Saat sampai di atas, pintu lift terbuka lebar memperlihatkan ruangan dengan dinding berwarna coklat muda, saat dia berbelok ke kanan dia melihat seseorang yang duduk di sisi dalam meja panjang.

Di atas mejanya terdapat kaca bertulisan Sekretaris 2, Sisil . Perempuan itu berambut coklat, diikat rendah kebelakang dengan sangat rapi. Dia kemudian menatap Karen setelah mengetahui pergerakannya.

"Hallo...." sapa perempuan itu ramah, kacamatanya terlihat sangat bening dan cocok di wajah bulatnya.

"Iya. Saya Karen, saya ingin mengantar-"

"Oiya, silakan masuk saja, Direktur Yan ada di dalam!" potong Perempuan itu sembari menunjuk jalan di sebelah kirinya.

"Terima kasih."

Karen menuju lorong besar itu dan melihat pintu hitam di ujungnya. Dengan berani dia menekan bel pintu di samping kanannya, tidak lupa dia berdiri di depan kamera pintu supaya orang di dalam dapat melihatnya dengan jelas. Beberapa detik kemudian pintu hitam itu terbuka otomatis.

Saat masuk matanya langsung menangkap sesosok pria yang terlihat sangat mirip dengan manekin. Sudut mata tajam pria itu masih fokus pada lembaran dokumen di tangannya. Sisi-sisi bibirnya yang secara alami melengkung ke atas tampak membuatnya semakin tampan.

Kemeja putih yang sangat pas di badannya merenggang kuat karena otot-otot lengannya. Rambut hitamnya disisir ke belakang dengan rapi. Jas formal berwarna hitam tergeletak rapi di sisi lain sofa yang dia duduki.

"Selamat pagi!" Karen menyapa dengan sopan.

Pria itu seketika mengalihkan pandangannya pada Karen yang memasang senyum ramah. Namun seketika itu pula kopi yang Karen pegang bergetar hebat, matanya beralih pada ruang yang minim cahaya itu. Tidak ada orang lain di ruangan itu kecuali mereka.

Keringat dingin membanjiri badannya. Perasaan mual menguasai perutnya. Tanpa pikir panjang Karen segera meletakkan kopi itu sembari menunduk.

"Silakan nikmati kopi Anda, terima kasih sudah memesan," ucapnya terbata-bata. Setelah itu tanpa menoleh kebelakang Karen pergi dengan tergesa-gesa. Sesampainya di lift Karen terduduk dengan memegang kepalanya kuat-kuat.

'Sadarlah Karen! Itu sudah sembilan tahun.'

Tidak bisa dipungkiri jika dia masih takut dengan masa lalunya. Sampai sekarang dia masih tidak bisa mengendalikan ketakutannya saat bersama seorang pria di ruangan yang sama.

Sementara itu Ian menikmati kopinya dengan pelan. Dia mengingat kejadian barusan sambil menghela napas lega. "Dia terlihat lebih baik," batinnya saat mengingat kejadian beberapa waktu lalu.

***

Karen berjalan pelan dengan handback putih di tangan kirinya. Menuju rumah dengan perasaan gelisah. Tangannya mengepal kuat mengingat bagaimana dia kurang professional saat menghantarkan kopi pelanggannya. Terutama jika mereka laki-laki.

"Kepalaku sakit!" desahnya pelan. Dengan tangan kanan dia memijat kulit di antara kedua matanya.

Dia lalu beralih menarik sedikit bagian dari rambutnya lama-lama agar sakit kepalanya teralihkan. "Aku harus terbiasa. Jika tidak aku bisa dipecat," pikirnya.

Sesampainya di rumah. Matanya menelusuri ruang kosong dan sepi itu, lampu-lampunya menyala terang, cat putih dan sage membuat rumah itu terasa luas dan tak berpenghuni.

Karen menempelkan telapak tangannya di dada, merasakan perasaan hampa di sana, rasa sunyi yang membuatnya terisolasi dari dunia liar.

Karen menghela napas panjang berkali-kali, menarik rasa negatif itu untuk diam dan menghilang. Dia memutuskan naik ke atas dan memutar musik ringan, menaruh tasnya ke dalam lemari dan membuka tirai kamar yang langsung menuju arah kota.

"Awannya berwarna ungu." Karen keluar dan berdiri di balkon selama beberapa saat, sebelum duduk dan menatap kosong awan sore yang berwarna warni itu. Pemandangan yang sangat menenangkan itu membantu melepas rasa gelisah di dalam dirinya

"Jam 17:40? Aku ingin istirahat sebentar," janjinya pada diri sendiri. Di balkon itu dia duduk bersandar nyaman, menutup mata dan tertidur karena rasa kantuk yang sangat kuat.

Karen terbangun tiba-tiba dengan mata yang basah. "Lagi-lagi mimpi itu!" gusarnya sedikit putus asa. Meski begitu dia tau mimpinya bukan sesuatu yang bisa dia kontrol.

Matanya menatap jam yang menunjukkan pukul 21.16, mulutnya terdiam. Lagi-lagi dia lupa waktu, pikirannya yang kosong membuat wanita malang itu melupakan kondisi tubuhnya yang tengah kedinginan.

Karen masuk dan menutup pintu dan tirai balkon rapat-rapat. Dia masuk ke kamar mandi dan melepas semua pakaiannya, setelah membersihkan diri, dia menyetel suhu air menjadi hangat dan berendam ke bathubnya.

"Aku harus bangun lebih awal besok!"

Suhu hangat air di dalam bathtub itu membuat Karen nanyam dan melamun, kepalanya menghadap ke langit-langit kamar mandi yang putih bersih. Wangi sabun membantunya terus melamun dalam pikiran kosong.

"Hari ini berjalan baik? Mungkin, besok bagaimana?"

Suara musik di liar tidak sampai ke telinganya, di sana hanya ada kekosongan dan kesunyian.

"Ku pikir aku benar-benar cengeng, pantas saja mereka membenciku!"

Air bening dari matanya jatuh ke dalam bathtub hangat itu, menyisakan rasa hangat di mata dan pipinya, beberapa menit kemudian dia mulai lupa dan tidak fokus.

***

Suara berisik dari smartphonenya membuat Karen bangun dengan pelan. Matanya turun ke bawah dan melihat genangan air dingin di badannya. Dengan pikiran kosong Karen beralih menatap telapak tangannya yang berkeriput hebat.

Dia berdiri dengan langkah gontai mengambil handuk dan keluar dari kamar mandi. Sambil mengigil dia mengambil smartphonenya dan mengangkat telpon itu.

"Hallo Karen? Apa kau sakit?"

BEEHAPPY

Holaa... Di BAB ini aku pengen sedikit berbagai informasi melalui cerita, di mana depresi itu kadang gak cuma teriak-teriak di luar kendali, tapi juga kadang bisa gak sadar sama waktu. terima kasih sudah baca. thank you so much readersssss

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status