❤️❤️❤️
“Dasar nyebelin!” gerutuku di dalam ruangan kerja.
Aku sangat kesal kepada laki-laki yang berada di samping ruangan kerjaku di kantor. Aku tidak mengerti kenapa harus berstatus menjadi istrinya. Hati pria itu keras seperti baja, dingin bak batu es. Terus terang, awalnya aku sama sekali tidak pernah berharap untuk menjadi pendamping hidupnya.
Hampir setiap hari sikapnya selalu membuatku ingin mengacak-acak rambutnya. Seenaknya dia memberikan perintah kepadaku seperti karyawati lainnya. Tidak adakah sedikit terlintas di benaknya kalau aku ini adalah istrinya?
Istri? Kenapa tiba-tiba aku merasa geli membayangkan kata itu? Sejak kapan aku setuju dan ikhlas menerima dirinya sebagai suamiku? Tidak sama sekali. Menikah dengannya adalah hanya semata-mata karena ingin bebas dari perjodohan yang direncanakan Papa dan Mama.
“Kamu harus menikah dengan Rama. Dia pasti akan memberikan segalanya untukmu.” Papa memaksaku beberapa bulan yang lalu untuk menikah dengan tuan tanah yang ada di desa tempat tinggalnya.
“Key nggak mau, Pah. Laki-laki itu lebih pantas menjadi ayah untuk Key.” Aku dengan yakin menolak permintaan Papa.
“Jika kamu tidak bersedia menikah dengan Rama, Papa kasih kamu waktu dua bulan agar segera menikah. Ingat, umur kamu tidak muda lagi. Kasihan adik kamu harus menunggu kakaknya duduk di pelaminan. Kamu tahu sendiri kalau dia sudah berencana menikah dengan pasangannya.” Papa panjang lebar memberikan penjelasan yang membuatku bingung.
“Tapi, Pah … Key nikah sama siapa?” Aku tidak terima dengan keputusan Papa.
“Kok, nanya Papa? Atau kamu mau tetap menikah dengan Rama saja?” Papa kembali menyebut nama laki-laki yang usianya terpaut dua puluh tahun dariku.
Siapa juga yang bersedia menjadi istri untuk duda yang bernama Rama? Aku benar-benar tidak dapat membayangkan harus hidup dengan laki-laki yang pantas menjadi ayahku. Papa sangat tega terhadap putri sulungnya ini.
Aku pun bingung harus menikah dengan siapa. Bagaimana mungkin dalam waktu dua bulan ini, aku mampu menemukan laki-laki yang bersedia mengajakku bersanding di pelaminan? Sudah bertahun-tahun lamanya, aku tidak memikirkan yang namanya kekasih.
Kriiing! Kriiing!
Suara telepon di meja kerja selalu berhasil mengagetkan diriku. Entah kenapa benda itu sering mengeluarkan suara saat hati ini sedang gundah gulana. Ingin rasanya menempatkannya di tempat yang jauh dariku supaya terbebas dari bunyi yang dikeluarkan.
Aku pun meraih gagang telepon lalu mengangkatnya. “Halo.”
“Ke ruangan saya sekarang!” Ternyata makhluk menyebalkan itu kembali memerintah diriku. Siapa lagi kalau bukan Farid, laki-laki yang berstatus sebagai suamiku.
“Baik, Pak.” Aku pun menutup telepon lalu melangkah menuju ruangannya.
“Maksudnya apa, nih?” Farid melemparkan berkas yang tadi aku serahkan kepadanya dengan kasar.
“Ada apa, Pak?” tanyaku penasaran.
“Lihat kerjaan kamu, nggak ada yang benar! Kamu bisa kerja, nggak?” Pertanyaannya membuatku ingin berbuat kasar kepadanya.
Aku sudah mengerjakan apa yang diminta tadi pagi, tetapi tidak tahu kenapa laki-laki itu justru menganggap pekerjaanku tidak benar. Farid selalu saja membuatku kesal dan tidak mengerti apa yang dia pikirkan. Dia sungguh menyebalkan.
“Tapi saya sudah menyiapkan semua yang Bapak minta.” Aku tetap berusaha membela diri.
“Siap apa seperti ini? Siap untuk dibuang?” Kalimatnya membuat dadaku terasa sesak. Apa yang kulakukan tidak dihargai sama sekali.
“Saya minta maaf, Pak. Izinkan saya memeriksanya kembali.” Aku pun mengambil berkas tersebut lalu meminta izin keluar dari ruangan Farid.
Dasar suami tidak punya perasaan, tahunya memerintah dan membentak saja. Salahku apa harus menikah dengan laki-laki seperti dia?
❤❤❤
“Key, aku ada kabar gembira, nih,” ucap Alea, dua bulan yang lalu. Dia merupakan sahabat terdekatku sejak duduk di bangku SMA.
“Kabar apaan?” tanyaku ingin tahu.
“Saudari papaku lagi cari menantu.” Alea dengan semangat memberikan kabar tersebut.
“Apa hubungannya denganku, Al?” tanyaku saat itu.
“Jelas ada, dong. Bukannya kamu cerita mau cari pendamping hidup karena desakan orang tua?” Alea mengingatkan kepedihanku kala itu.
“Oh, iya … aku hampir lupa, Al.”
“Kamu nggak bakalan kecewa, deh. Dia kakak sepupuku, cakep.”
“Tapi dia mau, nggak, nikahin aku?” Aku ragu dengan rencana Alea.
“Tenang aja. Semua bisa diatur. Dia sudah janji tidak akan menolak jika dicarikan jodoh untuknya. Tapi ….” Alea tiba-tiba menjeda.
“Tapi kenapa, Al?” Aku bingung melihat perubahan wajah Alea.
“Dia super dingin, cuek, dan egois. Apa kamu sanggup menghadapi cowok seperti itu?”
“Aku juga nggak tahu, Al. Tapi aku akan berusaha karena aku nggak mau dinikahkan papaku dengan cowok yang pantas menjadi ayahku. Lebih baik hidup bersama cowok dingin, cuek, dan, egois daripada laki-laki tua.” Aku sangat yakin mengucapkan pernyataan itu kepada Alea.
“Okeh, deh. Nanti aku pertemukan kamu dengan Tante Laras. Beliau orang baik. Kamu pasti nggak akan nyesal memiliki mertua seperti dirinya.”
“Apaan, sih. Mikirnya kejauhan. Beliau mau, nggak, punya menantu sepertiku?”
“Pasti mau, dong. Siapa, sih, yang nggak mau memiliki menantu cantik?”
“Cantik tapi nggak laku, itu kata adikku. Ha-ha-ha!”
Beberapa hari kemudian, aku pun bertemu dengan Tante Laras. Entah kenapa, wanita paruh baya tersebut langsung tertarik ingin menikahkan aku dengan putranya. Beliau pun menyampaikan akan segera menemui orang tuaku.
Tidak butuh proses panjang, sebulan kemudian, aku resmi menikah dengan anak Tante Laras, Farid. Wanita tersebut sekarang aku panggil dengan sebutan “Mami”. Dia sangat baik dan pengertian, aku merasa menjadi perempuan paling beruntung memiliki mertua seperti beliau.
Walaupun Farid bersikap dingin kepadaku, tetapi aku masih memiliki mertua dan adik ipar yang perhatian. Mereka yang telah membuatku untuk tetap bertahan menjadi istri Farid. Kalau mengingat perlakuan laki-laki itu, rasanya ingin berhenti menjadi pendamping hidupnya.
Dua bulan menjadi istri Farid, membuatkup menemukan keluarga baru yang berhati baik. Pria itu terdiri dari tiga bersaudara. Dia memiliki kakak dan adik perempuan. Farid merupakan anak laki-laki satu-satunya.
Kakak perempuannya yang bernama Cindy, tinggal bersama suaminya. Sementara adik bungsu masih berstatus sebagai mahasiswi dan sekarang sedang duduk di tingkat dua. Dia gadis manja, tetapi sangat sayang kepadaku.
“Gimana suasana di kantor, Sayang?” tanya mami mertua kepadaku. Saat ini kami sedang menikmati makan malam bersama.
“Seperti biasa, Mih. Berusaha membantu pekerjaan Farid.” Aku melirik ke arah laki-laki itu.
“Nggak kerasa, ya, kamu udah dua minggu bantu Farid di kantor.” Papi mertua membuka suara.
“Bantu merusak pekerjaan Farid, Pih,” ucap Farid. Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh laki-laki itu.
Farid menghentikan makannya lalu dia pun beranjak menuju ruang keluarga. Entah kenapa laki-laki itu selalu mencari kesalahanku, padahal aku sudah berusaha membantunya mengurus pekerjaan sesuai dengan permintaan mami mertua.
Mampukah aku untuk tetap bertahan menjadi istri Farid? Apakah keputusanku sudah tepat memilihnya sebagai suami?Apa yang harus aku lakukan?
============
🏵️🏵️🏵️Akhirnya, Kenzo dan Nayla resmi menyandang status sebagai pasangan suami istri hari ini. Aku melihat kebahagiaan terpancar di wajah adik iparku tersebut. Aku berharap agar pernikahannya dengan Kenzo langgeng hingga ke akhir hayat.Setelah acara resepsi selesai, aku dan Farid langsung menuju kamar, sedangkan Rafa sudah tertidur pulas digendongan papanya. Farid pun merebahkan sang buah hati kami ke tempat tidur. Sementara aku dan laki-laki tampan itu membersihkan badan secara bergantian ke kamar mandi. Sekarang giliran dia, dan aku memilih berbaring di tempat tidur.Aku kembali mengingat apa yang Kenzo ucapkan dua minggu yang lalu. Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Ucapannya menggambarkan seolah-olah dia ingin mengikutiku hingga akhirnya menikahi Nayla. Apa mungkin ini hanya perasaanku saja?Kenzo tidak tahu kalau Farid sudah percaya kepada dirinya untuk membahagiakan Nayla. Farid menganggap Kenzo sebagai laki-laki yang mampu bertanggung jawab karena bersedia menerim
🏵️🏵️🏵️ Di satu sisi, aku mengerti bagaimana perasaan Farid saat kesalahpahaman di antara kami terjadi dulu hingga mengakibatkan perpisahan. Namun di sisi lain, aku juga tidak suka jika dirinya selalu mengungkit masa lalu. Aku ingin menjalani kehidupan rumah tangga kami tanpa adanya bayang-bayang masa lalu. Aku berharap agar Farid memercayai istri yang telah memberikan cinta kepadanya. Dia harus tahu kalau aku sangat bangga memiliki suami seperti dirinya. “Sayang, kamu tahu, nggak?” Aku memainkan rambut Farid. “Apa, Sayang?” Dia mengusap-usap pipiku. “Aku bangga memiliki suami seperti dirimu. Jadi, aku harap kamu tidak akan cemburu lagi mengingat masa laluku.” “Iya, Sayang. Aku juga merasa menjadi pria paling beruntung memiliki istri sepertimu. Jangan ada rahasia di antara kita. Aku janji akan selalu mencintaimu.” Aku sangat bahagia melihat perubahan Farid yang jauh berbeda dari yang dulu. Kini, dia berubah menjadi sosok yang sangat perhatian dan penyayang. Dia tidak pernah la
🏵️🏵️🏵️ “Iya, Sayang. Memangnya kenapa?” Farid justru bertanya. “Aku, sih, senang. Tapi aku heran lihat perbahanmu. Bukankah selama ini kamu benci banget sama Kenzo?” “Aku akan mengubur kebencian itu demi Nay, Sayang. Semoga dia yang terbaik untuk Nay.” “Syukur, deh, kalau kamu akhirnya mikirin apa yang terbaik untuk Nay.” “Sebenarnya ada sesuatu yang membuatku ingin marah padamu, tapi aku nggak kuasa.” “Kok, marahnya ke aku?” Aku tidak mengerti apa yang Farid pikirkan. “Kamu menutupi rahasia besar dari suamimu.” Wajah Farid tampak serius. “Rahasia besar? Maksudnya?” Aku tidak mengerti apa maksud laki-laki itu. “Hubungan Nay dan pria masa lalunya.” Aku berpikir, apa mungkin Nayla telah menceritakan kebenaran kepada kakaknya tersebut? “Hubungan yang seperti apa?” Aku bersikap seolah-olah tidak mengetahui apa yang terjadi terhadap Nayla. “Kenapa kamu masih berpura-pura, Sayang?” “Jadi, aku harus bilang apa? Aku nggak berani cerita tentang duka yang Nay rasakan. Aku nggak ma
🏵️🏵️🏵️ Dua minggu berlalu setelah aku melahirkan. Aku benar-benar merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena memiliki buah hati tercinta. Pun dengan Farid yang tidak ingin jauh dari Rafa apabila sudah pulang kantor. Seperti saat ini, Farid dengan bangganya memangku putra kami di taman belakang setelah dirinya kembali dari aktivitas rutin di kantor. Aku juga turut duduk di sampingnya. Dia makin menunjukkan perhatiannya sebagai seorang suami terhadap diriku. Dia mengaku sangat bangga memiliki istri yang telah melahirkan anaknya. Aku benar-benar tidak melihat lagi sifat egois dan sikap dingin yang dulu dia tunjukkan kepadaku. Kini, dia berubah menjadi sosok yang selalu lembut dan mengalah terhadap istri. “Gantengnya anak Papa.” Farid mengusap pipi Rafa sambil berbicara. “Siapa dulu, dong, yang ngelahirin.” Aku mencoba menggodanya. “Iya, dong. Mamanya cantik.” Dia membelai rambutku. “Wanita terbaik yang bersedia mendampingi hidupku.” Aku tidak kuasa memandang tatapan sendunya.
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak mengerti kenapa perutku tiba-tiba sakit, padahal sebelumnya tidak pernah mengalami hal seperti ini. Apa mungkin aku akan segera melahirkan? Rasa sakit itu makin sering muncul. “Aku panggilin Mami, ya, Kak.” Nayla pun keluar dari kamarku. Tidak sampai lima menit, mami mertua dan Nayla akhirnya memasuki kamar. Wanita paruh baya itu memintaku untuk bertahan karena beliau akan menghubungi Farid. Dia pun berbicara dengan putranya tersebut di telepon. “Rid, kamu pulang sekarang. Sepertinya Key akan melahirkan.” Setelah menyampaikan kalimat tersebut, beliau pun menutup telepon. Sekarang tidak hanya perutku yang sakit, tetapi pinggang juga. Nayla mengusap-usapnya, ternyata cara itu dapat mengurangi sedikit rasa sakit. Sementara mami mertua mengelus-elus perutku. “Key gimana, Mih?” Farid pun akhirnya tiba di rumah. Dia langsung menghampiriku. “Kita ke rumah sakit aja sekarang, Rid.” Mami mertua tampak panik. “Iya, Mih.” Farid memapahku keluar kamar menuju mobilnya ya
🏵️🏵️🏵️ “Iya, Sayang. Dia udah nggak sabar untuk keluar. Dia juga harus tahu kalau papanya juga udah pengen banget gendong dia.” Dia mengusap-usap perutku. “Mamanya juga, dong.” Aku turut menimpali. “Iya, deh. Nggak mau kalah. Padahal dulu paling penurut sama suami.” Dia menjauhkan tangannya dari perutku lalu mengusap pipiku. Aku berharap dia sudah lupa dengan kedatangan Kenzo ke rumah ini. “Dulu kamu galak, sering marahin aku. Aku takut, dong.” “Kasihan. Tapi sekarang udah mulai ngelawan.” “Bukan ngelawan, tapi kasih pendapat.” “Tapi aku bahagia dengan perubahan sikap kamu, Sayang. Aku merasa kalau cintaku benar-benar udah sempurna karena dapat balasan darimu.” “Pintar lebay sekarang. Cuek dan egoisnya ke mana?” “Berubah jadi sayang sejak dicintai istri.” “Nggak nyangka, ya, ternyata cowok dingin bisa hangat juga.” “Kamu yang hangatin, Sayang.” Dia memainkan mata kirinya lalu mendekatkan wajahnya. “Mulai lagi, deh.” Aku sangat tahu apa yang Farid inginkan. Tidak masalah
🏵️🏵️🏵️ Malam ini suasana tampak indah, bulan dan bintang telah menunjukkan sinarnya yang terang. Namun, setelah melihat kehadiran Kenzo, aku tiba-tiba tidak menikmati keindahan itu lagi. Saat ini, aku justru khawatir jika Farid menunjukkan sikap egoisnya. Entah kenapa Farid tidak mencoba membuka diri untuk melupakan kejadian di masa lalu, padahal aku sudah berusaha meyakinkan dirinya kalau Kenzo tidak berarti lagi untukku. Dia tidak lebih dari seorang teman lama. Aku ingin mengatakan kepada Farid agar dirinya memberikan kesempatan kepada Kenzo untuk mencintai wanita lain. Kebetulan sekarang Kenzo dekat dengan Nayla. Setiap orang berhak untuk memiliki pilihan. Itu yang aku tahu. Jika aku memberikan saran kepada Farid, aku tidak yakin kalau dia akan menerimanya begitu saja. Apalagi ini berkaitan dengan Kenzo, lelaki yang pernah istrinya cintai. Farid pria yang sulit menerima pendapat orang lain. “Ada perlu apa ke sini, Bro?” Farid pun mengeluarkan suara khasnya, tegas. “Aku ingi
🏵️🏵️🏵️ “Bunga! Kamu sama siapa?” Aku langsung berdiri, lalu menghampiri adikku satu-satunya tersebut. Kami pun berpelukan. Saat hati ini terluka melihat sikap sang adik ipar, tiba-tiba adik kandung datang untuk mengobati. Bunga segera menyalami kedua mertuaku dan Farid. Aku memintanya sarapan, tetapi dia menolak karena akhir-akhir ini selera makannya berkurang. Aku berpamitan lalu beranjak menuju kamar bersama Bunga. Kami memilih duduk di sofa agar dapat melihat keluar dan merasakan hangatnya sinar mentari pagi. Kami pun mulai berbincang dan tertawa. “Hamil Kakak udah gede, ya. Kita udah beberapa bulan nggak ketemu. Kalau video call, Kakak nggak pernah nunjukin perutnya.” Bunga mengusap perutku. “Delapan bulan. Kakak gemukan, nggak?” “Biasanya aja, sih, menurutku. Gemuk perutnya aja.” “Nggak nyangka, ya, awalnya nikah dengan laki-laki bukan pilihan, tapi sekarang justru mengandung anaknya.” “Tapi sekarang udah pilihan, dong.” Bunga memainkan alisnya sambil tersenyum. “Iya.
🏵️🏵️🏵️ Jika ada yang bertanya saat ini seperti apa wajah yang Farid tunjukkan, aku akan menjawab mirip udang rebus. Entah kenapa tiba-tiba dia menunjukkan reaksi seperti orang yang sedang menahan amarah melihatku. “Kamu kenapa?” tanyaku kepada laki-laki itu. Aku pun bangun dari rebahan lalu bersandar ke sandaran ranjang. “Sepertinya kamu sengaja ingin tetap membuatku cemburu. Kenapa, Sayang?” Entah tuduhan apa lagi yang dia tujukan kepadaku. “Maksud kamu apa, sih?” Aku tidak mengerti dengan apa yang Farid katakan. “Lihat ini.” Dia pun memberikan ponselku. Aku membaca pesan masuk di benda pipih tersebut, terdapat nama Kenzo di layar. Dari mana pria itu mendapatkan nomor kontak baruku? Padahal aku sudah menggantinya sejak kejadian Farid mengusirku dari rumah. [Entah kenapa takdir kembali mempertemukan kita. Padahal sebelumnya, aku nggak tahu kalau Nay adik iparmu. Tapi kamu jangan salah sangka, aku sama sekali nggak punya maksud lain. Aku benar-benar tertarik pada Nay setela