Share

2. Sahabat dan Ayam Goreng

Drrt drrt

Ponsel Sena yang sengaja dia letak di dalam kantung blazernya bergetar. Sahabatnya, Da-Som, mengirimnya pesan singkat melalui sebuah aplikasi. Sebuah permintatolongan yang biasa Da-Som minta ketika dirinya sangat sibuk dengan kuliah strata duanya. Sena yang sedang berjalan sambil menenteng kantung belanjaan dari sebuah swalayan, hanya membalas pesan Da-Som dengan stiker andalannya.

Dia tersenyum, setidaknya dengan membantu sahabatnya menggantikan pekerjaan sampingan, Sena bisa mengisi waktu kosong selama beberapa hari. Sena berjalan cepat, dia sangat kelaparan karena belum mengisi perutnya di siang hari. Dengan tidak makan di luar, Sena bisa menyimpan uangnya untuk keperluan yang lain. Apalagi makanan di pusat kota tidak semurah makanan di tempat asalnya. Sudah menjadi kebiasaan Sena membawa bekal sendiri saat bekerja dulu. Dia tidak mau selalu menghabiskan uang untuk makan di luar.

Sesampainya di apartemen, Sena mengeluarkan ponselnya dan berniat memesan ayam goreng yang sering dipesannya bersama Da-som. Ponselnya kembali bergetar, Da-som menanyakan dirinya sudah berada di rumah atau belum dan menyuruhnya untuk menunggu sahabatnya itu datang dan tidak memesan makanan apa pun atau memasak apa pun.

Tidak sampai sepuluh menit, Da-Som datang membawa tentengan yang terlihat sangat familier oleh Sena. Itu adalah ayam goreng langganan mereka. Sena berteriak senang dan reflek memeluk Da-som.

“Wah! Kau benar-benar yang terbaik!” Sena memberikan dua jempolnya dan mengarahkannya ke wajah Da-Som.

“Aku sangat tidak enak selalu minta pertolonganmu untuk menggantikanku di kafe.”

“Tapi, tumben sekali kau langsung datang membawa ayam?” tanya Sena yang sedang membuka kotak ayam goreng itu.

“Hmm, Sena. Jangan marah ya, besok itu aku akan bekerja penuh di kafe. Dan waktunya berdempetan dengan jadwal ujianku untuk besok,” kekeh Da-Som. Sena menahan diri agar tidak marah kepada sahabatnya itu.

“Haa, baiklah. Apa pun untuk dirimu sayang,” goda Sena.

“Makasih Sena! Kau memang bisa aku andalkan,” jawab Da-Som yang memeluk Sena dari samping. Sena menoyor kepala Da-som pelan. Orang yang ditoyor itu hanya cengengesan.

“Bagaimana interview-mu hari ini?” tanya Da-Som.

“Lancar, aku memiliki firasat akan langsung keterima!” jawab Sena dengan percaya dirinya.

“Semoga! Akan kudoakan kau akan menjadi sekretaris yang banyak uangnya!” balas Da-som sambil tertawa. Mereka berdua sudah sering mendiskusikan pekerjaan yang akan diambil oleh Sena ini. Bahkan Da-som sering menggoda Sena untuk sengaja mendekati direkturnya nanti.

“Jika kau sudah lulus dari kuliahmu, ketika kau melamar pekerjaan kau pasti akan lebih tajir dibandingkan denganku. Betul begitu ibu Notaris?” Sena balik menanggapi ucapan Da-som.

“Ah, kau bisa saja! Omong-omong bagaimana kabar kakakmu?”

Pertanyaan Da-Som membuat Sena tersedak. Dia tidak percaya Da-Som akan menanyai kakaknya. “Se-Jun, maksudmu?” tanya Sena kembali setelah meminum soda yang diberi Da-Som.

“Iya, kakakmu kan hanya Se-Jun. Memang ada yang lain?”

“Dia baik-baik saja. Tapi aku sedikit sangsi dengan pacarnya. Gelagat perempuan itu sangat mencurigakan. Aku takut dia ada bermain di belakang kakakku.”

“Maksudmu?” tanya Da-Som yang  terlihat sangat penasaran.

“Perempuan itu sepertinya materialistis. Masa belum nikah saja, dia sudah menyuruh kakakku untuk deposit apartemen.”

“Yang itu kau sudah ceritakan, apakah ada hal lain yang membuatmu melihat perempuan itu dengan curiga.”

“Ada! Sepertinya aku lupa memberi tahumu mengenai masalah ini. Beberapa bulan yang lalu, kakakku membeli mobil secara kredit! Dan kau tahu surat kepemilikan itu nama siapa? Nama perempuan itu! Kalau pembelian mobil kredit itu atas nama perempuan itu aku tidak masalah, tapi itu atas nama kakakku.”

“Bukannya hal itu sudah biasa, ya? Maksudku kan mereka sudah ada rencana untuk menikah juga,” jawab Da-Som. Sena memutar bola matanya karena tiba-tiba terbayang perempuan itu.

“Bagaimana jika dia kabur? Kau tahukan kakakku sering sekali lembur? Bagaimana kalau perempuan itu bermain di belakang kakakku dan memerasnya? Aku sudah memperingatkannya berkali-kali untuk tidak berlebihan memberinya segala hal, tapi dia tidak mau mendengarkan.” Sena menghela napasnya panjang.

“Sena, kadang apa yang kau bilang menjadi kenyataan, lho?” Da-Som terlihat waspada.

“Kalau hal ini jangan sampai terjadi, kasihan sekali kakakku jika itu terjadi. Aku tidak bisa membayangkannya sengsara karena perempuan itu.”

“Baiklah, kita doakan saja hanya hal yang baik saja yang terjadi di antara kita, oke?” Da-Som tersenyum tepis. Sena membalas senyum itu. Dia tahu sahabatnya itu tidak ingin kakaknya sedih.

“Sena, kau akan menjadi sekretaris tidak lama lagi. Bagaimana kalau kita belanja baju?” ajak Da-Som yang terdengar sangat antusias.

“Astaga, Da-Som! Kau malah memikirkan pakaianku. Lebih baik aku fokus saja dengan ujianmu itu. Kau mending pulang dan belajar untuk ujianmu! Kuliah keprofesian sudah sangat mahal, jangan sampai nilaimu yang buruk itu merusak segalanya!” Sena tidak senang dengan sifat Da-som yang selalu memikirkan orang lain terlebih dahulu dibanding dirinya. Memang sifat itu baik, hanya saja jika dia dimanfaatkan oleh orang lain, itu akan membuat hati Da-Som terluka.

“Ah, maafkan aku Sena,” balas Da-Som dengan suara yang sedikit bergetar.

“Aku yang harusnya minta maaf, Da-Som. Maafkan aku sudah membentakmu. Aku tidak ingin nilai ujianmu anjlok karena kita keasikan berbelanja. Lebih baik kau pulang sekarang untuk belajar, tidak baik jika kau terus begadang,” kata Sena. Da-Som tersenyum manis mendengar perkataan dari sahabatnya.

“Terima kasih, Sena. Kau memang selalu memikirkanku. Baiklah setelah menghabiskan ini aku akan pulang.” Mereka berdua berbincang sedikit sambil menghabiskan ayam dan minuman soda.

“Biar aku antar ke halte,” tawar Da-Som.

“Tidak perlu Sena, kau istirahat saja. Aku tahu kau pasti lelah setelah wawancara tadi,” tolak Da-Som dengan sopan.

“Aku akan mengantarmu. Aku sudah tidur sebentar di bus tadi. Lagi pula aku ingin membakar kaloriku sedikit.”

“Baiklah, Sena. Tunggu, kau tertidur atau sengaja tidur di bus?” tanya Da-Som yang membesarkan matanya. Dia tidak menyangka Sena akan berani tidur di bus, setelah kejadian dirinya tidak bangun-bangun hingga halte terakhir.

“Aku  ketiduran. Aku sangat kelelahan dan tidak sadar tertidur. Kau tahu apa yang terjadi saat aku tertidur?”

“Apa? Ayo cepat katakan! Aku malas menebaknya,” imbuh Da-Som.

“Aku menyandar pada baha seorang laki-laki.” Da-Som terkejut mendengar perkataan Sena. Dia menyenggol sahabatnya itu dengan gemasnya.

“Apa yang kau pikirkan, huh? Mengapa kau malah senang?”

“Bukankah itu sangat sweet?” sambung Da-Som seraya mencolek pipi Sena.

“Imajinasimu sangat berlebihan. Aku sangat malu tahu! Untung saja aku tidak ngiler!” Sena mengingat kejadian tadi. Dia sangat beruntung karena lelaki itu juga tertidur. Jika saja dia telat turun dan lelaki itu sudah bangun, entah apa yang harus dilakukan Sena atas tindakan yang memalukan itu.

Da-Som menanggapinya dengan tertawa lepas. Mereka berjalan ke luar apartemen Sena. Sambil berjalan menuju halte, Sena dan Da-Som berbincang sedikit mengenai pekerjaan sampingan Da-Som. Besok akan menjadi hari pertamanya membantu sahabatnya itu untuk bekerja seharian penuh di kafe.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status