Share

cepat 3

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2025-04-06 13:24:54

Darah hitam kental itu menyembur dari mulut Siska, memercik ke lantai dan dinding, meninggalkan aroma busuk yang menusuk. Tubuhnya terhuyung ke belakang, lalu terjatuh dengan suara gedebuk keras. Kepalanya menghantam lantai, membuat semua orang di ruangan itu menahan napas.

“Siska!” Arman berlari mendekati tubuh istrinya, tetapi Ayahnya dengan cepat menariknya mundur.

“Jangan sentuh dia, Arman!” seru Ayahnya, suaranya penuh perintah dan kepanikan.

Siska terbaring tak bergerak, wajahnya memucat seperti mayat. Napasnya hampir tak terdengar, sementara tubuhnya gemetar, seperti tersiksa oleh sesuatu yang tak kasat mata. Ibu Arman segera mengambil selimut yang terlipat di sofa, menutupinya untuk menghangatkan tubuhnya yang mulai dingin.

“Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang!” ujar Ayahnya.

Arman mengangguk, masih gemetar. Ia mengulurkan tangan untuk membantu mengangkat Siska, tetapi tubuh istrinya terasa sangat berat, seolah ada sesuatu yang menahan mereka. Butuh seluruh kekuatan mereka untuk memapahnya keluar rumah, melewati para tetangga yang terdiam ngeri menyaksikan kejadian itu.

~~

Suasana dalam mobil penuh ketegangan. Siska tergeletak di kursi belakang, kepala bersandar di pangkuan Ibu Arman. Napasnya pendek dan terputus-putus, matanya setengah tertutup. Arman mengemudi dengan kecepatan tinggi, matanya fokus ke jalan, tetapi pikirannya berantakan.

Di sebelahnya, Ayahnya mencoba menghubungi rumah sakit, memberi tahu kondisi Siska agar mereka bersiap menerima pasien darurat. “Tulangnya mungkin patah,” katanya kepada petugas di telepon. “Kepalanya terbentur keras. Kami sedang dalam perjalanan.”

Namun, di tengah perjalanan, Siska tiba-tiba menggeram pelan. Suara itu terdengar bukan seperti suara manusia—lebih seperti binatang yang terluka. Ibu Arman memandang ke bawah, matanya melebar.

“Siska?” bisiknya, mencoba membangunkan menantunya.

Tubuh Siska bergerak perlahan, tangannya terangkat, menggenggam udara dengan gerakan kaku. Bibirnya bergerak, tetapi yang keluar hanyalah bisikan tak jelas.

“Mama? Mama kenapa?” suara kecil dari kursi belakang membuat mereka semua menoleh.

Asha, yang duduk di sudut dengan wajah basah oleh air mata, menatap ibunya dengan ketakutan. Tangannya yang kecil mencoba menyentuh wajah Siska, tetapi Ibu Arman menahannya.

“Asha, jangan,” ucapnya lembut. “Biarkan Mama istirahat.”

~~

Begitu tiba di rumah sakit, tim medis langsung membawa Siska ke ruang gawat darurat. Para perawat bekerja cepat, memeriksa denyut nadinya, memasang infus, dan mengikatkan penyangga leher untuk memastikan tulang lehernya tidak mengalami cedera serius.

Arman berdiri terpaku di depan ruang gawat darurat, matanya terpaku pada pintu yang tertutup. Asha memeluk kakinya erat-erat, wajah kecilnya tenggelam di balik jaket ayahnya.

“Asha, jangan takut,” bisik Arman, meski suaranya sendiri terdengar tidak meyakinkan.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, seorang dokter keluar dari ruangan. “Pak Arman?” panggilnya.

Arman langsung menghampiri, diikuti oleh orang tuanya. “Bagaimana kondisi istri saya, Dok?”

“Cedera di kepala dan tulang lehernya cukup parah. Kami harus melakukan operasi untuk memastikan tidak ada pendarahan di otak dan memperbaiki kerusakan pada tulangnya.”

Mendengar itu, Arman merasa lututnya hampir menyerah. Ia memandang dokter dengan mata penuh harapan. “Apakah dia akan baik-baik saja?”

“Kami akan melakukan yang terbaik,” jawab dokter dengan tegas. “Tolong doakan yang terbaik.”

~~

Asha tertidur di pangkuan Ibu Arman, sementara Arman duduk di kursi tunggu dengan tangan menggenggam kepalanya. Ruang operasi berada di sisi lain dari kaca besar, di mana ia bisa melihat bayangan tim medis bekerja dengan cepat. Setiap menit terasa seperti seabad.

Pikirannya terus kembali ke momen sebelum semuanya berubah. Wajah Siska yang penuh senyum, suara tawa Asha, dan kehidupan mereka yang dulu normal. Kini, semua itu terasa seperti mimpi yang jauh.

“Arman,” suara Ayahnya memecah keheningan. “Apa sebenarnya yang terjadi di rumah tadi?”

Arman menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, Yah. Siska… dia berubah. Ada sesuatu yang masuk ke dalam dirinya. Aku tahu ini terdengar gila, tapi itu bukan Siska. Dia… dia melukai Asha.”

Ayahnya terdiam, matanya memandang ke arah pintu ruang operasi. “Apa pun itu, kita harus mencari jawabannya. Setelah Siska pulih, kita akan menemukan jalan keluarnya bersama.”

~~

Tiga jam kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Dokter keluar dengan wajah lelah tetapi tersenyum tipis. “Operasi berjalan lancar. Istri Anda akan dipindahkan ke ruang ICU untuk pemantauan lebih lanjut.”

Arman hampir menangis lega. “Terima kasih, Dok.”

Tidak lama kemudian, Siska dibawa keluar menggunakan brankar, tubuhnya terbaring lemah dengan selang infus dan alat bantu pernapasan. Arman berjalan di sampingnya, memegang tangan istrinya yang dingin.

“Mama akan baik-baik saja, Asha,” bisiknya kepada anaknya yang menggenggam ujung jaketnya.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Saat brankar Siska melewati ruang bayi menuju ruang ICU, bayi-bayi di ruang itu mulai menangis bersamaan. Suaranya memekakkan telinga, memenuhi lorong dengan nada yang tidak wajar. Para perawat yang mendorong brankar berhenti sejenak, bingung dengan situasi tersebut.

“Ada apa ini?” tanya salah satu perawat.

Namun, tangisan bayi itu semakin menjadi-jadi, seolah merasakan sesuatu yang tidak kasat mata. Asha menatap ke arah ruangan itu, matanya membelalak.

“Papa… itu…” Asha menunjuk sesuatu di ujung lorong.

Arman mengikuti arah pandangan anaknya, dan jantungnya langsung mencelos. Di ujung lorong yang gelap, ia melihat bayangan hitam berdiri diam, dengan mata merah menyala menatap langsung ke arahnya.

Bayangan itu mengangkat satu tangan, menunjuk ke arah Siska, lalu menghilang begitu saja. Bersamaan dengan itu, terdengar suara laki - laki dari arah belakang,"Maaf, bisa kita bicara? Sepertinya bukan masalah yang menyenangkan untuk dibahas. Tapi jika tidak dibicarakan lebih lanjut, kemungkinan keluarga bapak bisa meninggal."

Arman dan keluarganya menoleh ke arah suara, dan tampak seorang laki-laki berumur sekitar 50 yang sedang berjalan di koridor rumah sakit yang sama, menghentikan langkah Arman dan keluarganya dengan ekspresi wajah serius.

Next?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 6

    Arman terdiam, memandang sesajen di ruang tamunya dengan pandangan tak percaya. Ayahnya berdiri di sampingnya, menutup hidung sambil sesekali memandangi pintu dan jendela rumah. “Pintunya terkunci, kan?” tanya Ayahnya dengan suara rendah namun tegas. Arman mengangguk, lalu segera memeriksa kunci pintu utama. Setelah memastikan kuncinya masih dalam keadaan terkunci rapat, ia bergegas menuju jendela, memeriksa satu per satu dengan hati-hati. Tidak ada yang terbuka. Semuanya terkunci dari dalam. “Tidak mungkin ada yang masuk, Yah,” ujar Arman, suaranya bergetar. “Tapi kalau tidak ada yang masuk, bagaimana benda ini bisa ada di sini?” Ayahnya menatap sesajen itu dengan mata tajam. Wajahnya memancarkan kecemasan yang ia coba sembunyikan. “Ini pertanda buruk. Rumah ini sudah tidak aman lagi, Arman.” Arman menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya. Ia tahu Ayahnya jarang berbicara seperti itu. “Kalau begitu, aku harus pergi dari sini malam ini.” “Ya,” jawab Ayahnya cepat. “Ambil bar

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 5

    Jeritan perawat itu menggema di sepanjang lorong, membuat suasana rumah sakit yang semula tenang berubah mencekam. Arman, Ayahnya, dan Pak Ahmad segera berdiri, langkah mereka tertuju pada pintu ruang ICU yang kini terbuka sedikit. Seorang perawat berlari keluar dengan wajah pucat pasi, napasnya terengah-engah. “Ada apa, Sus?” tanya Arman, mencoba menahan rasa paniknya. “Pasien—istri Bapak,” perawat itu terisak, suaranya bergetar. “Dia… dia tiba-tiba bangun dan berteriak. Padahal dia belum sadar penuh dari operasi. Tangan dan kakinya bergerak tidak terkendali… seolah-olah ada sesuatu yang menggerakkan tubuhnya. Padahal seharusnya pasien masih dalam pengaruh obat bius pasca operasi.” Pak Ahmad melangkah maju, wajahnya dingin namun serius. “Saya harus masuk. Ini bukan sekadar efek medis.” “Pak, kami tidak bisa mengizinkan sembarang orang masuk ke ruang ICU,” kata perawat itu, meskipun tubuhnya gemetar. “Saya tahu apa yang saya lakukan,” ujar Pak Ahmad dengan nada tegas. “Percayala

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 4

    Lorong rumah sakit terasa semakin dingin saat Arman, Ayahnya, dan Ibu Arman menghentikan langkah mereka. Bayangan hitam yang tadi dilihat oleh Asha masih terpatri di benak Arman. Namun, perhatian mereka kini tertuju pada pria paruh baya yang berdiri di depan mereka. Dengan kemeja putih lusuh dan peci di atas kepalanya, pria itu tampak serius namun tenang.“Bapak dan keluarga maaf kalau saya mengganggu,” ucap pria itu sambil menundukkan kepalanya sedikit. “Saya Pak Ahmad. Saya juga wali pasien di rumah sakit ini. Tapi saya tidak bisa diam melihat situasi keluarga Bapak tadi di lorong.”Arman menatap pria itu dengan ragu. Ia merasakan dorongan kuat untuk menolak berbicara dengannya, namun ada sesuatu di tatapan pria itu—kejujuran dan ketegasan yang sulit diabaikan. Ayahnya, di sisi lain, menyipitkan mata, mencoba menilai niat Pak Ahmad.“Kami sedang tidak ingin berbicara dengan orang asing, Pak,” ujar Ayahnya datar, memalingkan wajah.Pak Ahmad mengangguk, tidak terlihat tersinggung. “S

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 3

    Darah hitam kental itu menyembur dari mulut Siska, memercik ke lantai dan dinding, meninggalkan aroma busuk yang menusuk. Tubuhnya terhuyung ke belakang, lalu terjatuh dengan suara gedebuk keras. Kepalanya menghantam lantai, membuat semua orang di ruangan itu menahan napas.“Siska!” Arman berlari mendekati tubuh istrinya, tetapi Ayahnya dengan cepat menariknya mundur.“Jangan sentuh dia, Arman!” seru Ayahnya, suaranya penuh perintah dan kepanikan.Siska terbaring tak bergerak, wajahnya memucat seperti mayat. Napasnya hampir tak terdengar, sementara tubuhnya gemetar, seperti tersiksa oleh sesuatu yang tak kasat mata. Ibu Arman segera mengambil selimut yang terlipat di sofa, menutupinya untuk menghangatkan tubuhnya yang mulai dingin.“Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang!” ujar Ayahnya.Arman mengangguk, masih gemetar. Ia mengulurkan tangan untuk membantu mengangkat Siska, tetapi tubuh istrinya terasa sangat berat, seolah ada sesuatu yang menahan mereka. Butuh seluruh kekuatan

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 2

    Arman berlari ke arah Asha, namun bayangan hitam itu bergerak cepat, menempel di dinding, dan menyerangnya dengan gerakan yang tidak manusiawi. Sebelum ia sempat meraih Asha, tangan panjang Siska mencengkeram tubuhnya, menariknya dengan kekuatan yang tak terkira. Arman berusaha melawan, meronta, namun cengkeraman itu semakin kuat, hampir membuat tulangnya retak.Siska melemparkan Arman sampai punggung Arman beradu dengan dinding rumah. Dan dengan gerakan secepat kilat, Siska menatap ke arah Asha, anaknya, tertawa menyeringai, lalu mencekik Asha hingga tubuh sang anak terangkat jauh di atas lantai. Pekikan ketakutan Asha bercampur dengan tawa menyeramkan dari Siska. “Asha!” teriak Arman sekali lagi, mengulurkan tangan dengan sisa kekuatan yang dimilikinya.Namun Asha mulai terdiam, sementara itu warna bola mata Siska semakin menghitam. Siska menatap Asha dengan penuh kebencian, dan Arman tahu bahwa ada kekuatan gelap yang menguasai istrinya. Ini bukan lagi Siska yang ia kenal. Ini ad

  • CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!    cepat 1

    CEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN! "Pa, cepat pulang! Mama jadi setan!"Suara itu melengking di ujung telepon, membuat Arman terlonjak dari tidur. Jantungnya berdegup kencang, tangan menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menatap layar yang berkedip-kedip, menampilkan nama putrinya, Asha, yang baru berusia tujuh tahun.“Asha? Apa maksudmu?” tanyanya tergesa-gesa, suaranya serak karena baru terbangun.“Mama… Mama aneh, Pa. Matanya merah, suaranya kayak orang lain. Dia nyebut-nyebut nama yang aku nggak ngerti,” Asha terdengar terisak. “Pa, aku takut…”Detik itu juga Arman tahu, ini bukan sekadar mimpi buruk. Asha bukan tipe anak yang suka bercanda, apalagi di saat dia sibuk bekerja. Ada sesuatu yang salah.“Dengar, Nak, jangan mendekat ke Mama, ya? Kamu sembunyi di kamar dan kunci pintunya. Papa akan pulang sekarang juga,” ujar Arman, suaranya gemetar namun berusaha terdengar tenang.“Tapi… Mama ada di depan pintu kamar aku sekarang, Pa…” suara Asha nyaris

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status