Darah hitam kental itu menyembur dari mulut Siska, memercik ke lantai dan dinding, meninggalkan aroma busuk yang menusuk. Tubuhnya terhuyung ke belakang, lalu terjatuh dengan suara gedebuk keras. Kepalanya menghantam lantai, membuat semua orang di ruangan itu menahan napas.
“Siska!” Arman berlari mendekati tubuh istrinya, tetapi Ayahnya dengan cepat menariknya mundur. “Jangan sentuh dia, Arman!” seru Ayahnya, suaranya penuh perintah dan kepanikan. Siska terbaring tak bergerak, wajahnya memucat seperti mayat. Napasnya hampir tak terdengar, sementara tubuhnya gemetar, seperti tersiksa oleh sesuatu yang tak kasat mata. Ibu Arman segera mengambil selimut yang terlipat di sofa, menutupinya untuk menghangatkan tubuhnya yang mulai dingin. “Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang!” ujar Ayahnya. Arman mengangguk, masih gemetar. Ia mengulurkan tangan untuk membantu mengangkat Siska, tetapi tubuh istrinya terasa sangat berat, seolah ada sesuatu yang menahan mereka. Butuh seluruh kekuatan mereka untuk memapahnya keluar rumah, melewati para tetangga yang terdiam ngeri menyaksikan kejadian itu. ~~ Suasana dalam mobil penuh ketegangan. Siska tergeletak di kursi belakang, kepala bersandar di pangkuan Ibu Arman. Napasnya pendek dan terputus-putus, matanya setengah tertutup. Arman mengemudi dengan kecepatan tinggi, matanya fokus ke jalan, tetapi pikirannya berantakan. Di sebelahnya, Ayahnya mencoba menghubungi rumah sakit, memberi tahu kondisi Siska agar mereka bersiap menerima pasien darurat. “Tulangnya mungkin patah,” katanya kepada petugas di telepon. “Kepalanya terbentur keras. Kami sedang dalam perjalanan.” Namun, di tengah perjalanan, Siska tiba-tiba menggeram pelan. Suara itu terdengar bukan seperti suara manusia—lebih seperti binatang yang terluka. Ibu Arman memandang ke bawah, matanya melebar. “Siska?” bisiknya, mencoba membangunkan menantunya. Tubuh Siska bergerak perlahan, tangannya terangkat, menggenggam udara dengan gerakan kaku. Bibirnya bergerak, tetapi yang keluar hanyalah bisikan tak jelas. “Mama? Mama kenapa?” suara kecil dari kursi belakang membuat mereka semua menoleh. Asha, yang duduk di sudut dengan wajah basah oleh air mata, menatap ibunya dengan ketakutan. Tangannya yang kecil mencoba menyentuh wajah Siska, tetapi Ibu Arman menahannya. “Asha, jangan,” ucapnya lembut. “Biarkan Mama istirahat.” ~~ Begitu tiba di rumah sakit, tim medis langsung membawa Siska ke ruang gawat darurat. Para perawat bekerja cepat, memeriksa denyut nadinya, memasang infus, dan mengikatkan penyangga leher untuk memastikan tulang lehernya tidak mengalami cedera serius. Arman berdiri terpaku di depan ruang gawat darurat, matanya terpaku pada pintu yang tertutup. Asha memeluk kakinya erat-erat, wajah kecilnya tenggelam di balik jaket ayahnya. “Asha, jangan takut,” bisik Arman, meski suaranya sendiri terdengar tidak meyakinkan. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, seorang dokter keluar dari ruangan. “Pak Arman?” panggilnya. Arman langsung menghampiri, diikuti oleh orang tuanya. “Bagaimana kondisi istri saya, Dok?” “Cedera di kepala dan tulang lehernya cukup parah. Kami harus melakukan operasi untuk memastikan tidak ada pendarahan di otak dan memperbaiki kerusakan pada tulangnya.” Mendengar itu, Arman merasa lututnya hampir menyerah. Ia memandang dokter dengan mata penuh harapan. “Apakah dia akan baik-baik saja?” “Kami akan melakukan yang terbaik,” jawab dokter dengan tegas. “Tolong doakan yang terbaik.” ~~ Asha tertidur di pangkuan Ibu Arman, sementara Arman duduk di kursi tunggu dengan tangan menggenggam kepalanya. Ruang operasi berada di sisi lain dari kaca besar, di mana ia bisa melihat bayangan tim medis bekerja dengan cepat. Setiap menit terasa seperti seabad. Pikirannya terus kembali ke momen sebelum semuanya berubah. Wajah Siska yang penuh senyum, suara tawa Asha, dan kehidupan mereka yang dulu normal. Kini, semua itu terasa seperti mimpi yang jauh. “Arman,” suara Ayahnya memecah keheningan. “Apa sebenarnya yang terjadi di rumah tadi?” Arman menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, Yah. Siska… dia berubah. Ada sesuatu yang masuk ke dalam dirinya. Aku tahu ini terdengar gila, tapi itu bukan Siska. Dia… dia melukai Asha.” Ayahnya terdiam, matanya memandang ke arah pintu ruang operasi. “Apa pun itu, kita harus mencari jawabannya. Setelah Siska pulih, kita akan menemukan jalan keluarnya bersama.” ~~ Tiga jam kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Dokter keluar dengan wajah lelah tetapi tersenyum tipis. “Operasi berjalan lancar. Istri Anda akan dipindahkan ke ruang ICU untuk pemantauan lebih lanjut.” Arman hampir menangis lega. “Terima kasih, Dok.” Tidak lama kemudian, Siska dibawa keluar menggunakan brankar, tubuhnya terbaring lemah dengan selang infus dan alat bantu pernapasan. Arman berjalan di sampingnya, memegang tangan istrinya yang dingin. “Mama akan baik-baik saja, Asha,” bisiknya kepada anaknya yang menggenggam ujung jaketnya. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Saat brankar Siska melewati ruang bayi menuju ruang ICU, bayi-bayi di ruang itu mulai menangis bersamaan. Suaranya memekakkan telinga, memenuhi lorong dengan nada yang tidak wajar. Para perawat yang mendorong brankar berhenti sejenak, bingung dengan situasi tersebut. “Ada apa ini?” tanya salah satu perawat. Namun, tangisan bayi itu semakin menjadi-jadi, seolah merasakan sesuatu yang tidak kasat mata. Asha menatap ke arah ruangan itu, matanya membelalak. “Papa… itu…” Asha menunjuk sesuatu di ujung lorong. Arman mengikuti arah pandangan anaknya, dan jantungnya langsung mencelos. Di ujung lorong yang gelap, ia melihat bayangan hitam berdiri diam, dengan mata merah menyala menatap langsung ke arahnya. Bayangan itu mengangkat satu tangan, menunjuk ke arah Siska, lalu menghilang begitu saja. Bersamaan dengan itu, terdengar suara laki - laki dari arah belakang,"Maaf, bisa kita bicara? Sepertinya bukan masalah yang menyenangkan untuk dibahas. Tapi jika tidak dibicarakan lebih lanjut, kemungkinan keluarga bapak bisa meninggal." Arman dan keluarganya menoleh ke arah suara, dan tampak seorang laki-laki berumur sekitar 50 yang sedang berjalan di koridor rumah sakit yang sama, menghentikan langkah Arman dan keluarganya dengan ekspresi wajah serius. Next?Di sisi lain, Arman—seorang duda beranak satu yang juga memiliki latar belakang pendidikan tinggi—sering memperhatikan Dinda. Awalnya, ia hanya menghargai kecerdasannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman. Perasaan itu membuatnya gelisah. Ia pun memutuskan untuk berbicara dengan ibunya, Ayu."Ibu, aku ingin bicara sesuatu," kata Arman dengan nada serius saat mereka duduk di ruang tamu.Ayu menoleh, menatap putranya dengan penuh kasih sayang. "Ada apa, Nak? Kau terlihat serius."Arman menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Bagaimana menurut Ibu jika aku ingin melamar Dinda?"Ayu terdiam. Ia memang menyukai Dinda, gadis itu adalah sosok yang baik, pintar, dan berakhlak mulia. Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu: perbedaan status mereka. Walaupun sama-sama lulusan S2, Dinda masih gadis, sementara Arman adalah seorang duda dengan seorang anak. Ia tidak ingin Dinda merasa terbebani."Nak, ini bukan perkara mudah. Kau duda
"Ayah, kardus Mbak Dinda ditaruh di mana?" tanya Ragil yang sedang menjunjung satu kardus bekas berisi buku-buku Dinda untuk kuliah. Di belakang Ragil tampak Edi yang sedang membawa dua tas kain berukuran besar."Eh, ada Mas Ahmad!" ujar Ragil sambil masuk ke dalam ruang tamu, meletakkan kardusnya ke lantai, dan menyalami Arman. Edi pun mengikuti Ragil dan menyalami Arman."Lanjutkan saja ngobrolnya. Saya mau beres-beres barang Mbak Dinda yang sebentar lagi wisuda, jadi sekalian pindahan ke pondok," ujar Ragil dengan senyum lebar. "Letakkan saja di kamar Dinda," jawab Ustadz Ahmad dengan tenang.Ragil mengangguk dan melangkah keluar ruang tamu, diikuti oleh Edi. Mereka berjalan menuju halaman untuk mengambil barang-barang lain dari mobil Xpander milik pondok pesantren.Dinda memang anak yang cerdas dan penuh semangat. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikannya dalam dunia pendidikan agama. Tidak heran jika sekarang ia ingin mengabdikan dirinya di pondok pesantren milik ayahnya
Seharusnya saya bertanya pada mbok Darmi atau pak Darto, tapi saya tahu hal itu tidak mungkin. Saya ingin sekali melihat makamnya untuk pertama dan terakhir kali dalam hidup saya. Apa ustadz Ahmad kira - kira bisa menunjukkan makam Aisyah dengan kekuatan dzikir atau firasat, atau apapun itu?" tanya Ahmad dengan ragu. Ustadz Ahmad menatap wajah lelaki di hadapan nya dengan prihatin. "Saya tidak bisa mencari makam seseorang dengan cara seperti itu, Pak Arman. Kalau pak Arman ingin mencari makam mbak Ais, lebih baik bertanya pada tetangga atau yang pernah mengenal orang tuanya," ujar Ustadz Ahmad seraya menghela napas panjang.Arman menunduk."Maaf, Ustadz. Apa tidak ada cara lain? Selama mengenal Ais, dia tidak pernah membawa saya ke rumah nya di kampung, dan tidak pernah memperkenalkan saya pada orang tuanya yang sedang bekerja di luar negeri. Bahkan saya hanya melihat foto nya sekali dua kali, jadi saya tidak bisa mengenal saat bertemu dengan pak Darto dan mbok Darmi yang juga sudah
"Alhamdulillah, kalian datang lagi," ujar Ustadz Ahmad dengan senyum lebar. Ayu dan Arman tersenyum. Arman bersalaman dengan ustadz Ahmad. Sedangkan Ayu hanya mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Mari bicara di dalam," ajak Ustadz Ahmad dengan ramah.Ayu dan Arman mengangguk, lalu berjalan mengikuti ustadz Ahmad masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di kursi nya yang terbuat dari anyaman rotan. "Bagaimana kabar nya Pak Arman? Apa ada gangguan atau teror lagi yang menyerang keluarga pak Arman?" tanya Ustadz Ahmad serius. Arman dan ibunya menggeleng. "Alhamdulillah tidak ada pak Ustadz. Kami ke sini karena ingin silaturahmi dengan pak Ustadz," sahut Arman tersenyum. Mata ustadz Ahmad berbinar. "Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu, pak Arman, bu Ayu. Insyallah dengan berbuat baik pada sesama makhluk hidup dan selalu berusaha mendekat kan diri pada Allah, rutin salat dan mengaji, puasa sunnah, perbanyak dzikir, kita bisa terjauh dari niat jahat manusia dan jin," ujar U
Dukun tua itu terhuyung ke belakang, matanya terbelalak ketakutan. Dadanya naik turun cepat, napasnya tersengal-sengal. Tangan kasarnya yang penuh kerutan mencengkeram dada seakan hendak mencabut sesuatu yang tak kasat mata dari dalam tubuhnya. Rasa panas menjalar dari perutnya, naik ke dada, lalu menjalar ke tenggorokannya seperti api yang membakar dari dalam."Ukhh... Ukhh..." Batuknya terdengar berat, dan tiba-tiba, darah hitam kental menyembur dari mulutnya, mengotori jubah lusuh yang ia kenakan.Tubuhnya bergetar, menggigil hebat. Ia mencoba berjalan tapi tersandung dan jatuh ke lantai tanah, jari-jarinya mencakar tanah dengan liar, mencari pegangan yang tak ada. Matanya mencari-cari sesuatu, seseorang, tapi tak ada yang bisa menolongnya. Ia berusaha merangkak menuju pintu gubuk reotnya, tetapi tubuhnya terasa semakin berat. Seperti ada ribuan tangan tak terlihat yang menariknya kembali ke dalam kegelapan."Sialan!" gumamnya dengan suara parau. "Santet ini adalah santet paling be
Ia telah mengamati jadwal Ayu selama beberapa hari. Wanita itu selalu keluar dari kamar setiap beberapa jam, entah untuk mengambil makanan, mengurus administrasi, atau sekadar mencari udara segar. Sabar adalah kunci.Suatu sore, pintu kamar itu terbuka. Ayu keluar dengan langkah cepat, menggenggam kantong plastik kecil berwarna putih. Wajahnya tampak lelah, tetapi ia tetap berjalan menuju tempat pembuangan sampah di ujung lorong.Dukun itu menajamkan penglihatannya. Kantong plastik itu tampak ringan, tapi ia bisa menduga isinya—mungkin tisu bekas, mungkin sisa makanan, atau... sesuatu yang lebih berharga baginya.Saat Ayu melemparkan kantong itu ke dalam tempat sampah dan berbalik pergi, dukun itu menunggu beberapa detik sebelum berdiri dan berjalan santai ke arah yang sama. Sekilas ia melihat ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikannya. Lalu, dengan gerakan cepat, ia mengambil kantong plastik itu dan menyelipkannya ke dalam sakunya.Di dalamnya, sesuatu yang kecil d