Langit Jepang saat itu mendung, dan salju turun perlahan di halaman belakang kediaman keluarga Bakhtiar. Di dalam ruang studi bergaya tradisional, Kakek Bakhtiar berdiri di depan jendela sambil memandangi pegunungan berselimut putih.โWaktunya kalian menuju ke Nusant, kalian harus membantu cucuku Alya dan Raditya,โ ucapnya tenang tapi tegas, tanpa menoleh.Rei dan Haruto yang duduk di hadapannya saling berpandangan. โApakah ini terkait Raka?โ tanya Haruto.โBukan hanya itu,โ jawab Kakek Bakhtiar, suaranya berat. โRaditya dan Alya akan membuka kembali ruang bawah tanah PT. NW Tech. Aku percaya hanya kalian berdua yang cukup cakap dan bisa dipercaya untuk membantu mereka menelusuri kebenaran.โRei mengangguk mantap. โBaik, Tuan. Kami akan segera bersiap.โโDan ingat,โ lanjut Kakek Bakhtiar sambil menyerahkan amplop berisi akses kode tua PT. NW Tech yang telah ia dapatkan atas petunjuk dari Raka, โjangan hanya cari jawaban. Lindungi mereka. Dunia yang kalian masuki bukan lagi dunia yang
Angin dingin menerpa wajah mereka saat melintasi padang beku menuju Zona Hitam di utara Jepang- wilayah yang pernah menjadi pusat eksperimen cyber-biologis rahasia di era terakhir Project Helix. Sinyal dari tablet Rei semakin melemah, tapi garis tipis di peta masih mengarah pada satu titik: markas tersembunyi yang konon telah dikunci oleh pemerintah Jepang selama lebih dari satu dekade."Menurut catatan lama, tempat ini dulu laboratorium off-grid milik sektor militer. Tapi kemudian diambil alih oleh pihak swastaโฆ tanpa ada data siapa yang benar-benar mengelolanya," jelas Rei sambil memperbesar peta. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan kekhawatiran.Raditya memandang gelap ke depan. Rahangnya mengeras. โKalau Raka sembunyi di sana, dia pasti tahu kita akan mencarinya. Ini bukan jebakan biasa- ini pesan.โAlya melangkah di sampingnya, matanya tajam menembus kabut malam. Ada ketegangan di wajahnya yang tak bisa disembunyikan. โAtau... peringatan. Raka tak pernah melakukan sesuat
Tubuh Raditya menggigil hebat. Cahaya biru dari matanya berkedip tak menentu, seperti dua dunia sedang bertarung dalam dirinya- kesadarannya sendiri dan entitas digital milik Arya Wiguna yang tengah berusaha mengambil alih kendali.Alya masih memeluk tubuh Raditya, tubuhnya bergetar ketakutan. Ia menatap wajah pria yang dicintainya itu, berharap masih ada jejak Raditya di balik ekspresi kosongnya. Suaranya lirih namun tegas, seperti tali tipis yang mengikatnya ke dunia nyata. “Kamu masih kamu, Radit. Jangan biarkan mereka menghapus siapa kamu sebenarnya,” pinta Alya.Di sampingnya, Rei mengetik cepat di terminal cadangan, matanya fokus namun berkeringat. Setiap perintah yang ia masukkan ditolak oleh sistem. “Sial... sistem ini hidup! Dia bukan cuma AI biasa. Ini sesuatu yang adaptif dan berevolusi. Seperti... seperti dia membaca pikiranku,” ujar Rei panik.Haruto yang sibuk menelusuri jalur kabel tua, tiba-tiba berteriak. “Aku temuk
Seminggu telah berlalu sejak pertempuran itu. Raditya masih berada di rumah sakit yang terletak di kawasan pegunungan Iwate, Jepang- tempat yang jauh dari keramaian, dikelilingi hutan pinus dan ketenangan alam. Rumah sakit itu kecil, hampir tersembunyi, namun memiliki teknologi medis paling mutakhir, khusus digunakan untuk kasus neuro-digital seperti yang dialami Raditya.Alya duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Raditya yang hangat. Wajah pria itu kini jauh lebih segar meski masih tampak bekas-bekas trauma. Cahaya biru di matanya sudah tak ada lagi- digantikan sorot teduh yang mengingatkannya pada hari pertama mereka bertemu di depan kompleks perumahan Darel, dengan insiden perebutan taksi dan koper yang tertukar, hingga tumbuhlah benih- benih cinta diantara mereka berdua.“Kamu yakin sudah kuat?” tanya Alya pelan, jemarinya menyapu rambut Raditya yang sedikit lebih panjang karena berminggu-minggu tak tersentuh gunting.Raditya mengangguk pelan
Pagi di Nusant datang dengan lembut. Matahari belum terlalu tinggi ketika pintu lift penthouse terbuka, memperlihatkan sosok anggun Bunda Liliana yang mengenakan setelan bernuansa krem lembut, di sampingnya Ayah Darian- berdiri tegap namun teduh, sosok ayah tiri yang selama ini menjadi penopang diam-diam dalam hidup Raditya.Alya sudah menunggu di depan pintu, mengenakan tunik putih bersih dan celana longgar, menyambut mereka dengan senyum tulus. โBunda, Yahโฆ selamat datang,โ ucapnya sambil memeluk satu per satu. Liliana membalas pelukan itu dengan hangat, dan Darian menepuk punggung menantunya dengan bangga.โBagaimana kondisi Radit pagi ini?โ tanya Liliana pelan setelah mereka duduk di ruang tamu.โJauh lebih baik, Bun. Masih harus banyak istirahat, tapi secara mental sudah mulai stabil. Luka di bahunya juga mulai mengering,โ jawab Alya sambil menuangkan teh melati ke dalam cangkir porselen. Aroma hangat langsung mengisi udara.Mereka belum sempat berbicara lebih jauh saat Raditya m
Setelah sarapan, Liliana duduk di kursi teras sambil memandang taman vertikal yang menghiasi dinding balkon. Daun-daun hijau lembut bergoyang pelan tertiup angin. Di sampingnya, Darian dan Alya berbincang ringan soal sistem keamanan digital baru yang sedang dirancang oleh tim Raditya. Namun Liliana hanya terdiam.Raditya menyadari itu. Ia berjalan pelan, lalu duduk di kursi rotan tepat di samping ibunya.“Bunda masih syok, ya?” tanyanya pelan.Liliana mengangguk, lalu tersenyum tipis. “Ibu mana pun akan syok kalau tahu anaknya nyaris jadi mesin hidup yang dikendalikan suara-suara hantu digital.”Raditya tertawa kecil, tapi sorot matanya tetap lembut. “Aku di sini sekarang, Bun. Bersama Alya, bersama semuanya. Kita selamat.”Liliana menghela napas dalam-dalam. “Kamu tahu… dulu Bunda sangat takut waktu kamu memutuskan masuk ke dunia teknologi dan sistem bawah tanah itu. Bunda pikir kamu akan tenggelam,
Langit mulai menggelap, menyisakan semburat oranye keemasan di ufuk barat. Cahaya senja menembus jendela besar penthouse, memantulkan siluet Alya yang berdiri di dapur terbuka. Tangannya cekatan menyiapkan teh chamomile dan semangkuk sup ayam ginseng, sementara matanya terus melirik ke arah ruang tengah- tempat Raditya duduk bersandar di sofa, selimut tipis menutupi kakinya.Luka fisiknya mungkin tidak separah trauma psikis yang ia bawa pulang dari Jepang. Tapi Alya tahu, proses pemulihan Raditya tak bisa hanya mengandalkan waktu. Ia butuh kehangatan, pengertian, dan cinta yang konsisten. Dan itulah yang Alya berikan, sepenuh hati.โAku bawa makan malam ringan dulu, ya,โ ujarnya lembut sambil meletakkan nampan di meja kecil di sebelah suaminya.Raditya menoleh pelan, senyum tipis terbentuk di wajahnya. โKamu bikin semua ini sendiri?โAlya mengangguk sambil menyuapi Raditya dengan sendok pertama. โAku tahu kamu belum kuat makan berat. Tapi kamu butuh tenaga juga, Sayang.โRaditya mengu
Pagi itu langit Nusant diselimuti kabut tipis. Aroma kopi yang baru diseduh mengisi udara di penthouse Raditya. Alya berdiri di dapur, mengenakan sweater abu-abu kebesaran milik suaminya, sementara Raditya duduk di meja makan, membaca buku tua warisan Helix Wijaya- tentang filosofi digital dan etika kecerdasan buatan.“Kamu serius baca itu pagi-pagi?” tanya Alya sambil meletakkan cangkir kopi di hadapannya.Raditya tersenyum. “Aku rasa... semakin ke sini, semakin aku sadar betapa Helix tak hanya gila teknologi. Dia juga pemikir yang dalam.”Alya duduk di depannya, menyesap kopinya pelan. “Kakekmu memang rumit, tapi satu hal yang dia tinggalkan padamu itu jelas- kekuatan untuk memilih jalan sendiri.”Raditya mengangguk, matanya menatap jauh. “Dan aku memilih jalan yang membawaku ke kamu.”Alya tersipu, tapi sebelum sempat membalas, layar besar di dinding tiba-tiba menyala sendiri. Sistem otomatis menya
Pintu penthouse terbuka otomatis begitu wajah-wajah yang dikenal sistem keamanan digital Raditya terdeteksi. Bunda Liliana masuk lebih dulu dengan senyum lebar, membawa dua tas besar berisi makanan. Di belakangnya, Ayah Darian tampak lebih tenang, tapi sorot matanya hangat dan teduh, seperti mata seorang ayah yang lama tak melihat anak-anaknya kembali pulang.“Alya sayang!” seru Bunda Liliana langsung memeluk menantunya yang sedang duduk di sofa. “Astaga, perutnya udah mulai kelihatan ya! Kamu glowing banget!”Alya tersenyum lebar, memeluk balik dengan haru. “Bunda ini selalu suka gitu, suka muji aku, dan... selalu penuh energi.”“Ya iyalah. Ini cucu pertama, kamu pikir aku bisa santai?” sahutnya sambil tertawa. “Aku bawa rujak serut- pakai mangga muda favorit kamu, terus ada pepes tahu, sup ayam kampung, dan sedikit cemilan asin biar nggak enek. Semua masakan Bunda sendiri. Masak dari subuh!”Ra
Penthouse itu masih seperti dulu. Hening, modern, dan selalu menyambut siapa pun dengan pemandangan kota yang menenangkan dari balik kaca-kaca besar. Tapi kali ini terasa berbeda. Ada yang tumbuh di antara mereka, bukan hanya kehidupan baru dalam rahim Alya, tapi juga rasa nyaman yang mulai kembali setelah badai panjang bernama Dewi Hapsari.Raditya membuka pintu dan melangkah lebih dulu, menoleh ke belakang, โPelan-pelan, Love. Langkah kecil aja, aku bawain tasnya.โAlya tersenyum tipis, sebelah tangannya menyentuh perutnya yang mulai terlihat. โAku hamil, bukan patah tulang,โ celetuknya.โTetap saja, kamu istriku. Hamil atau enggak, kamu tetap prioritas.โ Raditya mencium kening Alya singkat sebelum menarik koper mereka ke dalam.Alya menatap sekeliling. Meja makan yang dulu mereka hias bersama, bantal-bantal di sofa yang sempat ia pilih sendiri, dan aroma khas lilin lavender yang masih sama.โAku kangen tempat ini,โ gumam Alya lirih, duduk perlahan di sofa.Raditya duduk di sampingn
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.โJangan gugup, Elros,โ ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. โHari ini hari yang baik.โElros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. โTapi... kalau dia tidak mau aku?โ bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. โDia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.โSebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lainโkebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.โKamu tidak sendirian,โ ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. โApa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?โ katanya pahit. โKalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.โRaditya maju satu langkah. โKami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.โKamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.โDewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, danโฆ rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.โNamaku Elros,โ ujar anak laki-laki itu. โAku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.โDewi menarik napas tajam. โTidakโฆ bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.โRadit,โ suara Alya pelan, โkalau ini jebakan...โโAku tahu risikonya,โ potong Raditya, tak menoleh. โTapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.โMobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. โTempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.โRadit,โ suara Alya nyaris tak terdengar, โkita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.โRaditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembapโukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. โMasih baru,โ gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.โSiap?โ tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.โRadit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?โ tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.โAda kabar penting, Bunda, Yah,โ jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. โAlya... dia hamil.โBeberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.โAPA?! HAMIL?!โAyah Darian tergagap. โTunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?โRaditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. โKami dapat hasilnya kem