Kakek bakhtiar muncul dari balik pintu yang terbuka, sebelum Raditya dan Alya masuk keruangan perawatan, kakek Bakhtiar mengajak mereka ke luar terlebih dahulu. Maka disinilah mereka, duduk di kursi tunggu diluar ruang rawat.Di dalam ruang tunggu rumah sakit, Raditya dan Alya duduk bersebelahan dengan Kakek Bakhtiar. Suasana rumah sakit ternama di Jepang, Tokyo Serenity Hospital, terasa begitu hening. Hanya terdengar suara langkah kaki perawat yang berlalu lalang serta pengumuman yang sesekali menggema di pengeras suara. Aroma khas antiseptik memenuhi udara, memberikan kesan steril dan bersih. Lampu-lampu terang di koridor menerangi wajah-wajah yang dipenuhi kecemasan dan harapan.Alya meremas jemarinya sendiri, hatinya tidak tenang. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan buruk. "Kakek, siapa yang terbaring di dalam?" tanyanya dengan penuh penasaran, sorot matanya menatap wajah sang kakek dengan gelisah.Kakek Bakhtiar menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara berat,
Alya menatap nenek Aiko dengan tatapan yang sulit diartikan. Jantungnya berdegup kencang, seakan kata-kata neneknya tadi menyentak bagian terdalam dari jiwanya.Suasana di dalam ruang rawat terasa sunyi. Hanya suara detak mesin medis yang menemani keheningan di antara mereka. Cahaya matahari dari jendela yang terbuka sedikit menerangi wajah lelah sang nenek yang kini tampak linglung."Nenek... aku bukan bunda Clarissa," ujar Alya dengan suara pelan, mencoba menenangkan sang nenek yang masih tampak kebingungan. "Aku Alya, Nek. Anak bunda."Namun, Nenek Aiko masih menatap Alya dengan ekspresi penuh kerinduan. Matanya yang sayu sedikit berkaca-kaca, seolah menelusuri wajah cucunya yang baginya begitu familiar."Tapi... kau terlihat begitu mirip dengannya... persis seperti Clarissa muda... kamu cantik," bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar.Kakek Bakhtiar yang berdiri di sisi ranjang menarik napas panjang. Ia mengusap pundak Alya, memberikan i
Alya menatap kakek Bakhtiar dengan wajah penuh kebingungan. Kata-kata itu menggema di kepalanya."Dia pergi... untuk melindungi kamu, Alya."Jantungnya berdetak lebih cepat. Ruang tunggu rumah sakit yang awalnya terasa sejuk kini seakan mencekiknya."Melindungi aku? Dari apa, Kek?" Suaranya bergetar.Kakek Bakhtiar menarik napas panjang. "Alya, ada banyak hal yang belum kamu ketahui. Kepergian ibumu bukan sekadar karena cinta pada ayahmu, tapi karena ada ancaman nyata yang bisa membahayakanmu."Raditya yang duduk di samping Alya langsung menggenggam tangannya erat. "Ancaman apa? Siapa yang mengancamnya?"Kakek Bakhtiar menunduk sesaat, seolah sedang mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. "Saat ibumu jatuh cinta pada Satria, banyak yang menentang. Bukan hanya dari keluarga kami, tetapi juga dari pihak lain. Ada seseorang yang tidak menginginkan pernikahan mereka terjadi."Alya mengernyit. "Siapa?""Seseorang yang sangat berpenga
Alya merasa tubuhnya melemas, sementara pikirannya berputar liar. Nama Haruto Takahashi kini terasa begitu menakutkan di telinganya. Raditya, yang duduk di sampingnya, merasakan kegelisahan Alya dan segera menggenggam tangannya lebih erat."Kakek, apa maksudnya Haruto datang ke Jepang? Apakah dia tahu kami di sini?" tanya Raditya dengan nada tajam.Kakek Bakhtiar menghela napas panjang. "Aku belum bisa memastikan, tapi melihat pergerakan mereka selama ini, aku rasa kedatangannya bukan kebetulan."Alya menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak. "Lalu... apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita harus pergi dari sini?"Kakek Bakhtiar menggeleng. "Tidak. Jika kalian pergi, itu justru akan membuat mereka semakin curiga. Kita harus tetap di sini, namun dengan pengamanan yang lebih ketat."Raditya menatap Alya, lalu kembali ke kakek Bakhtiar. "Aku akan menjaga Alya. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya."Ka
Raditya menggenggam tangan Alya lebih erat, matanya menyiratkan kewaspadaan. "Kita harus pergi sekarang. Jika Haruto Takahashi benar-benar ada di sini, itu berarti dia sedang mencari sesuatu. Atau seseorang." Alya menelan ludah, rasa takut mulai menjalari tubuhnya. "Tapi, kenapa sekarang? Setelah sekian lama, kenapa dia baru muncul?" Kakek Bakhtiar menghela napas dalam. "Itu yang harus kita cari tahu. Tapi satu hal yang pasti, dia tidak datang tanpa alasan. Kita harus memastikan kalian tetap aman." Raditya menatap kakeknya dengan serius. "Ke mana kita akan pergi?" "Aku punya tempat yang lebih aman. Sebuah vila di daerah pegunungan. Tidak banyak orang yang tahu keberadaannya, dan kita bisa mengawasi situasi dari sana," jelas Kakek Bakhtiar. Alya menggigit bibirnya, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. "Tapi, bagaimana dengan nenek? Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja." Kakek Bakhtiar tersenyum tipis. "Jangan khawatir, Nak. Aku sudah memastikan nenekmu mendapat pe
Raditya berdiri tegap di depan Alya, tubuhnya menegang. Matanya menatap tajam pria yang berdiri di ujung gang sempit itu."Haruto Takahashi," Raditya mengulangi nama itu dengan nada dingin. "Apa maumu?"Haruto melangkah pelan, tangannya diselipkan ke dalam saku jas hitamnya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi sorot matanya tajam dan penuh perhitungan."Aku tidak mengincarmu, Raditya Wijaya," ucapnya santai. "Aku datang untuk berbicara dengan Alya Elvaretta."Alya, yang sejak tadi bersembunyi di balik tubuh Raditya, menegang mendengar namanya disebut. Ia menggenggam lengan Raditya erat, jantungnya berdetak kencang."Kenapa aku?" tanyanya dengan suara bergetar.Haruto menyeringai kecil. "Karena kau adalah kunci dari sesuatu yang sangat berharga bagi kami."Kakek Bakhtiar, yang sejak tadi mengamati, maju selangkah. Matanya menyipit penuh kewaspadaan. "Kau tidak akan menyentuh cucuku."Haruto menatap kakek Bakhtiar sebentar sebelu
Suasana di dalam vila tiba-tiba menjadi sunyi, hanya ada suara napas mereka yang tertahan. Alya menggenggam tangan Raditya lebih erat, merasakan detak jantungnya yang mulai berpacu lebih cepat.“Kakek, apa mungkin ini ulah Haruto?” tanya Alya dengan suara bergetar.Kakek Bakhtiar tidak langsung menjawab, matanya menatap tajam ke arah jendela yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari luar. “Mungkin saja. Tapi kita tidak boleh mengambil kesimpulan sebelum tahu pasti.”Raditya segera berdiri, tubuhnya menegang. “Aku akan periksa keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Tidak! Itu terlalu berbahaya, Radit.”Raditya berusaha menenangkan Alya dengan mengelus lembut tangannya. “Aku harus memastikan keadaan. Tenang saja, aku tidak akan bertindak gegabah.”Sebelum Raditya bisa melangkah, terdengar suara ketukan di pintu, pelan namun berirama. Semua orang langsung terdiam, tubuh mereka me
Raditya segera menarik Alya ke dalam pelukannya, melindunginya dari kemungkinan serangan. Kakek Bakhtiar berdiri dengan waspada, matanya tajam menyelidiki sekitar. Suara langkah kaki semakin mendekat, terdengar lebih dari satu orang."Radit… siapa itu?" bisik Alya, suaranya gemetar."Aku tidak tahu," jawab Raditya pelan, menajamkan pendengarannya.Pintu depan diketuk tiga kali, suara berat terdengar dari luar. "Pak Bakhtiar, ini saya, Hiroshi. Kami dari keamanan vila."Kakek Bakhtiar mengerutkan kening, lalu mengisyaratkan Raditya untuk tetap waspada. Dengan hati-hati, dia melangkah ke arah pintu dan membuka sedikit.Di luar, seorang pria paruh baya dengan jas hitam berdiri bersama dua orang lainnya. "Kami mendapat laporan ada aktivitas mencurigakan di sekitar vila ini. Apakah Anda semua baik-baik saja?" tanya Hiroshi.Kakek Bakhtiar menghela napas lega, lalu membuka pintu lebih lebar. "Masuklah, Hiroshi. Aku pikir tadi ancaman baru d
Pintu penthouse terbuka otomatis begitu wajah-wajah yang dikenal sistem keamanan digital Raditya terdeteksi. Bunda Liliana masuk lebih dulu dengan senyum lebar, membawa dua tas besar berisi makanan. Di belakangnya, Ayah Darian tampak lebih tenang, tapi sorot matanya hangat dan teduh, seperti mata seorang ayah yang lama tak melihat anak-anaknya kembali pulang.“Alya sayang!” seru Bunda Liliana langsung memeluk menantunya yang sedang duduk di sofa. “Astaga, perutnya udah mulai kelihatan ya! Kamu glowing banget!”Alya tersenyum lebar, memeluk balik dengan haru. “Bunda ini selalu suka gitu, suka muji aku, dan... selalu penuh energi.”“Ya iyalah. Ini cucu pertama, kamu pikir aku bisa santai?” sahutnya sambil tertawa. “Aku bawa rujak serut- pakai mangga muda favorit kamu, terus ada pepes tahu, sup ayam kampung, dan sedikit cemilan asin biar nggak enek. Semua masakan Bunda sendiri. Masak dari subuh!”Ra
Penthouse itu masih seperti dulu. Hening, modern, dan selalu menyambut siapa pun dengan pemandangan kota yang menenangkan dari balik kaca-kaca besar. Tapi kali ini terasa berbeda. Ada yang tumbuh di antara mereka, bukan hanya kehidupan baru dalam rahim Alya, tapi juga rasa nyaman yang mulai kembali setelah badai panjang bernama Dewi Hapsari.Raditya membuka pintu dan melangkah lebih dulu, menoleh ke belakang, โPelan-pelan, Love. Langkah kecil aja, aku bawain tasnya.โAlya tersenyum tipis, sebelah tangannya menyentuh perutnya yang mulai terlihat. โAku hamil, bukan patah tulang,โ celetuknya.โTetap saja, kamu istriku. Hamil atau enggak, kamu tetap prioritas.โ Raditya mencium kening Alya singkat sebelum menarik koper mereka ke dalam.Alya menatap sekeliling. Meja makan yang dulu mereka hias bersama, bantal-bantal di sofa yang sempat ia pilih sendiri, dan aroma khas lilin lavender yang masih sama.โAku kangen tempat ini,โ gumam Alya lirih, duduk perlahan di sofa.Raditya duduk di sampingn
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.โJangan gugup, Elros,โ ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. โHari ini hari yang baik.โElros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. โTapi... kalau dia tidak mau aku?โ bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. โDia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.โSebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lainโkebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.โKamu tidak sendirian,โ ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. โApa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?โ katanya pahit. โKalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.โRaditya maju satu langkah. โKami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.โKamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.โDewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, danโฆ rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.โNamaku Elros,โ ujar anak laki-laki itu. โAku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.โDewi menarik napas tajam. โTidakโฆ bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.โRadit,โ suara Alya pelan, โkalau ini jebakan...โโAku tahu risikonya,โ potong Raditya, tak menoleh. โTapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.โMobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. โTempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.โRadit,โ suara Alya nyaris tak terdengar, โkita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.โRaditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembapโukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. โMasih baru,โ gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.โSiap?โ tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.โRadit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?โ tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.โAda kabar penting, Bunda, Yah,โ jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. โAlya... dia hamil.โBeberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.โAPA?! HAMIL?!โAyah Darian tergagap. โTunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?โRaditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. โKami dapat hasilnya kem