Share

Bab 3 Siapa Yang Untung Atau Rugi?

Momo berlari keluar dari tempat karaoke itu. Dia tidak pernah semalu ini. Perlahan larinya semakin memelan. Akhirnya dia berhenti di sebuah halte bus dan merenung.

Momo ingat saat pertama kali datang ke kota ini. Hidupnya sangat kacau. Tidak dapat pekerjaan tetap. Gaji kurang. Dompet hampir kosong.

Di saat keterpurukannya, Momo bertemu dengan Lita. Lita berteman akrab dengan Sinta, anak seorang konglomerat yang pendiam tapi gila. Perlu sekali-sekali dicuci otaknya.

Sinta yang punya uang banyak, memulai membuat permainan ini hingga pada akhirnya terbentuklah beberapa kelompok. Salah satunya, kelompok Eko, Taruf dan Harry. Harry adalah pemain, Eko dan Taruf yang mengeluarkan uang sebagai modal awal. Begitu pun kelompok Sinta, dia dan Lita yang mengeluarkan modal awal dan Momo sebagai pemain.

Jika kelompok mereka menang, pemain akan mendapat penghasilan yang tidak sedikit. Kerena taruhan ini memakai modal yang banyak.

Momo telah mendapat cukup uang untuk menata dirinya. Dia berhasil mengambil berbagai kursus yang bisa menjadi modal untuk mencari pekerjaan yang lebih layak.

Selama ini Momo berhasil membuat para pria takluk dengan kecantikan dan daya tariknya. Bahkan dia berhasil membuat mereka mengeluarkan uang tidak sedikit untuk mendapatkan ciuman di pipi dari Momo.

Tapi hari ini ….

Gila! Aku sudah gila! Kenapa bisa membiarkan bibirku disentuh, bahkan aku juga membalasnya?! Tapi … kenapa ciuman itu tidak terasa asing? Bahkan sepertinya aku sudah menantikannya sejak lama? Seakan-akan kerinduan dalam dasar hatiku keluar dan lepas bebas. Mataku juga tidak bisa lepas darinya. Siapa dia?’ Batin Momo dengan galau.

Momo tersentak kaget, saat merasakan getaran dari ponselnya. Momo mengambil ponsel dan membaca pesan dari Lita.

‘Mo, kamu tidak apa-apa? Ada apa denganmu hari ini? Kamu tidak seperti biasanya.’

‘Aku tidak apa-apa. Aku mungkin lagi stres dengan lamaran kerjaku. Besok aku wawancara di PT. Kencana Prima Dwiantara,’ balas Momo.

Lita tidak membalas, tapi langsung meneleponnya.

“Mo, benaran kamu lulus test tulis?” teriak Lita dari seberang. Terdengar suara seseorang sedang bernyanyi. Sepertinya si Eko.

“Iya, aku lulus. Dan besok wawancara. Doakan aku ya, supaya aku bisa lulus dan dapat kerja tetap. Tidak perlu lagi bekerja di minimarket itu.”

“Tentu saja. Semoga kamu bisa lulus dan cepat bekerja. Tapi setelah kamu dapat kerja, kamu tidak meninggalin kami, kan? Soalnya cari partner sepertimu sangat susah.”

“Aku tidak berani janji, Lit. Kalau aku diterima, harus lihat jadwal kerjaku. Tapi aku berjanji, jika semua mulus, aku tidak akan meninggalkan kalian.”

“Wah, makasih banyak, Mo. Oke, aku tutup dulu ya. Sudah giliran laguku.”

“Oke. Selamat bersenang-senang.”

“Jangan lupa istirahat yang cukup ya. Semangat!”

“Semangat. Makasih, Lit.”

Yah, besok aku harus lolos wawancara. Ini kesempatan hanya sekali. Aku harus bisa. Yang hari ini biarkan berlalu. Aku tidak mungkin bertemu dengannya lagi. Jadi untuk apa dipikirkan,’ batin Momo menyemangati dirinya sendiri setelah Lita menutup teleponnya.

Akhirnya Momo bisa mengusir pikiran tentang pria itu. Dia harus mempersiapkan diri untuk wawancara keeseokkan harinya. Untung jadwalnya tidak terlalu pagi.

Momo pulang dengan lesu dan tidur dalam keadaan gelisah. Menjelang pagi dia dibangunkan untuk doa pagi dari komunitasnya.

Yah, aku harus berdoa untuk wawancara pagi ini. Semoga aku diterima, jadi aku tidak perlu bekerja di minimarket dan tergantung pada permainan itu,’ doa Momo penuh harapan pada Yang Di Atas

Dia selalu berharap, permainan ini hanya untuk membalas kebaikan Lita dan Sinta, bukan lagi salah satu mata pencaharian pokoknya.

Momo tiba di kantor itu lebih cepat 10 menit dari yang dijadwalkan. Setelah melapor pada resepsionis dan pegawai HRD, dia duduk menunggu sambil membuka ponselnya.

Momo sedang tidak berminat mengajak bercakap-cakap dengan salah satu pelamar, karena dia sangat tegang. Jadi dengan membuka sosmednya, dia berharap mendapat sesuatu yang membuatnya lebih rileks.

“Monita Setianingsih Wilardi!”

Momo kaget saat namanya disebut. Dia tidak menyangka gilirannya secepat itu. Sambil membuang ponselnya ke dalam tas, dia berlari menuju ke pegawai yang memanggil.

Pegawai itu menunjukkan ruangan yang harus dimasuki. Sebenarnya dia bingung, karena pelamar yang lain tidak masuk ke ruangan ini, tapi di ruangan lain yang agak jauh.

“Silakan masuk, Bu. Kami akan menjelaskan wawancara kali ini. Silakan duduk,” kata pegawai yang memanggilnya. Pegawai itu meninggalkan Momo sendirian. Dengan kebingungan, Momo duduk di salah satu kursi yang ada.

Ruangan itu memiliki meja yang panjang dan banyak kursi. Seperti ruangan untuk pertemuan.

Tidak lama, seorang pria dan seorang wanita masuk. Momo berdiri dan memberi salam.

“Silakan duduk, Bu Monita. Saya Afandi bagian HRD dan ini Ibu Gina. Sebelumnya kami minta maaf, karena kami membuat kesalahan dengan memanggil anda untuk wawancara sebagai staf administrasi.

“Berhubung kedatangan anda ke kantor ini sebelum waktunya, kami ingin tetap mewawancarai anda untuk lowongan sebagai sekretaris. Jika anda bersedia, Ibu Gina dan Pimpinan kami yang akan mewawancarai anda,” kata Afandi yang berusaha tersenyum.

Momo terperanjat penawaran yang diberikan. Apalagi dia mendengar kalau pimpinan perusahaan ini yang akan mewawancarainya. Momo meremas jari jemari dengan gelisah.

Ya, Tuhan, apa yang harus kulakukan?’ doa Momo dengan cemas. Dia sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan sebagai staf administrasi, bukan sebagai sekretaris.

 “Maaf, Pak. Tapi saya tidak punya latar belakang sebagai sekretaris,” kata Momo dengan cemas. Serasa ingin menangis.

“Tidak apa-apa, Bu. Saya yang akan bimbing anda. Selama anda mau bekerja keras, saya yakin anda bisa melakukannya,” jawab Gina berusaha memberi ketenangan pada Momo.

Dia juga tidak habis pikir. Tadi Harry langsung menemuinya dan meminta wanita ini menjadi asistennya. Gina tentu saja sangat senang mempunyai asisten, terutama saat Jeff ada di rumah sakit.

“Ba … bbaiklah, saya bersedia di wawancara sebagai sekretaris,” kata Momo pasrah. Yang penting dapat pekerjaan tetap, kerja apa saja bolehlah.

“Baiklah, kita mulai wawancaranya ya. Setelah saya wawancarai anda, nanti Pimpinan kami lewat speaker itu yang akan mewawancarai anda,” kata Gina tersenyum.

Awalnya melihat Momo, Gina sempat terperanjat. Ada sedikit rasa kekecewaan. Wanita ini memang sangat cantik dengan bibir yang menarik hati dan bola mata yang sangat indah, tapi terlihat seperti wanita jalanan.

Padahal selama ini, Harry tidak tertarik pada wanita seperti ini, bahkan terasa barang yang menjijikkan baginya. Kali ini Gina harus mengubah pandangannya tentang bos.

Gina sempat memandang rendah Momo, karena pendidikannya yang hanya tamat SMA. Dan kebanyakan berkas yang dimasukkan adalah sertifikat dari berbagai tempat kursus.

Tapi semua membuatnya berkualitas karena nilai yang didapat adalah nilai yang hampir mendekati kata ‘sempurna’. Berarti anak ini kemungkinan pintar atau dia memberi uang untuk membeli nilai-nilai yang bagi Gina agak mustahil.

Hampir selama 1 jam, Gina mewawancarai Momo. Dia lebih mirip poisi yang menginterogasi penjahat daripada mewawancarai pelamar.

Gina bisa seenaknya bertanya karena dia sudah menyuruh Afandi keluar setelah 15 menit awal yang hanya berisi pertanyaan tentang pendidikan dan beberapa pertanyaan dasar.

Tapi setelah Afandi keluar, dia mulai mengorek rahasia pribadi Momo. Walau Momo tidak menyebut secara gamblang pekerjaan sehari-harinya, dia berusaha menjawab dengan jujur. Tentu saja dia tidak menyebut kesehariannya bersama Lita dan Sinta.

“Baiklah, sekarang giliran Pimpinan yang mewawancarai anda,” kata Gina tersenyum. Dia cukup puas dengan wawancaranya. Momo terlihat berusaha menjawab dengan jujur, walau wajahnya merona setiap jawabannya agak sensitif. Dan itu memang yang diharapkan Gina.

“Pak, silakan mulai wawancaranya,” kata Gina menghadap pengeras suara itu. Gina dan Momo menunggu suara muncul, tapi sudah semenit lebih, suara Harry tidak keluar.

Gina segera menelepon Harry.

“Pak, sekarang giliran Bapak,” kata Gina bingung. Karena tidak biasanya Harry mengangkat telepon tanpa mengucapkan salam.

“Apa yang harus kutanyakan? Sebagian besar pertanyaan yang kususun sudah kamu tanyakan,” kata Harry dari seberang dengan nada datar.

Gina hanya bisa tertawa getir dan menelan salivanya karena tidak enak hati.

“Gina, bagaimana kalau kamu suruh dia menunggu? Kita berdiskusi sekarang.”

“Sekarang, Pak?” tanya Gina bingung.

“Iya, sekarang. Kamu datang ke ruanganku sekarang.” Harry langsung menutup teleponnya.

Gina memandang Momo yang membalasnya dengan memandang kebingungan.

“Bu Monita, bisa tunggu sebentar? Pimpinan ingin saya berdiskusi dengannya di ruangan. Saya akan balik kembali,” kata Gina tesenyum.

 “Iya, Bu. Saya menunggu di sini,” kata Momo.

Setelah Gina pergi, Momo terus berdoa. Semoga setelah begitu lama diwawancara, dia bisa diterima.

“Bos yakin mau menerima sekarang juga?” tanya Gina bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status