Share

Bab 2 Tergoda

BUM!!

"Kak Jeff!!" teriak Gina saat mendengar suara keras itu.        

Gina memandang Harry dengan nanar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Harry langsung menarik tangan Gina dan berlari ke tempat parkir.

“Terus berteriak, Gina. Panggil Kak Jeff terus,” perintah Harry. Hatinya merasa cemas.

Walau demikian, saat berkendara, dia usahakan tetap fokus pada jalanan.

“Pak, bagaimana ini? Kak Jeff tidak balas-balas. Padahal teleponnya masih aktif,” nangis Gina panik.

“Panggil terus dengan kencang!! Siapa tahu dia bisa mendengarmu!” saran Harry yang juga mulai ikutan panik.

Dari kejauhan mereka melihat kekacauan di daerah kantor polisi. Sebelum Harry menghentikan mobilnya, Gina sudah lompat keluar dan berlari masuk ke dalam kantor polisi.

“Pak John!” Gina melihat kepala tim Jeff.

“Oh, Ibu Gina. Saya baru saja mau menelepon Ibu. Pak Jeff sudah dibawa ke rumah sakit Harapan Jaya. Ibu ….”

Sebelum menyelesaikan perkataannya, Gina langsung berlari keluar. “Terima kasih, Pak!” teriaknya pada John.

“Pak Harry, Kak Jeff sudah dibawa ke rumah sakit Harapan Jaya!” teriak Gina saat bertemu dengan Harry yang baru saja memarkirkan mobilnya.

Tanpa bicara, Harry langsung berlari kembali ke mobilnya dan menuju ke rumah sakit. Di sana Gina bertemu dengan kolega Jeff.

Mereka memberi tahu kalau Jeff sedang di ruang ICU. Kondisi tidak terlalu parah, karena dia sempat berlindung dengan menggunakan meja saat terjadi ledakan.

Tapi mereka bersyukur karena mendengar teriakan Gina lewat telepon, mereka bisa dengan cepat menemukan Jeff yang pingsan.

Setelah diperiksa dengan seksama, Jeff dipindahkan ke kamar. Harry masih menemani Gina sebelum dia menghadiri pertemuan dengan Toni. Harry bersyukur karena Toni adalah temannya, jadi dia bisa meneleponnya dan mengundurkan jadwal pertemuan.

Hari ini Harry melakukan pertemuan dan mengurus semuanya sendiri tanpa bantuan Gina. Walau Gina ingin kembali ke kantor, tapi Harry menolaknya.

Dddrrr

Harry melihat ponselnya yang berdering. Pekerjaannya belum selesai sepenuhnya. Seandainya ada Gina, sudah selesai dari tadi dan dia bisa pulang beristirahat.

Dengan berat, Harry mengangkat teleponnya. Dari Eko. Seperti biasa mengajaknya bertaruh. Sebenarnya dia sudah malas ikut permainannya Eko, karena permainan itu cukup vulgar baginya, tapi selama belum melakukan dosa, seharusnya tidak ada masalah.

“Eko, sepertinya aku sudah malas ikut permainan ini,” tolak Harry saat Eko memberi tahu kalau ada wanita cantik yang dingin yang harus dia taklukkan nanti malam. “Aku selalu menang. Sudah tidak seseru awal-awalnya.

“Har, ini lain. Aku jamin kali ini aku dan Taruf yang menang. Kamu harus membayar kami dobel, hehehe. Ayolah, cepat datang. Kami sudah ada di sini.”

Harry menutup teleponnya dan memikirkan penawaran Eko lagi. Awalnya dia anggap seru, karena tidak ada satu pun wanita yang bisa menalukkannya.

Dia, Eko dan Taruf bertaruh. Kalau wanita itu bisa merayu Harry, maka merreka yang menang. Tapi kalau tidak bisa, Harry yang menang.

Eko dan Taruf, anak dari konglomerat yang bingung mau apakan uang mereka. Jadi mereka menghambur-hamburkan uang dengan bersenang-senang bersama wanita. Sedangkan Harry harus berjuang dari nol untuk mencapai kesuksesannya yang sekarang.

Uang taruhan dalam permainan ini sangat besar, bahkan Harry bisa menjadikan modal usahanya. Harry yakin seratus persen, dia tidak akan pernah kalah, karena pada sadarnya dia sangat membenci wanita. Bahkan jijik pada wanita yang selalu memakai pakaian minim.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya yang penting-penting, Harry langsung menuju ke lokasi yang telah Eko kirim. Karena saking jarangnya dia keluar rumah, dia tidak pernah tahu tempat-tempat untuk bersenang-senang, jadi Eko selalu mengirmkan lokasi pada ponselnya.

“Ah, akhirnya kamu datang, Har. Duduklah dan pesan minumanmu. Cewek-cewek itu belum datang,” kata Eko saat Harry tiba di ruangan VVIP yang telah dipesan Eko.

Harry melihat Eko dan Taruf bersemangat. Harry hanya bisa geleng-geleng kepala. ‘Emangnya berapa banyak uang mereka? Hampir setiap setiap minggu melakukan hal ginian,’ batin Harry.

“Haaahhh, akhirnya kalian tiba juga. Sebelum bersenang-senang, kita melakukan permainan dulu,” ajak Eko tidak sabar saat melihat 3 wanita cantik masuk.

“Wah, langsung pada intinya nih. Gak pake pemanasan dulu?” tanya salah satu wanita itu tertawa.

“Oke .. oke. Ini temanku. Namanya Harry. Dia seperti Momo, tidak pernah kalah. Jadi hari ini adalah penentu, siapa yang lebih jago. Har, sainganmu cewek yang di tengah itu. Namanya Momo. Dan di samping kiri dan kanan, Lita dan Sinta.”

Tapi hari ini, saat dia bertemu dengan wanita yang menjadi taruhannya, Harry tertegun. Sangat cantik dan tidak seperti wanita lainnya yang selalu Eko bawa. Namanya pun unik, Momo. Dan tatapan mata yang sangat indah menimbulkan keinginan Harry untuk mencium wanita itu.

Cepat-cepat Harry menekan keinginannya yang tiba-tiba muncul. Dengan ogah-ogahan, Harry bersalaman dengan ketiga wanita itu. Saat menyentuh tangan Momo, jantung Harry berdegup dengan kencang.

Eko bertepuk tangannya dan berkata, “Nah, acara pemanasannya sudah selesai. Jadi kita mulai permainannya?” kata Eko pada Lita dan Sinta. “Jadi siapa yang memulai rayuannya?”

Eko bertanya karena dia bingung. Harry dan Momo saling memandang dengan ekspresi yang sangat sulit dikatakan dan keduanya bergeming.

“Bagaimana kalau kita tinggalkan mereka berdua?” usul Lita. Dia juga bingung, karena selama ini para cowok yang memulai merayu Momo dan Momo tidak pernah bereaksi seperti hari ini.

“Bagaimana kalau sebelum keluar, mereka didudukkan berdampingan?” usul Taruf bersemangat.

Semuanya setuju. Setelah mendudukkan keduanya berdampingan, mereka keluar. Tapi sebenarnya mereka menunggu di depan pintu dan melihat keduanya.

Harry memandang Momo dengan berjuta perasaan. Dia tidak pernah merasakan getaran kerinduan seperti hari ini.

Dengan perlahan Harry mendekatkan wajahnya pada Momo. Merasa Momo tidak menolaknya, Harry memegang pipi Momo dan menyatukan bibirnya dengan bibir Momo.

Harry merasa seperti ada kembang api yang meledak di atas kepalanya saat tersalurnya kerinduan yang telah menumpuk di dasar hatinya. Harry menggulum bibir Momo dan Momo pun membalasnya.

Entah kenapa otak Harry berlari ke satu masa, di mana dia dan Momo sering melakukan ciuman ini. Di mana kebahagiaan hanya ada pada saat itu.

“Waaahhh, kami menang!!”

Harry dan Momo tersentak mendengar teriakan Eko yang sangat kencang. Dengan kecepatan penuh, Harry dan Momo melepaskan diri dan salah tingkah.

“Wah, Har, kami tidak pernah melihat gaya berciumanmu yang penuh hasrat itu. Biasanya menyentuh wanita saja, kamu tidak mau. Tapi hari ini sampai … hahaha,” tawa Eko.

“Hei, ladies, jangan bersungut-sungut begitu. Ini kan bukan yang pertama kalinya kalian kalah. Kami traktir deh, supaya hilang muka kalian yang monyong itu, hehehe.”

“Eko, kalian bohong ya. Katanya yang ditemui hari ini si gunung es. Tapi kok hasratnya tinggi banget sih,” gerutu Sinta.

Mendengar kata ‘gunung es’, Harry mendelik pada Eko dan Taruf. Eko salah tingkah saat melihat kemarahan Harry.

“Aku permisi dulu.” Tiba-tiba Momo berdiri dan berpamitan. Sebelum ada yang menjawab, Momo sudah berlari keluar. Dengan kesal Harry memandang kepergiannya Momo. Dia juga sangat ingin pulang dan merutuk dirinya yang tidak bisa mengendalikan diri.

Tapi jika dia ikut pulang, malah yang lain berpikir kalau dia mau mengejar Momo. Padahal tidak ada niatnya sama sekali untuk mengejar Momo. Akhirnya Harry duduk diam dan menunggu beberapa waktu sebelum dia berpamitan.

Sesampai di rumah, Harry terus berpikir, kenapa dia bisa jatuh hati pada Momo. Dia memegang bibirnya dan aliran listrik saat berciuman masih terasa sampai saat ini.

“Hei, Harry bego, ada apa denganmu? Dengan mudahnya kamu menyukai wanita seperti dia? Sudah gila apa kamu?”

Sepanjang malam Harry merutuk dirinya sendiri sambil menggosok bibirnya dengan kasar. Tapi saat tidur, adegan saat mencum Momo berputar ulang dan ulang lagi hingga memenuhi pikiran dan hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status