Share

Bab 4 : Akhir dari Kerajaan Konstin

Bab 4 : Akhir dari Kerajaan Konstin 

Sambil berlari aku melihat di hadapan, Numa dan kedua orang tuanya telah menunggu. Mereka sudah siap dengan kereta kuda. Ada beberapa kereta yang juga siap pergi, isinya mayoritas anak-anak dan wanita terutama keluarga pejabat kerajaan. Aku mempercepat langkah ini.  Kereta-kereta yang sudah siap, langsung pergi menjauh dari istana. 

"Tuan Putri, cepaat!" seru Banu, ayah Numa setengah berteriak. 

Akhirnya aku dan Razi sampai juga masuk ke kereta tersebut.  Numa dan ibunya pun menyusul masuk dengan beberapa pekerja wanita. Banu duduk di depan dengan kusir. 

"Putri Zara dan Pangeran Razi, lekas ganti pakaian kalian," ujar Mina, ibunya Numa. 

Aku segera menanggalkan perhiasan juga pakaianku, menggantinya dengan pakaian sederhana yang sudah disiapkan. Hal ini agar musuh tidak mengenal siapa kami. Razi dibantu oleh Numa mengganti pakaiannya.  Kereta kami berjalan cepat sekali. Debar jantungku seakan tak menemukan ritmenya lagi. Bulir keringat mengucur deras. 

Tiba-tiba ada suara keras yang berteriak, "Berhenti kaliaaan!" 

Oh, tidak! Apa mereka telah menyusul? Di dalam kereta kami saling berpandangan. Wajah-wajah terlihat pias! Razi menangis di pelukan Mina. Kereta lalu menurunkan kecepatannya. Deru suara tapak kaki kuda seakan menyebar di kanan kiri. 

Numa mengintip ke jendela kemudian berbisik, "Mereka mengepung .... " Air matanya menganak sungai. Wahai ruh suci, apakah kami akan mati?

Kereta kuda kami berbalik kembali ke arah istana. Hatiku mencelos, ya ... kami pasti akan dibunuh oleh mereka. Mataku terasa berkabut, bulir bening menyeruak tumpah. 

***

Tiba di istana, para wanita dan anak-anak yang tadi hendak kabur ke hutan perbatasan Adora dikumpulkan. Satu per satu turun dari kereta kuda. Beberapa kusir dan budak pria yang berusaha melawan pun tewas dengan mengenaskan. Pria dan wanita dipisah barisannya. Zara mau tak mau dengan linangan air mata menitipkan Razi kepada Banu. Mereka kemudian digiring oleh pasukan Al Hajjaz menuju sel istana. 

Dalam perjalanan menuju sel, sorot kesedihan dan putus asa sangat kentara di mata-mata mereka. Ketika mereka sampai di halaman istana yang luas, terlihat sang Raja yang tadinya gagah perkasa Riwaz Arb terkulai, tertelungkup, kemudian kepalanya ditarik mendongak, dengan ditekan keningnya. 

"Yang Mulia ...," lirih Zara melihat keadaan kakaknya yang menyedihkan. Air mata yang tadi telah kering jatuh kembali. 

Pria dengan sorban menutupi wajahnya dan hanya mata terlihat itu tampak berbicara dengan Raja Riwaz. 

"Terimalah akibat dari kesombonganmu wahai musuh Allah ...," bisiknya di telinga sang raja. 

Mata Riwaz berserobok dengan netra basah adik perempuannya yang hanya dapat menutup mulut menahan isakan. Air mata Zara menganak sungai, mengalir deras membasahi pipi ranumnya. Pedang yang sedari tadi sudah sedia melekat di leher sang raja durjana pun ditarik ke samping. 

Sreeeet! 

Cairan merah pekat dan kental pun muncrat dari kerongkongannya yang terbuka. Para tawanan yang sedang digiring tadi seketika riuh menangis histeris. Banu sudah sejak awal mendekap Razi di gendongannya, mengalihkan pandangannya agar bocah kecil itu tak melihat pemandangan yang menyesakkan di hadapan mereka. 

Tubuh sang raja pun ambruk ketika kepalanya dilepaskan oleh pria bersorban. Beberapa petinggi dan prajurit yang masih hidup akhirnya terbunuh satu per satu. Bergelimpangan mayat-mayat dengan kondisi yang memprihatinkan di area istana. Darah berceceran di mana-mana. Tak seorang pun prajurit dan pejabat kerajaan Konstin disisakan hidup oleh pasukan Kesulthanan Al Hajjaz. 

***

"Mereka sudah diberi makan?" tanya Rasyad, pimpinan tertinggi para panglima. 

"Sudah, Tuan," jawab seorang prajurit. 

"Pastikan mereka semua baik-baik saja. Perlakukan dengan baik. Kecuali mereka melawan."

"Baik, Tuan."

"Jazakallah khairan," ucap sang panglima besar. 

"Wa iyyak. Saya permisi, Tuan."

"Silakan, ya Akhi." Rasyad menyunggingkan senyuman getir karena sambil menahan nyeri di lengannya yang terluka. Saat ini seorang tabib sedang mengganti balutannya. 

Ini sudah peperangan ke sekian sejak ia menjadi warga Kesulthanan Al Hajjaz. Sudah lama tidak terluka parah seperti ini. Lukanya lumayan dalam dan memanjang di lengan atasnya. Pasukan Kerajaan Konstin memang memiliki kemampuan tempur yang kuat. Namun, Allah menakdirkan kemenangan pada Negara Islam Al Hajjaz. 

***

"Penjaga ... Penjaga .... " Aku memanggil salah seorang prajurit Al Hajjaz yang sedang berjaga di depan sel. 

Ia mendekat. "Ada apa?" tanyanya tanpa melihat wajahku. 

"Aku ... aku mau buang air." Aku gugup, takut mereka tak mengizinkan. 

Barusan mereka memberi kami makan malam. Kini kami—para wanita, budak lelaki dan anak-anak— ditawan dalam sel istana kami sendiri. Sungguh miris. Sebenarnya aku tak ingin buang air, cuma hendak memastikan Razi baik-baik saja. Dia dan Banu serta budak lelaki lainnya di sel belakang, terpisah dengan kami para wanita. 

"Baik, tapi jangan coba macam-macam, Nona!" sahut prajurit itu tegas. 

Aku mengangguk sembari mengeratkan syal di leher. Syukurlah dia mengizinkan. Malam mulai larut, udara dingin pun merasuk ke sela-sela pakaian meremangkan bulu romaku. Kami berjalan beriringan, sang prajurit tadi menjaga jarak sekitar tiga hasta dariku. Sama sekali mereka tidak menyentuh kami, para wanita. Hemm ....

Akhirnya kami melewati sel pria, mereka tidak seramai wanita. Mataku menelusuri satu per satu wajah dari anak-anak. Sulit membedakan, karena pakaian mereka yang sejenis. Ya, Razi dan aku tadi, kan, sudah berganti pakaian, agar pasukan musuh tidak bisa membedakan mana pejabat, mana budak. 

Aku tak paham, bukankah biasanya akan ditelusuri siapa saja keluarga kerajaan musuh. Namun, dari semenjak kami dibui tidak ada dari mereka yang menanyakan. Mereka tampak berbeda dengan yang selama ini aku dengar. Kerajaan Konstin sendiri jika berhasil menaklukkan suatu negeri pasti menelusuri siapa saja keluarga besar dari penguasanya. Entahlah ... mungkin nanti. 

Hingga sampai ke bilik air pun mataku tadi tak menemukan Banu juga Razi. Di mana mereka? Setelah selesai dari bilik air. Aku kembali ke sel diiring oleh penjaga tadi. Ah, akhirnya aku dapat melihat mereka, itu Banu dengan Razi. Mereka menatapku dengan raut sedih. Syukurlah, mereka baik-baik saja. Aku tersenyum kepada Razi, mencoba memberi ketenangan dan kekuatan. 

Hemm, aku tak tahu senyuman ini untuk mereka atau untukku sendiri. Kuhapus bulir bening yang hendak jatuh dari pelupuk mata. 

***

"Bangun, banguun ...! Siapkan diri kalian, sehabis sarapan semua berangkat!"

Suara keras seorang prajurit Al Hajjaz mengejutkanku yang rasanya baru saja terlelap. Semalaman aku tak bisa tidur. Bukan ... bukan karena kedinginan, sebab mereka memberikan kami selimut yang cukup. Akan tetapi, karena pikiranku tak mau istirahat. Sedih, kerajaan Konstin telah usai. Kakakku tewas terkorban. Kini bagaimana nasib kami? Mereka mau bawa kami ke mana? Oh, ruh suci ... tolonglah kami. 

Hari masih gelap, sinar mentari masih berupa garis berpendar. Para tawanan bergiliran ke bilik air. Pakaian kami dikumpulkan oleh prajurit Al Hajjaz di halaman kebun untuk dipilih sebagai ganti dan bekal. Seorang hanya boleh membawa tiga pasang saja. Para wanita disuruh menggunakan kain penutup kepala, dilarang menggunakan pakaian terbuka. 

Setelah selesai makan pagi, kami semua diperintahkan bersiap berangkat. Matahari sudah menampakkan kegagahannya. Sinar hangat darinya mengganti kesejukan fajar. 

"Cepat! Cepat! Lambat sekali kaliaan!"

"Wanita dan anak-anak naik ke kereta!" 

Teriakan para prajurit Al Hajjaz sahut menyahut mengatur tawanan yang jumlahnya ribuan. Mataku mencari-cari Razi. Semoga bisa satu kereta dengannya. Ah! Itu dia, Banu mengantarkan Razi kepadaku. 

"Terima kasih, Banu," ucapku seraya meraih Razi dari gendongannya. Kukecup lekat keponakan kesayanganku. 

Banu mengangguk, berjalan mundur menatapku, kemudian berbalik menuju barisan tawanan pria. 

"Razi sudah makan, Sayang?" tanyaku setelah duduk di dalam kereta. 

"Sudah, Tuan Putri," jawabnya. 

Aku pun tersenyum, lalu memeluknya. 

"Kita mau ke mana?" 

"Kita ke negeri tetangga, Nak ... kau tenang saja. Ada bibi di sini, hemm." Kubelai rambut halusnya. 

Bibirnya terbuka seakan hendak berkata lagi, tapi ia urungkan dan menutup bibirnya kembali. Bocah tampan itu pun kemudian melayangkan pandangannya ke luar jendela. Aku tak mau menanyakan, biarlah .... 

Kau terlalu kecil untuk memahami semua ini, Nak. Bahkan bibi sendiri pun tak tahu bagaimana nasib kita selanjutnya. Semoga para Dewa melindungi dan menyelamatkan kita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status