POV Fikar
"Bang, Kampung sebelah lagi ada turnamen volly, kita ikut daftar yuk!" seruku.
Beberapa saat setelah membaca status teman yang bertempat tinggal di kampung sebelah."Ayo, jam berapa mulai? Langsung daftar nih!" tanya Bang Jeri. Menatapku dengan tajam.
"Seperti Biasa." singkatku.
"Ayolah, OTW." sahutnya. Kami bersiap-siap menggunakan pakaian olahraga dan sepatu, lalu berangkat. Tak lupa pamitan dengan Ibu.
Umur kami kakak beradik berjarak 2 tahun lebih tapi jangan salah. Justru badanku lebih tinggi dan besar hingga seringkali disangka kakaknya abangku.
Nah bingungkan! Bang Jeri orangnya cuek, walaupun berbadan besar dan kurang tinggi (biar agak sopan) ia tetap percaya diri. Meskipun sering dibully beda fisik.
-------------
Setelah turnamen Volly, meskipun kami kalah dan tidak lanjut babak selanjutnya. Aku nggak berkecil hati, cari asiknya aja bukan sekedar ambisi untuk menjadi juara.Hari semakin sore, matahari perlahan mulai tenggelam. Kami hendak membubarkan diri. Tiba-tiba di depanku ada segerombolan remaja yang kebut-kebutan. Darahku menggebu, panas. Lalu tancap gaspol.
Samar terdengar suara motor Bang Jeri menyusulku.
"Jangan ngebut-ngebut! Hari mau magrib. Langsung pulang ya!" teriaknya ketika motor kami sejajar.Lalu Bang Jeri berbelok arah jalan pulang mendahului aku.
--------------------
Entah apa yang terjadi. Aku melihat diri ini sudah dipinggir jalan. Kaki dan tangan mati rasa. Darah bercecer disekitarku. Sedangkan motorku hancur belah dua.Perasaanku linglung. Mencerna semua yang terjadi. Terlalu cepat! Hingga sulit untukku mengelak.
Aku melihat Bang Jeri histeris menghentikan setiap mobil yang lewat, tapi tidak ada yang berhenti. "Woi Bang, tolongin aku ni," teriakku.
Mata tajam milik Bang Jeri terlihat merah. Apakah dia sedang marah? Ia berjalan cepat mendekatiku lalu mengepalkan tangan dan ... Meninjuku. Kaget! Apa salahku? Ini murni kecelakaan.
Tidak lama kemudian mobil kepolisian datang. Mengangkat tubuhku, tiba-tiba hijan diperjalanan. Pedih, sakit tak bisa kujelaskan ketika butiran hujan menyentuh lukaku.
----------------
Beberapa hari aku dirawat. Namun sosok wanita yang kunantikan belum terlihat batang hidungnya. Kupinta Bang Jeri untuk mengabarinya tetap saja dia belum datang.Hingga seminggu seminggu berlalu.
Wanitaku datang. Dengan pakaian sederhana tanpa make up, ia terlihat begitu cantik. Akan tetapi, air mata itu menutupi kecantikannya.Ia begitu terpukul saat melihat kakiku yang diamputasi. Tiada sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Sikapku mulai pesimis.
"Apakah setelah melihat kakiku tiada, ia akan menghilang bagai ditelan bumi?" batinku.Desas desus miring mulai menghampiri hubunganku. Semua orang berkata, dia pasti akan meninggalkanku.
Saking takutnya, aku berusaha menghubungi Zola, Kekasihku. Menceritakan berita miring itu. Jawabannya sungguh menyejukkan hatiku dan menjadi tentram.
"Abang nggak usah dengarin kata orang. Adek tetap yang dulu. Kita jalani aja, biarlah mereka panas karena hubungan kita yang tetap nyaman meskipun keadaan telah berubah. Adek tetap sayang dan terima Abang apa adanya." Jelas Zola meluruskan kesalahpahaman ini.
Aku tak mampu membendung kebahagiaan ini. Dari tadi sudut bibirku selalu melengkung mendengar suaranya.
"Serius terima apa adanya? Atau sebab desa desus itu Adek berubah pikiran?" tanyaku.
Hening.
Tiada jawaban dari seberang sana!
"Halo ... Adek masih disitu?" tanyaku lagi.Terdengar suara berisik dari sana. Aku melirik jam di ponsel menunjukkan 20:30 pm. Yakin jika Zola belum tidur.
"Maaf Bang! Adek tadi ada kerjaan dikit, Adek beneran kok terima Abang tanpa syarat, semoga Abang cepat sembuh. Biar kita bisa jalan-jalan seperti dulu," Jawabnya di sana.
Rasanya aku lebih bersemangat untuk segera sembuh. Kujadikan ucapan Zola sebagai motivasi untuk bangkit. Setidaknya gadis yang kusayangi masih menerima kekurangan ini seperti Ibu, ayah dan bang Jeri.
"Sekarang Abang Istirahat ya! Besok adek ke sana," ucapnya lembut menyejukkan hatiku.
"Terima Kasih Dek, Assalamualaikum ..." Tukasku pelan.
Jantung hati, pelipur lara "Zola Septiaku" puitis dalam hatiku.
Akupun tak sabar menantikan hari esok. Mata ini sulit dipejamkan. Menatap langit-langit Ruangan ICU yang serba putilh dan bunyi mesin dengan simbol hati. Tiba-tiba mataku berat untuk dibuka, rasa kantuk semakin meningkat, perlahan ruangan menjadi gelap.
Gadis Muda itu bangun subuh, ingin memasak sesuatu untuk dibawa ke Rumah Sakit. Ia kebingungan menu apa yang boleh dimakan oleh Bang Fikar."Daripada bingung, lebih baik aku tanyain Ibu Bang Fikar." gumamnya. Lalu mencari kontak Ibu dan mulai menekan panggilan. Dua kali dering langsung diangkat."Assalamualaikum, bagaimana kabar Ibu? Ini Zola mau tanya. Apa jenis makanan yang boleh dimakan Bang Fikar?" Ujar Zola to the point. Takut mengganggu istrahat Ibu."Waalaikumussalam, Alhamdulillah Baik. Ikan Gabus. Diolah jadi apa gitu, biar nggak ketahuan Fikar, soalnya dia nggak suka." Jawab Ibu pelan."Oh, baiklah Bu! Aku cari dulu ikannya." Zola mematikan sambungan telpon.Lalu melangkah ke dapur. Zola kebingungan. Dia juga nggak suka Ikan Gabus apalagi megangnya, geli jijik."Ih ... Coba cek kulkas dulu, semoga nggak ada!" liri
Tiga Bulan berlalu.Fikar melamun mengingat kenangan manis bersama Zola beberapa bulan lalu. Gadis itu mampu membuatnya tersenyum tanpa alasan yang pasti.Sejak kepulangan Fikar ke Rumah. Belum ada kunjungan dari Zola. Padahal sebulan di Rumah Sakit, hampir setiap hari gadis itu tanpa Absen mengunjunginya.Ketika ditanya Zola selalu beralasan motor nggak ada, lagi sakit, Rumah nggak ada yang jaga dan bla ... Bla ... Entah cuma sebagai alasan atau benaran, Fikar tidak tahu.Fikar berusaha berpositif thinking. Walaupun sejujurnya hati itu sangat resah dan gelisah.-----------------Dua minggu setelah pulang dari Rumah Sakit, Fikar hanya terbaring di atas kasur busa di tumpukkan bantal tinggi penyangga kepalanya.Tidak banyak yang bisa dilakukan Fikar. Geraknya sungguh terbatas. Makan diambilin dan disuapi, Buang Air
Sejak Kejadian yang dialami Fikar, tubuhku terasa kehilangan semangat untuk menjalani hidup. Kabar kecelakaan itu sangat mengejutkan. Tepat waktu sore itu, aku bersiap hendak pulang ke rumah. Bekerja sebagai pengawas di Pabrik kayu menyita sebagian besar tenaga dan waktu untuk keluarga, terkadang lembur hingga tengah malam, atau masuk hutan belantara mencari kayu berkualitas tinggi yang harga jualnya pun sangat tinggi. Semua lelah terbayar oleh gaji atau upah keringat yang bisa dikategorikan cukup besar untuk menafkahi istri dan ketiga putraku. Ditambah pula sebagian besar dari hasil kebun karet dan sawit warisan orang tua kami, maksudnya Hasnah dan diriku. Tidak lupa kadang diri ini berbagi rezeki dengan saudara dan sanak family agar dilancarkan dalam bekerja dan berusaha. ---------------- Hari ini tidak ada lembur, sedari pagi entah kenapa perasaanku tidak enak? Pikiranku melaya
Fikar duduk dilantai sembari menompang dagu ditepi jendela, ia menikmati kesendirian di rumah. Bangunan milik orang tuanya memiliki jendela model slim dengan posisi setinggi duduk orang dewasa.Mata lelaki itu menatap lurus ke depan, dia tidak sedang melihat apa-apa, namun pikirannya yang berkelana, memikirkan masa depan yang akan dilaluinya nanti. Buliran bening menetes membasahi pipi, segera diusap Fikar dengan ujung jari telunjuk."Aduh!" pekiknya.Saat menyadari kaki yang diamputasi mengeluarkan air bercampur nanah dari bolongan disekitarnya sebab terbentur dinding tanpa disengaja ketika menggeser posisi duduknya.Terdengar ringisan dari bibir Fikar saat mengusap pelan air berbau menyengat itu dengan kain yang sudah tersedia, bau itu membuatnya kehilangan napsu makan. Akan tetapi, siapa yang dapat menolak takdir?Sejenak ia melupakan kesakitan yang barusan t
Fikar terjaga dari tidurnya yang indah sebab berjumpa dengan belahan jiwa yang sangat ia rindukan sembari tersenyum lebar mengingat hal manis semalam walaupun hanya di alam mimpi. Setidaknya rasa rindu terobati, tapi ada yang mengatakan rindu tak mampu diobati kecuali sebuah pertemuan. Ada benarnya sih!Lelaki disbilitas itu menelusuri ruangan kamar yang tak terlalu lapang, tapi terasa pengap sebab minimnya cahaya yang masuk. Tatapannya berhenti pada tongkat kruk ketiak pemberian Bang Jeri."Ini tongkat dibeli atau hadiah ya?" gumam Fikar menelisik benda tersebut yang berada tak jauh darinya."Tapi, label harga nggak ada. Bisa jadi pemberian! Apa aku bisa menggunakannya?" Kata Fikar kemudian dengan mata sendu, membendung air mata kala mengingat diri yang tak mampu untuk mandiri.Tangannya meraba alat bantu tersebut secara halus setelah duduknya secara perlahan beringsut sampai
Bi Julai, tetangga sebelah Fikar berlari ke luar memanggil orang-orang saat Fikar didapati pingsan. Wanita tua itu berusaha keras menolong memindahkan tetangganya itu ke tempat pembaringan."Malangnya nasibmu, Nak!" Kata Bi Julai meneteskan air mata menatap wajah Fikar, kemudian membersihkan cairan kental yang bercecer di lantai.Wanita itu meminta salah satu orang yang berada di sana menjemput orang tua Fikar di kebun."Anto, cepat bawa orang tua Fikar pulang! Takutnya ini pendarahan dan darurat," Ujar Bi Julai panik memperhatikan darah yang keluar dari paha Fikar yang diamputasi semakin banyak.Anto mengangguk. Bergegas keluar rumah."Fikar ... Fikar!"Bu Hasnah memanggil Putranya sambil menepuk-nepuk pelan Pipi anaknya supaya cepat sadar.Panik. Keadaan menjadi tegang!"Bagaimana
Sebulan setelah acara angkat keluarga dilakukan, membuat hubungan Pak Harun dan Pak Zur semakin dekat. Anak-anak yang semula hanya teman bermain, sekarang tumbuh rasa sungkan dan saling menghargai.Tidak ada lagi olok-olokan seperti biasa. Semua berubah, tak enak hati selalu menjadi alasan utama. Begitu pun saat bertemu dalam tongkrongan, canda mereka tertahan.Jeri dan Putra pertama Pak Zur yang bernama Musir sangat akrab meski beda usia, namun jarak terbentang saat ini.Biasanya di rumah sederhana dengan tampilan biasa itu selalu dihuni oleh Fikar, setiap pagi semua orang pergi mengais rezeki. Derap langkah kaki memasuki rumah Bu Hasnah.Fikar menajamkan pendengaran."Siapa ya? pagi-pagi sudah bertamu," gumam lelaki itu. Ia menggeser duduk dengan cara mengesot hingga sampai di depan pintu, celingukan menatap ruang tamu. Dihadapan Fikar berdiri sosok lela
Adinda attarjay, wanita blasteran Jawa thailand. Ibu asli Jawa sedangkan Bapak keturunan thailand dan telah menjadi pribumi, sebab puluhan tahun menetap di Indonesia.Wajah oval dengan mata sedikit sipit serta lesung pipi menambah manis perawakan yang dimiliki Dinda. Dia begitu cantik dan dikagumi setiap pria. Setiap yang menyukainya berlomba-lomba memenangkan hati gadis itu.Jika ada yang meminta menjadi pacar. Adinda telah menyiapkan jawaban sebagai tolakan secara halus tanpa menyakiti hati pengagumnya."Maaf, aku mau serius sekolah dulu.""Cinta tak harus jadian, buktikan saja perhatianmu!""Sayang banget! Aku pengennya kita serius ke jenjang pelaminan bukan pacaran.""Maaf, Aku bukan tipe pemilih, tapi hanya ingin seseorang yang mampu bertahan akan sikap burukku," balas Adinda sembari mencongkel upil dengan telunjuk.