Ranti mencari asal suara. Itu berasal dari seorang pria yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Ranti menduga, bahwa itu adalah ayah dari Darius. Dia bergegas berjalan ke sana sambil menunduk. Di samping pria itu, duduk seorang wanita cantik yang penampilan elegannya berhasil menyamarkan garis usia.
“Saya, Tuan,” katanya menghadap.
“Kenapa Darius bisa hilang dari pengawasanmu? Bukankah kau dipekerjakan untuk mengurusnya!” Wanita cantik itu langsung mencecar Ranti dengan pertanyaan telak.
“Saya sedang menyiapkan sarapan untuk Tuan Darius, Nyonya,” jawab Ranti jujur.
“Hah! Jangan banyak alasan! Kalau terbukti kau lalai dalam tugas, jangan mengira kami akan melepaskanmu begitu saja!” Pria lain di ruangan memberi ancaman.
“Ya! Apa Hendra tidak ada menceritakan padamu bahwa kami telah enuntut salah seorang perawat ke muka hukum akibat melalaikan tugas?” Wanita cantik itu menambahkan informasi yang berrhasil membuat tengkuk Ranti meremang takut.
“Maafkan saya, Nyonya. Saya memang mendapat tugas menyiapkan makanan Tuan Darius. Saat saya antar, Tuan sudah tak ada di kamarnya!” Ranti menjawab dengan teguh.
“Sudah! Aku sudah melihat rekaman cctv dan dia memang tidak berkata bohong!” Pria tua berambut putih itu menenangkan suasana panas. Yang lain mencibir dengan wajah masih tidak puas pada gadis itu.
“Apa isi tas itu?” tanya wanita cantik itu lagi.
“Pakaian saya, Nyonya,” sahut Ranti.
“Apa kau ingin membawa barang-barang di rumah tanpa sepengetahuan Hendra?!” tuduh seorang pria lain lagi.
Wajah Ranti memerah. Dia sangat tersinggung karena dituduh mencuri. Dia membalas tatapan sinis pria itu dengan mata berapi-api. Saya bekerja untuk mendapatkan uang yang halal. Saya bukan pencuri!” kata Ranti dengan suara meninggi.
Pria itu tak mengira bahwa perawat baru itu akan berani membalas kata-katanya. Dia sudah akan membalas saat Ranti kembali bicara.
“Anda boleh memeriksa tas itu untuk mencari barang-barang milik keluarga Anda. Namun, jika tak ada satu pun barang curian di sana, saya akan balik menuntut Anda!” katanya berani.
“Lancang!”
Wanita cantik itu begitu murka melihat keberanian Ranti. Dia sampai berdiri dari duduknya dengan wajah memerah dan tangan terangkat untuk menampar atau memukul gadis muda di depannya.
Ranti yang melihat bahaya, segera menutup wajah dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Pukulan yang sedang melayang itu tak berhasil mendarat di pipinya.
“Sudah! Kalian semua keluar! Aku mau bicara dengannya!” Pria beruban itu bersuara dan memukulkan tongkatnya di lantai. Yang lain langsung diam dan saling pandang. Tak lama semua orang keluar dan meninggalkan Ranti bersama pria tua itu, termauk si wanita yang emosinya memuncak akibat tak berhasil melampiaskan kekesalan pada gadis muda di depannya.
“Aku bisa lihat kau sangat berani!” Pria itu menatapRanti dengan mata tajam menusuk. “Akan tetapi, keberanian yang tidak pada tempatnya, bukanlah hal yang baik. Ancamanmu itu tak berarti apa-apa bagi kami!”
Pria itu mendecih sebelum melanjutkan kata-katanya yang sinis. “Putraku membutuhkan perawat yang berani dan kuat. Sanggup menahan diri dan punya sabar segudang. Apa kau masih ingin bekerja di sana atau mengundurkan diri seperti pengecut?”
“Jadi, saya tidak dipecat, Tuan?” tanya Ranti dengan mata membulat tak percaya.
“Ini sebuah tantangan buatmu. Aku mendengar informasi dari Hendra tentang keluargamu yang kau ceritakan padanya. Aku hanya ingin sedikit membantu dan memberimu kesempatan terkakhir,”
“Saya bersedia, Tuan. Terima kasih untuk kesempatan ini. Saya akan melakukan yang terbaik di waktu berikutnya,” potong Ranti cepat.
“Aku belum selesai bicara!” Pria tua itu membentak.
Wajah bahagia gadis muda itu langsung hilang. Dia terlalu bersemangat hingga tidak menunggu Tuan Dharmajie menyelesaikan kalimatnya. Dengan takut Ranti menundukkan kepala sembari berbisik lirih. “Maaf ....”
Gadis itu dapat mendengar hembusan napas kuat dan jengkel pria berkuasa di depannya itu. Sekarang gadis itu ingat bahwa dia pernah melihat pria itu di layar televisi entah kapan. Sepertinya dia orang terkenal.
“Kesempatan ini hanya sekali! Begitupun, karena kau sudah membuat satu kelalaian ... maka, jika kau melakukan kelalaian sekali lagi, aku tidak akan main-main lagi denganmu! Keluargaku mungkin bukan hanya akan memecatmu, tapi juga membawamu ke muka hukum!”
Ranti membelalakkan matanya ngeri. Tak boleh terjadi sesuatu apa pun padanya. Ibunya tidak akan berdaya jika mengurus adiknya sendirian. Dia meragu dan berpikir ulang.
“Apa kau berani?”
Ranti bisa melihat sikap angkuh pria tua itu tak hanya muncul di wajah, tapi juga dalam suaranya. Benar-benar orang yang berwibawa dan mengetahui kedudukannya di atas gadis itu.
“Jika tak berani, silakan keluar. Aku akan menganggap ini tak pernah terjadi. Ini kesempatanmu untuk pergi dengan damai!”
Gadis muda itu masih berdiri kaku di depan Tuan Dharmajie. Tentu saja dia takut jika harus berhadapan dengan hukum atas kelalaiannya dalam menjaga seorang pasien yang tidak memahami apa yang telah diperbuatnya. Telapak tangannya yang menggenggam tali tas pakaian itu tiba-tiba berkeringat lebih banyak dan membuatnya merasa gerah dan tidak nyaman berada di kamar ber-ac itu.
Baru kali ini dia dihadapkan pada pilihan yang lebih sulit dari pada memilih apakah akan membeli beras lebih dulu, atau beli pulsa ponsel dari sisa uang gaji di akhir bulan.
“Aku tak punya waktu lama!” Suara pria tua itu memecah keheningan ruangan.
Ranti menatap nanar dan ada kesedihan di balik bintik hitam matanya. Terbayang baginya sang adik yang harus tertunda perawatan ke rumah sakit, kalau dia tak punya pekerjaan. “Baik! Akan saya terima tawaran ini!”
Tak ada tekad menggebu dalam suara itu. Hanya tersisa kepasrahan atas pilihan hidup berat yang harus dijalaninya.
“Bagus! Jangan kecewakan aku!” kata pria itu tegas.
Ranti hanya bisa mengangguk dengan kepasrahan. Apa pun yang terjadi nanti, dia hanya harus melakukan tugasnya saat ini. Diserahkannya takdir hidup pada Yang Maha Kuasa. Dia hanya perlu bekerja dengan lebih baik lagi setelah ini. Setetes air mata yang dia tak tau artinya, bergulir jatuh tanpa terasa. Entah karena takut, ataukah jelmaan ketidakberdayaan.
Kemudian pintu ruangan dibuka. Tampak seorang perawat mendorong masuk sebuah brankar dengan Darius terbaring di atasnya. Pria itu memejamkan mata seperti orang tertidur. Ranti menyingkir menjauh dari tengah ruangan karena semua kerabat pria itu memenuhi ruangan.
Setelah membenarkan posisi pasien dan memeriksa semua alat yang terpasang padanya, perawat yang mengantar memberi sedikit peringatan sebelum keluar. “Tolong jangan terlalu ramai di dalam ruangan. Pasien butuh istirahat!”
Tanpa diperintah, Ranti memilih keluar dan menunggu di lorong rumah sakit bersama Pak Hendra. Dia tahu sedang tak dibutuhkan di sana, saat ini. Keluarga Pasien itu telah berkumpul semua di sana.
“Apa kata Tuan Dharmajie?” tanya Hendra memecah keheningan antara mereka berdua.
“Tuan memberi saya kesempatan kedua,” kata Ranti dengan suara tercekat.
Hendra seperti bisa merasakan kengerian yang tengah melingkupi gadis di depannya. “Jika kau merasa tawaran itu mengancammu, kau bisa menolaknya. Tak ada yang memaksamu untuk menerimanya, bukan?”
Ranti menggeleng lemah. “Keadaan saya sendiri yang memaksa saya mencoba tantangan ini.” Gadis itu membuang pandang ke ujung lorong yang mengarah pada jendela kaca besar, menampakkan pemandangan luas antara kelabu dan birunya langit Jakarta.
Hendra menatap gadis itu datar. “Bekerja pada keluarga Dharmajie tidak pernah mudah. Semoga kau tidak menyesalinya nanti!”
Ranti mendapat tugas untuk menjaga Darius yang dirawat di rumah sakit malam itu. Semua orang telah keluar dari ruangan dan meninggalkannya sendirian. Pak Hendra juga telah pergi setelah memberikan bekal makanan untuknya.Tak banyak yang dilakukan gadis muda itu malam hari karena Darius sepenuhnya tertidur dan perawat yang datang memeriksa di beberapa waktu, tidak mengatakan apapun.“Bagaimana keadaan Tuan Darius?” tanya Ranti ingin tahu.“Dia sedang tidur. Akan bangun setelah pengaruh obat habis.”Begitulah jawaban yang diterima Ranti. Akhirnya, gadis itu bisa beristirahat dengan tenang di sofa panjang yang ada di ruang perawatan. Gadis itu membayangkan keluarga dengan perasaan gamang. Betapa kini dia seperti didorong pada sesuatu yang sangat berbahaya.Sejak ayahnya yang bekerja sebagai Ojol meninggal sepulang mengojek, Ranti memang mau tak mau mengambil alih tanggung jawab biaya keluarganya. Karena sang ibu hanyalah penjual gado-gado kecil di depan rumah kontrakan mereka. Adiknya y
Mata Ranti terlihat khawatir. Meskipun begitu, dia merasa ragu jika itu adalah tugas para perawat. “Tuan Darius mungkin ingin ke kamar mandi. Dia mencari Pak Hendra. Mungkinkah ada perawat pria yang bisa menolongnya ke kamar mandi?”Dua perawat itu saling pandang sebelum menatap Ranti heran. Gadis itu memahami arti tatapan itu. Kemudian dia menjawab tanpa perlu ditanya. “Tuan tak mau dibantu oleh pekerja wanita seperti saya.” Gadis itu menunduk. Dia merasa tak berguna sama sekali.Sebelum ada siapapun yang bereaksi, kembali terdengar teriakan keras suara Darius yang memanggil Pak Hendra. Kali ini disertai nada marah yang mungkin mengagetkan semua pasien di lantai itu. Seorang perawat buru-buru lari ke sana dan yang lainnya mengangkat gagang telepon. Ranti ikut mengejar ke ruang rawat tuannya.“Di mana Hendra!” bentak Darius kasar. “Apa dia sudah bosan kerja?!”“Pak, ini rumah sakit. Pelayan Anda tidak ada di sini. Katakan apa yang harus kami bantu,” katanya menenangkan.Darius menata
Ranti berdiri kaku di balik daun pintu, mendengar umpatan tak pantas itu. Bagaimana mereka berharap kakaknya segera mati? Seburuk apa pun sikap Darius, dia tetaplah anak tertua keluarga Dharmajie.“Mau apa kau di sana!”Seruan Darius menyadarkan Ranti. Tangannya masih gemetar saat menutup rapat pintu ruangan. Segera dia menghampiri tempat tidur. “Apa Tuan butuh sesuatu?” tanya Ranti sigap.“Buang saja kue itu. Mereka telah meracuninya!” perintah Darius.“Tuan, jangan terus berprasangka buruk. Kue ini dari toko. Saya sendiri yang membuka kemasannya,” bujuk Ranti.“Kalau kau mau, makan saja! Tapi aku tidak bertanggung jawab jika kau tiba-tiba sakit atau mati!” ujarnya masih degan suara ketus.Ranti akhirnya diam. Dia tak mau berdebat lagi. Itu hanya akan membangkitkan kemarahan pria itu. Dia menyingkirkan kue itu dan meletakkannya di atas meja untuk dinikatinya nanti. Kue spesial dari toko kue terkenal. Belum tentu Ranti bisa membelinya. Alangkah sayang untuk dibuang.“Telepon Hendra un
Ranti akhirnya mengeluarkan tantangan untuk dirinya sendiri. Jika dia tak mampu membuat Darius bersikap lebih baik dari ini, maka dia lebih baik mengundurkan diri, sebab tugasnya sudah gagal.Wajah Darius benar-benar tak sedap dipandang, tapi dia menjawab dengan sangat cepat. “Aku terima tantanganmu!”Sekarang, bantu akau ke kursi roda sialan itu!” ujar pria itu kasar.Ranti bergerak cepat membantu Darius ke kursi roda dan membantunya ke kamar mandi. Gadis itu mendorong kursi roda hingga masuk ke kamar mandi, mendudukkan pria itu di toilet, baru keluar dan menutup pintu.“Jika sudah selesai, Tuan bisa berteriak memanggil saya,” ujarnya satar.Darius mendengus dengan wajah memerah. Sekarang, dia harus berusaha keras untuk bisa melepaskan pakaian bagian bawahnya. Ternyata itu tidak semudah yang dia kira. Gerak tangannya yang sedikit gemetar, memperlambat kerjanya.“Hendra! Akan kupotong gajimu sebulan!” umpatnya kesal.Ranti menunggu cukup lama di depan pintu. Dia sebenarnya khawatir de
Wajah Hendra terkejut, senang, dan berseri-seri. Bahkan meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, dia tak akan melupakan suara itu.“Tuan Muda! Saya Hendra, pelayan di rumah Anda!”“Pak Hendra? Ah ... ada apakah meneleponku? Biasanya hanya Kakek yang menanyakan kabarku. Bagaimana keadaan Papa?” terdengar suara khawatir dari seberang telepon.“Tuan yang meminta saya menghubungi Anda, Tuan Muda. Sebentar ....”Pak Hendra mengubah tampilan ponselnya agar menjadi panggilan video, lalu mengarahkan pada Darius. “Ini Tuan Muda, jika Anda ingin bicara, Tuan.”Darius bisa melihat seorang pria muda tampil di layar ponsel. “Kau siapa? Di mana putraku, Oscar? Minta dia segera pulang sebelum mamanya marah!” perintah Darius dengan ekspresi serius.Lama tak ada jawaban dari telepon. Ranti mencoba memasang telinga untuk mendengar jawaban Oscar mendengar kata-kata Darius. Gadis itu dapat membayangkan reaksi putra sang majikan menghadapi kenyataan bahwa ayahnya sendiri tidak lagi mengenalinya.“Apa kau ta
Ranti tak tahu harus merespon seperti apa. Jadi gadis itu hanya mengangguk dari tempatnya berdiri.“Bisakah kau duduk di sini dan mendengarkanku?” pinta Darius.Ranti bisa merasakan kesungguhan dalam suara pria itu. Tiada amarah meledak seperti beberapa hari terakhir. Dengan tenang, gadis itu duduk dengan patuh di meja lain yang mengelilingi meja bundar di teras. Dia siap untuk mendengarkan apa pun yang ingin dicurahkan sang majikan.“Sudah berapa lama kau bekerja di sini?” tanya Darius sambil terus membaca buku catatannya.“Belum seminggu, Tuan,” jawab Ranti jujur.“Hemm ... menurutmu, salahkah jika aku ingin mempercepat waktu kematianku? Aku tak ingin menyusahkan semua orang. Aku juga sudah tak mungkin menemukan otak pembunuh Evelyn.” Darius melempar pandangan ke arah taman dan kolam di sana. Pandangannya menerawang, untuk sesaat, dia seperti tidak menyadari kehadiran Ranti.Gadis itu tidak dapat menjawab pertanyaan seperti itu. Jadi, dia memilih diam dan ikut menerawang melihat dah
Ranti sibuk mencari pekerjaan baru setelah kembali ke rumah. Ibunya merasa lega saat mengetahui bagaimana berat dan beresiko pekerjaan sang putri. “Cari pekerjaan biasa saja. Pekerjaan bergaji besar, memang selalu lebih berat dan beresiko,” nasehat wanita parobaya itu.“Iya, Ranti berangkat dulu. Kemarin teman bilang ada lowongan di kafe di sebuah mall.” Gadis itu mengangguk, menenangkan hati ibunya.“Pergilah dan hati-hati!” pesan ibunya lagi.Setelah mencium tangan sang ibu, Ranti berangkat untuk mencari pekerjaan. Dia harus segera mendapatkan pekerjaan baru, sebelum uang gaji seminggu itu habis terpakai.Dua hari Ranti mencari pekerjaan tak kenal lelah. Dia bahkan melamar pekerjaan sebagai helper di sebuah kios loundry. Namun sayang, masih tidak ada lowongan untuknya. Seperti memang bukan takdirnya, karena jawaban pemilik usaha selalu hampir sama. “Kami baru saja menerima pekerja. Anda terlambat beberapa jam!”Saat malam menjelang dan pekerjaan masih belum didapat, Ranti akhirnya p
Bab 14. Kembali BekerjaDarius menatap gadis di depannya dengan pandangan ajam dan penuh prasangka. DIa sama sekali tak terlihat senang atas informasi yang dikatakan Ranti. “Siapa yang memberimu ijin meninggalkan pekerjaan di sini?!”“Saya sudah dipecat Tuan Besar, Tuan.”“Ini rumahku. Apa urusan tua bangka itu memecat pekerja di rumah ini!” geramnya marah.“Hendraaa ...!”Suara teriakan Darius yang kencang, menggema nyaring ke seluruh rumah yang sepi. Hendra yang sedang ada di luar, tidak mendengar panggilan itu. Namun, Oscar langsung berlari menuruni tangga dari lantai atas dengan khawatir.“Papa ... ada apa?” tanya pria muda itu cemas. Diliriknya gadis perawat tadi yang juga terkejut di depan Darius.“Apa kau membuat ulah lagi? Bukankah kau sudah dipecat? Sudah, sana pergi! Mengganggu saja!” bentak pria muda itu marah pada Ranti.“Hei!” Darius menyela kata-kata putranya dengan mengangkat tangan, menyuruhnya ber henti bicara. “Papa justruingin tahu kenapa dia dipecat tanpa ijin!”O