Apa yang akan terjadi saat seorang perawat muda tak berpengalaman harus menghadapi pasien yang keras kepala dan putus asa karena penyakitnya tak mungkin disembuhkan? Apa yang harus dilakukannya untuk menyemangati pria yang telah kehilangan banyak hal dalam hidupnya, termasuk kepingan ingatan kehidupannya? Apa yang harus dilakukannya untuk menghapus keinginan mati yang menggerogoti pikiran pasiennya? Demi membiayai ibu dan adiknya yang butuh perawatan rutin, Ranti bersedia menelan semua kata kasar yang dilontarkan pasiennya. Dia akan kembali tersenyum setelah mengusap air mata. Bekerja dengan sungguh-sungguh di bawah ancaman penjara, jika dia melakukan kesalahan fatal yang mengakibatkan Darius berada dalam bahaya. Kehadiran putra Darius sedikit membantunya. Namun dia tak dapat menerima pernyataan cinta pria muda itu. Hatinya telah lebih dulu diisi oleh seseorang. Mungkinkah dia akan mendapatkan kebahagiaan cinta?
view more“Aku tak mau ada orang asing di sini! Usir dia!”
Tuan Darius, calon pasien yang akan dirawat oleh Ranti menatapnya nyalang. Mendapatkan penolakan di hari pertamanya bekerja, gadis muda langsung pucat dan tubuhnya gemetar. Bahkan nampan yang disedang dipegang, ikut bergetar di tangannya.
Ranti menundukkan pandangan, juga bersembunyi di balik punggung Hendra--pelayan Tuan Darius yang mengajarkannya. Terlihat jelas bahwa gadis itu ketakutan.
“Tuan Besar sudah menyetujui untuk mempekerjakan dia, agar Anda tidak perlu lagi berteriak lama-lama saat membutuhkan sesuatu, Tuan,” jelas pelayan itu dengan suara tenang namun penuh ketegasan.
“Suruh saja dia kerja di sana!” Darius masih terlihat tak peduli.
“Semua pelayan telah Anda pecat. Sementara saya mungkin tidak bisa selalu ada di dekat Anda,” jelas pelayan tua itu sabar.
Dari balik punggung Hendra, Ranti bersikap waspada. Kendati dia merengket ketakutan, gadis itu tetap mendengarkan perdebatan yang terjadi di antara dua pria dewasa di hadapannya.
Tak berselang lama, tubuh Ranti berjengit kaget. Nyaris saja sebuah teriakan keluar dari mulutnya saat sebuah benda melayang ke arahnya. Sebuah gelas, pecah berhamburan di lantai tak jauh dari kakinya. Ranti tak mengira pria itu begitu ringan tangan.
“Heh! Apa kau takut?" Darius terdengar begitu sinis saat mengucapkan kalimat tersebut. "Itu belum seberapa. Aku bahkan bisa lebih kejam dari ini! Aku akan membuatmu tidak betah dan langsung angkat kaki dari sini!”
Ranti menguatkan hati mendengar makian yang tak henti keluar dari pasien yang akan dirawatnya. Dia tidak berani membuka mulut, sekadar untuk menyangkal penilaian sang tuan yang begitu buruk padanya.
“Kalian orang-orang miskin seperti kumpulan semut yang merubungi gula! Kalian akan selalu ingin menempel agar bisa mendapatkan keuntungan dari kami! Kau tak pantas ada di sini!”
Tubuh Ranti bergetar hebat karena merasa emosinya sudah nyaris meledak. Rasa ketakutan sebelumnya kini berubah jadi marah. Menurutnya, penghinaan Darius kali ini benar-benar sudah merendahkan harga dirinya.
Tak tahan, akhirnya Ranti menyerahkan dulu nampan berisi makanan dan obat untuk Darius kepada Hendra. Dia melangkah dan menatap tajam ke arah Darius dengan berani.
“Entah Bapak bertemu di mana orang yang barusan Bapak katakan. Saya memang miskin, Pak." Dada gadis itu turun naik, wajahnya memerah seiring dengan kepalan tangan yang semakin menguat. "Namun, saya bukanlah pengemis. Saya tidak pernah mengemis untuk menghidupi keluarga saya!”
Setelahnya gadis itu lari dari ruangan itu menuju kamar karyawan yang akan jadi tempat istirahatnya selama bekerja di rumah itu. Melihat bagaimana hari ini tidak berjalan baik, Ranti sendiri sangsi .... Bisakah dia bertahan lebih lama dari yang dia bayangkan?
Di kamar, Ranti menangis sedih. Hatinya sangat sakit mendengar penghinaan yang dilontarkan Darius. Seumur hidupnya, Ranti adalah pekerja keras yang selalu membantu kedua orang tuanya. Dia memang dari keluarga miskin. Namun, tidak pernah sekalipun dia mengemis dan berusaha dekat dengan para orang kaya hanya demi keuntungan semata. Dia hanya pekerja rendahan yang bertujuan dapat uang dari pekerjaannya untuk menghidupi keluarga.
Bayangan ibu dan adiknya muncul di ruang mata. Sang adik sangat membutuhkan gajinya agar bisa melanjutkan perawatan dan mengikuti terapi yang dibutuhkannya. Ranti, gadis tamat SMA itu mendadak jadi tulang punggung keluarga setelah sang ayah berpulang saat pulang mengojek. Dia harus membantu ibunya yang hanya seorang penjual gado-gado.
“Aku harus menguatkan hati. Ini baru hari pertama. Masa aku sudah kalah mental? Lagipula, apa yang dituduhkannya tidak benar. Aku pasti bisa!” Gadis itu menguatkan tekad demi sang adik.
Tak lama, Ranti kembali ke kamar Darius seolah tak pernah terjadi apa-apa. Sosok Hendra masih ada di sana, sedang menata makanan di meja kecil.
“Maaf, saya tadi dari kamar mandi. Biar saya gantikan Anda untuk melayani makan Tuan Darius, Pak.”
Pak Hendra dan Tuan Darius langsung menoleh saat mendengar suara gadis itu. Emosi Darius kembali terpancing. Wajahnya langsung memerah dan dia berteriak lantang dan menggelegar.
“Keluar ...!”
Ranti yang baru menata hati, benar-benar tak siap mendengar teriakan sekencang itu. Tubuhnya langsung mundur dan terhenti setelah menabrak tembok. Wajahnya yang memutih itu, menunjukkan bagaimana dia shock dengan teriakan pemilik rumah.
Pak Hendra menggelengkan kepala pada pria itu. “Dia bukan orang yang pantas untuk diteriaki. Sifat Anda makin lama makin buruk!” Pria tua itu langsung meninggalkan Tuan Darius dan mendekati Ranti.
“Kurasa, sebaiknya kau istirahat sejenak, Nona. Nanti akan saya panggil lagi,” ujarnya dengan suara lebih lembut.
Ranti menatap pria tua itu dengan mata berkaca-kaca tapi tak mampu beranjak dari sana. Kakinya terasa lumpuh tak bertenaga saat ini. Sepertinya Pelayan tua itu menyadari apa yang terjadi pada perawat baru itu. Tangannya dengan sigap menuntun tangan Ranti menuju kamarnya sendiri. Membiarkan gadis itu beristirahat sejenak dan memikirkan ulang, apakah masih ingin melanjutkan pekerjaannya di kediaman itu atau tidak.
Pria tua itu pergi ke dapur dan menyiapkan secangkir teh hangat untuk mengembalikan semangat gadis yang sedang shock di dalam kamar itu. Saat sedang membawa minuman untuk Ranti, dilihatnya Tuan Darius menggerakkan kursi roda dengan sulit ke arah ruang makan.
“Anda mau ke mana?” tanyanya khawatir.
“Aku mau mencari istriku?” katanya dengan wajah cemas.
Pak Hendra menghela napas lelah. Dia meneruskan langkah menuju kamar Ranti, untuk menyerahkan teh yang baru dibuat itu. “Teh hangat mungkin bisa menenangkanmu,” sarannya sebelum keluar dan kembali menutup pintu.
***
Di kamarnya, setelah meneguk teh hangat pemberian Pak Hendra, hati Ranti kembali tenang. Dia memutuskan untuk mempelajari lebih banyak tentang penyakit Darius. DIa belum pernah mendengar tentang enyakit Huntington yang dikatakan Pelayan Hendra telah diidap Darius.
Satu jam dilalui Ranti dengan membaca informasi internet tentang penyakit Huntington. Dia menjadi sedikit lebih simpati dan kemarahannya mereda. Sikap Darius dianggapnya ada hubungannya dengan penyakit degeneratif yang diderita pria itu.
Hingga Pak Hendra mengetuk pintu, barulah gadis itu meletakkan ponselnya dan berdiri membuka pintu kamar. “Apa pekerjaan saya yang lain?” tanyanya dengan antusias.
Pak Hendra membelalakkan kelopak matanya yang sudah kendur. Pria tua itu tak yakin dengan apa yang barusan didengarnya. “Kau sungguh ingin melanjutkan kerja di sini?” tanyanya ragu.
“Ya!” Gadis itu mengangguk dengan yakin.
“Saya sudah coba cari tahu informasi penyakit Tuan Darius. Saya rasa, apa yang dikatakannya, bukanlah apa yang dia maksudkan. Dia hanya tidak dapat mengendalikan dorongan emosional dirinya sendiri!”
Pak Hendra terpana mendengar gadis itu mengatakan apa yang telah dibacanya. “Oh ... baiklah kalau begitu.” Pria itu mengangguk dan diam sejenak.
“Saya mau bilang kalau Dokter dan Perawat rumah sakit sebentar lagi datang. Kau bisa ikut dan mendengarkan petunjuk yang diberikan dokter,” tambahnya lagi.
“Baik. Saya akan tunggu kedatangan mereka di luar.”
“Kau bisa tunggu di ruang tamu dan sambut mereka saat datang nanti!” kata Pak Hendra.
“Baik!”
Ranti berjalan ke bagian depan rumah. Saat melewati taman dalam, dia melirik ke kaca jendela besar di mana kamar Tuan Darius berada. Pria itu tengah duduk dan menghadapi meja kecil di kamarnya. Ranti tidak tahu pria itu sedang melakukan apa.
Tak lama, terdengar ketukan di pintu depan. Dengan cepat gadis itu membuka dan mempersilakan dua tamu berpakaian medis itu masuk. Dia tak mungkin salah orang, karena hanya Pak Hendra yang bisa membuka pintu pagar depan rumah. Keduanya pastilah Dokter dan Perawat yang dimaksud.
Dirinya mengikuti dua tamu itu masuk ke dalam. Pak Hendra sudah menunggu dekat taman dalam. Pria tua itu memperkenalkan Ranti pada kedua orang yang baru datang. “Ini Ranti, pembantu perawat yang baru.”
Dokter dan perawat pria itu hanya menoleh sekilas dan mengangguk kecil tanpa mengomentari apa pun. Mereka berempat lalu menuju kamar Tuan Darius.
“Halo Tuan Darius!”
Juliano menatapnya sejenak dengan pandangan tajam, kemudian mengangguk. “Bagus! Nanti kau akan diantar ke tempat kerjamu oleh sekretaris di luar.”Pria itu segera mengakhiri perbincangan mereka dan Oscar keluar dengan santai, sambil menenteng kota makannya. Setelah menerima surat penugasan dari sekretaris, seorang OB kembali mengantarnya ke tempat yang diperintahkan. Oscar mengikutinya.“Apakah kali ini Anda sudah memeriksa di mana akan ditempatkan?” tanya OB itu.“Kenapa?” tanya Oscar heran.“Saya tidak mau Anda membanting berkas-berkas itu di tempat lain dan menyulitkan orang lain seperti di basement waktu itu!”Oscar mengamati pria itu dengan seksama dan kemudian dia tertawa. Dia ingat bahwa pria itu adalah OB yang sama yang pertama kali mengantarkannya ke basement untuk bekerja sebagai petugas parkir.“Jangan kkhawatir ....”Oscar kembali tertawa. Hari ini hatinya sama sekali tidak akan terganggu oleh insiden apapun. Hingga mereka sampai di ruangan HRD dan Oscar menyerahkan surat
Oscar menatap kakeknya dengan pandangan tak percaya. “Jika Kakek punya kecurigaan, bagaimana Kakek bisa sangat tenang menghadapi mereka? Bagaimana Kakek bisa terus hidup bersama mereka?” tanya Oscar dengan suara rendah.“Kematian ibumu tak ada hubungannya denganku!” balas Dharmajie Pambudi enteng.“Kakek!” seru Oscar lagi. Dia sama sekali tak senang mendengar hal itu.“Bagaimana dengan perkataan Papa bahwa istri cantik Kakek itu berselingkuh di belakang? Bagaimana kalau dua Paman jahat itu ternyata bukan putra Kakek? Itulah sebabnya mereka ingin merebut perusahaan utama dari tangan keluargaku! Makanya mereka membunuh Mama! Apa Kakek rela harta yang Kakek usahakan justru dikuasai oleh putra entah siapa!”Suara rendah dan sengit itu membuat panas telinga Dharmajie Pambudi. “Papamu itu sakit. Kenapa kau masih mendengarkan ucapan orang sakit? Aku terus mengabaikan hal itu, karena kasihan dengan penyakit yang dia derita. Aku tak mau membuatnya lebih sulit lagi.”Pria itu melemparkan pandan
Hendra terheran-heran dengan sikap pria muda di depannya ini. Sejak anak muda itu kembali dari pendidikannya di luar negeri, sikap curiganya sangat mendominasi. Kepolosan masa remajanya telah hilang tak berbekas. Jelas sekali kalau mata itu menuntut penjelasan.“Tidak terjadi hal yang aneh, Tuan Muda,” sahut Hendra.“Keputusan aneh atau tidak itu, hanya bisa aku yang memutuskan., bukan Pak Hendra!” Suara itu begitu ketus. Mengingatkan pelayan tua itu tentang siapa yang berkuasa di kediaman megah tersebut.Maka pelayan itu duduk dengan tegak dan menceritaan semua kejadian di rumah Ranti dan membiarkan pria muda itu menngambil kesimpulan sendiri. Dia tak peduli akan seperti apa keputusan itu nanti. Bukankah itu bukanlah urusannya!Oscar duduk di teras belakang setelah berenang siang itu. Dia masih belum menemukan celah untuk memecat perawat itu. Dia mencurigai ada sesuatu, namun dia sendiri tidak tahu itu apa. Dia belum menemukan bukti untuk menguatkan kecurigaan hatinya. Entah kenapa d
“Baik, Tuan!” Pelayan Tua itu tersadar dan segera menjawab. Dia mengenal tuannya sejak lama. Kebaikan hatinya tak perlu dipertanyakan lagi. Kembali didorongnya lagi kursi roda saat melihat seorang wanita parobaya keluar dan melihat mereka dengan heran.“Mereka siapa, Nduk?” tanya sang ibu.Ranti melepas pelukan dari adiknya dan mencium tangan sang ibu. Dia menoleh ke belakang. “Itu majikan Ranti, Bu.”“Salam,” sapa Darius ramah. Suaranya sangat sopan. “Maaf, kami tidak minta ijin dulu untuk datang.”“Oh, tidak apa-apa. Ayo silakan masuk. Tempat kami seadanya saja.” Wanita paro baya itu terlihat malu dan wajahnya memerah. Kediamannya bukanlah tempat yang layak dikunjungi orang sekaya majikan sang putri.Darius cepat tanggap dan membuat keputusan tepat. “Saya rasa, duduk di teras ini akan menyenangkan. Saya ingin melihat suasana setelah terkur
Ranti melongo dan Oscar ternganga mendengar kata-kata itu. Pak Hendra menggeleng-gelengkan kepala tak berdaya. Semula dia mengira bahwa Darius akan melupakan pembicaraan kemarin pagi. Tak diduga, ternyata Darius mencatat hal itu di buku agar tidak terlupa.“Apa maksudnya ini?” Oscar yang pertama bereaksi. Dia tidak mengetahui apa yang dimaksud sang papa.“Aku akan pergi dengannya!” kata Darius dengan ekspresi tak bersalah.“Untuk apa? Lagi pula, Papa tidak mengatakan padaku lebih dulu tentang ini,” protes anaknya.“Sejak kapan aku harus melapor padamu?” Darius bertanya dengan ekspresi keheranan yang nyata. Pria itu tampak tidak suka mendengar kata-kata yang dilontarkan putranya.Ocsar kebingungan bagaimana menjawab kata-kata itu. Jika dia salah merangkai kata, maka papanya akan tersinggung dan hubungan mereka bisa rusak.“Maksudnya, aku punya rencana untuk Papa hari ini. Tapi ternyata Papa membuat rencana lain. Ini bagaimana jadinya?” Anak muda itu mencoba menjelaskan dengan versi yan
Gadis itu menarik sebuah kursi lagi dan duduk di depan Darius. Dia menurut saja meskipun perutnya sudah merasa lapar. Yang ada di pikiran Ranti hanya agar pria itu lebih tenang setelah fase emosionalnya tadi.Gadis itu tersenyum penuh candaan, “Kalau saya tidak bisa membantu banyak jangan marahi saya, Tuan.”Terbukti, Darius bisa ikut tersenyum mendengar kata-kata gadis itu. “Aku hanya sedang tak ingin sendirian,” jawabnya jujur.Jawaban itu merubah raut wajah Ranti seketika. Rasa iba muncul ke permukaan, dan dia tak suka itu. Darius telah berusaha sangat keras melawan penyakitnya. Dia tak butuh rasa iba, namun penghormatan yang dalam. Dengan menelan ludah kasar, gadis itu menepis rasa itu dari hatinya.“Anda punya saya, Pak Hendra dan Tuan Muda Oscar di rumah ini. Jangan pernah merasa sendirian. Jangan melemah, karena kami semua mendukung Anda.”Darius yang siap untuk menulis huruf demi huruf di kertas, terhenti mendengar kata-kata yang dilontarkan Ranti. Pria itu mengangkat kepala d
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments