Strategi Sasya untuk memecah tanggung jawab Rifky memang efektif dalam mengurangi akses langsung pria itu kepadanya, namun hal itu justru memicu respons yang lebih berbahaya. Rifky, sang jenius yang terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan, mulai menunjukkan sisi agresif dan manipulatifnya. Ia tidak menyerah, melainkan mengubah taktik, menyebarkan pengaruhnya dalam bayang-bayang.Sasya mulai merasakan microaggression dari Rifky. Pertanyaan-pertanyaan sinis di rapat, komentar terselubung tentang efektivitas keputusan Sasya, atau bisikan-bisikan yang tampaknya tidak disengaja di antara rekan kerja. Sasya adalah targetnya, tetapi Rifky terlalu licin untuk ditangkap basah.Suatu pagi, Sasya menerima sebuah email internal anonim. Judulnya "Informasi Penting". Isinya adalah tangkapan layar dari beberapa percakapan tim di platform internal perusahaan, di mana Rifky secara halus mengeluh tentang "beban kerja yang tidak seimbang" dan "perpecahan fokus yang tidak perlu" setelah restrukturisasi
Malam setelah Ardi mengungkapkan hasil penyelidikannya, rumah mereka terasa dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Sasya, yang biasanya tenang dan logis, kini diselimuti kekhawatiran. Tidurnya tidak nyenyak, bayangan Rifky selalu menari di benaknya. Ia tidak bisa lagi melihat Rifky hanya sebagai kolega brilian; ia melihatnya sebagai ancaman yang perlahan mendekat."Kita tidak bisa langsung menuduhnya atau melaporkannya ke HRD tanpa bukti kuat, Ardi," Sasya berkata suatu pagi, saat mereka sarapan. Lingkaran hitam di bawah matanya jelas terlihat. "Itu bisa menjadi bumerang bagiku, apalagi ini melibatkan posisiku di proyek besar Yudha."Ardi mengangguk, ia sudah memikirkan itu. "Aku tahu. Kita tidak ingin merusak reputasimu atau proyek ini. Tapi kita juga tidak bisa berdiam diri." Ia meraih tangan Sasya. "Pertama, kita harus meningkatkan kewaspadaan. Jangan pernah sendirian dengannya, terutama di luar jam kerja. Sebisa mungkin, pastikan ada orang lain di dekatmu. Dan selalu beritahu aku
Kepulangan Sasya dari Vietnam disambut Ardi dengan kelegaan yang campur aduk. Ia memeluk Sasya erat di bandara, merasakan kehangatan familiar yang selama ini ia rindukan. Namun, di balik senyum dan kelegaan itu, Ardi membawa beban informasi yang memberatkan. Ia tahu harus segera berbicara dengan Sasya, tapi juga harus memilih waktu dan cara yang tepat agar tidak menimbulkan kepanikan yang tak perlu.Perjalanan pulang dari bandara terasa singkat, diisi dengan cerita-cerita Sasya tentang perkembangan proyek di Vietnam. Ardi mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, namun matanya tak lepas dari ekspresi wajah Sasya. Ia bisa melihat guratan lelah di sana, bukan hanya karena perjalanan, tapi juga karena pikiran yang terusik.Setibanya di rumah, Ardi menyiapkan makan malam sederhana. Rambo menyambut Sasya dengan dengkuran keras dan lilitan manja di kaki. Suasana rumah terasa hangat dan akrab, seperti biasa. Namun, Ardi tahu ada awan gelap yang harus mereka hadapi.Setelah makan mala
Perjalanan Sasya ke Vietnam berlangsung efisien, meskipun pikirannya terusik oleh insiden Rifky. Ia berusaha fokus pada pekerjaan, bertemu mitra, dan meninjau lokasi. Namun, bayangan Rifky yang tenang namun obsesif, serta tindakannya yang melampaui batas, terus berkelebat di benaknya. Ia tidak melaporkan insiden tiket penerbangan itu kepada Yudha, memilih untuk menunda sampai ia bisa bicara langsung dengan Ardi. Ia tahu Yudha akan marah, dan itu bisa memicu masalah yang lebih besar bagi Rifky, yang ia harapkan masih bisa dikendalikan.Namun, di Jakarta, Ardi merasa ada yang tidak beres. Sejak Sasya pergi, ia merasakan kekosongan yang tidak biasa. Lebih dari sekadar merindukan Sasya, ia merasakan ketidaknyamanan yang kian menjadi. Ia melihat Sasya tampak tegang sebelum berangkat, dan meskipun Sasya mencoba menepisnya, Ardi tahu ada sesuatu yang mengganggu istrinya. Kata-kata Sasya tentang tatapan Rifky yang "kesal" itu terus terngiang di benaknya.Ardi memutuskan untuk datang ke kantor
Peringatan halus Ardi di pantry kantor Sanjaya Group tidak berlalu tanpa bekas bagi Rifky Aditama. Ia memang tidak menunjukkan reaksi emosional yang kentara saat itu, namun di dalam dirinya, sesuatu telah bergeser. Peringatan itu, yang dimaksudkan untuk menenangkan, justru seperti memicu sebuah sakelar tersembunyi. Rifky tidak mundur. Sebaliknya, obsesinya terhadap Sasya mulai beresonansi dalam nada yang lebih mengganggu, sebuah simfoni yang nyaris tak terdengar, namun semakin jelas bagi Sasya.Sasya mulai menyadari perubahan kecil namun signifikan dalam perilaku Rifky. Pria itu kini lebih sering berada di sekitar kantornya, seolah-olah jadwal Rifky selalu bertepatan dengan jadwal Sasya. Jika Sasya pergi ke pantry, Rifky akan muncul tak lama kemudian. Jika Sasya ke ruang rapat, Rifky akan berada di sana, atau baru saja keluar dari sana. Ini bukan kebetulan, Sasya mulai yakin.Suatu pagi, Sasya tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Ia ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan tanpa gan
Perjalanan pulang dari luar kota terasa panjang bagi Sasya. Pikirannya dipenuhi bayangan tatapan Rifky di restoran tadi malam. Ketidaknyamanan yang semula samar kini terasa nyata. Setibanya di rumah, ia langsung memeluk Ardi erat."Aku merasa aneh, Ardi," bisiknya, melepaskan tasnya. "Malam itu... Rifky menatapku saat kau menelepon. Seperti ada sesuatu di matanya. Rasa... kesal, mungkin?"Ardi mengeratkan pelukannya. "Aku tahu, Sayang. Aku sudah merasakan itu. Aku tidak suka bagaimana dia selalu mengawasimu, bagaimana dia selalu ada di dekatmu. Profesionalisme itu satu hal, tapi ini... ini terasa beda." Ardi tahu ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa hanya berdiam diri sementara istrinya merasa tidak nyaman.Keesokan harinya, Ardi memutuskan untuk mengunjungi kantor Sasya di Sanjaya Group. Ia punya janji makan siang dengan Sasya, tapi juga punya agenda lain yang tak terucap. Ia ingin mengamati Rifky secara langsung, dari dekat, tanpa Sasya menyadarinya.Saat ia tiba di lobi Sanjay