Share

Bagaimana jika aku jadi janda

"Kamu dari mana aja, Mas?" Tanyaku dengan nada tak biasa. Menatapnya penuh curiga. Bercampur kesal karena tidak datang di pemakaman bapak. 

"Temanku sakit. Aku jadi pulang telat hari ini," jawabnya. 

Aku mendengus mendengarnya. "Teman? siapa  teman kamu? Cewek apa cowok?" 

Mas Pras sepertinya tidak suka dengan rentetan pertanyaanku. 

"Cewek. Namanya Winda. Teman lamaku dulu, yang di jurusan akuntansi." 

Winda? Yah, memang benar. Aku sempat melihat bagaimana isi pesannya. Rupanya benar, mereka masih berhubungan baik sampai saat ini. Entah sejak kapan. 

"Jadi kamu besuk Winda sakit, sementara mertua kamu meninggal kamu gak dateng, Mas? Otak kamu dimana?" 

"Maaf... aku nggak tega liat Winda. Sebenarnya dia sudah lama mengidap penyakit mematikan. Dia sendirian, Tih. Kasian.... Mana anaknya masih kecil." 

Hah! Aku tercengang mendengarnya. Bagaimana bisa Mas Pras mengatakan hal seperti itu? Sejak kapan dia peduli? Bahkan anaknya sakit saja dia masih sibuk dengan ponselnya. 

"Jadi maksud kamu, Winda jauh lebih penting daripada bapakku? Bapakku masuk rumah sakit sudah seminggu loh, Mas! Dan saat dia meninggal kamu ngilang gitu aja. Sekarang kamu bilang kasihan sama perempuan lain, seolah kamu ini adalah manusia yang paling prihatinan sama orang. Astaga... Gila  kamu Mas!!" 

"Tih. Kamu nggak ngerti. Winda itu teman baik aku. Kami sudah dekat sejak kecil. Sekarang dia cerai sama suaminya, Tih. Suaminya ngancem dia terus. Mau bunuh dia karena melakukan gugatan perceraian. Winda udah gak tahan sama suaminya yang suka mukul. Dia tertekan, dan secara perlahan penyakit itu menggerogotinya. Dia gak punya siapapun. Aku hanya menolong karena ingat dia itu teman baik aku." 

Aku tertawa hambar mendengar penuturan Mas Pras yang bagiku sangat lucu. "Waw! Luar biasa banget. Kamu baik banget sama perempuan lain, tapi istri sendiri dianiaya. Hebat banget kamu, Mas." Aku bertepuk tangan. Seolah menunjukkan bahwa perbuatan suamiku ini sangatlah luar biasa. 

"Siapa yang aniaya kamu? Aku gak pernah mengangkat tanganku di hadapanmu, Tih. Gak pernah sekalipun." 

"Aniaya itu gak selalu mengenai fisik, Mas! Tapi batin...!!" Aku berucap lantang. Namun masih menjaga suaraku agar tidak didengar oleh mertuaku. 

"Maksud kamu apa?" Mas Pras menatapku dengan bingung. Yah, dia memang tidak pernah merasa menyakitiku. Dia berpikir semua yang dia lakukan sudah benar. 

Bersikap acuh pada keluargaku yang mengalami kesulitan. Tidak peduli rasa lelah yang aku alami seharian menjaga Raka sambil mengurus rumah. Dan tidak pernah peduli dengan luka batinku sejak tinggal di rumah ini. Dikelilingi oleh orang-orang toxic yang menyerangku dengan brutal. 

"Hati nurani kamu itu dimana, Mas?" Akhirnya air mataku lolos. Rasa sesak karena kehilangan bapak belum hilang, kini ditambah lagi dengan kelakuan suamiku yang tidak masuk akal. "Kamu membantu orang lain yang bukan siapa-siapa dalam rumah tangga kita. Sementara mertua kamu sendiri sejak sakit sampai meninggal, kamu nggak ada besuk dia. Atau setidaknya hadir di pemakamannya. Itu saja sudah cukup, Mas. Apa kamu tahu? Aku capek, nyari alasan ke ibu karena ketidakpedulian kamu ini, Mas. Aku selalu bela kamu dan bagus-bagusin kamu di depan orang tua aku. Semata-mata agar mereka tetap menganggap kamu sebagai menantu yang baik. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu malah peduli sama perempuan lain yang sedang sakit!" 

"Kamu salah menilaiku, Ratih. Memangnya kalau Mas datang ke pemakaman bapak kamu, dia bakal hidup lagi? Nggak! Dia tetap meninggal. Sedangkan Winda, dia butuh aku untuk membantunya. Bagaimana dia ngurus anaknya sementara dia lagi sakit-sakitan." 

"Kamu peduli sama anak orang lain, sementara anak sendiri di cuekin. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran kamu, Mas!" Aku mengangkat wajahku. Dengan air mata masih menggenang tentunya. Menatapnya penuh kecewa. "Mau seburuk apapun keadaan perempuan itu, dia tetap orang lain! Tidak ada lagi pertemanan antara lelaki dan perempuan disaat mereka sama-sama sudah berkeluarga. Itu akan menjadi duri, Mas!!" 

"Jangan berlebihan, Ratih. Kamu juga perempuan. Harusnya kamu tahu bagaimana rasanya jadi Winda. Sesama perempuan seharusnya saling memahami." Lagi-lagi aku tertawa sumbang mendengarnya. Makin kesini, Mas Pras semakin menyakiti hatiku. 

"Lucu kamu, Mas! Memahami seperti apa? Memahami bahwa meminta bantuan pada pria beristri untuk menemaninya? Apa itu kamu sebut pantes? Hah! harusnya dia yang memahami aku. Seharusnya dia yang ngerti kalo kamu itu punya anak istri, kenapa harus minta bantuan sama kamu? Dia yatim piatu? Gak punya teman perempuan? Apa gimana!" 

"Sudah aku katakan bahwa Winda itu sendirian sekarang. Semua temannya gak ada yang bisa dihubungi. Mereka ngilang disaat terpuruk. Dan satu-satunya yang dia harapkan cuma aku! mengertilah sedikit. Ini juga mungkin hanya sementara. Aku takut umurnya gak lama lagi, jadi apa salahnya aku bantu dia disaat-saat terakhir hidupnya. Aku gak ada niat lain, kok!" 

"Ngerti? bisa gila aku, kalo ngerti jalan pikiran kamu, Mas! Apa kamu pikir yang kamu lakukan ini sudah benar? Kamu merawat dia layaknya istri kamu. Apa kamu gak sadar bahwa apa yang kamu lakukan itu adalah Zina? Kamu menyentuh dia, atau mungkin lebih dari itu!" 

Mas Pras diam kali ini. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Merawat perempuan lain yang tidak memiliki status apapun dengannya. Tinggal bertiga bersama anak perempuan itu akan menimbulkan fitnah. Aku yakin  mas Pras pasti menyentuhnya. Entah itu tangan atau punggung, entahlah. Bukankah itu dosa? 

***

Setelah perdebatan ku dengan mas Pras. Aku memilih menyendiri di dalam kamarku. Raka masih di rumah ibuk, jadi aku bisa menenangkan pikiranku sejenak. 

Rasa sakit seakan menghantam ku secara bertubi-tubi. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi suamiku yang tidak pernah peduli bagaimana perasaanku. Sejak awal pernikahan bahkan sampai sekarang. Tidak ada yang berubah, bahkan semakin parah. 

Ternyata makin kesini aku paham. Bukan aku yang kurang baik dalam memperlakukan seseorang. Namun seseorang itu yang tidak paham bagaimana caranya memberi feedback yang baik juga. Aku selalu memikirkan perasaannya sementara aku sendiri terluka disini. 

Terkadang... 

Terlintas di benakku untuk mengakhiri pernikahan ini. Aku lelah.... 

Aku pernah bertanya pada ibuku. 

"Buk, kalo nanti Ratih jadi janda. Apa tidak apa-apa?" 

Ibuku langsung menatapku tajam. "Apa kamu tidak waras, Ratih? Apa kamu pikir jadi janda itu enak? Hah!! Liat itu mbak mu. Kesehariannya selalu digunjing tetangga. Dikatain sana-sini, disangka mau ngerebut suami orang. Padahal Mbak mu juga nggak mau sama laki mereka yang udah kayak babi liar itu! Jangan bodoh, Ratih. Jadi janda itu berat. Lagian suami kamu juga tidak selingkuh. Pertahanin aja pernikahan kalian. Seburuk apapun sifatnya cobalah untuk memaklumi dan menerima. Masalah besar itu dikecilkan. Masalah kecil, anggap saja tidak ada. Begitu! Jangan apa-apa minta cerai!! Dosa kamu." 

Begitulah ucapan ibuku yang selalu aku ingat. Dia menganggap janda adalah sebuah aib keluarga. Padahal menurutku tidak ada salahnya menjadi janda asal hidup tenang. 

Karena yang paling mengerikan dalam pernikahan bukanlah sebuah perceraian. Melainkan hubungan yang kelihatannya baik-baik saja tapi sebenarnya sudah hancur berantakan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status