Terdengar helaan nafas dari Bang Lukman. Kini dia menatapku teduh. Ah, pasti ada kotbah baru lagi. Aku membuang wajah, malas. "Mau statusnya berubah seperti apapun, tidak akan menjamin dia untuk tidak menjadi gunjingan orang lain, Ga. Yang namanya hidup gak akan bebas dari penilaian manusia," ucap Bang Lukman sembari menyentuh bahuku. "Reaksimu dalam menyikapi masalah wanita itu bisa saja memancing hal positif, pun dengan hal negatif. Kau bisa membuat masalahnya semakin berat, meski niatmu sebenarnya ingin menyelesaikan masalah wanita itu." Aku menoleh. "Salah satu contohnya. Kau bisa saja menjadi penyebab wanita itu menjadi gunjingan karena terlalu dekat denganya. Mantan suaminya bisa saja mengambil keuntungan dari hal itu, dan mereka bisa berhasil merebut hak asuh atas anaknya." "Terus... Arga harus gimana, Bang?" Bang Lukman hanya tersenyum tipis. Namun aku tahu, dia siap membantuku. Dengan caranya sendiri. ***RATIH POVHari berlalu begitu saja. Pekerjaanku semakin hari sem
Arga Pov Setelah menyaksikan dari kejauhan perdebatan Ratih dan mantan suaminya. Kami berdua duduk di kursi panjang di bawah pohon yang ada di pinggir jalan. Terlihat jelas olehku tubuh Ratih baik-baik saja, Namun tidak dengan hatinya. Wajahnya begitu masam. Ada kekhawatiran dari raut wajahnya. Dan aku... Ikut merasakannya. "Lebih baik kamu pulang. Aku ingin sendiri," ucapnya. Aku menghela nafas saat menatapnya dengan teduh. Ratih tetap tak mau membalas tatapanku. Dia hanya menunduk dengan segudang pikiran. "Kenapa kamu selalu ngusir aku, Tih?" Aku bertanya dengan perasaan sesak. Sejauh ini, hanya Ratih yang mengusik perasaanku. Itulah sebabnya saat dia ingin aku pergi, aku merasa tak di inginkan. Dan itu menyakitkan. "Karena mulai detik ini aku nggak akan percaya lagi sama kebaikan yang ditunjukkan seseorang padaku. Bukan masalah pikiran negatif. Hanya saja aku percaya bahwa setiap orang memiliki topeng versi mereka sendiri. Kapan saatnya topeng itu di pakai dan di lepas la
"Menurut kamu bagaimana? Apa yang membuat kamu yakin dengan wanita itu?" Aku diam sejenak. Menerawang memikirkan bagaimana Ratih harus berjuang untuk anaknya. Dengan peluh membasahi tubuh. Bagaimana caranya menjaga putranya agar tidak terluka barang sedikit saja. Aku tertegun. "Karena aku tahu, wanita seperti Ratih berhak bahagia." Aku bergumam dengan seulas senyum tipis. "Kebahagiaan seperti apa?" Mama bertanya lagi. "Kebahagiaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Akan aku tunjukkan padanya bahwa ketidak sempurnaan dalam diri, bukan berarti tak pantas bahagia." Mama tersenyum lembut padaku. "Pernikahan bukanlah hal yang mudah, Nak. Tidak semata karena cinta dan dengan tujuan bahagia. Banyak pasangan yang gagal, sebab kurangnya pengetahuan. Ilmu agama juga tidak kalah penting dalam pernikahan. Pikirkan matang-matang sebelum mengambil tanggung jawab besar. Apalagi kamu bilang dia punya anak. Apa kamu bersedia, menerima anaknya dan memperlakukan seperti anak sendiri? Sebel
Ratih Pov***"Mana Raka?" ucapku pada wanita yang kini menjadi istri dari Prasetyo. Winda menatapku dengan senyum sinis. Sembari melipat tangan di dada. Dia pasti merasa sudah menang. "Ada," sautnya singkat. "Mana? Aku mau ketemu." Aku sedikit melongo kedalam rumah. Mataku mencari-cari sosok kecil yang baru satu hari tak bertemu. Aku sangat rindu. "Ada di dalem. Tapi kamu nggak perlu masuk. Panggil aja dari luar." Aku mendengus. "Raka....!" Tak ada jawaban. Apa Raka sedang tidur? "RAKA... INI BUNDA DATENG." "Duh... Siapa sih! Berisik banget." Aku berdecak kesal. Bukannya yang keluar Raka, malah nenek gila ini! "Ratih? Mau ngapain kesini?" ucapnya sinis. Seolah-olah kedatanganku untuk berhutang uang padanya. "Mau ketemu Raka. Saya ibunya," ucapku datar. Dia memutar mata. "Oalah. Mau ngapain emang? Raka kayaknya bahagia banget disini, ketimbang sama kamu." Dahiku berkerut, entah apa maksud ucapannya. "Mau bahagia atau enggak, aku cuma mau liat anakku." "Ratih? Ada apa i
"Kamu udah nggak kerja sama Pak Broto lagi, Tih? Terus sekarang gimana mau nyambung hidup?" tanya Mbak Nadia menatapku khawatir. Aku menghela nafas. Dia benar. Bahkan sekarang uang yang ada di pegangan mulai menipis. Mana Raka ngajakin ke taman bermain. Bagaimana kalau Raka mau minta di belikan mainan mahal sementara aku tak mampu? Ah, bisa habis aku di permalukan Prasetyo! "Nggak tahu!" ucapku ketus. "Mbak juga ngapain kesini terus? Jadi nikah, kan?" Seketika wajah Mbak Nadia berubah aneh. Maksudku tersenyum misterius dan hal itu membuatku curiga. "Uhm.. Jadi sih. Tapi Mbak mulai ragu, Tih." Keningku berkerut. "Ragu kenapa?" "Ada cowok yang lebih kaya dari mas Heru. Bayangin Tih, dia tiap minggu ngasih Mbak uang jutaan. Gimana nggak beralih ke lain hati kalau di gituin," ucapnya kemudian.Aku terpana tak percaya. "Astaghfirullah, istighfar Mbak... jangan hanya karena uang, Mbak nyakitin hati orang lain. Mas Heru berharap besar mau menikahi Mbak. Tapi Mbak sendiri malah kepincut
Dengan perasaan tak menentu. Sangat ingin sekali marah, tapi pada siapa? Mereka sudah pergi entah kemana. Dan tanpa kusadari Prasetyo juga ikut pergi, membawa Raka bersamanya. Brengsek! Jelas ada konspirasi sejak awal. Bisa-bisanya aku selengah ini. Bingung harus melakukan apa. Aku masih berdiri kaku didekat kasir. Uangku tidak cukup membayar tagihan ini. Satu-satunya yang berharga adalah cincin di jari manisku. Satu-satunya benda yang bisa aku andalkan saat nanti Raka masuk sekolah. Tapi sekarang... haruskah aku gadaikan demi membayar makanan yang masuk kedalam perut mereka? Ya Tuhan... Sungguh aku tidak rela. Dalam kegelisahan hati yang melanda, Tiba-tiba saja beberapa orang yang bertugas sebagai pengaman datang. Membawa ketiga wanita kurang ajar yang telah menjebakku. Tentu kekesalanku semakin bertambah saat melihat wajah jahat mereka. Dan kali ini bisa ku lampiaskan. Mereka di seret layaknya seperti pencuri. "Ini orang yang berani kabur sebelum bayar." "Apa-apaan sih! K
"Jika aku ini berharga, lantas kenapa mereka memperlakukan aku lebih buruk dari pada sampah?" lirihku. Mengingat kembali pernikahan yang tidak menyenangkan dulu. Jujur saja... Rasa trauma itu masih ada. "Kamu, bukannya tidak berharga. Hanya saja salah tempat." Aku menghela nafas panjang. "Entahlah. Hidupku rasanya begitu hambar. Sekarang aku tidak butuh apa-apa lagi selain ketenangan." "Aku juga sangat ingin tenang. Tenang, tanpa memikirkan bagaimana kamu saat bersama dengan mantan suamimu. Jujur... Aku sakit setiap kali melihatnya, Tih." "Kamu terlalu bodoh, karena mencintai wanita yang memiliki segudang masalah dalam hidupnya. Kalau ingin tenang, maka carilah wanita lain. Masih banyak... Dan kamu berhak." Aku berucap serius. Sungguh tak ingin pria ini akan terjebak terlalu jauh dalam hubungan rumit bersamaku. Namun yang aku dapati, dia hanya terkekeh dengan wajah hambar. Sesekali menggeleng kepala. Mungkin tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. "Ternyata memang ben
"Mau kemana, Tih?" tanya Marlina saat melihatku keluar. Aku menoleh padanya sembari mengunci kamar kontrakan. "Kerumah ibuku. Hari ini Mbak-ku mau di lamar." Marlina menatapku dengan kerutan didahi. Tentu saja dia merasa heran, sebab hubunganku dengan ibuku sedang tidak baik-baik saja. "Masih mau kamu nemuin ibumu setelah apa yang dia lakukan kemarin, Tih? Kalau akumah ogah!" "Mau gimana lagi. Dia ibuku. Sekalian mau aku jelaskan semua kesalahpahaman ini." "Kok aku yang ngeri, ya? Gimana kalau dia ngusir kamu, Tih?" Aku menghela nafas. Kenapa dia berpikir seperti itu? Bukankah hal biasa saat ibu dan anak berseteru? Apalagi ini hanya salah paham. Ini seharusnya hanya masalah sederhana antar keluarga. "Ya besok-besok aku coba lagi. Pasti ada masanya ibuku luluh. Nggak mungkin dia membenci anaknya terlalu lama, ya kan?" Marlina mendengus mendengarnya. "Gak ada yang nggak mungkin, Tih. Bapakku aja tega ngejual anaknya sendiri. Akumah gak kaget lagi, kalau sampai ada orangtua yang