Share

2. Suami Bejat

Author: A. Rietha
last update Last Updated: 2025-04-21 18:16:18

Miranti duduk di halte bus yang ada di depan rumah sakit. Ia memeluk tote bag besar di depan dada untuk menutupi bekas rembesan air susunya.

Miranti melirik jam tangannya, sudah lewat tengah hari. Diteguknya air mineral hingga habis setengah botol untuk membasahi kerongkongannya yang kering.

Andai saja motornya masih ada, tentu ia tak harus menunggu bus yang biasanya penuh sesak siang-sing begini.

Sayangnya, motor satu-satunya sudah digadaikan Rino untuk membayar utang. Sekarang pun Miranti tak tahu ke mana Rino pergi.

Hampir sebulan lalu, Rino minggat setelah mereka bertengkar hebat. Miranti sudah mencarinya di tempat kerja, tapi Rino ternyata sudah tidak bekerja di sana lagi.

Masalah ekonomi memang kerap membuat Miranti dan Rino bertengkar. Gaji Rino sebagai satpam di sebuah tempat karaoke tak bisa menutup semua kebutuhan. Apalagi semenjak hamil Miranti juga tidak bekerja karena selama kehamilan trimester pertama, ia kerap muntah dan lemas.

Layar ponsel menyala, menampilkan nama ”Bu Sinta” berkedip-kedip. Miranti segera menggeser ikon telepon berwarna hijau.

”Halo, Bu Sinta?”

”Miranti! Kamu masih di rumah sakit?” Suara Bu Sinta terdengar panik di seberang telepon.

”Iya, Bu. Saya baru selesai kontrol. Ada apa?” Miranti mencoba menenangkan diri meski mendengar nada suara Bu Sinta yang tidak biasa.

”Suami kamu... Rino... dia baru saja pulang ke kontrakan. Dia mengemasi barang-barangnya. Membawa koper besar. Tapi bukan itu yang paling mengkhawatirkan,” lapor Bu Sinta.

”Apa maksudnya Bu?”

”Dia tidak pulang sendiri, Mir. Ada perempuan bersamanya. Berambut merah. Mereka berdua masuk ke kontrakan kalian, lalu keluar membawa koper. Kamu segera pulang sekarang, langsung ke rumahku, ya.”

”Saya pulang sekarang Bu,” Miranti menutup telepon, matanya nanar menatap jalan raya yang dipenuhi kendaraan lalu lalang.

Tanpa pikir panjang, Miranti mengangkat tangannya, memanggil taksi yang kebetulan lewat. Tak peduli dengan ongkos yang akan membengkak, yang ada di pikirannya hanya satu: mendapati Rino dan perempuan itu.

”Mereka sudah pergi satu jam yang lalu.”

Bu Sinta dengan napas tersengal membukakan pintu rumahnya. Wajahnya terlihat memerah menahan amarah.

Miranti menjatuhkan tote bag-nya di lantai teras Bu Sinta. Ia menunduk lemas karena tak bisa bertemu Rino.

”Mereka pergi ke mana, Bu?”

”Aku tahu mereka di mana. Perempuan yang pulang sama Rino itu, aku mengenalnya. Dia adik mantan suamiku.”

”Apa?” Mata Miranti membelalak.

”Sejak bercerai dengan suamiku, aku tak pernah berhubungan dengan keluarganya. Tapi aku masih tahu di mana dia tinggal. Kita kejar mereka sekarang!”

Bu Sinta bergegas mengambil kunci motor dan helm dan memberikan salah satu helmnya untuk Miranti.

Motor Bu Sinta melaju kencang melewati jalan raya. Pikiran Miranti berkecamuk, membayangkan berbagai skenario yang mungkin terjadi saat bertemu dengan Rino dan perempuan berambut merah itu.

Motor berbelok memasuki sebuah gang sempit yang diapit rumah-rumah sederhana. Gang itu tidak terlalu ramai meski rumahnya berimpitan. Semakin ke dalam, gang tersebut semakin menyempit dan sepi.

”Di ujung gang buntu ini. Itu rumahnya,” Bu Sinta menunjuk ke arah rumah kecil di ujung gang.

Miranti bisa melihat rumah kontrakan bercat hijau dengan jendela buram di bagian depannya. Terasnya yang sempit dipenuhi jemuran. Hatinya mencelos saat melihat sepasang sepatu pria yang sangat dia kenali—sepatu Rino—terletak di luar pintu. Di sampingnya, terdapat sepasang sepatu wanita berhak tinggi.

Bu Sinta mematikan mesin motor dan memarkir di sudut gang, ”Kamu siap, Mir?”

Miranti tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Kakinya terasa berat saat melangkah mendekati kontrakan kecil itu. Rumah itu letaknya tepat di samping tembok pembatas yang menandakan akhir gang buntu itu.

Mereka berdua membuka pagar dan melangkah pelan mendekati pintu depan rumah. Saat tinggal beberapa langkah dari pintu, Miranti tiba-tiba membeku. Telinganya menangkap suara-suara dari dalam rumah—suara desahan yang tidak asing lagi baginya.

”Rinoooo...” Suara perempuan terdengar samar-samar dari dalam.

Darah Miranti mendidih seketika. Tanpa berpikir dua kali, dia mendorong pintu depan yang ternyata tidak terkunci. Pintu terbuka lebar, menampakkan ruang tamu kecil yang suram. Di lantai, tergeletak pakaian yang berserakan kemeja laki-laki dan gaun seorang wanita.

Suara-suara itu semakin jelas, berasal dari kamar yang pintunya sedikit terbuka. Cahaya redup memancar dari celah pintu, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding.

”Miranti...” Bu Sinta mencoba menahan Miranti, namun terlambat.

Miranti mendorong pintu kamar dengan kasar. Pemandangan di hadapannya seketika mengoyak seluruh kewarasannya.

Rino—suaminya—sedang bercinta dengan seorang perempuan berambut merah. Keduanya tersentak kaget dan segera menutupi tubuh mereka dengan selimut.

”MIRANTI!” Rino terperanjat, matanya melebar.

”BEDEBAH KAU, RINO!” Miranti berteriak histeris, air matanya mengalir deras. ”JADI INI YANG KAU LAKUKAN SELAMA INI? INI ALASANMU JARANG PULANG?”

Perempuan berambut merah itu hanya menatap Miranti dengan pandangan kaget. Ia buru-buru menarik selimut hingga menutupi dadanya.

”Miranti!” Rino bangkit, memakai celananya dengan tergesa-gesa.

Miranti menyambar vas bunga dari meja terdekat dan melemparkannya ke arah Rino, nyaris mengenai kepalanya.

”Mir, hentikan!” Rino menghindar, wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Justru, yang terlihat adalah ekspresi jengkel.

”Sekarang kau sudah tahu,” ucap Rino dengan nada dingin, ”Mungkin lebih baik seperti ini.”

Miranti menatap tidak percaya, ”Apa maksudmu?”

”Aku mau kita pisah. Aku sudah nggak merasa bahagia sama kamu. Kamu suka membesar-besarkan masalah sepele. Cerewet. Tidak pernah puas. Nita berbeda. Dia bisa membuatku bahagia.”

”Jadi kamu mau pisah begitu saja? Pernikahan kita baru berjalan dua tahun! Kita bisa membicarakan masalah kita, memperbaiki komunikasi kita. Bukannya kamu malah lari ke perempuan lain!”

Miranti tak mampu lagi membendung air matanya. Ia sangat kecewa dengan Rino. Suaminya itu bahkan tidak menanyakan kondisinya saat itu. Rino tampaknya juga tidak peduli dengan perubahan tubuh Miranti saat itu.

”Sudah terlambat,” Rino menggeleng, ”Aku sudah muak hidup sama kamu.”

”Tapi rumah tangga kita—Kau bahkan tidak bertanya bagaimana anak kita,” seru Miranti kalap.

”Rumah tangga apa?” potong Rino, ”Yang ada hanya ribut setiap hari. Kamu pikir aku senang diperlakukan seperti anak kecil? Diomeli karena pulang telat, diomeli karena uang bulanan kurang. Lagipula kita punya anak juga kau yang mau, bukan aku. Pulang saja ke rumah ibumu. Dia pasti mau mengurusi cucunya.”

”Aku tidak menyangka kalau kau setega ini, Rino!” Miranti terisak.

”Aku juga nggak menyangkau kalau kamu itu cerewet dan banyak tuntutan. Sudahlah, kita jalani hidup masing-masing. Yang pasti aku sudah nggak mau hidup sama kamu.”

”Tidak, Rino. Kita bisa memperbaiki ini.”

Rino menatap Miranti dengan sorot mata yang tak pernah dilihatnya selama ini, ”Sudah terlambat. Sekarang aku minta kamu pergi dari sini. Aku sudah muak melihatmu yang hanya bisa menangis dan mengeluh. Cepat pergi!”

”Tidak, sebelum kita membicarakan semuanya baik-baik.”

”Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi!” Suara Rino meninggi, ”Pergi sekarang, Miranti! Aku tidak ingin membuat masalah di rumah Nita.”

Rino mencekal lengan Miranti dan menyeretnya keluar ke jalan. Ia menutup pintu pagar dan menggemboknya. Ia tak peduli dengan Miranti yang masih memanggil namanya dari luar pagar.

”Rino bahkan tidak menanyakan apakah aku sudah melahirkan atau belum,” isak Miranti dalam pelukan Bu Sinta.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   BAB 111

    Adrian tidak pernah main-main dengan ucapannya. Begitu janji keluar dari mulutnya, dia akan memastikan semuanya terlaksana.Karena itu, hanya dalam hitungan jam setelah percakapan terakhirnya dengan Miranti, dia sudah menghubungi seorang detektif swasta yang pernah membantunya mengurus masalah bisnis beberapa tahun lalu."Cari tahu semua tentang pria ini," kata Adrian waktu itu, sambil menyerahkan secarik kertas berisi nama lengkap Rino dan beberapa informasi dasar yang berhasil dia kumpulkan. "Aku butuh alamatnya, tempat kerjanya, kebiasaannya. Semuanya."Detektif itu hanya mengangguk. Dia tidak bertanya apa-apa. Orang seperti Adrian tidak perlu ditanya alasannya yang penting bayarannya sesuai.Adrian sengaja tidak melaporkan masalah ini ke polisi. Bukan karena dia takut atau tidak percaya pada hukum, tapi karena ini menyangkut harga diri Miranti.Foto-foto itu terlalu pribadi, terlalu memalukan untuk disebarkan lebih luas, bahkan ke hadapan aparat. Adrian tahu betul bagaimana sistem

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   BAB 110

    Rino melempar ponselnya ke atas kasur dengan kasar. Tiga hari sudah berlalu sejak ultimatum yang dia berikan pada Miranti, tapi wanita itu masih betah tinggal di rumah Adrian. Tidak ada tanda-tanda Miranti akan pergi. Ancaman yang selama ini selalu ampuh kini seolah kehilangan tajinya."Sial!" Rino mengacak rambutnya frustasi. Dia tidak habis pikir. Dulu, hanya dengan sedikit gertakan, Miranti langsung menurut. Kini? Wanita itu bahkan tidak menghiraukan ancaman foto-foto masa lalunya yang bisa menghancurkan hidupnya.Ponselnya berdering lagi. Nama Keysha muncul di layar. Rino menghela napas panjang sebelum mengangkat."Apa?" sahutnya ketus."Bagaimana?" suara Keysha terdengar menuntut di seberang sana. "Sudah ada perkembangan?""Belum.""Belum?!" Keysha meninggikan suaranya. "Sampai berapa lama, Rino? Kamu pikir uang yang aku berikan itu cuma-cuma?""Aku tahu!""Tidak! Kamu tidak tahu!" bentak Keysha. "Aku membayarmu bukan untuk mendengar kata 'belum'. Aku butuh hasil nyata, Rino. Mir

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 109

    Miranti menggeleng cepat, menyeka air matanya. "Tidak apa-apa.""Jangan bohong." Adrian melangkah mendekat. "Siapa yang meneleponmu sampai kau seperti ini? Apa Rino?"Miranti tidak menjawab, tapi tatapan matanya sudah memberikan konfirmasi bahwa yang diperkirakan Adrian memang benar.Adrian duduk di sampingnya. "Katakan padaku apa yang terjadi. Aku sudah berjanji akan melindungimu."Miranti hanya bisa terdiam. Ia tak tahu bagaimana mengatakan semuanya pada Adrian."Apa yang Rino inginkan darimu?" Adrian bertanya dengan suara lembut namun penuh perhatian.Miranti terdiam. Tangannya yang terkulai lemah terlihat gemetar."Aku tahu dia akan mengganggumu lagi. dia tak akan menyerah sampai kau menderita bersamanya," Adrian melanjutkan, melangkah mendekat. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Aku melihat caramu bereaksi setiap kali namanya disebut. Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Miranti. Apa yang sebenarnya terjadi?"Dunia Miranti seakan mengingat apa yang barusan dikirimkan Rino padanya.

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 108

    Miranti memeluk Bianca yang tengah tertawa riang di pangkuannya. Sudah hampir dua minggu berlalu sejak ia kembali bekerja sebagai pengasuh bayi berusia tujuh bulan itu. Setiap tawa kecil Bianca mampu mengusir segala kekhawatiran yang bersarang di hatinya."Cit... cit... cit..." Miranti menirukan suara burung sambil menggerakkan jarinya di depan wajah mungil Bianca. Bayi itu tertawa lepas, tangannya berusaha meraih jari-jari Miranti.Inilah yang selalu dirindukan Miranti. Momen sederhana yang membuat hidupnya terasa bermakna. Bianca sudah jauh lebih ceria dibanding minggu-minggu pertama. Tidak ada lagi tangisan panjang di malam hari atau penolakan saat makan. Bayi itu bahkan sudah mulai merangkak dengan lincah mengelilingi ruangan.Namun, kebahagiaan Miranti tidak dibagikan oleh semua orang di rumah besar itu.Linda berdiri di ambang pintu kamar, menatap Miranti dan Bianca dengan tatapan dingin. Wanita paruh baya itu tidak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya sejak Miranti kembali. S

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 107

    Miranti menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Hampir sepekan berlalu sejak ia kembali mengasuh Bianca, dan sesuatu dalam dirinya berubah.Bayi mungil itu telah mengisi kekosongan yang bahkan tidak ia sadari ada di hatinya. Setiap senyum Bianca, setiap tangisannya, bahkan setiap gerak kecilnya. Semuanya terasa begitu berarti.Ia menghela napas panjang. Keputusan sudah bulat di benaknya."Miranti, kamu sudah bangun? Katanya mau ke gerai," suara Adrian terdengar dari luar."Sebentar!"Miranti merapikan rambutnya, kemudian keluar dari kamar. Adrian berdiri di depan pintu kamarnya dengan Bianca di gendongannya. Pria itu tersenyum melihatnya."Terima kasih sudah mau menjaga Bianca sebentar. Aku harus ke gerai untuk menemui majikanku," kata Miranti sambil mengambil tasnya."Tidak masalah. Aku juga sedang work from home hari ini." Adrian mengalihkan pandangannya ke Bianca yang sedang menggenggam jarinya. "Kamu sudah mantap dengan keputusanmu?"Miranti mengangguk. "Aku akan mengundu

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 106

    Miranti mengecup puncak kepala Bianca yang kini berada dalam gendongannya. Bayi mungil itu terlihat jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu. Pipinya yang sempat pucat kini mulai merona, dan tangisannya sudah tidak sesengau dulu."Sudah siap pulang, sayang?" bisik Miranti lembut.Adrian berdiri di sampingnya, menandatangani formulir keluar dari rumah sakit. Sari, pengasuh baru Bianca, sibuk membereskan barang-barang bayi di dalam tas. Wajahnya terlihat senang sejak tadi pagi."Semua sudah selesai," kata Adrian sambil memasukkan map berkas ke dalam tas kerjanya. "Ayo kita pulang."Mereka berjalan menuju mobil di area parkir. Miranti masih menggendong Bianca dengan hati-hati, memastikan selimut tipis menutupi tubuh bayi itu dengan sempurna. Adrian membukakan pintu belakang mobil."Miranti, duduk di tengah saja. Sari akan duduk di sebelahmu," ujar Adrian.Miranti mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Sari mengikuti dari sisi lain, membawa tas bayi dengan hati-hati. Begitu Sari duduk,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status