Miranti duduk di halte bus yang ada di depan rumah sakit. Ia memeluk tote bag besar di depan dada untuk menutupi bekas rembesan air susunya.
Miranti melirik jam tangannya, sudah lewat tengah hari. Diteguknya air mineral hingga habis setengah botol untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
Andai saja motornya masih ada, tentu ia tak harus menunggu bus yang biasanya penuh sesak siang-sing begini.
Sayangnya, motor satu-satunya sudah digadaikan Rino untuk membayar utang. Sekarang pun Miranti tak tahu ke mana Rino pergi.
Hampir sebulan lalu, Rino minggat setelah mereka bertengkar hebat. Miranti sudah mencarinya di tempat kerja, tapi Rino ternyata sudah tidak bekerja di sana lagi.
Masalah ekonomi memang kerap membuat Miranti dan Rino bertengkar. Gaji Rino sebagai satpam di sebuah tempat karaoke tak bisa menutup semua kebutuhan. Apalagi semenjak hamil Miranti juga tidak bekerja karena selama kehamilan trimester pertama, ia kerap muntah dan lemas.
Layar ponsel menyala, menampilkan nama ”Bu Sinta” berkedip-kedip. Miranti segera menggeser ikon telepon berwarna hijau.
”Halo, Bu Sinta?”
”Miranti! Kamu masih di rumah sakit?” Suara Bu Sinta terdengar panik di seberang telepon.
”Iya, Bu. Saya baru selesai kontrol. Ada apa?” Miranti mencoba menenangkan diri meski mendengar nada suara Bu Sinta yang tidak biasa.
”Suami kamu... Rino... dia baru saja pulang ke kontrakan. Dia mengemasi barang-barangnya. Membawa koper besar. Tapi bukan itu yang paling mengkhawatirkan,” lapor Bu Sinta.
”Apa maksudnya Bu?”
”Dia tidak pulang sendiri, Mir. Ada perempuan bersamanya. Berambut merah. Mereka berdua masuk ke kontrakan kalian, lalu keluar membawa koper. Kamu segera pulang sekarang, langsung ke rumahku, ya.”
”Saya pulang sekarang Bu,” Miranti menutup telepon, matanya nanar menatap jalan raya yang dipenuhi kendaraan lalu lalang.
Tanpa pikir panjang, Miranti mengangkat tangannya, memanggil taksi yang kebetulan lewat. Tak peduli dengan ongkos yang akan membengkak, yang ada di pikirannya hanya satu: mendapati Rino dan perempuan itu.
”Mereka sudah pergi satu jam yang lalu.”
Bu Sinta dengan napas tersengal membukakan pintu rumahnya. Wajahnya terlihat memerah menahan amarah.
Miranti menjatuhkan tote bag-nya di lantai teras Bu Sinta. Ia menunduk lemas karena tak bisa bertemu Rino.
”Mereka pergi ke mana, Bu?”
”Aku tahu mereka di mana. Perempuan yang pulang sama Rino itu, aku mengenalnya. Dia adik mantan suamiku.”
”Apa?” Mata Miranti membelalak.
”Sejak bercerai dengan suamiku, aku tak pernah berhubungan dengan keluarganya. Tapi aku masih tahu di mana dia tinggal. Kita kejar mereka sekarang!”
Bu Sinta bergegas mengambil kunci motor dan helm dan memberikan salah satu helmnya untuk Miranti.
Motor Bu Sinta melaju kencang melewati jalan raya. Pikiran Miranti berkecamuk, membayangkan berbagai skenario yang mungkin terjadi saat bertemu dengan Rino dan perempuan berambut merah itu.
Motor berbelok memasuki sebuah gang sempit yang diapit rumah-rumah sederhana. Gang itu tidak terlalu ramai meski rumahnya berimpitan. Semakin ke dalam, gang tersebut semakin menyempit dan sepi.
”Di ujung gang buntu ini. Itu rumahnya,” Bu Sinta menunjuk ke arah rumah kecil di ujung gang.
Miranti bisa melihat rumah kontrakan bercat hijau dengan jendela buram di bagian depannya. Terasnya yang sempit dipenuhi jemuran. Hatinya mencelos saat melihat sepasang sepatu pria yang sangat dia kenali—sepatu Rino—terletak di luar pintu. Di sampingnya, terdapat sepasang sepatu wanita berhak tinggi.
Bu Sinta mematikan mesin motor dan memarkir di sudut gang, ”Kamu siap, Mir?”
Miranti tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Kakinya terasa berat saat melangkah mendekati kontrakan kecil itu. Rumah itu letaknya tepat di samping tembok pembatas yang menandakan akhir gang buntu itu.
Mereka berdua membuka pagar dan melangkah pelan mendekati pintu depan rumah. Saat tinggal beberapa langkah dari pintu, Miranti tiba-tiba membeku. Telinganya menangkap suara-suara dari dalam rumah—suara desahan yang tidak asing lagi baginya.
”Rinoooo...” Suara perempuan terdengar samar-samar dari dalam.
Darah Miranti mendidih seketika. Tanpa berpikir dua kali, dia mendorong pintu depan yang ternyata tidak terkunci. Pintu terbuka lebar, menampakkan ruang tamu kecil yang suram. Di lantai, tergeletak pakaian yang berserakan kemeja laki-laki dan gaun seorang wanita.
Suara-suara itu semakin jelas, berasal dari kamar yang pintunya sedikit terbuka. Cahaya redup memancar dari celah pintu, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding.
”Miranti...” Bu Sinta mencoba menahan Miranti, namun terlambat.
Miranti mendorong pintu kamar dengan kasar. Pemandangan di hadapannya seketika mengoyak seluruh kewarasannya.
Rino—suaminya—sedang bercinta dengan seorang perempuan berambut merah. Keduanya tersentak kaget dan segera menutupi tubuh mereka dengan selimut.
”MIRANTI!” Rino terperanjat, matanya melebar.
”BEDEBAH KAU, RINO!” Miranti berteriak histeris, air matanya mengalir deras. ”JADI INI YANG KAU LAKUKAN SELAMA INI? INI ALASANMU JARANG PULANG?”
Perempuan berambut merah itu hanya menatap Miranti dengan pandangan kaget. Ia buru-buru menarik selimut hingga menutupi dadanya.
”Miranti!” Rino bangkit, memakai celananya dengan tergesa-gesa.
Miranti menyambar vas bunga dari meja terdekat dan melemparkannya ke arah Rino, nyaris mengenai kepalanya.
”Mir, hentikan!” Rino menghindar, wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Justru, yang terlihat adalah ekspresi jengkel.
”Sekarang kau sudah tahu,” ucap Rino dengan nada dingin, ”Mungkin lebih baik seperti ini.”
Miranti menatap tidak percaya, ”Apa maksudmu?”
”Aku mau kita pisah. Aku sudah nggak merasa bahagia sama kamu. Kamu suka membesar-besarkan masalah sepele. Cerewet. Tidak pernah puas. Nita berbeda. Dia bisa membuatku bahagia.”
”Jadi kamu mau pisah begitu saja? Pernikahan kita baru berjalan dua tahun! Kita bisa membicarakan masalah kita, memperbaiki komunikasi kita. Bukannya kamu malah lari ke perempuan lain!”
Miranti tak mampu lagi membendung air matanya. Ia sangat kecewa dengan Rino. Suaminya itu bahkan tidak menanyakan kondisinya saat itu. Rino tampaknya juga tidak peduli dengan perubahan tubuh Miranti saat itu.
”Sudah terlambat,” Rino menggeleng, ”Aku sudah muak hidup sama kamu.”
”Tapi rumah tangga kita—Kau bahkan tidak bertanya bagaimana anak kita,” seru Miranti kalap.
”Rumah tangga apa?” potong Rino, ”Yang ada hanya ribut setiap hari. Kamu pikir aku senang diperlakukan seperti anak kecil? Diomeli karena pulang telat, diomeli karena uang bulanan kurang. Lagipula kita punya anak juga kau yang mau, bukan aku. Pulang saja ke rumah ibumu. Dia pasti mau mengurusi cucunya.”
”Aku tidak menyangka kalau kau setega ini, Rino!” Miranti terisak.
”Aku juga nggak menyangkau kalau kamu itu cerewet dan banyak tuntutan. Sudahlah, kita jalani hidup masing-masing. Yang pasti aku sudah nggak mau hidup sama kamu.”
”Tidak, Rino. Kita bisa memperbaiki ini.”
Rino menatap Miranti dengan sorot mata yang tak pernah dilihatnya selama ini, ”Sudah terlambat. Sekarang aku minta kamu pergi dari sini. Aku sudah muak melihatmu yang hanya bisa menangis dan mengeluh. Cepat pergi!”
”Tidak, sebelum kita membicarakan semuanya baik-baik.”
”Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi!” Suara Rino meninggi, ”Pergi sekarang, Miranti! Aku tidak ingin membuat masalah di rumah Nita.”
Rino mencekal lengan Miranti dan menyeretnya keluar ke jalan. Ia menutup pintu pagar dan menggemboknya. Ia tak peduli dengan Miranti yang masih memanggil namanya dari luar pagar.
”Rino bahkan tidak menanyakan apakah aku sudah melahirkan atau belum,” isak Miranti dalam pelukan Bu Sinta.
Setelah dua hari menginap di rumah Adrian, Miranti baru bisa pulang. Selama sakit Bianca benar-benar lengket dan tidak mau pisah dengannya. Miranti sendiri juga tidak tega meninggalkan Bianca dalam kondisi seperti itu.Miranti baru bisa meninggalkan Bianca setelah memastikan bayi mungil itu tidak rewel lagi. Bianca sudah mau digendong Asti. ”Besok pagi aku kembali,” bisiknya pada Adrian sebelum pergi, mengabaikan tatapan kecewa pria itu.Mianti berjalan menyusuri trotoar menuju tempat kosnya. Malam belum begitu larut. Masih banyak kendaraan yang lalu lalang.Ponselnya bergetar. Pesan dari Adrian.Sudah sampai mana?Miranti mengetik cepat: Hampir sampai kos.Belum larut, tapi gang menuju kosnya sudah sepi. Di ujung gang, lampu pos ronda berkedip suram menunjukkan siluet seseorang duduk di salah satu bangku di pos ronda.Miranti memicingkan mata, mengenali sosok yang duduk sendirian di sana—Pak Darto, bapak kosnya.Asap rokok meliuk-liuk di sekitar pria itu. Saat menyadari kehadiran M
Pipit berjalan tergesa menuju rumah Bu Darto. Diketuknya pintu rumah itu dengan tidak sabar. Ketukannya semakin keras saat tidak ada sahutan dari dalam rumah.Tak berselang lama pintu rumah terbuka. Bu Darto kelihatan tidak senang karena harus meninggalkan sinetron favoritnya. Dahi wanita gemuk pendek itu berkerut saat menatap Pipit yang berdiri di depan pintu rumahnya.”Ada apa, Pit? Mukamu kelihatan panik begitu,” tanya Bu Darto sambil mengamati raut wajah Pipit yang tampak tidak tenang.Pipit menoleh ke kiri dan kanan, matanya menyipit waspada.”Saya punya informasi penting. Tentang Miranti. Kita bicara di dalam saja, Bu,” bisik Pipit dengan suara rendah seperti takut ada yang akan menguping pembicaraan mereka.Bu Darto merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Wajahnya seketika ikut menegang. Penghuni baru itu memang sejak awal sudah membuatnya penasaran. Terlalu pendiam, terlalu tertutup untuk ukuran seorang yang mengaku sebagai pengasuh bayi.”Masuklah!” ajak Bu Darto sambil membu
Suara bariton yang sangat familiar itu membuat Miranti membeku. Miranti mendapati Adrian berdiri di luar pintu dapur.Tubuh tingginya tampak tegap dalam balutan kemeja biru tua yang digulung hingga siku. Namun, wajahnya yang biasanya tenang kelihatan gelisah.”Pak Adrian? Ada apa?” Miranti meletakkan roti yang dibawanya ke atas meja pantry. Jantungnya berdegup kencang. ”Bianca—"”Bianca sakit,” jawab Adrian langsung. ”Dia diare sejak pagi.”Miranti mendekati laki-laki itu cepat, hampir menabrak Pipit yang masih menghalangi pintu dapur, ”Parah?””Dokter sudah memberikan obat, tapi Bianca butuh kamu,” lanjut Adrian dengan suara rendah. ”Dia tidak mau minum dari dot.””Jadi ini majikanmu?” tanya Pipit, tak berusaha menyamarkan nada ingin tahunya.Miranti hanya mengangguk singkat, terlalu fokus pada keadaan Bianca untuk meladeni rasa ingin tahu Pipit.”Saya Adrian,” pria itu memperkenalkan diri dengan singkat, ”Saya butuh Miranti untuk menyusui Bianca, bayi saya, sekarang juga. Dia menola
Miranti baru saja menyelesaikan lipatan terakhir pakaian yang ia setrika ketika ketukan di pintu kamarnya terdengar. Miranti membuka pintu kamarnya dan melihat Bu Darto berdiri di luar kamar kosnya.”Siang, Bu,” sapa Miranti. Ia bergegas merapikan rambut dan menyeka keringat yang menetes di dahinya..”Boleh saya masuk, Mbak Miranti?” tanya Bu Darto, matanya dengan cepat menjelajahi kamar di balik bahu Miranti.”Tentu, Bu. Maaf berantakan, saya baru selesai setrika baju.” Miranti mundur, memberi jalan.Bu Darto melangkah masuk, matanya menilai setiap sudut ruangan. Dia duduk di satu-satunya kursi yang ada di kamar tanpa dipersilakan, jari-jarinya saling bertaut erat di pangkuannya.”Kita belum pernah ngobrol langsung. Maklum saya baru pulang dari Semarang. Bagaimana, sudah betah di sini, Mbak?” Bu Darto memulai pembicaraan, suaranya dibuat lebih ramah.Miranti duduk di tepi ranjang. Ia menatap ibu kos yang baru kali ini ia temui. Bu Darto memang sering keluar kota untuk mengurus ibunya
Bu Darto baru saja pulang dari Semarang setelah beberapa minggu menemani ibunya yang terkena stroke. Tubuhnya lelah, pikirannya apa lagi. Belum sempat ia meletakkan tasnya, Pipit, penghuni kos yang terkenal suka bergosip, langsung menghampirinya.”Bu Darto sudah pulang? Alhamdulillah! Bagaimana kabar ibu di Semarang?” sapa Pipit dengan mata berbinar, jelas menunggu kesempatan untuk berbagi informasi.”Sudah membaik, Pit. Tapi masih butuh kontrol rutin,” jawab Bu Darto sambil menghela napas. ”Ada apa? Kelihatannya kamu ingin bercerita sesuatu.”Pipit mendekat, matanya berkilat penuh semangat, ”Bu Darto harus tahu tentang penghuni baru kita. Namanya Miranti dan dia tinggal di kamar yang itu!””Ada penghuni baru yang tinggal di kamar atas? Kenapa dengan dia?” tanya Bu Darto sambil melirik ke kamar kos di lantai dua. Hatinya mulai was-was.”Menurut anak-anak kos, dia itu ani-ani, Bu!” bisik Pipit dramatis, ”Masa iya dia perempuan baik-baik? Setiap hari dia pulang malam terus. Aku malah per
Seperti biasa, Miranti sampai di rumah Adrian pagi-pagi sekali. Matahari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur ketika Miranti memasuki halaman rumah mewah itu. Saat membuka pintu depan, aroma kopi yang menguar dari ruang makan menyambutnya—pertanda Adrian sudah bangun dan siap untuk sarapan.”Selamat pagi,” sapa Adrian dari balik meja makan. ”Ayo, sarapan dulu sebelum naik ke kamar Bianca.”Meski sudah bekerja selama dua bulan di rumah ini, Miranti masih merasa sungkan saat diajak sarapan bersama. Namun, Adrian selalu memaksanya duduk satu meja, sebuah ritual pagi yang tak bisa ditolak.”Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Adrian sambil menyesap kopi.”Baik,” jawab Miranti singkat, tangannya meraih sepotong roti. ”Bianca bagaimana? Apa dia rewel lagi tadi malam?””Tidak seperti biasa. Dia tidur nyenyak sampai pagi,” Adrian tersenyum. ”Mungkin karena kehadiranmu membuat Bianca nyaman.”Miranti mengangguk pelan, menyuapkan roti ke mulutnya. Akhir-akhir ini Miranti memang pulang lebih laru
Gosip di kos menyebar lebih cepat dari api yang membakar jerami kering. Dimulai dari bisik-bisik di kamar, kemudian dapur umum, lalu merambat ke ruang mencuci, hingga akhirnya menjadi topik pembicaraan utama di teras depan saat penghuni kos berkumpul. Topiknya tak lain adalah Miranti, penghuni baru yang ketahuan mengendap-endap pergi tengah malam.”Aku sudah perhatikan selama ini. Dia selalu pergi pagi-pagi sekali, baru pulang menjelang malam. Kapan hari aku bahkan memergokinya keluar tengah malam dan kata Lisna yang tinggal di sebelahnya, ia belum pulang sampai pagi. Kalau menurut kalian aneh nggak?," ujar Pipit sembari menyeruput es teh manisnya.Pipit, wanita berusia tiga puluh tahunan dengan rambut bergelombang sebahu, merupakan penghuni kos terlama. Statusnya sebagai 'senior' membuatnya merasa berhak mengatur dan ikut campur kehidupan penghuni lain. Matanya yang tajam tak pernah luput mengamati setiap detail kehidupan para tetangganya.”Memangnya kenapa kalau dia keluar malam? Mun
Miranti tersentak kaget dari tidurnya. Ponselnya berdering nyaring, memecah lelap yang baru saja ia nikmati setelah hari yang melelahkan. Dengan mata setengah terpejam, ia meraba-raba nakas di samping tempat tidurnya.”Halo?” jawabnya dengan suara serak.”Kamu sudah tidur,” suara Adrian terdengar panik di seberang telepon.Miranti mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia melirik jam digital di ponselnya—sudah lewat pukul 11 malam.”Ada apa?” tanyanya, kini mulai terjaga sepenuhnya.”ASI yang kautinggalkan sudah habis,” jawab Adrian cemas.”Cepat sekali habisnya. Tadi sore aku meninggalkan cukup banyak di kulkas,” ujar Miranti heran.”Asti bilang malam ini Bianca minum lebih banyak dari biasanya. Sekarang dia rewel lagi, sepertinya masih lapar. Kamu bisa ke sini secepatnya?” tanya Adrian yang lebih mirip perintah.Miranti menghela napas. Sebelum pulang tadi sore, ia sudah memerah ASI-nya cukup banyak—setidaknya untuk tiga atau empat kali minum. Tidak biasanya habis sece
Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan