Share

CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU
CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU
Author: A. Rietha

1. Kehilangan

Author: A. Rietha
last update Last Updated: 2025-04-21 18:14:31

”Bu Miranti, bayi Ibu semakin kritis. Dokter meminta ibu ke ruang bayi sekarang!” ujar Suster Hayati yang membangunkan Miranti.

”Kritis? Maksudnya bagaimana, Sus?” tanya Miranti panik seraya turun dari atas ranjang.

Suster Hayati menggigit bibirnya, ”Maaf Bu, tapi detak jantungnya semakin melemah. Saturasi oksigennya juga turun drastis. Dokter kami sedang berusaha melakukan yang terbaik. Namun, meminta Ibu segera datang.”

”Ya Allah, jangan ambil anakku. Dia satu-satunya yang aku miliki,” isak Miranti sambil berpegangan pada dinding koridor.

”Tenang, Bu. Mari saya bantu,” kata Suster Hayati sambil meraih lengan Miranti, ”Kita harus cepat.”

Miranti masih mematung. Dadanya begitu sesak membayangkan anak semata wayangnya tersiksa karena penyakit yang ia derita.

Beberapa jam lalu, Miranti baru saja menyelesaikan persalinan anaknya, sendirian tanpa ditemani oleh siapapun, bahkan oleh Rino, suaminya sendiri. Suaminya itu pergi tanpa kabar, bahkan sampai saat ini, ketika Miranti berjuang bertaruh nyawa untuk anak mereka.

Bayi itu begitu kecil, sebab lahir prematur pada usia 30 minggu. Tubuhnya masih terlihat ringkih. Miranti semakin sedih tatkala mengetahui jika anaknya itu lahir dengan kondisi kelainan fisik; Anensefali. Bayi kecilnya itu lahir tanpa tempurung kepala.

Sesampainya di ruang observasi, ia melihat bayinya telah membiru. Malaikat kecilnya itu terbaring kaku tanpa ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Dokter dan perawat-perawat di sampingnya mengelilinginya dan melakukan tindakan-tindakan medis untuk menyelamatkan nyawa bayinya.

“Sus! Selamatkan bayi saya Sus! Saya mohon!” Miranti meraih baju suster yang membawanya ke ruang tersebut.

Namun, suster tersebut hanya bisa menatap Miranti tanpa bersuara. Suster tersebut mengusap-ngusap punggung Miranti demi menenangkannya.

'Tidak, jangan sekarang. Biarkan aku menungguinya sedikit lebih lama lagi. Beri Mama waktu sedikit lagi, Nak. Buka matamu dan lihat Mama sekali saja.'

Miranti berteriak dalam hati, memohon dan meminta. Air mata bercucuran saat Miranti menatap bayinya yang masih diam tak bergerak.

Miranti hanya bisa menyesali kesalahannya. Selama hamil ia tidak pernah periksa ke dokter. Andai dulu Miranti periksa ke dokter dan meminta USG tanpa memedulikan Rino yang enggan mengeluarkan uang untuk pemeriksaan bayi, mungkin hal ini bisa dihindari. Paling tidak Miranti bisa menyiapkan mentalnya untuk menghadapi kenyataan.

Lorong tempatnya berdiri yang hanya beberapa meter dari tempat anaknya terbaring terasa begitu panjang, setiap detik bagai siksaan baginya. Dalam hatinya, Miranti terus berbisik dan berdoa.

Air matanya tak berhenti mengalir. Bayi kecilnya harus bertahan. Dia harus bertahan. Bayi itu satu-satunya milik Miranti yang tersisa.

Namun, waktu yang terasa panjang bagi Miranti berakhir saat dokter tersebut keluar ruangan. Dokter menatap Suster Hayati seraya menggeleng pelan, lalu menatap Miranti dengan tatapan sayu.

”Maafkan kami, Bu Miranti. Kami sudah melakukan yang terbaik…”

Seketika, pandangan Miranti menggelap.

***

Miranti melangkah memasuki lorong rumah sakit dengan langkah berat. Baru minggu lalu, ia meninggalkan tempat ini dengan tangan kosong dan hati yang hancur. Bayi yang dilahirkannya hanya bisa bertahan beberapa jam.

Kini Miranti harus kembali ke rumah sakit untuk kontrol, mengurus berkas-berkas yang tersisa, surat keterangan kematian, dan segala formalitas yang terasa seperti memutar pisau di luka yang masih menganga.

Sementara berjalan, Miranti merasakan basah di bagian depan tunik yang dipakainya. ASI-nya merembes lagi. Produksi susu yang seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi bayinya kini terbuang sia-sia. Tubuhnya belum menerima pesan bahwa tak ada mulut kecil yang akan disusui.

”Sial,” bisiknya pelan sambil melihat noda yang mulai melebar di pakaiannya.

Miranti mengaduk isi tasnya dan mencari tissue. Ia harus membersihkan noda ASI itu supaya tidak meninggalkan bekas noda.

Miranti mempercepat langkahnya mencari kamar mandi. Dia ingat ada satu di dekat ruang bayi.

Ketika mendekati ruang bayi, Miranti mendengar suara tangisan bayi melengking keras. Tangisan itu terasa seperti menggores hatinya. Saat Miranti hampir mencapai pintu kamar mandi, ia mendengar suara perawat yang terdengar putus asa.

”Sudah dua jam dia menolak minum. Formula apapun tidak mau diterimanya,” keluh seorang perawat kepada rekannya. ”Ibunya belum bisa menyusui karena kondisinya juga kritis. Bagaimana ini?”

Miranti berhenti. Dadanya terasa penuh dan sakit. ASI-nya terus merembes, sedangkan di sana ada bayi yang sangat membutuhkan ASI.

Setelah beberapa saat ragu, Miranti akhirnya mendorong pintu dan masuk.

”Permisi, Sus,” katanya dengan suara parau, ”Saya mendengar ada bayi yang menolak susu formula. Kebetulan... saya punya banyak ASI.”

Kedua perawat menoleh dengan terkejut. Salah satu dari mereka, Suster Hayati, memandangnya dengan tatapan prihatin.

”Anda Ibu Miranti, kan? Yang baru kehilangan bayinya minggu lalu?”

Miranti mengangguk, tak mampu berkata-kata lebih lanjut. Air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya.

”Apa Ibu yakin mau melakukan ini?” tanya Suster Hayati bimbang.

”ASI saya merembes terus. Rasanya sakit sekali, dan mungkin ini bisa sedikit membantu,” jawab Miranti, matanya tertuju pada bayi kecil yang menangis dalam gendongan Suster Hayati.

Setelah berbicara dengan rekannya, Suster Hayati mengajak Miranti duduk di sebelah box bayi yang menangis itu. Ia menyerahkan bayi mungil yang masih menangis itu ke dalam pelukan Miranti.

”Sebenarnya ini tidak boleh dan melanggar aturan rumah sakit. Tapi sepertinya tak ada jalan lain lagi. Saya berjaga di depan, ya, Bu. Bisa gawat kalau ketahuan.”

Dengan tangan gemetar, Miranti menggendong bayi mungil itu tampak kecil dan rapuh di tangannya.

Saat Miranti mendekatkan bayi itu ke dadanya, tangisan bayi itu mereda. Insting alamiah membimbing mulut mungilnya mencari sumber makanan, dan dalam sekejap bayi itu mulai menyusu dengan lahap.

Air mata Miranti jatuh saat merasakan sensasi menyusui untuk pertama kalinya. ASI yang seharusnya untuk anaknya, kini dinikmati bayi lain yang membutuhkannya.

”Kami sangat berterima kasih, Bu,” bisik perawat yang berdiri di samping Miranti.

Miranti hanya mengangguk, matanya tak lepas dari wajah mungil yang kini tenang dalam pelukannya. Sesekali, ia mengusap rambut bayi mungil yang masih menyusu padanya.

Namun, setelah 15 menit, Suster Hayati datang tergopoh-gopoh dan mengambil kembali bayi itu dari gendongan Miranti.

”Ayahnya ke sini, Bu,” bisik Suster Hayati panik.

Miranti cepat-cepat menyerahkan bayi itu kembali meskipun tampaknya makhluk mungil itu masih enggan melepaskan mulutnya.

Setelah merapikan pakaiannya dan mengelap tuniknya yang basah dengan tissue, Miranti keluar dan menjauh dari ruang bayi.

Di ujung lorong, Miranti hampir menabrak seseorang. Miranti yang masih sibuk membersihkan pakaiannya hanya bisa meminta maaf tanpa melihat orang itu. Namun, tidak demikian dengan laki-laki itu.

”Miranti?” desis lelaki yang hampir bertabrakan dengan Miranti sambil memicingkan matanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   BAB 111

    Adrian tidak pernah main-main dengan ucapannya. Begitu janji keluar dari mulutnya, dia akan memastikan semuanya terlaksana.Karena itu, hanya dalam hitungan jam setelah percakapan terakhirnya dengan Miranti, dia sudah menghubungi seorang detektif swasta yang pernah membantunya mengurus masalah bisnis beberapa tahun lalu."Cari tahu semua tentang pria ini," kata Adrian waktu itu, sambil menyerahkan secarik kertas berisi nama lengkap Rino dan beberapa informasi dasar yang berhasil dia kumpulkan. "Aku butuh alamatnya, tempat kerjanya, kebiasaannya. Semuanya."Detektif itu hanya mengangguk. Dia tidak bertanya apa-apa. Orang seperti Adrian tidak perlu ditanya alasannya yang penting bayarannya sesuai.Adrian sengaja tidak melaporkan masalah ini ke polisi. Bukan karena dia takut atau tidak percaya pada hukum, tapi karena ini menyangkut harga diri Miranti.Foto-foto itu terlalu pribadi, terlalu memalukan untuk disebarkan lebih luas, bahkan ke hadapan aparat. Adrian tahu betul bagaimana sistem

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   BAB 110

    Rino melempar ponselnya ke atas kasur dengan kasar. Tiga hari sudah berlalu sejak ultimatum yang dia berikan pada Miranti, tapi wanita itu masih betah tinggal di rumah Adrian. Tidak ada tanda-tanda Miranti akan pergi. Ancaman yang selama ini selalu ampuh kini seolah kehilangan tajinya."Sial!" Rino mengacak rambutnya frustasi. Dia tidak habis pikir. Dulu, hanya dengan sedikit gertakan, Miranti langsung menurut. Kini? Wanita itu bahkan tidak menghiraukan ancaman foto-foto masa lalunya yang bisa menghancurkan hidupnya.Ponselnya berdering lagi. Nama Keysha muncul di layar. Rino menghela napas panjang sebelum mengangkat."Apa?" sahutnya ketus."Bagaimana?" suara Keysha terdengar menuntut di seberang sana. "Sudah ada perkembangan?""Belum.""Belum?!" Keysha meninggikan suaranya. "Sampai berapa lama, Rino? Kamu pikir uang yang aku berikan itu cuma-cuma?""Aku tahu!""Tidak! Kamu tidak tahu!" bentak Keysha. "Aku membayarmu bukan untuk mendengar kata 'belum'. Aku butuh hasil nyata, Rino. Mir

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 109

    Miranti menggeleng cepat, menyeka air matanya. "Tidak apa-apa.""Jangan bohong." Adrian melangkah mendekat. "Siapa yang meneleponmu sampai kau seperti ini? Apa Rino?"Miranti tidak menjawab, tapi tatapan matanya sudah memberikan konfirmasi bahwa yang diperkirakan Adrian memang benar.Adrian duduk di sampingnya. "Katakan padaku apa yang terjadi. Aku sudah berjanji akan melindungimu."Miranti hanya bisa terdiam. Ia tak tahu bagaimana mengatakan semuanya pada Adrian."Apa yang Rino inginkan darimu?" Adrian bertanya dengan suara lembut namun penuh perhatian.Miranti terdiam. Tangannya yang terkulai lemah terlihat gemetar."Aku tahu dia akan mengganggumu lagi. dia tak akan menyerah sampai kau menderita bersamanya," Adrian melanjutkan, melangkah mendekat. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Aku melihat caramu bereaksi setiap kali namanya disebut. Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Miranti. Apa yang sebenarnya terjadi?"Dunia Miranti seakan mengingat apa yang barusan dikirimkan Rino padanya.

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 108

    Miranti memeluk Bianca yang tengah tertawa riang di pangkuannya. Sudah hampir dua minggu berlalu sejak ia kembali bekerja sebagai pengasuh bayi berusia tujuh bulan itu. Setiap tawa kecil Bianca mampu mengusir segala kekhawatiran yang bersarang di hatinya."Cit... cit... cit..." Miranti menirukan suara burung sambil menggerakkan jarinya di depan wajah mungil Bianca. Bayi itu tertawa lepas, tangannya berusaha meraih jari-jari Miranti.Inilah yang selalu dirindukan Miranti. Momen sederhana yang membuat hidupnya terasa bermakna. Bianca sudah jauh lebih ceria dibanding minggu-minggu pertama. Tidak ada lagi tangisan panjang di malam hari atau penolakan saat makan. Bayi itu bahkan sudah mulai merangkak dengan lincah mengelilingi ruangan.Namun, kebahagiaan Miranti tidak dibagikan oleh semua orang di rumah besar itu.Linda berdiri di ambang pintu kamar, menatap Miranti dan Bianca dengan tatapan dingin. Wanita paruh baya itu tidak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya sejak Miranti kembali. S

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 107

    Miranti menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Hampir sepekan berlalu sejak ia kembali mengasuh Bianca, dan sesuatu dalam dirinya berubah.Bayi mungil itu telah mengisi kekosongan yang bahkan tidak ia sadari ada di hatinya. Setiap senyum Bianca, setiap tangisannya, bahkan setiap gerak kecilnya. Semuanya terasa begitu berarti.Ia menghela napas panjang. Keputusan sudah bulat di benaknya."Miranti, kamu sudah bangun? Katanya mau ke gerai," suara Adrian terdengar dari luar."Sebentar!"Miranti merapikan rambutnya, kemudian keluar dari kamar. Adrian berdiri di depan pintu kamarnya dengan Bianca di gendongannya. Pria itu tersenyum melihatnya."Terima kasih sudah mau menjaga Bianca sebentar. Aku harus ke gerai untuk menemui majikanku," kata Miranti sambil mengambil tasnya."Tidak masalah. Aku juga sedang work from home hari ini." Adrian mengalihkan pandangannya ke Bianca yang sedang menggenggam jarinya. "Kamu sudah mantap dengan keputusanmu?"Miranti mengangguk. "Aku akan mengundu

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   Bab 106

    Miranti mengecup puncak kepala Bianca yang kini berada dalam gendongannya. Bayi mungil itu terlihat jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu. Pipinya yang sempat pucat kini mulai merona, dan tangisannya sudah tidak sesengau dulu."Sudah siap pulang, sayang?" bisik Miranti lembut.Adrian berdiri di sampingnya, menandatangani formulir keluar dari rumah sakit. Sari, pengasuh baru Bianca, sibuk membereskan barang-barang bayi di dalam tas. Wajahnya terlihat senang sejak tadi pagi."Semua sudah selesai," kata Adrian sambil memasukkan map berkas ke dalam tas kerjanya. "Ayo kita pulang."Mereka berjalan menuju mobil di area parkir. Miranti masih menggendong Bianca dengan hati-hati, memastikan selimut tipis menutupi tubuh bayi itu dengan sempurna. Adrian membukakan pintu belakang mobil."Miranti, duduk di tengah saja. Sari akan duduk di sebelahmu," ujar Adrian.Miranti mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Sari mengikuti dari sisi lain, membawa tas bayi dengan hati-hati. Begitu Sari duduk,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status