Share

3. Jeratan Utang

Author: A. Rietha
last update Last Updated: 2025-04-21 18:17:10

Miranti menatap seisi kamar kontrakannya dengan tatapan kosong. Tasnya ia lemparkan ke atas kasur.

Minggu yang lalu Miranti membawa pulang bayinya yang sudah tidak bernyawa. Saat itu Miranti tak tahu harus menguburkan bayinya di mana. Ia harus mengucapkan terima kasih pada Bu Sinta, kosbasnya yang sangat baik hati. Miranti dapat memakamkan bayinya dengan layak berkat Bu Sinta.

Sekarang ia harus menerima kenyataan suaminya tak mau lagi hidup bersamanya. Rino lebih memilih bersama wanita lain daripada memperbaiki rumah tangga mereka.

”Kuat, Mir. Kamu harus kuat,” bisiknya pada diri sendiri. Memberikan afirmasi positif untuk dirinya sendiri meski tidak mudah.

Miranti terenyak saat ponselnya berbunyi. Ia mengira ada pesan dari Rino. Dengan malas Miranti meraih ponselnya dan membaca pesan yang baru saja masuk.

Ternyata tidak seperti yang ia duga, notifikasi pesan kali ini isinya sama dengan puluhan pesan dan panggilan tak terjawab yang masuk beberapa minggu terakhir. Miranti menggigit bibir. Tangannya bergetar hebat saat membuka salah satu pesan.

”Segera lunasi hutang Anda sebesar Rp 12.750.000 dalam 24 jam atau kami akan mengambil tindakan lebih lanjut.”

Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Bagaimana bisa Rino melakukan ini padanya? Bagaimana bisa pria yang dulu berjanji akan menjaganya sepanjang hidup justru pergi dan meninggalkan mala petaka seperti ini?

Ketukan di pintu membuat Miranti terlonjak. Dengan cepat ia menghapus air matanya.

”Miranti? Kamu sudah pulang?” Suara Bu Tuti, tetangga kontrakan, terdengar dari balik pintu.

Miranti menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu, ”Iya, Bu. Baru saja.”

Bu Tuti, wanita paruh baya dengan rambut pendek yang mulai memutih, menatapnya dengan campuran simpati dan kekhawatiran, ”Kamu sakit? Wajahmu kelihatan pucat.”

Tenggorokan Miranti tercekat. Firasatnya mengatakan ada hal yang buruk karena Bu Tuti jarang beramah tamah dengan tetangganya.

”Saya... baik-baik saja, Bu,” jawab Miranti singkat.

”Ibu mengerti keadanmu,” ujar Bu Tuti lembut, ”Tapi Miranti... ada masalah lain yang harus kita bicarakan.”

Miranti mengangguk lemah, ”Soal orang-orang yang datang mencari saya?”

”Mereka menelepon dan mengirim pesan hampir setiap hari. Bahkan kemarin ada yang menyanggong di depan berjam-jam. Mengganggu penghuni kos dan kontrakan lainnya. Miranti, ibu tidak ingin ikut campur urusan pribadimu, tapi... ini sudah sangat mengganggu.”

Dada Miranti terasa sesak, ”Maaf, Bu. Saya... saya janji akan menyelesaikan secepatnya.”

”Ibu harap begitu. Kasihan penghuni lain jadi kena imbasnya. Bahkan Pak Karno di rumah sebelah juga diteror lewat telepon. Kasihan dia sampai darah tingginya kumat.”

”Saya benar-benar minta maaf, Bu.” Miranti menunduk, malu dan putus asa bercampur jadi satu.

”Jangan biarkan masalah utang piutang ini berlarut-larut, ya! Kami jadi nggak nyaman,” ucap Bu Tuti memberi peringatan pada Miranti.

Setelah Bu Tuti pergi, Miranti menutup pintu dan merosot ke lantai. Air matanya jatuh tak terbendung. Bagaimana ia bisa menyelesaikan masalah ini?

Hutang Rino di salah satu aplikasi pinjol hampir 13 juta, belum lagi hutang yang ada di bank dan pinjol lainnya. Dan sialnya, Rino memakai nama Miranti untuk meminjam karena nama Rino sudah termasuk blacklist BI.

Ponselnya berdering nyaring. Nomor tak dikenal. Dengan tangan gemetar, Miranti mengangkatnya dan bersuara lirih.

”Halo!”

”Selamat siang, saya berbicara dengan Ibu Miranti?” suara di seberang terdengar profesional namun kasar.

”I-iya, benar.”

”Saya Budi dari Cepat Dana. Kami sudah mencoba menghubungi Ibu berkali-kali tapi tidak ada respons. Ibu memiliki tunggakan sebesar Rp 8.750.000 yang sudah jatuh tempo tiga minggu lalu.”

Napas Miranti tercekat, ”Maaf, saya baru saja terkena musibah. Saya mohon tempo lagi supaya saya bisa membayar tunggakan.”

”Ibu sudah kami beri waktu tiga minggu. Tapi, Ibu tampaknya tidak punya itikad baik untuk melunasinya. Jika tidak segera dilunasi, kami akan mengambil langkah hukum lebih lanjut.”

”Tapi saya benar-benar tidak—"

”Kami sudah sangat sabar, Bu. Dua hari lagi tim lapangan kami akan datang untuk penagihan langsung. Selamat siang.”

Telepon ditutup sebelum Miranti sempat berkata-kata. Ia melempar ponselnya ke atas kasur dan menutupi wajahnya yang basah oleh air mata.

”Kenapa, Rino? Kenapa kamu tega melakukan ini?” isaknya.

Miranti mencoba menenangkan diri. Ia berjalan ke kamar mandi kecil di sudut kamarnya dan membasuh wajah. Bayangan di cermin membuatnya tercekat—begitu pucat dan kurus, dengan lingkaran hitam menghiasi matanya yang sembab.

”Bertahanlah. Kau harus bertahan, Mir,,” bisiknya pada diri sendiri.

Suara ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Berbeda dengan ketukan lembut Bu Tuti tadi, ketukan ini penuh intimidasi.

”Permisi! Apa benar ini rumah Ibu Miranti?” suara seorang pria terdengar lantang.

Jantung Miranti berdegup kencang. Ia berjinjit mengintip dari lubang kecil dari celah jendela kamar. Dua pria berjaket kulit dan berwajah menyeramkan berdiri di depan kontrakannya.

”Ibu Miranti? Kami dari Tunai Express. Kami perlu bicara soal tunggakan atas nama Ibu Miranti Anandari!”

Miranti mundur perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Tangannya gemetar hebat.

”Bu, kami tahu Ibu ada di dalam! Tetangga bilang Ibu ada di rumah!”

Suara gedoran pintu semakin keras. Miranti takut kalau kedua orang bertampang seram itu akan mendobrak pintunya dan memaksa masuk.

Miranti menutup mulutnya, menahan isakan. Ia tidak siap menghadapi ini sekarang. Tidak setelah semua yang terjadi.

”Baik, jika Ibu tidak mau menemui kami sekarang, kami akan kembali besok dengan surat peringatan resmi! Tunggakan Ibu sudah mencapai Rp 5.200.000 dengan denda keterlambatan!”

Miranti mendengar langkah kaki menjauh. Ia merosot ke lantai, tubuhnya gemetar. Ini baru seminggu sejak ia kembali dari rumah sakit, dan sudah ada tagihan dengan jumlah berbeda yang datang padanya.

Ponselnya kembali berdering. Dengan tangan gemetar, ia melihat layarnya. Nomor tidak dikenal lagi. Kali ini Miranti mengabaikannya, tapi kemudian ada sebuah pesan masuk.

”Selamat siang, Bu Miranti. Saya Agus dari Cepat Tunai. Jika Ibu tidak dapat dihubungi dalam 24 jam ke depan, kami terpaksa menyebarkan informasi tunggakan ini ke semua kontak di ponsel Ibu termasuk keluarga, tetangga, dan rekan kerja. Total tunggakan Rp 4.850.000.”

”Tidak,” bisik Miranti ngeri. ”Tidak, tidak, tidak!”

Ia melempar ponselnya lagi ke tempat tidur dan meringkuk di lantai. Bagaimana mungkin ia menghadapi semua ini sendirian? Sementara lukanya karena kehilangan bayi belum sembuh, kini ia harus menghadapi teror hutang yang bahkan semua bukan tanggung jawabnya.

Rino yang memilih pergi dengan wanita lain juga tidak bisa diharapkan. Miranti juga tak punya pekerjaan layak untuk membayar semua utang-utang itu.

Kepala Miranti rasanya mau meledak. Ia sudah tidak kuat lagi. Ia sudah lelah. Miranti merasa sudah sangat lelah.

Dengan tangan gemetar, ia membuka laci nakas di samping tempat tidurnya. Di sana, tersimpan berbagai obat yang diberikan dokter setelah ia melahirkan. Dengan kasar dibukanya pembungkus obat-obatan itu.

Pil dan kapsul berbagai bentuk dan warna tergenggam di telapak tangannya. Entah mengapa Miranti merasakan obat-obatan itu sebagai jalan keluar. Ia mengambil botol minum dan menjejalkan obat itu ke dalam mulutnya.

”Tidur,” bisiknya sambil menggenggam botol itu. ”Mungkin ini yang kubutuhkan. Tidur yang sangat panjang.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   93. Pengakuan

    Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam ketika shift kedua akhirnya berakhir. Gerai sudah sepi. Para karyawan termasuk Miranti tengah merapikan bagian dalam gerai sebelum pulang.Miranti bekerja dengan gugup. Tangannya gemetar saat merapikan counter. Suara langkah kaki karyawan lain yang berhamburan keluar gerai perlahan menghilang, menyisakan kesunyian yang mencekam."Harus sekarang," gumam Miranti pada dirinya sendiri.Kata-kata Sani kemarin masih membekas di benaknya. Ia harus menjaga jarak dengan Beni. Terlalu banyak tatapan penuh makna, terlalu banyak perhatian khusus yang mulai disadari karyawan lain.Miranti menghela napas panjang sebelum naik ke lantai atas menuju ruangan Beni. Ia mengetuk pelan pintu ruangan atasannya itu. Suara "masuk" dari dalam membuat jantungnya berdegup lebih kencang.Beni mengangkat kepala dari tumpukan laporan di mejanya. Senyum hangat langsung mengembang di wajahnya melihat Miranti berdiri di ambang pintu dengan ekspresi canggung."Miranti? Tumben kamu

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   92. Dilema

    Miranti berdiri dan menatap deretan asesoris dengan mata kosong. Suara beep barcode scanner dari mesin kasir di counter sebelahnya terdengar monoton di telinganya, bercampur dengan ocehan pelanggan yang sibuk memilih aksesoris. Tapi pikirannya melayang jauh, terjebak dalam keraguan yang semakin menggerogoti hatinya."Miranti, ini minuman buat kamu."Suara Beni membuatnya tersentak. Lagi-lagi pria itu berdiri di hadapannya dengan sebotol teh dalam kemasan, senyum ramah terkembang di wajahnya."Ah, terima kasih, Pak." Miranti menerima botol itu dengan canggung. "Tapi sebenarnya tidak perlu, saya bisa beli sendiri."Beni menggeleng. "Tidak apa-apa. Cuaca hari ini panas sekali. Kamu harus banyak minum."Dari sudut mata, Miranti menangkap tatapan tajam beberapa karyawan. Mereka berbisik-bisik sambil sesekali meliriknya.Hati Miranti langsung terasa tidak nyaman. Ini sudah kesekian kalinya Beni membelikannya sesuatu hari ini. Kemarin juga begitu. Dan minggu lalu juga."Pak Beni," Miranti me

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   91. Kasak-Kusuk

    Jam menunjukkan pukul 08.30 pagi ketika Beni sudah sampai di depan gerai handphone miliknya. Kunci berderit saat dia membuka pintu kaca, aroma pembersih lantai masih tercium dari pembersihan kemarin malam. Ini adalah hari kelima berturut-turut dia datang lebih pagi dari biasanya."Selamat pagi, Pak Beni," sapa Miranti yang ternyata sudah ada di dalam gerai."Pagi, Mir. Kamu selalu datang tepat waktu ya," Beni tersenyum sambil melangkah mendekat.Tidak lama kemudian, Sani yang turun dari lantai dua melewati tempat itu dengan wajah masam. Matanya langsung tertuju pada Miranti yang sedang menata display handphone di bagian depan."Pagi, San," Beni menyapa hangat."Pagi, Pak," jawab Sani kaku. Dia melirik Miranti dengan pandangan tidak suka.Beni menyadari ketegangan itu. Seminggu terakhir, atmosfer di gerainya tak seperti biasanya. Sani yang biasanya aktif memberikan arahan malah sering bersikap dingin pada Miranti. Beberapa kali Beni melihat Sani memberikan tugas yang terlalu sulit untu

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   90. Tekanan Pekerjaan

    Miranti mengeluh sambil mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Kasur sempit di kamarnya terasa lebih keras dari biasanya. Hari yang melelahkan, terutama bagi batinnya. Setiap otot tubuhnya terasa lelah, tapi yang lebih menyakitkan adalah luka hati yang terus menganga.Omelan Sani yang mencapnya tak becus bekerja masih bergema di telinga Miranti. Kata-kata tajam itu seakan pisau yang mengiris kepercayaan dirinya. Semangat Miranti untuk memulai lagi hidupnya menjadi drop total.Peristiwa siang tadi masih membekas jelas di ingatannya. Seorang pelanggan bertanya tentang smartphone dengan RAM 8GB, tapi Miranti malah terlihat bingung dan menatap layar ponsel kosong.Miranti terpaksa menelepon Sani yang kebetulan saat itu tidak ada di tempat. Bukannya penjelasan, justru dampratan menyakitkan dari Sani yang Miranti dapatkan.Tak lama berselang Sani kembali ke gerai dan kembali menghujani Miranti dengan ucapannya yang lebih menyakitkan."Kamu ini bodoh ya? Masa spesifikasi dasar aja nggak hap

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   89. Pekerjaan Baru, Masalah Baru

    Miranti menarik napas dalam-dalam di depan pintu kaca bertuliskan "TECNO TRENDZ". Jam tangan di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul delapan pagi tepat. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Sudah berapa lama dia tidak menghadapi wawancara kerja?"Selamat pagi, Pak," sapa Miranti pada lelaki bertubuh sedang yang sedang membukakan pintu kaca untuk Miranti. Rambutnya mulai menipis di bagian depan, kulitnya sawo matang, dan matanya hangat saat menatap Miranti."Saya ada janji bertemu dengan Pak Beni Gunawan," ujar Miranti pada securiti itu.Laki-laki itu tersenyum pada Miranti lalu mengajaknya ke lantai toko paling atas. Di ujung lorong, laki-laki itu mengetuk pintu dan mengatakan pada seorang di dalamnya bahwa seseorang ingin bertemu dengannya."Ah, kamu pasti Miranti yang diceritakan Bu Sinta," kata lelaki bertubuh tegap yang tersenyum ramah sambil menjabat tangan Miranti. "Saya Beni, pemilik toko ini. Silakan masuk."Miranti mengangguk gugup. "Ya, Pak. Saya datang untuk

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   88. Kembali ke Kos Lama

    Miranti menatap pagar kayu tinggi yang sudah lama tidak disambanginya. Rumah Bu Sinta pemilik tempat kos yang dulu disewanya.Tempat yang dulu menjadi rumah baginya selama beberapa tahun. Tangannya gemetar saat menekan bel yang ada di balik pagar. Ia tidak yakin apakah masih ada tempat baginya di rumah kos yang disewakan Bu Sinta."Miranti?" Bu Sinta membuka pintu pagar dengan mata berbinar. "Astaga! Kenapa kamu tidak bilang kalau mau datang?""Bu Sinta..." Miranti hampir menangis melihat wajah ramah yang selalu menyambutnya dengan hangat.Bu Sinta tertegun saat melihat wajah kuyu Miranti. Apalagi saat melihat koper besar yang dibawa Miranti."Saya... saya ingin kembali ke kos."Bu Sinta langsung memeluk Miranti erat. "Lho, kenapa? Ayo masuk dulu, jangan berdiri di depan pintu seperti ini!"Miranti mengikuti Bu Sinta masuk ke ruang tamu melalui teras depan rumah yang asri. Aroma bungan lavender dan melati yang tumbuh di halaman Bu Sinta tercium samar dan menenangkan."Duduk, Mir. Aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status