Miranti menatap seisi kamar kontrakannya dengan tatapan kosong. Tasnya ia lemparkan ke atas kasur.
Minggu yang lalu Miranti membawa pulang bayinya yang sudah tidak bernyawa. Saat itu Miranti tak tahu harus menguburkan bayinya di mana. Ia harus mengucapkan terima kasih pada Bu Sinta, kosbasnya yang sangat baik hati. Miranti dapat memakamkan bayinya dengan layak berkat Bu Sinta.
Sekarang ia harus menerima kenyataan suaminya tak mau lagi hidup bersamanya. Rino lebih memilih bersama wanita lain daripada memperbaiki rumah tangga mereka.
”Kuat, Mir. Kamu harus kuat,” bisiknya pada diri sendiri. Memberikan afirmasi positif untuk dirinya sendiri meski tidak mudah.
Miranti terenyak saat ponselnya berbunyi. Ia mengira ada pesan dari Rino. Dengan malas Miranti meraih ponselnya dan membaca pesan yang baru saja masuk.
Ternyata tidak seperti yang ia duga, notifikasi pesan kali ini isinya sama dengan puluhan pesan dan panggilan tak terjawab yang masuk beberapa minggu terakhir. Miranti menggigit bibir. Tangannya bergetar hebat saat membuka salah satu pesan.
”Segera lunasi hutang Anda sebesar Rp 12.750.000 dalam 24 jam atau kami akan mengambil tindakan lebih lanjut.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Bagaimana bisa Rino melakukan ini padanya? Bagaimana bisa pria yang dulu berjanji akan menjaganya sepanjang hidup justru pergi dan meninggalkan mala petaka seperti ini?
Ketukan di pintu membuat Miranti terlonjak. Dengan cepat ia menghapus air matanya.
”Miranti? Kamu sudah pulang?” Suara Bu Tuti, tetangga kontrakan, terdengar dari balik pintu.
Miranti menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu, ”Iya, Bu. Baru saja.”
Bu Tuti, wanita paruh baya dengan rambut pendek yang mulai memutih, menatapnya dengan campuran simpati dan kekhawatiran, ”Kamu sakit? Wajahmu kelihatan pucat.”
Tenggorokan Miranti tercekat. Firasatnya mengatakan ada hal yang buruk karena Bu Tuti jarang beramah tamah dengan tetangganya.
”Saya... baik-baik saja, Bu,” jawab Miranti singkat.
”Ibu mengerti keadanmu,” ujar Bu Tuti lembut, ”Tapi Miranti... ada masalah lain yang harus kita bicarakan.”
Miranti mengangguk lemah, ”Soal orang-orang yang datang mencari saya?”
”Mereka menelepon dan mengirim pesan hampir setiap hari. Bahkan kemarin ada yang menyanggong di depan berjam-jam. Mengganggu penghuni kos dan kontrakan lainnya. Miranti, ibu tidak ingin ikut campur urusan pribadimu, tapi... ini sudah sangat mengganggu.”
Dada Miranti terasa sesak, ”Maaf, Bu. Saya... saya janji akan menyelesaikan secepatnya.”
”Ibu harap begitu. Kasihan penghuni lain jadi kena imbasnya. Bahkan Pak Karno di rumah sebelah juga diteror lewat telepon. Kasihan dia sampai darah tingginya kumat.”
”Saya benar-benar minta maaf, Bu.” Miranti menunduk, malu dan putus asa bercampur jadi satu.
”Jangan biarkan masalah utang piutang ini berlarut-larut, ya! Kami jadi nggak nyaman,” ucap Bu Tuti memberi peringatan pada Miranti.
Setelah Bu Tuti pergi, Miranti menutup pintu dan merosot ke lantai. Air matanya jatuh tak terbendung. Bagaimana ia bisa menyelesaikan masalah ini?
Hutang Rino di salah satu aplikasi pinjol hampir 13 juta, belum lagi hutang yang ada di bank dan pinjol lainnya. Dan sialnya, Rino memakai nama Miranti untuk meminjam karena nama Rino sudah termasuk blacklist BI.
Ponselnya berdering nyaring. Nomor tak dikenal. Dengan tangan gemetar, Miranti mengangkatnya dan bersuara lirih.
”Halo!”
”Selamat siang, saya berbicara dengan Ibu Miranti?” suara di seberang terdengar profesional namun kasar.
”I-iya, benar.”
”Saya Budi dari Cepat Dana. Kami sudah mencoba menghubungi Ibu berkali-kali tapi tidak ada respons. Ibu memiliki tunggakan sebesar Rp 8.750.000 yang sudah jatuh tempo tiga minggu lalu.”
Napas Miranti tercekat, ”Maaf, saya baru saja terkena musibah. Saya mohon tempo lagi supaya saya bisa membayar tunggakan.”
”Ibu sudah kami beri waktu tiga minggu. Tapi, Ibu tampaknya tidak punya itikad baik untuk melunasinya. Jika tidak segera dilunasi, kami akan mengambil langkah hukum lebih lanjut.”
”Tapi saya benar-benar tidak—"
”Kami sudah sangat sabar, Bu. Dua hari lagi tim lapangan kami akan datang untuk penagihan langsung. Selamat siang.”
Telepon ditutup sebelum Miranti sempat berkata-kata. Ia melempar ponselnya ke atas kasur dan menutupi wajahnya yang basah oleh air mata.
”Kenapa, Rino? Kenapa kamu tega melakukan ini?” isaknya.
Miranti mencoba menenangkan diri. Ia berjalan ke kamar mandi kecil di sudut kamarnya dan membasuh wajah. Bayangan di cermin membuatnya tercekat—begitu pucat dan kurus, dengan lingkaran hitam menghiasi matanya yang sembab.
”Bertahanlah. Kau harus bertahan, Mir,,” bisiknya pada diri sendiri.
Suara ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Berbeda dengan ketukan lembut Bu Tuti tadi, ketukan ini penuh intimidasi.
”Permisi! Apa benar ini rumah Ibu Miranti?” suara seorang pria terdengar lantang.
Jantung Miranti berdegup kencang. Ia berjinjit mengintip dari lubang kecil dari celah jendela kamar. Dua pria berjaket kulit dan berwajah menyeramkan berdiri di depan kontrakannya.
”Ibu Miranti? Kami dari Tunai Express. Kami perlu bicara soal tunggakan atas nama Ibu Miranti Anandari!”
Miranti mundur perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Tangannya gemetar hebat.
”Bu, kami tahu Ibu ada di dalam! Tetangga bilang Ibu ada di rumah!”
Suara gedoran pintu semakin keras. Miranti takut kalau kedua orang bertampang seram itu akan mendobrak pintunya dan memaksa masuk.
Miranti menutup mulutnya, menahan isakan. Ia tidak siap menghadapi ini sekarang. Tidak setelah semua yang terjadi.
”Baik, jika Ibu tidak mau menemui kami sekarang, kami akan kembali besok dengan surat peringatan resmi! Tunggakan Ibu sudah mencapai Rp 5.200.000 dengan denda keterlambatan!”
Miranti mendengar langkah kaki menjauh. Ia merosot ke lantai, tubuhnya gemetar. Ini baru seminggu sejak ia kembali dari rumah sakit, dan sudah ada tagihan dengan jumlah berbeda yang datang padanya.
Ponselnya kembali berdering. Dengan tangan gemetar, ia melihat layarnya. Nomor tidak dikenal lagi. Kali ini Miranti mengabaikannya, tapi kemudian ada sebuah pesan masuk.
”Selamat siang, Bu Miranti. Saya Agus dari Cepat Tunai. Jika Ibu tidak dapat dihubungi dalam 24 jam ke depan, kami terpaksa menyebarkan informasi tunggakan ini ke semua kontak di ponsel Ibu termasuk keluarga, tetangga, dan rekan kerja. Total tunggakan Rp 4.850.000.”
”Tidak,” bisik Miranti ngeri. ”Tidak, tidak, tidak!”
Ia melempar ponselnya lagi ke tempat tidur dan meringkuk di lantai. Bagaimana mungkin ia menghadapi semua ini sendirian? Sementara lukanya karena kehilangan bayi belum sembuh, kini ia harus menghadapi teror hutang yang bahkan semua bukan tanggung jawabnya.
Rino yang memilih pergi dengan wanita lain juga tidak bisa diharapkan. Miranti juga tak punya pekerjaan layak untuk membayar semua utang-utang itu.
Kepala Miranti rasanya mau meledak. Ia sudah tidak kuat lagi. Ia sudah lelah. Miranti merasa sudah sangat lelah.
Dengan tangan gemetar, ia membuka laci nakas di samping tempat tidurnya. Di sana, tersimpan berbagai obat yang diberikan dokter setelah ia melahirkan. Dengan kasar dibukanya pembungkus obat-obatan itu.
Pil dan kapsul berbagai bentuk dan warna tergenggam di telapak tangannya. Entah mengapa Miranti merasakan obat-obatan itu sebagai jalan keluar. Ia mengambil botol minum dan menjejalkan obat itu ke dalam mulutnya.
”Tidur,” bisiknya sambil menggenggam botol itu. ”Mungkin ini yang kubutuhkan. Tidur yang sangat panjang.”
Adrian mengusap wajahnya yang lelah sambil memandangi tumpukan berkas CV di meja kerjanya. Sudah seminggu ini dia mencari pengasuh untuk Bianca, tapi tidak ada yang memenuhi kriterianya.Permintaan Miranti terus berputar di kepalanya—dia harus mencari pengasuh baru supaya Miranti bisa segera pergi dari rumah mereka."Pak, ini ada telepon dari Agen Pengasuh Bayi yang Bapak minta," kata sekretarisnya dari pintu ruangan.Adrian mengangkat gagang telepon dengan cepat. Setelah percakapan singkat, dia merasa sedikit lega. Agen itu merekomendasikan seorang pengasuh bernama Sari yang sudah memiliki pengalaman dan sertifikat mengasuh bayi."Kirim CV-nya sekarang," perintah Adrian.***Dua hari kemudian, Sari, seorang wanita berusia tiga puluh tahun dengan wajah ramah, berdiri di depan pintu rumah Adrian. Dia membawa tas kecil berisi sertifikat perawatan bayi dan surat rekomendasi dari agensinya sebelumnya."Selamat pagi, Pak Adrian," sapa Sari sopan.Adrian mengangguk dan langsung membimbingny
Adrian memijit keningnya. Sudah lima hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Miranti. Sebelum Miranti pergi, ia sudah harus mencari penggantinya. Hati Adrian merasa berat tentu saja. Melihat Miranti memutuskan pergi dari rumahnya membuat hati Adrian kembali terluka.Suara tangisan Bianca dari kamar bayi memecah lamunannya. Adrian bergegas keluar kamar dan melangkah menuju kamar Bianca. Ia mendapati Miranti sedang menggendong putri kecilnya dengan lembut."Dia rewel sejak tadi pagi," kata Miranti tanpa mengalihkan pandangan dari Bianca. "Mungkin tumbuh gigi."Adrian mengangguk, tapi perhatiannya tertuju pada wajah Miranti yang terlihat lelah. "Kamu tidak tidur lagi semalam?""Biasa saja." Miranti meletakkan Bianca yang sudah tenang ke dalam box bayi. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan pengasuh baru itu? Sudah ada kabar?"Pertanyaan yang selalu Adrian hindari. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Belum ada yang cocok."Miranti berbalik menghadapnya, mata cokelat itu men
Miranti dan Unti melangkah memasuki halaman rumah dengan langkah tergesa. Wajah keduanya pucat. Napas keduanya pun tersengal-sengal karena kejadian yang mengerikan tadi. Keringat dingin masih membasahi pelipis Miranti dan mengalir melalui punggungnya."Mbak Miranti, Unti, kenapa wajah kalian pucat sekali?" tanya satpam yang membuka gerbang depan dengan alis berkerut. Matanya menatap khawatir pada Miranti yang tampak terguncang."Pak, tolong kunci gerbang sekarang juga," perintah Miranti dengan suara bergetar. "Jangan buka sembarangan untuk siapa pun. Kalau ada yang bertamu, kabari aku dulu.""Loh, memangnya kenapa, Mbak?" tanya satpam semakin bingung melihat kepanikan di mata Miranti."Pokoknya jangan sampai ada yang masuk tanpa sepengetahuanku!" Miranti memotong dengan tegas sambil bergegas masuk ke dalam rumah.Unti mengikuti di belakang, sesekali menengok ke arah gerbang dengan was-was. Bayangan penculik nekad yang mengaku sebagai ayah Bianca tadi masih membayangi pikirannya.Di da
Unti mengeratkan pelukannya pada Bianca yang mulai rewel. Matanya nyalang menatap laki-laki berjaket lusuh itu. Rino masih berdiri di hadapannya, dengan senyum yang terlihat menyeramkan."Berikan dia padaku," ulang Rino, kali ini dengan nada yang lebih keras. "Aku ayahnya.""Tidak!" Unti mundur selangkah. "Saya tidak kenal Anda. Pergi dari sini!"Rino tertawa kecil. "Aku ayah kandung Bianca."Unti memandang mata pria itu sekilas. Tak ada kemiripan sama sekali antara Bianca dengan laki-laki yang terus mengaku ayahnya itu.Zaman sekarang banyak penculik yang pandai menyamar dan membuat cerita. Apalagi Bianca anak Adrian yang kaya raya. Pasti banyak yang mengincar."Aku tidak percaya!" Unti berteriak. "Pergi atau aku panggil satpam!"Rino melangkah maju. "Jangan mempersulit keadaan. Aku hanya ingin menggendong anakku sebentar."Tangannya terentang, hendak mengambil Bianca dari gendongan Unti. ART itu refleks mundur sambil mendekap Bianca makin erat. Tekanan di dada bayi kecil itu membuat
Rino menyesuaikan jaket ojol hijau stabilo yang dikenakannya sambil memandang jam tangan. Sudah hampir satu jam dia berkeliling kompleks perumahan Adrian dengan motor matic pinjaman dari temannya. Di jok belakang, box delivery kosong bergoyang setiap kali motornya melewati polisi tidur."Sialan, kenapa nggak keluar-keluar juga," gerutunya sambil memencet klakson motor beberapa kali, pura-pura mencari alamat.Beberapa orang yang kebetulan lewat sempat menoleh, tapi Rino segera menundukkan kepalanya dan mempercepat laju motor.Untung saja seragam ojol ini benar-benar menyamarkan identitasnya. Siapa yang bakal curiga dengan tukang ojek yang sedang mencari alamat customer?Rino memarkir motornya di dekat taman, tempat yang strategis untuk mengawasi kompleks perumahan yang sepi itu.Dari tadi dia sudah melewati rumah mewah berlantai dua tempat Miranti tinggal. Rumah itu terlihat sepi dan pagarnya yang tinggi tertutup rapat. Membuat Rino tak bisa mengintip kegiatan dalam rumah itu."Apa mer
Adrian mengangkat kepala dari tumpukan dokumen di mejanya ketika pintu kantornya terbuka tanpa ketukan. Linda, ibu kandungnya, melangkah masuk dengan wajah tegang dan mata berapi-api."Mami? Ada apa?" Adrian bangkit dari kursinya, terkejut melihat ekspresi murka di wajah ibunya."Kita perlu bicara sekarang juga, Adrian." Linda menutup pintu dengan keras, suara bantingan itu bergema di ruangan yang sunyi. "Tentang pengasuh itu. Tentang Miranti."Adrian mengernyit. "Ada apa dengan Miranti? Bianca baik-baik saja kan?""Bianca memang baik-baik saja, tapi keluarga kita tidak!" Linda berjalan mendekat, tangannya terkepal erat. "Mami sudah tahu apa yag terjadi di sini kemarin.""Mami, duduk dulu. Kita bicarakan baik-baik.""Tidak ada yang perlu dibicarakan baik-baik!" Linda menggebrak meja Adrian. "Bagaimana Mami bisa tenang kalau nama baik keluarga Himawan dipermalukan di depan umum gara-gara perempuan itu!"Adrian terdiam, rahangnya mengeras. "lalu apa mau Mami sekarang?""Mami ingin masal