Share

3. Jeratan Utang

Penulis: A. Rietha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-21 18:17:10

Miranti menatap seisi kamar kontrakannya dengan tatapan kosong. Tasnya ia lemparkan ke atas kasur.

Minggu yang lalu Miranti membawa pulang bayinya yang sudah tidak bernyawa. Saat itu Miranti tak tahu harus menguburkan bayinya di mana. Ia harus mengucapkan terima kasih pada Bu Sinta, kosbasnya yang sangat baik hati. Miranti dapat memakamkan bayinya dengan layak berkat Bu Sinta.

Sekarang ia harus menerima kenyataan suaminya tak mau lagi hidup bersamanya. Rino lebih memilih bersama wanita lain daripada memperbaiki rumah tangga mereka.

”Kuat, Mir. Kamu harus kuat,” bisiknya pada diri sendiri. Memberikan afirmasi positif untuk dirinya sendiri meski tidak mudah.

Miranti terenyak saat ponselnya berbunyi. Ia mengira ada pesan dari Rino. Dengan malas Miranti meraih ponselnya dan membaca pesan yang baru saja masuk.

Ternyata tidak seperti yang ia duga, notifikasi pesan kali ini isinya sama dengan puluhan pesan dan panggilan tak terjawab yang masuk beberapa minggu terakhir. Miranti menggigit bibir. Tangannya bergetar hebat saat membuka salah satu pesan.

”Segera lunasi hutang Anda sebesar Rp 12.750.000 dalam 24 jam atau kami akan mengambil tindakan lebih lanjut.”

Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Bagaimana bisa Rino melakukan ini padanya? Bagaimana bisa pria yang dulu berjanji akan menjaganya sepanjang hidup justru pergi dan meninggalkan mala petaka seperti ini?

Ketukan di pintu membuat Miranti terlonjak. Dengan cepat ia menghapus air matanya.

”Miranti? Kamu sudah pulang?” Suara Bu Tuti, tetangga kontrakan, terdengar dari balik pintu.

Miranti menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu, ”Iya, Bu. Baru saja.”

Bu Tuti, wanita paruh baya dengan rambut pendek yang mulai memutih, menatapnya dengan campuran simpati dan kekhawatiran, ”Kamu sakit? Wajahmu kelihatan pucat.”

Tenggorokan Miranti tercekat. Firasatnya mengatakan ada hal yang buruk karena Bu Tuti jarang beramah tamah dengan tetangganya.

”Saya... baik-baik saja, Bu,” jawab Miranti singkat.

”Ibu mengerti keadanmu,” ujar Bu Tuti lembut, ”Tapi Miranti... ada masalah lain yang harus kita bicarakan.”

Miranti mengangguk lemah, ”Soal orang-orang yang datang mencari saya?”

”Mereka menelepon dan mengirim pesan hampir setiap hari. Bahkan kemarin ada yang menyanggong di depan berjam-jam. Mengganggu penghuni kos dan kontrakan lainnya. Miranti, ibu tidak ingin ikut campur urusan pribadimu, tapi... ini sudah sangat mengganggu.”

Dada Miranti terasa sesak, ”Maaf, Bu. Saya... saya janji akan menyelesaikan secepatnya.”

”Ibu harap begitu. Kasihan penghuni lain jadi kena imbasnya. Bahkan Pak Karno di rumah sebelah juga diteror lewat telepon. Kasihan dia sampai darah tingginya kumat.”

”Saya benar-benar minta maaf, Bu.” Miranti menunduk, malu dan putus asa bercampur jadi satu.

”Jangan biarkan masalah utang piutang ini berlarut-larut, ya! Kami jadi nggak nyaman,” ucap Bu Tuti memberi peringatan pada Miranti.

Setelah Bu Tuti pergi, Miranti menutup pintu dan merosot ke lantai. Air matanya jatuh tak terbendung. Bagaimana ia bisa menyelesaikan masalah ini?

Hutang Rino di salah satu aplikasi pinjol hampir 13 juta, belum lagi hutang yang ada di bank dan pinjol lainnya. Dan sialnya, Rino memakai nama Miranti untuk meminjam karena nama Rino sudah termasuk blacklist BI.

Ponselnya berdering nyaring. Nomor tak dikenal. Dengan tangan gemetar, Miranti mengangkatnya dan bersuara lirih.

”Halo!”

”Selamat siang, saya berbicara dengan Ibu Miranti?” suara di seberang terdengar profesional namun kasar.

”I-iya, benar.”

”Saya Budi dari Cepat Dana. Kami sudah mencoba menghubungi Ibu berkali-kali tapi tidak ada respons. Ibu memiliki tunggakan sebesar Rp 8.750.000 yang sudah jatuh tempo tiga minggu lalu.”

Napas Miranti tercekat, ”Maaf, saya baru saja terkena musibah. Saya mohon tempo lagi supaya saya bisa membayar tunggakan.”

”Ibu sudah kami beri waktu tiga minggu. Tapi, Ibu tampaknya tidak punya itikad baik untuk melunasinya. Jika tidak segera dilunasi, kami akan mengambil langkah hukum lebih lanjut.”

”Tapi saya benar-benar tidak—"

”Kami sudah sangat sabar, Bu. Dua hari lagi tim lapangan kami akan datang untuk penagihan langsung. Selamat siang.”

Telepon ditutup sebelum Miranti sempat berkata-kata. Ia melempar ponselnya ke atas kasur dan menutupi wajahnya yang basah oleh air mata.

”Kenapa, Rino? Kenapa kamu tega melakukan ini?” isaknya.

Miranti mencoba menenangkan diri. Ia berjalan ke kamar mandi kecil di sudut kamarnya dan membasuh wajah. Bayangan di cermin membuatnya tercekat—begitu pucat dan kurus, dengan lingkaran hitam menghiasi matanya yang sembab.

”Bertahanlah. Kau harus bertahan, Mir,,” bisiknya pada diri sendiri.

Suara ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Berbeda dengan ketukan lembut Bu Tuti tadi, ketukan ini penuh intimidasi.

”Permisi! Apa benar ini rumah Ibu Miranti?” suara seorang pria terdengar lantang.

Jantung Miranti berdegup kencang. Ia berjinjit mengintip dari lubang kecil dari celah jendela kamar. Dua pria berjaket kulit dan berwajah menyeramkan berdiri di depan kontrakannya.

”Ibu Miranti? Kami dari Tunai Express. Kami perlu bicara soal tunggakan atas nama Ibu Miranti Anandari!”

Miranti mundur perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Tangannya gemetar hebat.

”Bu, kami tahu Ibu ada di dalam! Tetangga bilang Ibu ada di rumah!”

Suara gedoran pintu semakin keras. Miranti takut kalau kedua orang bertampang seram itu akan mendobrak pintunya dan memaksa masuk.

Miranti menutup mulutnya, menahan isakan. Ia tidak siap menghadapi ini sekarang. Tidak setelah semua yang terjadi.

”Baik, jika Ibu tidak mau menemui kami sekarang, kami akan kembali besok dengan surat peringatan resmi! Tunggakan Ibu sudah mencapai Rp 5.200.000 dengan denda keterlambatan!”

Miranti mendengar langkah kaki menjauh. Ia merosot ke lantai, tubuhnya gemetar. Ini baru seminggu sejak ia kembali dari rumah sakit, dan sudah ada tagihan dengan jumlah berbeda yang datang padanya.

Ponselnya kembali berdering. Dengan tangan gemetar, ia melihat layarnya. Nomor tidak dikenal lagi. Kali ini Miranti mengabaikannya, tapi kemudian ada sebuah pesan masuk.

”Selamat siang, Bu Miranti. Saya Agus dari Cepat Tunai. Jika Ibu tidak dapat dihubungi dalam 24 jam ke depan, kami terpaksa menyebarkan informasi tunggakan ini ke semua kontak di ponsel Ibu termasuk keluarga, tetangga, dan rekan kerja. Total tunggakan Rp 4.850.000.”

”Tidak,” bisik Miranti ngeri. ”Tidak, tidak, tidak!”

Ia melempar ponselnya lagi ke tempat tidur dan meringkuk di lantai. Bagaimana mungkin ia menghadapi semua ini sendirian? Sementara lukanya karena kehilangan bayi belum sembuh, kini ia harus menghadapi teror hutang yang bahkan semua bukan tanggung jawabnya.

Rino yang memilih pergi dengan wanita lain juga tidak bisa diharapkan. Miranti juga tak punya pekerjaan layak untuk membayar semua utang-utang itu.

Kepala Miranti rasanya mau meledak. Ia sudah tidak kuat lagi. Ia sudah lelah. Miranti merasa sudah sangat lelah.

Dengan tangan gemetar, ia membuka laci nakas di samping tempat tidurnya. Di sana, tersimpan berbagai obat yang diberikan dokter setelah ia melahirkan. Dengan kasar dibukanya pembungkus obat-obatan itu.

Pil dan kapsul berbagai bentuk dan warna tergenggam di telapak tangannya. Entah mengapa Miranti merasakan obat-obatan itu sebagai jalan keluar. Ia mengambil botol minum dan menjejalkan obat itu ke dalam mulutnya.

”Tidur,” bisiknya sambil menggenggam botol itu. ”Mungkin ini yang kubutuhkan. Tidur yang sangat panjang.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   4. Nyawa yang Berharga

    Miranti mengeluh pelan. Kepalanya terasa berat. Miranti mendengar berbagai suara, tapi tidak bisa mencerna kata-katanya.Miranti mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa berat. Tubuhnya ringan seperti mengambang di antara sadar dan tidak, seperti terapung di permukaan air yang perlahan menariknya ke bawah.Apa aku sudah mati? Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?Pertanyaan itu melintas dalam benaknya yang berkabut. Bukankah seharusnya semuanya sudah berakhir?”...Tidak mungkin... apa yang dipikirkannya...”Suara-suara di sekitarnya semakin jelas. Miranti melenguh pelan. Lengan kirinya berdenyut-denyut nyeri. Ia berusaha menggerakkan jari-jarinya, merasakan sensasi aneh di punggung tangannya.Dengan usaha yang luar biasa, Miranti akhirnya membuka mata. Pandangannya kabur, hanya menangkap bayangan-bayangan dan sinar lampu yang terlalu terang. Ia mengangkat tangannya yang terasa berat.Selang infus. Kalau begitu, ia masih hidup?”Sudah sadar rupanya?”Suara itu—tajam dan gemeta

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-21
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   5. Tawaran Ibu Susu

    Miranti kembali mengecek pesan whatsapp di HP-nya. Meyakinkan sekali lagi kalau ia sudah berada di alamat yang benar.Sekeluar dari rumah sakit, Bu Sinta mengenalkannya kepada Bu Kanti, seorang agensi penyalur wet nurse eksklusif bagi keluarga kaya.Miranti sangat bersyukur karena ASI-nya yang melimpah bisa memberikan jalan keluar untuk masalah finansial yang kini tengah membelitnya. Asalkan tidak menjual dirinya, Miranti rela melakukan apa saja yang menghasilkan uang.Mianti menekan tombol intercom yang terdapat di gerbang rumah mewah berlantai dua itu. Menurut Bu Kanti, Miranti harus menemui seorang bernama Maharini, yang tinggal di rumah mewah ini.”Ya, mencari siapa?” tanya seseorang melalui intercom.”Saya Miranti, saya ada janji dengan Ibu Maharini,” jawab Miranti.Tak menunggu berapa lama, gerbang rumah mewah itu pun terbuka. Seorang laki-laki mengenakan seragam satpam membukakan pintu untuknya.”Bu Rini sudah menunggu di dalam,” ujar singkat satpam itu pada Miranti.Miranti me

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-21
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   6. Pertemuan Tak Terduga

    Adrian menegetuk-ngetukkan jari di atas meja kerjanya. Pertemuan yang sangat tidak ia duga. Setelah lima tahun, ia bertemu kembali dengan Miranti. Meskipun sudah lima tahun berlalu, tapi Adrian tak akan pernah melupakan wajah ayu itu.Adrian memang tidak salah mengenali. Perempuan yang hampir ditabraknya di lorong rumah sakit waktu itu memang Miranti. Dan sekarang ia kembali dipertemukan dengan Miranti yang bekerja sebagai wet nurse bagi anaknya.Pintu ruang kerjanya terbuka dan sosok Miranti masuk ke dalam ruang kerja yang terletak di seberang kamar Bianca. Adrian memandangi Miranti yang terlihat kurus.Garis wajahnya masih sama seperti yang ia ingat, namun ada sesuatu yang berbeda. Miranti yang lima tahun lalu terlihat ceria, sekarang tampak murung dan sayu.”Silakan duduk!” kata Adrian, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan.Miranti mengangguk pelan sambil duduk di hadapan Adrian. Tangannya saling meremas di pangku

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-30
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   7. Sentuhan Lembut

    Suara Bianca yang menangis keras terdengar jelas dari dalam ruang kerja Adrian. Membuat laki-laki tiga puluh tahun itu melesat secepat kilat menuju kamar Bianca.Miranti mengikut di belakangnya. Tak ada orang di dalam kamar Bianca saat mereka berdua tiba di kamar itu. Mungkin Maharini sedang ke lantai bawah. Jadi, tidak mendengar saat bayi itu menangis.”Ya Tuhan, Bianca, ada apa, Sayang?” Adrian berusaha menenangkan putrinya.Adrian membuka kelambu yang menutup ranjang bayinya. Ia ingin menggendong untuk menenangkan Bianca, tapi tanganya terlihat kaku. Ia tak tahu bagaimana harus mengangkat bayinya dari dalam box.”Biar aku saja,” ujar Miranti mengambil alih.Miranti mengangkat tubuh mungil yang wajahnya merah padam itu ke dalam pelukannya. Tangisan Bianca tidak mereda, malah semakin keras. Diayunnya bayi mungil supaya sedikit tenang.”Sepertinya dia lapar, Pak,” ujar Miranti, ”susunya di mana?&rdqu

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-01
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   8. Kos Baru

    Siang itu Miranti berjalan menyusuri trotoar, lalu membelok ke gang sempit yang dimaksud dalam petunjuk alamat di ponselnya.Kemarin Miranti sudah bersepakat dengan Adrian. Miranti akan tetap menjadi wet nurse bagi Bianca, tetapi dengan syarat ia tidak tinggal di rumah majikannya.Syarat yang nyaris mustahil untuk wet nurse pada umumnya, tapi Miranti bersikeras bahwa itu yang terbaik untuk mereka saat ini. Dan kini, ia harus segera menemukan tempat tinggal baru.Gang yang dilewati Miranti cukup lebar, dengan tembok tinggi di salah satu sisinya. Rumah dengan berbagai bentuk dan ukuran berjajar di sisi kiri jalan. Namun, berbagai aroma bercampur aduk. Goreng-gorengan, air cucian, dan sampah yang belum diangkut.Miranti memeriksa kembali alamat yang tertera di ponselnya sambil berjalan perlahan. Jarak dari rumah Adrian memang tidak jauh, kurang dari 500 meter. Dengan berjalan kaki pun tak akan memakan waktu lebih dari sepuluh menit.”Ini dia,&rd

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-02
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   9. Bapak Kos yang Genit

    Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-03
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   10. Bianca yang Rewel

    Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-04
  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   9. Bapak Kos yang Genit

    Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-05

Bab terbaru

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   13. Bonding

    Seperti biasa, Miranti sampai di rumah Adrian pagi-pagi sekali. Matahari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur ketika Miranti memasuki halaman rumah mewah itu. Saat membuka pintu depan, aroma kopi yang menguar dari ruang makan menyambutnya—pertanda Adrian sudah bangun dan siap untuk sarapan.”Selamat pagi,” sapa Adrian dari balik meja makan. ”Ayo, sarapan dulu sebelum naik ke kamar Bianca.”Meski sudah bekerja selama dua bulan di rumah ini, Miranti masih merasa sungkan saat diajak sarapan bersama. Namun, Adrian selalu memaksanya duduk satu meja, sebuah ritual pagi yang tak bisa ditolak.”Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Adrian sambil menyesap kopi.”Baik,” jawab Miranti singkat, tangannya meraih sepotong roti. ”Bianca bagaimana? Apa dia rewel lagi tadi malam?””Tidak seperti biasa. Dia tidur nyenyak sampai pagi,” Adrian tersenyum. ”Mungkin karena kehadiranmu membuat Bianca nyaman.”Miranti mengangguk pelan, menyuapkan roti ke mulutnya. Akhir-akhir ini Miranti memang pulang lebih laru

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   12. Gosip

    Gosip di kos menyebar lebih cepat dari api yang membakar jerami kering. Dimulai dari bisik-bisik di kamar, kemudian dapur umum, lalu merambat ke ruang mencuci, hingga akhirnya menjadi topik pembicaraan utama di teras depan saat penghuni kos berkumpul. Topiknya tak lain adalah Miranti, penghuni baru yang ketahuan mengendap-endap pergi tengah malam.”Aku sudah perhatikan selama ini. Dia selalu pergi pagi-pagi sekali, baru pulang menjelang malam. Kapan hari aku bahkan memergokinya keluar tengah malam dan kata Lisna yang tinggal di sebelahnya, ia belum pulang sampai pagi. Kalau menurut kalian aneh nggak?," ujar Pipit sembari menyeruput es teh manisnya.Pipit, wanita berusia tiga puluh tahunan dengan rambut bergelombang sebahu, merupakan penghuni kos terlama. Statusnya sebagai 'senior' membuatnya merasa berhak mengatur dan ikut campur kehidupan penghuni lain. Matanya yang tajam tak pernah luput mengamati setiap detail kehidupan para tetangganya.”Memangnya kenapa kalau dia keluar malam? Mun

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   11. Panggilan Tengah Malam

    Miranti tersentak kaget dari tidurnya. Ponselnya berdering nyaring, memecah lelap yang baru saja ia nikmati setelah hari yang melelahkan. Dengan mata setengah terpejam, ia meraba-raba nakas di samping tempat tidurnya.”Halo?” jawabnya dengan suara serak.”Kamu sudah tidur,” suara Adrian terdengar panik di seberang telepon.Miranti mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia melirik jam digital di ponselnya—sudah lewat pukul 11 malam.”Ada apa?” tanyanya, kini mulai terjaga sepenuhnya.”ASI yang kautinggalkan sudah habis,” jawab Adrian cemas.”Cepat sekali habisnya. Tadi sore aku meninggalkan cukup banyak di kulkas,” ujar Miranti heran.”Asti bilang malam ini Bianca minum lebih banyak dari biasanya. Sekarang dia rewel lagi, sepertinya masih lapar. Kamu bisa ke sini secepatnya?” tanya Adrian yang lebih mirip perintah.Miranti menghela napas. Sebelum pulang tadi sore, ia sudah memerah ASI-nya cukup banyak—setidaknya untuk tiga atau empat kali minum. Tidak biasanya habis sece

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   10. Bianca yang Rewel

    Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   9. Bapak Kos yang Genit

    Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   10. Bianca yang Rewel

    Pukul enam pagi, Miranti sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Adrian. Ia menekan bel interkom. Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi sebagai ibu susu untuk Bianca.”Siapa?” terdengar suara lelaki dari interkom.”Saya Miranti, pengasuh Bianca,” jawabnya.Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Miranti melangkah masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Bianca. Di sana melihat Asti, pengasuh Bianca, yang menatapnya dengan wajah lelah. Kantung hitam terlihat jelas di bawah matanya.”Pagi sekali, Mbak,” sapa Asti.”Selamat pagi, Asti. Pak Adrian meminta saya datang pagi,” balas Miranti.”Pak Adrian baru saja berangkat. Ada meeting pagi katanya,” balas Asti yang menggendong Bianca.Asti mengayun Bianca yang terlihat rewel. Bayi mungil itu menangis dengan suara lemah, wajahnya memerah.”Bagaimana tadi malam?” tanya Miranti, mendekati Asti yang sedan

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   9. Bapak Kos yang Genit

    Miranti membuang napas berat. Jantungnya berdegup kencang, ia belum siap menghadapi siapa pun saat ini, apalagi jika itu adalah bapak kosnya. Tapi orang yang sangat ia hindari pagi-pagi begini sudah berdiri di dekat tangga.”Miranti? Kau sudah datang?” terdengar suara Darto yang terdengar tidak merdu di telinga Miranti.Mau tak mau Miranti melangkah sambil menyeret kopernya. Kardusnya ia tinggal di ujung lorong.”Wah, ternyata sudah sampai ya. Cepat sekali,” ujar Darto, matanya menelusuri sosok Miranti dari atas ke bawah. ”Tidak bilang-bilang dulu kalau mau datang pagi-pagi begini.”’Dan kau malah sudah stand by di sini pagi-pagi sekali’ gerutu Miranti dalam hati.Darto melangkah mendekati Miranti. Diambilnya koper dari tangan Miranti bermaksud membawakannya ke atas.”Biar kubantu. Koper ini pasti berat untuk wanita secantik kamu,” kata Darto sambil mengangkat koper dan meletakkanny

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   8. Kos Baru

    Siang itu Miranti berjalan menyusuri trotoar, lalu membelok ke gang sempit yang dimaksud dalam petunjuk alamat di ponselnya.Kemarin Miranti sudah bersepakat dengan Adrian. Miranti akan tetap menjadi wet nurse bagi Bianca, tetapi dengan syarat ia tidak tinggal di rumah majikannya.Syarat yang nyaris mustahil untuk wet nurse pada umumnya, tapi Miranti bersikeras bahwa itu yang terbaik untuk mereka saat ini. Dan kini, ia harus segera menemukan tempat tinggal baru.Gang yang dilewati Miranti cukup lebar, dengan tembok tinggi di salah satu sisinya. Rumah dengan berbagai bentuk dan ukuran berjajar di sisi kiri jalan. Namun, berbagai aroma bercampur aduk. Goreng-gorengan, air cucian, dan sampah yang belum diangkut.Miranti memeriksa kembali alamat yang tertera di ponselnya sambil berjalan perlahan. Jarak dari rumah Adrian memang tidak jauh, kurang dari 500 meter. Dengan berjalan kaki pun tak akan memakan waktu lebih dari sepuluh menit.”Ini dia,&rd

  • CINTA TERLARANG SANG IBU SUSU   7. Sentuhan Lembut

    Suara Bianca yang menangis keras terdengar jelas dari dalam ruang kerja Adrian. Membuat laki-laki tiga puluh tahun itu melesat secepat kilat menuju kamar Bianca.Miranti mengikut di belakangnya. Tak ada orang di dalam kamar Bianca saat mereka berdua tiba di kamar itu. Mungkin Maharini sedang ke lantai bawah. Jadi, tidak mendengar saat bayi itu menangis.”Ya Tuhan, Bianca, ada apa, Sayang?” Adrian berusaha menenangkan putrinya.Adrian membuka kelambu yang menutup ranjang bayinya. Ia ingin menggendong untuk menenangkan Bianca, tapi tanganya terlihat kaku. Ia tak tahu bagaimana harus mengangkat bayinya dari dalam box.”Biar aku saja,” ujar Miranti mengambil alih.Miranti mengangkat tubuh mungil yang wajahnya merah padam itu ke dalam pelukannya. Tangisan Bianca tidak mereda, malah semakin keras. Diayunnya bayi mungil supaya sedikit tenang.”Sepertinya dia lapar, Pak,” ujar Miranti, ”susunya di mana?&rdqu

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status