Suara dering ponsel membuat Adrian berhenti melanjutkan kalimatnya. Miranti menatap layar yang berkilau dengan nama yang membuatnya bergidikâRino. Tangannya bergetar saat mengambil ponsel, wajahnya memucat seketika."Angkat saja," kata Adrian dari sofa seberang, menurunkan laptopnya. "Kenapa didiamkan?"Ponsel itu berhenti berdering, tapi tak lama kemudian bunyi itu kembali mengisi ruangan. Nama yang sama. Rino. Miranti menelan ludah, jari-jarinya mencengkeram ponsel hingga buku-buku jarinya memutih."Siapa yang menelepon?" Adrian bangkit dari sofa, langkahnya mendekati Miranti yang masih terdiam. "Kamu terlihat pucat.""Ah, ini..." Miranti mengelak, menjauhkan ponsel dari pandangan Adrian. "Teman lama. Dia mau pinjam uang."Adrian mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang tidak benar dari nada bicara Miranti. Gadis itu biasanya bicara tenang, tapi kali ini suaranya terdengar gemetar."Teman lama?" Adrian melangkah lebih dekat. "Kenapa tidak diangkat kalau hanya mau pinjam uang?""Aku... aku
Miranti menatap layar ponselnya dengan wajah pucat. Pesan masuk lagi. Selalu seperti ini setiap hari.Tangannya bergetar saat membaca deretan kata-kata kotor yang dikirim Rino. Pesan-pesan menjijikkan yang membuatnya ingin muntah setiap kali membacanya."Aku tahu kamu di mana, cantik. Jangan kira bisa sembunyi terus..."Miranti segera menghapus pesan itu, seperti yang selalu dilakukannya. Tapi jejak kecemasan tetap tertinggal di dadanya. Miranti sudah mengabaikan pesan maupaun panggilan telepon dari Rino, namun lelaki itu tak pernah berhenti mengganggunya. Malah semakin parah.Ia melirik Adrian yang sedang fokus pada laptopnya di ruang tengah. Pria itu telah memberikannya kesempatan kerja sebagai pengasuh Bianca. Berkat Adrian, Miranti bisa hidup nyaman dan mendapatkan gaji yang cukup besar.Adrian terlalu baik padanya. Di saat keluarganya yang lain mencercanya, tapi Adrian tetap melindunginya. Kebaikan hati Adrian itulah yang membuat Miranti merasa bersalah karena tidak jujur tentan
Adrian mengendarai mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk. Makan siang bersama Keysha tadi seharusnya menyenangkan, tapi justru membuatnya gelisah.Kata-kata Keysha terus bergema di benaknyaâtentang orang asing yang menyatroni rumahnya. Tapi, mengapa Miranti tidak pernah menceritakan hal ini padahal selama Adrian di Bali mereka kerap berkomunikasi via telepon?Selama seminggu di Bali untuk urusan bisnis, Adrian rutin menelepon rumah setiap hari. Setiap kali dia bertanya tentang keadaan rumah, Miranti selalu menjawab dengan nada tenang bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang aneh, tidak ada masalah. Tapi sekarang Adrian tahu bahwa itu semua bohong.Mobil Adrian memasuki halaman rumahnya. Dia mematikan mesin dan duduk sejenak, mencoba menenangkan diri. Emosinya belum stabil, tapi dia harus bisa mengendalikannya. Dia perlu bicara dengan Miranti dan mencari tahu yang sebenarnya.Adrian masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar Bianca di lantai atas. Kamar itu menjadi tempat Mi
Keysha merapikan rambutnya di depan cermin mobil sebelum turun. Restoran yang dipilihnya sudah ramai pengunjung siang itu. Pilihan tempat ini bukan kebetulanâia sudah mengatur semuanya dengan teliti.Keysha melangkah masuk dan menuju meja yang sudah dipesannya. Ia melirik ke meja disampingnya dan senyum tipis terulas pada seseorang yang duduk di meja itu.Tak seberapa lama senyum Keysha semakin merekah saat orang yang ditunggunya untuk makan siang bersama sudah datang."Adrian, terima kasih sudah mau makan siang denganku," kata Keysha sambil tersenyum manis ketika Adrian sampai di mejanya."Tidak masalah. Lagipula ini memang sudah waktunya makan siang," balas Adrian sambil duduk di deepan Keysha.Bukan tanpa rencana Keysha mengatur pertemuan siang itu. Keysha dengan sengaja memilih meja di tengah restoran, tepat di sebelah meja yang sudah diduduki oleh Rino dan seorang temannya. Adrian tidak menyadari kehadiran Rino karena posisi duduk mereka yang saling membelakangi."Bagaimana perj
Bunyi notifikasi ponsel kembali berbunyi untuk kesekian kalinya pagi itu. Miranti melirik layar dengan malas, sudah tahu siapa yang mengirim pesan tanpa perlu membukanya. Nama Rino tertera jelas di layar, seperti hantu yang tak pernah pergi."Lagi?" gumamnya sambil mengayun Bianca yang mulai rewel di pangkuannya.Bayi berumur enam bulan itu adalah alasan mengapa Miranti masih bertahan di rumah iniâmenjadi pengasuh untuk putri majikannya, Adrian.Ponsel itu bergetar lagi. Dan lagi. Miranti menekan tombol volume hingga suara notifikasi tak terdengar lagi meskipun getaran ponsel itu masih terasa. Seperti detak jantung yang tak pernah berhentiâmengingatkannya pada sosok yang ingin sekali ia lupakan.Sudah seminggu sejak pertemuan tak terduga itu. Seminggu sejak mata Rino menatapnya dengan tatapan aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dan sejak itu pula, hidup Miranti tak pernah tenang.Bianca menangis lebih keras. Miranti mengalihkan perhatiannya, menggendong bayi itu sambil bersenandu
Miranti menatap layar ponselnya dengan mata yang sudah lelah. Notifikasi pesan terus berdatangan dari nomor yang samaâRino.Panggilan masuk, pesan singkat, bahkan voice note yang isinya rayuan hingga ancaman. Mulai pagi hingga malam Rino terus mengganggunya, membuatnya tidak bisa tidur nyenyak.Miranti baru saja selesai memandikan dan menyuapi Bianca dengan bubur bayi. Miranti menghela napas sambil memandang Bianca yang kini sedang tertidur di box bayinya.Bayi berusia enam bulan itu terlihat begitu damai, tidak tahu betapa kacaunya hidup pengasuhnya."Lelah sekali hari ini," gumam Miranti sambil memijat pelipisnya yang berdenyut.Pikirannya melayang pada keputusan yang sudah bulat sejak tadi. Ia harus menemui Rino. Meski membenci mantan suaminya itu, ia tidak tahan lagi dengan gangguan yang terus datang. Rino harus mengerti bahwa mereka sudah berpisah dan tidak ada lagi yang bisa diperbaiki."Unti!" panggil Miranti pada pembantu rumah tangga yang sedang membereskan peralatan mandi Bi