Share

BAB 2

Auteur: Duy.Nah
last update Dernière mise à jour: 2025-03-25 04:46:43

Bab 2: "Bayangan yang Kembali Menyapa"

Keesokan paginya, Aruna tiba lebih awal di kantor. Seperti biasa, kesibukan menjadi pelariannya dari pikiran-pikiran yang tidak ingin ia hadapi. Ia membenamkan diri di balik tumpukan laporan dan proposal yang harus ia tinjau sebelum rapat siang nanti.

Namun, sekeras apa pun ia mencoba fokus, pikirannya tetap melayang pada dua nama: Dio—yang kembali tanpa peringatan, dan Rakha—pria asing yang meninggalkan jejak samar di benaknya.

"Aruna, udah sarapan belum?"

Suara ceria Nadira memecah lamunannya. Tanpa menunggu jawaban, Nadira sudah menjatuhkan dirinya di kursi di depan meja Aruna, meletakkan dua gelas kopi di atasnya.

"Kalau lo belum makan, kopi ini cukup buat nahan lapar," ujarnya sambil menyodorkan salah satu gelas.

"Thanks, Dir. Lagi-lagi nyelamatin pagi gue," jawab Aruna sambil tersenyum tipis.

Nadira menyandarkan tubuhnya, menatap Aruna dengan tatapan menyelidik. "Muka lo kusut banget. Masih gara-gara pesan dari mantan?"

Aruna menghela napas panjang. "Dia tiba-tiba muncul lagi, Dir. Setelah lima tahun nggak ada kabar, sekarang dia minta waktu buat bicara. Apa sih yang dia mau?"

"Kalau gue jadi lo, nggak usah peduli," sahut Nadira cepat. "Orang yang ninggalin lo gitu aja nggak pantas dapet kesempatan kedua."

Aruna terdiam. Di hatinya, sebagian besar setuju dengan kata-kata Nadira. Tapi ada bagian kecil yang mengusik—bagian yang masih bertanya-tanya alasan Dio pergi tanpa penjelasan.

"Atau," lanjut Nadira, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu, "lo sibuk mikirin cowok yang baru lo temuin di kafe itu?"

Aruna menegakkan punggungnya. "Apa? Enggak. Itu cuma pertemuan kebetulan."

Nadira tertawa kecil. "Tapi cukup kebetulan sampai lo masih mikirin dia sampai sekarang, kan?"

Aruna memutar gelas kopinya dengan gelisah. "Dia cuma… ramah. Dan sedikit terlalu peka untuk orang yang baru gue temui."

"Ramah atau misterius?" Nadira mengangkat alis penuh arti.

Sebelum Aruna bisa menjawab, suara notifikasi ponselnya kembali berbunyi. Kali ini bukan dari Dio—melainkan nomor yang tidak dikenal.

"Pagi, Aruna. Aku ganggu? – Rakha"

Jantung Aruna berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menatap layar ponsel beberapa detik sebelum membalas.

"Nggak. Aku lagi di kantor. Ada apa?"

Pesan balasan masuk hampir seketika.

"Nggak ada alasan khusus. Aku cuma ingin tahu, semoga kamu baik-baik saja setelah pertemuan kita kemarin."

Aruna menggigit bibir bawahnya, menahan senyum yang hampir lolos dari wajahnya. Siapa pria ini sebenarnya? Dan mengapa ia begitu peduli?

"Tuh, bener, kan?" Nadira menyenggol lengannya pelan. "Orang random nggak akan kirim pesan kalau mereka nggak tertarik."

"Dir, please," desah Aruna sambil mengunci layar ponselnya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu Nadira mungkin benar.

---

Sepulang kerja, Aruna memutuskan mampir lagi ke kafe tempat ia pertama kali bertemu Rakha. Bukan karena berharap bertemu lagi—ia hanya merasa kafe itu memberikan ketenangan yang sulit ia temukan di tempat lain.

Ia memesan cappuccino, lalu memilih meja di sudut dekat jendela. Hujan belum turun hari ini, tetapi awan kelabu sudah menggantung di langit seperti janji yang belum ditepati.

Saat ia tengah sibuk menelusuri notifikasi email di ponselnya, suara familiar menyapanya.

"Kembali ke sini lagi?"

Aruna mendongak. Di hadapannya, berdiri Rakha—masih dengan jaket abu-abunya, tapi kali ini tanpa jejak air hujan di rambutnya.

"Kelihatannya aku mulai menyukai tempat ini," jawab Aruna, mencoba terdengar santai meski dadanya berdebar.

Rakha tersenyum samar. Ia menggeser kursi di seberang Aruna tanpa meminta izin, seperti seseorang yang merasa tempat itu memang seharusnya ia tempati.

"Kamu terlihat sibuk," komentarnya sambil melirik layar ponsel Aruna.

"Kerjaanku memang nggak pernah selesai," jawab Aruna ringan.

Rakha mengangguk pelan. "Kalau gitu, aku nggak akan ganggu. Aku cuma mau bilang… aku senang kita bertemu lagi."

Kata-kata sederhana itu, entah bagaimana, berhasil membuat pertahanan di hati Aruna sedikit goyah. Ada sesuatu di balik cara bicara Rakha—tenang, tulus, tanpa terburu-buru.

"Kenapa kamu bisa sepenasaran ini sama aku, Rakha?" tanyanya tiba-tiba, lebih untuk memuaskan rasa penasarannya sendiri.

Rakha menatapnya beberapa detik sebelum menjawab, "Karena aku tahu rasanya jadi seseorang yang mencoba melupakan sesuatu… tapi nggak pernah benar-benar bisa."

Jawaban itu menghantam Aruna tepat di bagian paling rapuh hatinya. Ia ingin bertanya lebih jauh—tentang apa yang ingin Rakha lupakan, tentang masa lalu macam apa yang menghantuinya. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, ponselnya kembali bergetar di atas meja.

Dio lagi.

Dengan gemetar, Aruna menatap layar ponsel itu seakan benda itu bisa meledak kapan saja. Ia tahu ia harus membuat keputusan—membiarkan bayangan masa lalu kembali merenggutnya, atau menghadapi sesuatu yang baru di hadapannya.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia benar-benar tidak tahu harus memilih yang mana.

Aruna membiarkan panggilan itu berakhir tanpa ia jawab.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   Bab 11

    Bab 11: Saat Luka Bicara Jujur --- Empat hari kemudian, Jakarta. Langit sore menggantung kelabu di atas gedung kantor hukum Sujono & Rekan. Di dalam ruang kaca lantai lima, duduklah tiga orang: Kirana, Rakha, dan Aruna. Di hadapan mereka, seorang pria tua dengan jas abu-abu membuka map cokelat bertuliskan “Wasiat Ratna A. Putri”. “Terima kasih telah hadir,” ucap pria itu pelan. “Almarhumah Ratna menitipkan surat ini tiga bulan sebelum wafat. Ia ingin surat ini dibuka hanya jika Kirana hadir secara pribadi.” Kirana menunduk. Napasnya pelan, tapi berat. Tangannya gemetar saat map dibuka dan selembar kertas tipis ditarik keluar. Pria itu mulai membaca: > “Untuk anakku, Kirana. Jika surat ini sampai padamu, itu artinya aku sudah tidak bisa lagi memelukmu dan bilang: semuanya akan baik-baik saja. Tapi semoga lewat kata-kata ini, kamu tahu bahwa dari awal aku hanya ingin satu hal—menjagamu tetap utuh, walaupun dunia tidak pernah sepenuhnya milikmu.” Kirana menutup mulutnya. Matanya

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   Bab 10

    Bab 10: Rumah yang Terbelah Dua --- Kirana menatap foto di tangannya. Foto tua yang warnanya mulai pudar—memperlihatkan tiga orang: seorang pria muda yang ia kenali sebagai Rangga, seorang wanita paruh baya yang pasti Malia, dan seorang bayi perempuan dengan senyum kecil di pelukan Malia. Tapi yang membuat Kirana menggigil adalah tulisan di balik foto itu: > “Aku hanya membantu. Tapi dia... bukan darah Rangga.” Kirana membaca ulang tulisan itu berkali-kali, berharap kalimat itu berubah. Tapi tidak. Kalimat itu tetap sama, dan semakin lama dibaca, semakin kabur rasanya arah pencarian yang selama ini ia perjuangkan. Kalau bukan Rangga... bukan Rio... bukan Rakha... Siapa? Pertanyaan itu menghantam batinnya, mematahkan pijakan yang baru saja sempat terasa kokoh. Dalam satu malam, semuanya kembali menjadi teka-teki. --- Sementara itu, Aruna duduk di ruang tengah villa, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan terakhir dari Kirana: > “Aku butuh waktu sendiri. Jangan cari aku

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 9

    Bab 9: Istriku atau Anak Perempuanku?---“Akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggu dua puluh tahun.”Suara wanita tua itu pelan, namun tegas. Meskipun tubuhnya tampak rapuh, sorot matanya seperti menyimpan potongan-potongan rahasia yang telah lama terkubur. Kirana menatapnya tanpa bergerak, seakan namanya dipanggil oleh masa lalu.“Malia?” tanya Kirana, setengah berbisik.Wanita itu mengangguk pelan, kemudian menepuk bangku kosong di sampingnya. “Duduklah. Kamu pasti punya banyak tanya. Dan aku... punya lebih banyak hal untuk disampaikan.”Rakha dan Aruna saling pandang. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Kirana, memberi ruang, tapi tak benar-benar bisa menahan keingintahuan yang menekan dada.Kirana duduk di samping Malia. Suaranya gemetar. “Ibu saya... meninggal tanpa pernah memberitahu siapa ayah saya. Saya tahu dia menyimpan sesuatu. Tapi saya tidak tahu... bahwa saya harus datang ke sini untuk menemukannya.”Malia mengangguk perlahan. “Ibumu, Ratna, pernah datang pad

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 8

    Bab 8: Mencintai Ayah yang Tak Pernah Ada---Udara pagi di Ubud lebih dingin dari biasanya. Kabut belum sepenuhnya mengangkat diri dari pepohonan, seolah ikut menyimpan rahasia yang baru saja Kirana ketahui semalam.Ia duduk sendiri di balkon kamarnya, mengenakan hoodie abu-abu dan memeluk lututnya. Matanya sembab, belum tidur semalaman. Di tangannya, ponsel yang masih terbuka pada satu email:> “Dia bukan anak Rio. Tapi kau tak boleh memberitahunya sampai dia siap.”Kalimat dari Malia itu menghantam logikanya. Jika bukan Rakha, dan bukan Rio… lalu siapa?Selama beberapa hari terakhir, Kirana sudah mencoba menerima Rakha sebagai sosok ayah. Ia mulai belajar berdamai dengan perasaan terluka, kecewa, lalu perlahan membiarkan ruang kecil di hatinya terbuka untuk pria itu. Tapi sekarang?Ia bahkan tidak tahu siapa dirinya sebenarnya.“Siapa aku…?” bisiknya lirih.---Aruna menemukannya satu jam kemudian, masih di posisi yang sama.“Kirana?” panggilnya pelan.Kirana menoleh. Ada kelembuta

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 7

    Ketika Cinta Menemukan LukaBab 7: Saat Semua Terbuka---Kirana menyimpan kotak kecil itu dalam ranselnya. Nama “Malia” masih bergema di kepalanya. Surat dari almarhum ibunya tidak menyebut siapa Malia, hanya satu kalimat:> “Jika kau ingin tahu kebenaran sebenarnya, cari wanita bernama Malia.”Tapi sekarang bukan waktunya bicara soal itu. Belum.Pagi itu, Rakha mengajak Kirana sarapan di halaman belakang villa. Untuk pertama kalinya, mereka duduk bertiga. Aruna, Rakha, dan Kirana.Tak ada pembicaraan yang dalam, tapi keheningan itu tak lagi terasa seperti jurang.“Kalau kamu kembali ke Jakarta minggu depan,” kata Rakha sambil menuang teh, “aku akan carikan tempat tinggal yang dekat dengan studio. Supaya kita bisa mulai kenal lebih dalam.”Kirana mengangguk. “Tapi aku nggak mau ganggu kalian.”Aruna menoleh. “Kirana, kamu nggak ganggu. Kamu bukan tamu di hidup kami. Kamu bagian dari hidup kami.”Kirana menunduk, suaranya kecil. “Terima kasih… Mbak Aruna.”Aruna tersenyum. Itu pertama

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 6

    Ketika Cinta Menemukan LukaBab 6: Darah yang Sama, Luka yang Sama---Aruna menatap layar ponsel lebih dari lima menit.Kalimat itu tidak berubah.> Kecocokan genetik menunjukkan kemungkinan hubungan ayah-anak sebesar 99.84%.Angka yang terlalu pasti untuk diabaikan. Terlalu jelas untuk dibantah. Dan terlalu dalam untuk tidak mengoyak sesuatu di dalam dirinya.Rakha adalah ayah kandung Kirana.Bukan dugaan. Bukan kemungkinan.Kenyataan.Ia duduk di ujung tempat tidur, menggenggam ponselnya erat seolah bisa meremukkan kenyataan itu jika ia genggam lebih kuat.---Di ruang dapur villa, Rakha sedang menyeduh kopi. Ia terlihat tenang. Tidak tahu bahwa dunia yang ia pikir sudah mulai tenang, akan kembali bergejolak dalam hitungan menit.Aruna berdiri di ambang pintu. Hening. Lalu akhirnya bersuara.“Rakha.”Pria itu menoleh, tersenyum. “Pagi. Mau kopi?”Aruna tidak menjawab. Ia hanya mengangkat ponselnya dan menunjukkannya ke arah Rakha. Layar masih menampilkan hasil PDF dari email klinik

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status