Bab 2: "Bayangan yang Kembali Menyapa"
Keesokan paginya, Aruna tiba lebih awal di kantor. Seperti biasa, kesibukan menjadi pelariannya dari pikiran-pikiran yang tidak ingin ia hadapi. Ia membenamkan diri di balik tumpukan laporan dan proposal yang harus ia tinjau sebelum rapat siang nanti. Namun, sekeras apa pun ia mencoba fokus, pikirannya tetap melayang pada dua nama: Dio—yang kembali tanpa peringatan, dan Rakha—pria asing yang meninggalkan jejak samar di benaknya. "Aruna, udah sarapan belum?" Suara ceria Nadira memecah lamunannya. Tanpa menunggu jawaban, Nadira sudah menjatuhkan dirinya di kursi di depan meja Aruna, meletakkan dua gelas kopi di atasnya. "Kalau lo belum makan, kopi ini cukup buat nahan lapar," ujarnya sambil menyodorkan salah satu gelas. "Thanks, Dir. Lagi-lagi nyelamatin pagi gue," jawab Aruna sambil tersenyum tipis. Nadira menyandarkan tubuhnya, menatap Aruna dengan tatapan menyelidik. "Muka lo kusut banget. Masih gara-gara pesan dari mantan?" Aruna menghela napas panjang. "Dia tiba-tiba muncul lagi, Dir. Setelah lima tahun nggak ada kabar, sekarang dia minta waktu buat bicara. Apa sih yang dia mau?" "Kalau gue jadi lo, nggak usah peduli," sahut Nadira cepat. "Orang yang ninggalin lo gitu aja nggak pantas dapet kesempatan kedua." Aruna terdiam. Di hatinya, sebagian besar setuju dengan kata-kata Nadira. Tapi ada bagian kecil yang mengusik—bagian yang masih bertanya-tanya alasan Dio pergi tanpa penjelasan. "Atau," lanjut Nadira, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu, "lo sibuk mikirin cowok yang baru lo temuin di kafe itu?" Aruna menegakkan punggungnya. "Apa? Enggak. Itu cuma pertemuan kebetulan." Nadira tertawa kecil. "Tapi cukup kebetulan sampai lo masih mikirin dia sampai sekarang, kan?" Aruna memutar gelas kopinya dengan gelisah. "Dia cuma… ramah. Dan sedikit terlalu peka untuk orang yang baru gue temui." "Ramah atau misterius?" Nadira mengangkat alis penuh arti. Sebelum Aruna bisa menjawab, suara notifikasi ponselnya kembali berbunyi. Kali ini bukan dari Dio—melainkan nomor yang tidak dikenal. "Pagi, Aruna. Aku ganggu? – Rakha" Jantung Aruna berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menatap layar ponsel beberapa detik sebelum membalas. "Nggak. Aku lagi di kantor. Ada apa?" Pesan balasan masuk hampir seketika. "Nggak ada alasan khusus. Aku cuma ingin tahu, semoga kamu baik-baik saja setelah pertemuan kita kemarin." Aruna menggigit bibir bawahnya, menahan senyum yang hampir lolos dari wajahnya. Siapa pria ini sebenarnya? Dan mengapa ia begitu peduli? "Tuh, bener, kan?" Nadira menyenggol lengannya pelan. "Orang random nggak akan kirim pesan kalau mereka nggak tertarik." "Dir, please," desah Aruna sambil mengunci layar ponselnya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu Nadira mungkin benar. --- Sepulang kerja, Aruna memutuskan mampir lagi ke kafe tempat ia pertama kali bertemu Rakha. Bukan karena berharap bertemu lagi—ia hanya merasa kafe itu memberikan ketenangan yang sulit ia temukan di tempat lain. Ia memesan cappuccino, lalu memilih meja di sudut dekat jendela. Hujan belum turun hari ini, tetapi awan kelabu sudah menggantung di langit seperti janji yang belum ditepati. Saat ia tengah sibuk menelusuri notifikasi email di ponselnya, suara familiar menyapanya. "Kembali ke sini lagi?" Aruna mendongak. Di hadapannya, berdiri Rakha—masih dengan jaket abu-abunya, tapi kali ini tanpa jejak air hujan di rambutnya. "Kelihatannya aku mulai menyukai tempat ini," jawab Aruna, mencoba terdengar santai meski dadanya berdebar. Rakha tersenyum samar. Ia menggeser kursi di seberang Aruna tanpa meminta izin, seperti seseorang yang merasa tempat itu memang seharusnya ia tempati. "Kamu terlihat sibuk," komentarnya sambil melirik layar ponsel Aruna. "Kerjaanku memang nggak pernah selesai," jawab Aruna ringan. Rakha mengangguk pelan. "Kalau gitu, aku nggak akan ganggu. Aku cuma mau bilang… aku senang kita bertemu lagi." Kata-kata sederhana itu, entah bagaimana, berhasil membuat pertahanan di hati Aruna sedikit goyah. Ada sesuatu di balik cara bicara Rakha—tenang, tulus, tanpa terburu-buru. "Kenapa kamu bisa sepenasaran ini sama aku, Rakha?" tanyanya tiba-tiba, lebih untuk memuaskan rasa penasarannya sendiri. Rakha menatapnya beberapa detik sebelum menjawab, "Karena aku tahu rasanya jadi seseorang yang mencoba melupakan sesuatu… tapi nggak pernah benar-benar bisa." Jawaban itu menghantam Aruna tepat di bagian paling rapuh hatinya. Ia ingin bertanya lebih jauh—tentang apa yang ingin Rakha lupakan, tentang masa lalu macam apa yang menghantuinya. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, ponselnya kembali bergetar di atas meja. Dio lagi. Dengan gemetar, Aruna menatap layar ponsel itu seakan benda itu bisa meledak kapan saja. Ia tahu ia harus membuat keputusan—membiarkan bayangan masa lalu kembali merenggutnya, atau menghadapi sesuatu yang baru di hadapannya. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia benar-benar tidak tahu harus memilih yang mana. Aruna membiarkan panggilan itu berakhir tanpa ia jawab.Bab 12: Akhir yang Baru DimulaiEnam bulan setelah lamaran itu, pagi di Jakarta terasa lebih cerah dari biasanya. Matahari menyapu jendela apartemen Rakha, menyoroti kesibukan di dalamnya.Di ruang tamu, Aruna duduk di lantai dengan gaun putih sederhana, menata buket bunga yang akan ia bawa ke altar. Hatinya berdebar lembut, campuran antara kebahagiaan dan harapan. Hari ini, ia akan menjadi istri Rakha—pria yang mengajarkannya arti mencintai tanpa syarat."Kamu kelihatan cantik banget," suara Rakha terdengar dari belakang, lembut dan penuh kekaguman.Aruna menoleh, menemukan Rakha berdiri di ambang pintu dengan kemeja putih yang digulung hingga siku. Ia tampak santai, tapi matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam—kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikannya."Dan kamu tampak… cemas," goda Aruna, tersenyum lembut.Rakha berjalan mendekat, duduk di sampingnya. "Aku nggak pernah membayangkan aku bisa sampai di titik ini," ucapnya jujur. "Setelah semua yang terjadi… aku takut aku ngga
Bab 11: Saat Hati Kembali MemilihSudah seminggu sejak Rakha menerima email anonim itu. Dengan kebenaran yang akhirnya terungkap, beban di hatinya mulai terasa ringan. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia bisa bernapas lega—dan itu semua karena Aruna.Ia tahu, kini saatnya berhenti membiarkan masa lalu membayangi langkahnya. Ia telah memilih untuk melanjutkan hidup, dan di dalam hatinya, hanya ada satu orang yang ingin ia ajak berjalan bersamanya.Aruna.Sore itu, Aruna baru saja selesai rapat di kantor ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Rakha."Punya waktu malam ini? Aku ingin menunjukkan sesuatu yang spesial."Senyum kecil terbit di wajahnya. Tanpa ragu, ia membalas."Tentu. Aku akan menunggumu."Hatinya berdebar pelan. Ada sesuatu di nada pesan Rakha yang terasa berbeda—lebih serius, tapi juga penuh kehangatan yang membuatnya merasa… dicintai.Malam itu, Aruna berdiri di depan kafe tempat mereka pertama kali bertemu, tepat di bawah rintik hujan tipis yang membasahi
Bab 10: Luka yang Sembuh BersamaRakha menatap foto di tangannya, pikirannya berputar liar. Gambar Aulia yang tersenyum di depan rumah mereka dulu terasa seperti bayangan dari kehidupan yang sudah lama ia tinggalkan—tetapi catatan di balik foto itu menghantui pikirannya."Rahasia ini bukan hanya milikmu. Ada lebih banyak hal yang belum kau ketahui."Siapa yang mengirim foto ini? Apa yang mereka inginkan? Dan mengapa mereka terus membangkitkan luka yang berusaha ia sembuhkan?Aruna menemukan Rakha masih duduk di meja kerjanya ketika ia datang ke studio malam itu. Pria itu tampak lelah, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak bisa ia abaikan—kebingungan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu."Kamu baik-baik saja?" tanya Aruna pelan, suaranya penuh perhatian.Rakha mengangkat foto itu tanpa berkata-kata, membiarkan Aruna membacanya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang. "Aku pikir semuanya sudah berakhir. Tapi seseorang jelas ingin aku tahu… ada yang belum selesai."Aruna
Bab 9: Kebenaran yang TerlukaMalam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Aruna duduk di sofa apartemen Rakha, memperhatikan pria itu yang tampak tenggelam dalam pikirannya. Ia bisa merasakan beban yang semakin berat di pundak Rakha, terutama setelah panggilan misterius itu datang lagi siang tadi."Kita harus tahu siapa yang menghubungimu," ucap Aruna lembut, memecah keheningan.Rakha menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa seperti bom waktu. "Aku sudah mencoba mencari tahu. Tapi mereka tidak pernah meninggalkan jejak yang jelas.""Kalau kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, rasa bersalah itu akan terus menghantuimu, Rakha," lanjut Aruna. "Aku di sini. Kita cari tahu bersama."Kata-katanya terasa menenangkan di tengah kekacauan yang dirasakan Rakha. Ia mengangguk perlahan. "Aku nggak bisa melakukannya sendiri," bisiknya.Aruna menggenggam tangannya erat. "Kamu nggak sendiri. Kita mulai dari awal."---Esok paginya, mereka memutuskan mengunjungi rumah sa
Bab 8: Mengejar yang PergiSudah dua hari sejak panggilan misterius itu, dan sejak saat itu… Rakha berubah.Ia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Setiap kali mereka bertemu, Aruna merasakan ada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka—sesuatu yang dingin dan menakutkan.Malam itu, di kafe tempat semuanya bermula, Aruna duduk di seberang Rakha. Biasanya, di tempat ini mereka berbagi tawa atau cerita ringan. Tapi kini, hanya ada kesunyian yang menggelayut di udara."Rakha," panggil Aruna lembut, mencoba memecah kebisuan. "Kamu kenapa akhir-akhir ini?"Rakha mengangkat pandangannya perlahan. Mata teduh yang biasanya menenangkan itu kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam—lebih gelap."Aku cuma… banyak pikiran," jawabnya pendek.Aruna menggenggam tangannya di atas meja. "Tentang apa? Kamu bisa cerita padaku."Rakha terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menarik napas dalam. "Ada seseorang yang menghubungiku. Mereka bilang ada hal yang belum selesai dari kecelakaan lima tahun lalu."J
Bab 7: Pilihan di Antara Dua HatiPagi itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Aruna berdiri di depan studio arsitektur Rakha, hatinya berdebar tak menentu. Pesan dari Rakha tadi malam membuatnya penasaran—apa yang begitu penting hingga Rakha ingin menunjukkan padanya secara langsung?Saat ia mendorong pintu kaca, Rakha sudah menunggunya di tengah ruangan. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, wajahnya tampak lebih tenang, tapi ada ketegangan halus di matanya."Kamu datang," ucap Rakha, suaranya lembut."Aku bilang aku akan datang," jawab Aruna dengan senyum kecil.Rakha mengangguk, lalu mengambil sebuah kotak kayu kecil dari meja kerjanya. "Aku ingin kamu lihat ini," katanya sambil menyodorkan kotak itu padanya.Dengan hati-hati, Aruna membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat sebuah liontin perak berbentuk bulan sabit yang terlihat sedikit tua, tapi masih bersinar indah di bawah cahaya pagi."Apa ini?" tanyanya, kebingungan.Rakha menatap liontin itu dengan tatapa
Bab 6: Kebenaran yang MenyakitkanMalam terasa lebih dingin dari biasanya. Aruna memandangi layar ponselnya, pesan dari Rakha masih terpampang jelas."Aku akan pergi besok. Kalau kamu ingin aku tetap di sini… beri aku alasan untuk tinggal."Kata-kata itu menggema di pikirannya. Sejak pertemuan pertama mereka di bawah hujan, Rakha tidak pernah meminta apa pun darinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, pria itu meminta jawaban—sebuah kepastian.Tapi sebelum Aruna bisa bergerak, Dio masih berdiri di hadapannya, menunggu jawaban yang sama pentingnya."Aku tahu ini sulit," ucap Dio lembut. "Tapi aku nggak bisa pura-pura lagi. Aku masih mencintaimu, Aruna. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku janji kita akan memperbaiki semuanya."Aruna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Kenapa sekarang, Dio?" suaranya terdengar nyaris patah. "Kenapa setelah lima tahun baru kamu kembali?"Dio menarik napas panjang, ekspresinya berubah serius. "Karena aku menyadari satu hal… A
Bab 5: Ketika Masa Lalu Mengetuk PintuHari-hari berlalu, tetapi hati Aruna terasa semakin sesak.Setiap pagi ia bangun dengan perasaan yang sama—terjebak di antara dua pilihan. Dio, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, kini kembali dengan janji memperbaiki segalanya. Dan Rakha, pria yang datang tanpa isyarat, menawarkan kedamaian yang tak pernah ia duga.Namun, di antara kedua pria itu, ada satu hal yang pasti: seseorang akan terluka jika ia tidak segera memutuskan.---Sore itu, setelah jam kantor, Dio kembali menunggunya di lobi. Tidak peduli seberapa sering Aruna mencoba menciptakan jarak, Dio selalu menemukan cara untuk hadir."Aku antar kamu pulang?" tawar Dio, senyum ramahnya masih sama seperti dulu.Aruna menatap pria itu dengan hati yang bimbang. Bagaimanapun, Dio pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ia mengangguk perlahan. "Baiklah."Di perjalanan, Dio berbicara tentang hal-hal kecil—tentang pekerjaannya, tentang kenangan mereka di masa lalu. Aruna mencoba fokus,
Bab 4: Celah di Hati yang TertutupTiga hari sejak pertemuan di kafe, dan Aruna masih belum menemukan jawabannya.Di tengah-tengah rapat yang membosankan, pikirannya terus melayang. Dio atau Rakha? Masa lalu yang pernah membuatnya merasa paling dicintai, atau masa kini yang perlahan menawarkan rasa aman tanpa banyak janji?Suara Nadira menyentaknya kembali ke realitas. "Aruna, lo nggak fokus banget hari ini," bisik sahabatnya saat mereka keluar ruang rapat.Aruna menghela napas, berjalan menuju mejanya. "Gue… bingung, Dir.""Masih soal Dio dan Rakha?" Nadira menebak dengan mudah.Aruna mengangguk. Ia ingin menceritakan segalanya, tapi bahkan untuk mengatur pikirannya sendiri terasa sulit."Kalau gue jadi lo, gue bakal pilih orang yang tetap ada di saat lo hancur," Nadira melanjutkan dengan nada serius yang jarang terdengar darinya. "Bukan orang yang pergi di saat lo butuh dia."Kalimat itu menghantam sesuatu di dalam hati Aruna. Rakha. Dialah yang selalu ada. Tapi… apakah perasaan itu