Bab 3: Luka yang Tak Terucap
Hujan belum juga reda sejak tadi sore. Dari balik kaca mobil, Aruna memandangi rintik yang jatuh di jendela, membentuk garis-garis tipis yang memudar di sepanjang kaca. Ada keheningan yang membebani dadanya, sesuatu yang bahkan kopi panas di genggamannya tak mampu cairkan. Ponselnya bergetar di kursi penumpang. Nama yang muncul di layar membuat napasnya sedikit tercekat. Dio. Untuk keempat kalinya hari ini. Aruna tahu ia bisa saja mengabaikannya—seperti yang sudah ia lakukan selama beberapa hari terakhir. Tapi, ada bagian dari dirinya yang ingin tahu, mengapa Dio tiba-tiba kembali setelah lima tahun menghilang tanpa jejak? Apa yang ia cari? Atau… siapa yang ia cari? Dengan ragu, ia meraih ponsel dan membalas pesan singkat yang dikirim Dio. "Kita bisa bicara. Besok, pukul tujuh malam di kafe Cendana." Ia menghela napas panjang setelah mengirim pesan itu. Keputusan itu terasa seperti membuka pintu yang sudah lama ia tutup rapat-rapat—pintu yang membawa semua rasa sakit kembali membanjir di hatinya. --- Keesokan harinya, Aruna tiba di kafe Cendana lima menit lebih awal. Tempat ini dulu menjadi saksi banyak momen penting dalam hubungan mereka—kebahagiaan, impian, hingga luka yang tak pernah benar-benar ia pahami. Dio datang tepat waktu. Sama seperti lima tahun lalu, ia masih memiliki senyum ramah yang sulit diabaikan. Tetapi ada sesuatu di matanya yang kini terasa berbeda—lebih berat, seperti seseorang yang membawa penyesalan yang terlambat disesali. "Terima kasih sudah mau bertemu denganku," ujar Dio, suaranya rendah dan tenang. Aruna mengangguk singkat. "Aku ingin tahu alasanmu kembali." Dio terdiam sejenak, seolah sedang memilih kata yang tepat. "Aku tahu aku nggak punya hak memintamu memaafkan aku. Tapi… aku ingin menjelaskan semuanya. Aku pergi bukan karena aku nggak mencintaimu, Aruna." Kata-katanya membuat jantung Aruna berdebar tidak karuan. Ia sudah menyiapkan dirinya untuk mendengar alasan klise—kesibukan, ketakutan akan komitmen, atau hal-hal yang terdengar seperti pembenaran murahan. Tapi nada di suara Dio membuatnya tidak siap untuk kenyataan yang lebih rumit. "Kalau bukan karena itu, lalu kenapa?" tanyanya pelan. Dio menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya membuka rahasia yang selama ini ia sembunyikan. "Aku pergi karena aku dihadapkan pada pilihan yang tidak adil. Keluargaku memaksaku memilih antara pernikahan kita… atau menyelamatkan perusahaan ayahku dari kebangkrutan. Aku memilih pergi karena aku pikir, aku sedang melindungimu dari hidup yang penuh kekacauan." Aruna merasakan sesuatu di dadanya mencelos. Jadi, selama ini alasan Dio meninggalkannya bukan karena ia berubah, melainkan karena ia berpikir Aruna lebih baik tanpanya. "Tapi kamu bahkan nggak memberiku pilihan," suaranya bergetar, mencerminkan luka yang kembali menganga. "Kenapa nggak percaya kalau aku bisa menghadapi semuanya bersamamu?" Dio menggenggam tangannya di atas meja, membuat Aruna tersentak kaget. "Aku bodoh, Aruna. Aku pikir aku melakukan yang terbaik waktu itu. Tapi aku sadar, aku hanya seorang pengecut yang takut membiarkanmu melihat aku di titik terlemahku." Aruna menarik tangannya perlahan, mencoba menciptakan jarak antara mereka. Ada bagian dari dirinya yang ingin memercayai Dio—bagian yang dulu begitu mencintai pria ini. Tetapi ada sesuatu yang menahannya. Seseorang. Rakha. Pikiran itu datang begitu saja. Bayangan pria yang selalu ada untuknya, yang tak pernah memaksa, tetapi hadir dengan cara yang sulit ia abaikan. Dio menatapnya penuh harap. "Aku tahu aku mungkin terlambat, tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Jika kamu memberiku kesempatan kedua, aku nggak akan menyia-nyiakannya lagi." --- Malam itu, Aruna duduk di balkon apartemennya, memandangi lampu kota yang berkelip di kejauhan. Udara malam terasa dingin, tapi pikirannya jauh lebih kacau dari sebelumnya. Saat pikirannya berkecamuk, suara notifikasi ponsel menarik perhatiannya. Sebuah pesan dari Rakha. "Masih terjaga? Aku bisa jemput kamu kalau butuh udara segar." Tanpa pikir panjang, Aruna mengetik balasan singkat. "Aku butuh bicara. Bisa ketemu di kafe biasa?" --- Rakha sudah menunggu di meja sudut ketika Aruna tiba. Tatapannya yang tenang biasanya bisa meredakan kegelisahan Aruna, tapi malam ini ada ketegangan yang sulit diabaikan. "Ada apa?" tanya Rakha, suaranya lembut namun penuh perhatian. Aruna menatapnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku bertemu Dio tadi." Ada jeda di antara mereka. Wajah Rakha tetap tenang, tapi Aruna bisa menangkap bagaimana rahangnya mengeras sedikit. "Dan?" tanyanya pelan. "Dia ingin aku kembali," bisik Aruna, hampir tidak percaya dirinya mengucapkan kata-kata itu. Rakha tidak segera menjawab. Ia hanya mengangguk perlahan, seolah sudah menduga jawaban itu. Tapi ketika ia berbicara, suaranya terdengar lebih dalam—lebih berat. "Aku nggak akan memintamu memilih, Aruna," ucapnya. "Tapi aku ingin kamu tahu… aku di sini. Dan aku nggak akan pergi kecuali kamu yang memintaku pergi." Aruna merasa dadanya sesak mendengar kejujuran di balik kata-kata Rakha. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa takut—takut membuat keputusan yang bisa melukai seseorang yang benar-benar tulus padanya. Tapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Rakha berdiri. "Aku nggak akan memaksa. Kalau kamu butuh waktu, aku bisa menunggu." Ia meninggalkan kafe dengan langkah tenang, meninggalkan Aruna sendirian dengan kebingungannya. Aruna memandangi pintu kafe yang baru saja ditinggalkan Rakha. Ada perasaan di dadanya yang berteriak keras—sesuatu yang ingin ia kejar sebelum terlambat. Tapi, apakah ia cukup berani untuk mengejarnya? ---Bab 12: Akhir yang Baru DimulaiEnam bulan setelah lamaran itu, pagi di Jakarta terasa lebih cerah dari biasanya. Matahari menyapu jendela apartemen Rakha, menyoroti kesibukan di dalamnya.Di ruang tamu, Aruna duduk di lantai dengan gaun putih sederhana, menata buket bunga yang akan ia bawa ke altar. Hatinya berdebar lembut, campuran antara kebahagiaan dan harapan. Hari ini, ia akan menjadi istri Rakha—pria yang mengajarkannya arti mencintai tanpa syarat."Kamu kelihatan cantik banget," suara Rakha terdengar dari belakang, lembut dan penuh kekaguman.Aruna menoleh, menemukan Rakha berdiri di ambang pintu dengan kemeja putih yang digulung hingga siku. Ia tampak santai, tapi matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam—kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikannya."Dan kamu tampak… cemas," goda Aruna, tersenyum lembut.Rakha berjalan mendekat, duduk di sampingnya. "Aku nggak pernah membayangkan aku bisa sampai di titik ini," ucapnya jujur. "Setelah semua yang terjadi… aku takut aku ngga
Bab 11: Saat Hati Kembali MemilihSudah seminggu sejak Rakha menerima email anonim itu. Dengan kebenaran yang akhirnya terungkap, beban di hatinya mulai terasa ringan. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia bisa bernapas lega—dan itu semua karena Aruna.Ia tahu, kini saatnya berhenti membiarkan masa lalu membayangi langkahnya. Ia telah memilih untuk melanjutkan hidup, dan di dalam hatinya, hanya ada satu orang yang ingin ia ajak berjalan bersamanya.Aruna.Sore itu, Aruna baru saja selesai rapat di kantor ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Rakha."Punya waktu malam ini? Aku ingin menunjukkan sesuatu yang spesial."Senyum kecil terbit di wajahnya. Tanpa ragu, ia membalas."Tentu. Aku akan menunggumu."Hatinya berdebar pelan. Ada sesuatu di nada pesan Rakha yang terasa berbeda—lebih serius, tapi juga penuh kehangatan yang membuatnya merasa… dicintai.Malam itu, Aruna berdiri di depan kafe tempat mereka pertama kali bertemu, tepat di bawah rintik hujan tipis yang membasahi
Bab 10: Luka yang Sembuh BersamaRakha menatap foto di tangannya, pikirannya berputar liar. Gambar Aulia yang tersenyum di depan rumah mereka dulu terasa seperti bayangan dari kehidupan yang sudah lama ia tinggalkan—tetapi catatan di balik foto itu menghantui pikirannya."Rahasia ini bukan hanya milikmu. Ada lebih banyak hal yang belum kau ketahui."Siapa yang mengirim foto ini? Apa yang mereka inginkan? Dan mengapa mereka terus membangkitkan luka yang berusaha ia sembuhkan?Aruna menemukan Rakha masih duduk di meja kerjanya ketika ia datang ke studio malam itu. Pria itu tampak lelah, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak bisa ia abaikan—kebingungan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu."Kamu baik-baik saja?" tanya Aruna pelan, suaranya penuh perhatian.Rakha mengangkat foto itu tanpa berkata-kata, membiarkan Aruna membacanya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang. "Aku pikir semuanya sudah berakhir. Tapi seseorang jelas ingin aku tahu… ada yang belum selesai."Aruna
Bab 9: Kebenaran yang TerlukaMalam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Aruna duduk di sofa apartemen Rakha, memperhatikan pria itu yang tampak tenggelam dalam pikirannya. Ia bisa merasakan beban yang semakin berat di pundak Rakha, terutama setelah panggilan misterius itu datang lagi siang tadi."Kita harus tahu siapa yang menghubungimu," ucap Aruna lembut, memecah keheningan.Rakha menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa seperti bom waktu. "Aku sudah mencoba mencari tahu. Tapi mereka tidak pernah meninggalkan jejak yang jelas.""Kalau kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, rasa bersalah itu akan terus menghantuimu, Rakha," lanjut Aruna. "Aku di sini. Kita cari tahu bersama."Kata-katanya terasa menenangkan di tengah kekacauan yang dirasakan Rakha. Ia mengangguk perlahan. "Aku nggak bisa melakukannya sendiri," bisiknya.Aruna menggenggam tangannya erat. "Kamu nggak sendiri. Kita mulai dari awal."---Esok paginya, mereka memutuskan mengunjungi rumah sa
Bab 8: Mengejar yang PergiSudah dua hari sejak panggilan misterius itu, dan sejak saat itu… Rakha berubah.Ia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Setiap kali mereka bertemu, Aruna merasakan ada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka—sesuatu yang dingin dan menakutkan.Malam itu, di kafe tempat semuanya bermula, Aruna duduk di seberang Rakha. Biasanya, di tempat ini mereka berbagi tawa atau cerita ringan. Tapi kini, hanya ada kesunyian yang menggelayut di udara."Rakha," panggil Aruna lembut, mencoba memecah kebisuan. "Kamu kenapa akhir-akhir ini?"Rakha mengangkat pandangannya perlahan. Mata teduh yang biasanya menenangkan itu kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam—lebih gelap."Aku cuma… banyak pikiran," jawabnya pendek.Aruna menggenggam tangannya di atas meja. "Tentang apa? Kamu bisa cerita padaku."Rakha terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menarik napas dalam. "Ada seseorang yang menghubungiku. Mereka bilang ada hal yang belum selesai dari kecelakaan lima tahun lalu."J
Bab 7: Pilihan di Antara Dua HatiPagi itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Aruna berdiri di depan studio arsitektur Rakha, hatinya berdebar tak menentu. Pesan dari Rakha tadi malam membuatnya penasaran—apa yang begitu penting hingga Rakha ingin menunjukkan padanya secara langsung?Saat ia mendorong pintu kaca, Rakha sudah menunggunya di tengah ruangan. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, wajahnya tampak lebih tenang, tapi ada ketegangan halus di matanya."Kamu datang," ucap Rakha, suaranya lembut."Aku bilang aku akan datang," jawab Aruna dengan senyum kecil.Rakha mengangguk, lalu mengambil sebuah kotak kayu kecil dari meja kerjanya. "Aku ingin kamu lihat ini," katanya sambil menyodorkan kotak itu padanya.Dengan hati-hati, Aruna membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat sebuah liontin perak berbentuk bulan sabit yang terlihat sedikit tua, tapi masih bersinar indah di bawah cahaya pagi."Apa ini?" tanyanya, kebingungan.Rakha menatap liontin itu dengan tatapa
Bab 6: Kebenaran yang MenyakitkanMalam terasa lebih dingin dari biasanya. Aruna memandangi layar ponselnya, pesan dari Rakha masih terpampang jelas."Aku akan pergi besok. Kalau kamu ingin aku tetap di sini… beri aku alasan untuk tinggal."Kata-kata itu menggema di pikirannya. Sejak pertemuan pertama mereka di bawah hujan, Rakha tidak pernah meminta apa pun darinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, pria itu meminta jawaban—sebuah kepastian.Tapi sebelum Aruna bisa bergerak, Dio masih berdiri di hadapannya, menunggu jawaban yang sama pentingnya."Aku tahu ini sulit," ucap Dio lembut. "Tapi aku nggak bisa pura-pura lagi. Aku masih mencintaimu, Aruna. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku janji kita akan memperbaiki semuanya."Aruna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Kenapa sekarang, Dio?" suaranya terdengar nyaris patah. "Kenapa setelah lima tahun baru kamu kembali?"Dio menarik napas panjang, ekspresinya berubah serius. "Karena aku menyadari satu hal… A
Bab 5: Ketika Masa Lalu Mengetuk PintuHari-hari berlalu, tetapi hati Aruna terasa semakin sesak.Setiap pagi ia bangun dengan perasaan yang sama—terjebak di antara dua pilihan. Dio, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, kini kembali dengan janji memperbaiki segalanya. Dan Rakha, pria yang datang tanpa isyarat, menawarkan kedamaian yang tak pernah ia duga.Namun, di antara kedua pria itu, ada satu hal yang pasti: seseorang akan terluka jika ia tidak segera memutuskan.---Sore itu, setelah jam kantor, Dio kembali menunggunya di lobi. Tidak peduli seberapa sering Aruna mencoba menciptakan jarak, Dio selalu menemukan cara untuk hadir."Aku antar kamu pulang?" tawar Dio, senyum ramahnya masih sama seperti dulu.Aruna menatap pria itu dengan hati yang bimbang. Bagaimanapun, Dio pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ia mengangguk perlahan. "Baiklah."Di perjalanan, Dio berbicara tentang hal-hal kecil—tentang pekerjaannya, tentang kenangan mereka di masa lalu. Aruna mencoba fokus,
Bab 4: Celah di Hati yang TertutupTiga hari sejak pertemuan di kafe, dan Aruna masih belum menemukan jawabannya.Di tengah-tengah rapat yang membosankan, pikirannya terus melayang. Dio atau Rakha? Masa lalu yang pernah membuatnya merasa paling dicintai, atau masa kini yang perlahan menawarkan rasa aman tanpa banyak janji?Suara Nadira menyentaknya kembali ke realitas. "Aruna, lo nggak fokus banget hari ini," bisik sahabatnya saat mereka keluar ruang rapat.Aruna menghela napas, berjalan menuju mejanya. "Gue… bingung, Dir.""Masih soal Dio dan Rakha?" Nadira menebak dengan mudah.Aruna mengangguk. Ia ingin menceritakan segalanya, tapi bahkan untuk mengatur pikirannya sendiri terasa sulit."Kalau gue jadi lo, gue bakal pilih orang yang tetap ada di saat lo hancur," Nadira melanjutkan dengan nada serius yang jarang terdengar darinya. "Bukan orang yang pergi di saat lo butuh dia."Kalimat itu menghantam sesuatu di dalam hati Aruna. Rakha. Dialah yang selalu ada. Tapi… apakah perasaan itu