Bab 1: "Pertemuan di Bawah Hujan"
Aruna masih dihantui kegagalan cinta lima tahun lalu. Ia telah membangun tembok tinggi di hatinya dan enggan membuka diri untuk hubungan baru. Kehidupannya mulai berubah ketika ia bertemu Rakha dalam situasi yang tak terduga—membuka celah kecil di hati yang selama ini ia tutup rapat. Hujan turun begitu deras, mengguyur jalanan Jakarta hingga membentuk genangan di tepi trotoar. Aruna mempercepat langkahnya, membiarkan suara hak sepatunya beradu dengan aspal basah. Hari ini bukan hari yang mudah. Ia baru saja keluar dari rapat yang penuh tekanan di kantor, dan entah kenapa, pesan dari Dio—pria yang pernah hampir menikah dengannya—muncul kembali seperti hantu di ponselnya. "Apa kabar, Aruna? Boleh aku bicara sebentar?" Pesan sederhana, tapi cukup untuk membangkitkan luka lama yang berusaha ia lupakan. Lima tahun lalu, Dio pergi tanpa penjelasan yang jelas, meninggalkannya di ambang pernikahan yang sudah mereka persiapkan bersama. Sejak itu, Aruna menutup rapat hatinya. Cinta, baginya, adalah sesuatu yang tidak layak diperjuangkan lagi. Dua blok dari kantornya, ia memutuskan singgah di sebuah kafe kecil. Aroma kopi yang menyergapnya saat pintu terbuka terasa menenangkan, meskipun pikirannya masih kacau. Ia memilih duduk di dekat jendela, memperhatikan rintik hujan yang melukis bayang-bayang samar di kaca. Satu teguk kopi pahit mengalir di tenggorokannya ketika suara berat yang asing memecah lamunannya. "Maaf, apakah kursi ini kosong?" Aruna menoleh, mendapati seorang pria berdiri di depannya. Rambutnya sedikit basah, jaket abu-abu yang dikenakannya tampak mengilap karena air hujan. Ada sesuatu di matanya—tatapan tenang, namun terasa seakan menyimpan rahasia. "Silakan," jawab Aruna, berusaha terdengar sopan meski pikirannya masih sibuk memproses pesan dari Dio. Pria itu duduk tanpa banyak bicara. Ia hanya memesan kopi hitam kepada barista, lalu membuka buku bersampul cokelat tua. Entah kenapa, kehadirannya yang diam justru membuat Aruna semakin menyadari kekosongan yang selama ini ia rasakan. "Rasanya seperti hujan tidak akan berhenti hari ini," ujar pria itu tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka. Aruna menoleh. "Jakarta memang begitu. Sering hujan di waktu yang tidak tepat." Pria itu tersenyum tipis, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Aruna berpikir untuk mengabaikannya, tetapi rasa ingin tahu yang aneh mulai menggelitik pikirannya. Ia jarang merasa tertarik berbicara dengan orang asing, tetapi ada sesuatu pada pria ini yang terasa… berbeda. "Kamu sering ke sini?" tanyanya akhirnya, mencoba mencairkan suasana. "Kadang-kadang. Kalau aku butuh tempat untuk berpikir," jawabnya, matanya masih tertuju pada halaman buku. "Kamu?" Aruna mengangkat bahu. "Tempat ini cukup tenang. Lebih baik daripada terjebak macet di luar." "Setuju." Pria itu menutup bukunya perlahan, lalu menatapnya. "Aku Rakha, by the way." "Aruna," balasnya singkat. Ada jeda aneh di antara mereka, seolah nama yang baru saja mereka sebutkan membawa sesuatu yang lebih dalam. Dan di saat itulah ponsel Aruna kembali bergetar di atas meja. Dio. Lagi. Ia menghela napas pelan, mencoba mengabaikannya, tetapi Rakha rupanya menangkap perubahan di wajahnya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya rendah dan lembut. Aruna terkejut. Mereka bahkan baru saling mengenal beberapa menit, tapi mengapa pria ini bisa membaca kegelisahannya? "Ya… hanya seseorang dari masa lalu," jawabnya, sedikit tergelincir. Rakha tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk kecil, seolah memahami sesuatu tanpa perlu dijelaskan. Aruna berpikir, mungkin ini hanya kebetulan. Mungkin pria ini hanya orang asing yang akan segera hilang dari hidupnya. Tapi di suatu sudut hatinya, ada bisikan halus yang bertanya-tanya—apakah pertemuan ini benar-benar hanya kebetulan? Aruna berniat pulang ketika Rakha berdiri lebih dulu. Sebelum pergi, ia meletakkan kartu namanya di atas meja. "Kalau butuh teman bicara yang bukan dari masa lalu, hubungi aku," ucapnya singkat, lalu melangkah keluar, membiarkan Aruna duduk sendiri dengan pikirannya yang semakin kacau. Di luar, hujan belum reda. Dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, Aruna merasa ada sesuatu yang berbeda di dadanya—sesuatu yang bahkan ia sendiri belum siap untuk mengakuinya. ---Bab 12: Akhir yang Baru DimulaiEnam bulan setelah lamaran itu, pagi di Jakarta terasa lebih cerah dari biasanya. Matahari menyapu jendela apartemen Rakha, menyoroti kesibukan di dalamnya.Di ruang tamu, Aruna duduk di lantai dengan gaun putih sederhana, menata buket bunga yang akan ia bawa ke altar. Hatinya berdebar lembut, campuran antara kebahagiaan dan harapan. Hari ini, ia akan menjadi istri Rakha—pria yang mengajarkannya arti mencintai tanpa syarat."Kamu kelihatan cantik banget," suara Rakha terdengar dari belakang, lembut dan penuh kekaguman.Aruna menoleh, menemukan Rakha berdiri di ambang pintu dengan kemeja putih yang digulung hingga siku. Ia tampak santai, tapi matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam—kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikannya."Dan kamu tampak… cemas," goda Aruna, tersenyum lembut.Rakha berjalan mendekat, duduk di sampingnya. "Aku nggak pernah membayangkan aku bisa sampai di titik ini," ucapnya jujur. "Setelah semua yang terjadi… aku takut aku ngga
Bab 11: Saat Hati Kembali MemilihSudah seminggu sejak Rakha menerima email anonim itu. Dengan kebenaran yang akhirnya terungkap, beban di hatinya mulai terasa ringan. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia bisa bernapas lega—dan itu semua karena Aruna.Ia tahu, kini saatnya berhenti membiarkan masa lalu membayangi langkahnya. Ia telah memilih untuk melanjutkan hidup, dan di dalam hatinya, hanya ada satu orang yang ingin ia ajak berjalan bersamanya.Aruna.Sore itu, Aruna baru saja selesai rapat di kantor ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Rakha."Punya waktu malam ini? Aku ingin menunjukkan sesuatu yang spesial."Senyum kecil terbit di wajahnya. Tanpa ragu, ia membalas."Tentu. Aku akan menunggumu."Hatinya berdebar pelan. Ada sesuatu di nada pesan Rakha yang terasa berbeda—lebih serius, tapi juga penuh kehangatan yang membuatnya merasa… dicintai.Malam itu, Aruna berdiri di depan kafe tempat mereka pertama kali bertemu, tepat di bawah rintik hujan tipis yang membasahi
Bab 10: Luka yang Sembuh BersamaRakha menatap foto di tangannya, pikirannya berputar liar. Gambar Aulia yang tersenyum di depan rumah mereka dulu terasa seperti bayangan dari kehidupan yang sudah lama ia tinggalkan—tetapi catatan di balik foto itu menghantui pikirannya."Rahasia ini bukan hanya milikmu. Ada lebih banyak hal yang belum kau ketahui."Siapa yang mengirim foto ini? Apa yang mereka inginkan? Dan mengapa mereka terus membangkitkan luka yang berusaha ia sembuhkan?Aruna menemukan Rakha masih duduk di meja kerjanya ketika ia datang ke studio malam itu. Pria itu tampak lelah, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak bisa ia abaikan—kebingungan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu."Kamu baik-baik saja?" tanya Aruna pelan, suaranya penuh perhatian.Rakha mengangkat foto itu tanpa berkata-kata, membiarkan Aruna membacanya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang. "Aku pikir semuanya sudah berakhir. Tapi seseorang jelas ingin aku tahu… ada yang belum selesai."Aruna
Bab 9: Kebenaran yang TerlukaMalam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Aruna duduk di sofa apartemen Rakha, memperhatikan pria itu yang tampak tenggelam dalam pikirannya. Ia bisa merasakan beban yang semakin berat di pundak Rakha, terutama setelah panggilan misterius itu datang lagi siang tadi."Kita harus tahu siapa yang menghubungimu," ucap Aruna lembut, memecah keheningan.Rakha menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa seperti bom waktu. "Aku sudah mencoba mencari tahu. Tapi mereka tidak pernah meninggalkan jejak yang jelas.""Kalau kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, rasa bersalah itu akan terus menghantuimu, Rakha," lanjut Aruna. "Aku di sini. Kita cari tahu bersama."Kata-katanya terasa menenangkan di tengah kekacauan yang dirasakan Rakha. Ia mengangguk perlahan. "Aku nggak bisa melakukannya sendiri," bisiknya.Aruna menggenggam tangannya erat. "Kamu nggak sendiri. Kita mulai dari awal."---Esok paginya, mereka memutuskan mengunjungi rumah sa
Bab 8: Mengejar yang PergiSudah dua hari sejak panggilan misterius itu, dan sejak saat itu… Rakha berubah.Ia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Setiap kali mereka bertemu, Aruna merasakan ada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka—sesuatu yang dingin dan menakutkan.Malam itu, di kafe tempat semuanya bermula, Aruna duduk di seberang Rakha. Biasanya, di tempat ini mereka berbagi tawa atau cerita ringan. Tapi kini, hanya ada kesunyian yang menggelayut di udara."Rakha," panggil Aruna lembut, mencoba memecah kebisuan. "Kamu kenapa akhir-akhir ini?"Rakha mengangkat pandangannya perlahan. Mata teduh yang biasanya menenangkan itu kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam—lebih gelap."Aku cuma… banyak pikiran," jawabnya pendek.Aruna menggenggam tangannya di atas meja. "Tentang apa? Kamu bisa cerita padaku."Rakha terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menarik napas dalam. "Ada seseorang yang menghubungiku. Mereka bilang ada hal yang belum selesai dari kecelakaan lima tahun lalu."J
Bab 7: Pilihan di Antara Dua HatiPagi itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Aruna berdiri di depan studio arsitektur Rakha, hatinya berdebar tak menentu. Pesan dari Rakha tadi malam membuatnya penasaran—apa yang begitu penting hingga Rakha ingin menunjukkan padanya secara langsung?Saat ia mendorong pintu kaca, Rakha sudah menunggunya di tengah ruangan. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, wajahnya tampak lebih tenang, tapi ada ketegangan halus di matanya."Kamu datang," ucap Rakha, suaranya lembut."Aku bilang aku akan datang," jawab Aruna dengan senyum kecil.Rakha mengangguk, lalu mengambil sebuah kotak kayu kecil dari meja kerjanya. "Aku ingin kamu lihat ini," katanya sambil menyodorkan kotak itu padanya.Dengan hati-hati, Aruna membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat sebuah liontin perak berbentuk bulan sabit yang terlihat sedikit tua, tapi masih bersinar indah di bawah cahaya pagi."Apa ini?" tanyanya, kebingungan.Rakha menatap liontin itu dengan tatapa
Bab 6: Kebenaran yang MenyakitkanMalam terasa lebih dingin dari biasanya. Aruna memandangi layar ponselnya, pesan dari Rakha masih terpampang jelas."Aku akan pergi besok. Kalau kamu ingin aku tetap di sini… beri aku alasan untuk tinggal."Kata-kata itu menggema di pikirannya. Sejak pertemuan pertama mereka di bawah hujan, Rakha tidak pernah meminta apa pun darinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, pria itu meminta jawaban—sebuah kepastian.Tapi sebelum Aruna bisa bergerak, Dio masih berdiri di hadapannya, menunggu jawaban yang sama pentingnya."Aku tahu ini sulit," ucap Dio lembut. "Tapi aku nggak bisa pura-pura lagi. Aku masih mencintaimu, Aruna. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku janji kita akan memperbaiki semuanya."Aruna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Kenapa sekarang, Dio?" suaranya terdengar nyaris patah. "Kenapa setelah lima tahun baru kamu kembali?"Dio menarik napas panjang, ekspresinya berubah serius. "Karena aku menyadari satu hal… A
Bab 5: Ketika Masa Lalu Mengetuk PintuHari-hari berlalu, tetapi hati Aruna terasa semakin sesak.Setiap pagi ia bangun dengan perasaan yang sama—terjebak di antara dua pilihan. Dio, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, kini kembali dengan janji memperbaiki segalanya. Dan Rakha, pria yang datang tanpa isyarat, menawarkan kedamaian yang tak pernah ia duga.Namun, di antara kedua pria itu, ada satu hal yang pasti: seseorang akan terluka jika ia tidak segera memutuskan.---Sore itu, setelah jam kantor, Dio kembali menunggunya di lobi. Tidak peduli seberapa sering Aruna mencoba menciptakan jarak, Dio selalu menemukan cara untuk hadir."Aku antar kamu pulang?" tawar Dio, senyum ramahnya masih sama seperti dulu.Aruna menatap pria itu dengan hati yang bimbang. Bagaimanapun, Dio pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ia mengangguk perlahan. "Baiklah."Di perjalanan, Dio berbicara tentang hal-hal kecil—tentang pekerjaannya, tentang kenangan mereka di masa lalu. Aruna mencoba fokus,
Bab 4: Celah di Hati yang TertutupTiga hari sejak pertemuan di kafe, dan Aruna masih belum menemukan jawabannya.Di tengah-tengah rapat yang membosankan, pikirannya terus melayang. Dio atau Rakha? Masa lalu yang pernah membuatnya merasa paling dicintai, atau masa kini yang perlahan menawarkan rasa aman tanpa banyak janji?Suara Nadira menyentaknya kembali ke realitas. "Aruna, lo nggak fokus banget hari ini," bisik sahabatnya saat mereka keluar ruang rapat.Aruna menghela napas, berjalan menuju mejanya. "Gue… bingung, Dir.""Masih soal Dio dan Rakha?" Nadira menebak dengan mudah.Aruna mengangguk. Ia ingin menceritakan segalanya, tapi bahkan untuk mengatur pikirannya sendiri terasa sulit."Kalau gue jadi lo, gue bakal pilih orang yang tetap ada di saat lo hancur," Nadira melanjutkan dengan nada serius yang jarang terdengar darinya. "Bukan orang yang pergi di saat lo butuh dia."Kalimat itu menghantam sesuatu di dalam hati Aruna. Rakha. Dialah yang selalu ada. Tapi… apakah perasaan itu