Home / Romansa / CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT / BAB 1 - CINTA DATANG TANPA ISYARAT

Share

CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT
CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT
Author: Duy.Nah

BAB 1 - CINTA DATANG TANPA ISYARAT

Author: Duy.Nah
last update Last Updated: 2025-03-25 04:41:12

Bab 1: "Pertemuan di Bawah Hujan"

Aruna masih dihantui kegagalan cinta lima tahun lalu. Ia telah membangun tembok tinggi di hatinya dan enggan membuka diri untuk hubungan baru.

Namun tanpa ia tahu, hari ini akan membawanya pada sebuah pertemuan yang tak terduga—sebuah momen yang diam-diam mulai membuka celah kecil di hatinya yang selama ini ia tutup rapat.

Hujan turun begitu deras, mengguyur jalanan Jakarta hingga membentuk genangan di tepi trotoar. Aruna mempercepat langkahnya, membiarkan suara hak sepatunya beradu dengan aspal basah. Hari ini bukan hari yang mudah.

Ia baru saja keluar dari rapat yang penuh tekanan di kantor, dan entah kenapa, pesan dari Dio—pria yang pernah hampir menikah dengannya—muncul kembali seperti hantu di ponselnya.

"Apa kabar, Aruna? Boleh aku bicara sebentar?"

Pesan sederhana, tapi cukup untuk membangkitkan luka lama yang berusaha ia lupakan. Lima tahun lalu, Dio pergi tanpa penjelasan yang jelas, meninggalkannya di ambang pernikahan yang sudah mereka persiapkan bersama. Sejak itu, Aruna menutup rapat hatinya. Cinta, baginya, adalah sesuatu yang tidak layak diperjuangkan lagi.

Dua blok dari kantornya, ia memutuskan singgah di sebuah kafe kecil. Aroma kopi yang menyergapnya saat pintu terbuka terasa menenangkan, meskipun pikirannya masih kacau. Ia memilih duduk di dekat jendela, memperhatikan rintik hujan yang melukis bayang-bayang samar di kaca.

Satu teguk kopi pahit mengalir di tenggorokannya ketika suara berat yang asing memecah lamunannya.

"Maaf, apakah kursi ini kosong?"

Aruna menoleh, mendapati seorang pria berdiri di depannya. Rambutnya sedikit basah, jaket abu-abu yang dikenakannya tampak mengilap karena air hujan. Ada sesuatu di matanya—tatapan tenang, namun terasa seakan menyimpan rahasia.

"Silakan," jawab Aruna, berusaha terdengar sopan meski pikirannya masih sibuk memproses pesan dari Dio.

Pria itu duduk tanpa banyak bicara. Ia hanya memesan kopi hitam kepada barista, lalu membuka buku bersampul cokelat tua. Entah kenapa, kehadirannya yang diam justru membuat Aruna semakin menyadari kekosongan yang selama ini ia rasakan.

"Rasanya seperti hujan tidak akan berhenti hari ini," ujar pria itu tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.

Aruna menoleh. "Jakarta memang begitu. Sering hujan di waktu yang tidak tepat."

Pria itu tersenyum tipis, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Aruna berpikir untuk mengabaikannya, tetapi rasa ingin tahu yang aneh mulai menggelitik pikirannya. Ia jarang merasa tertarik berbicara dengan orang asing, tetapi ada sesuatu pada pria ini yang terasa… berbeda.

"Kamu sering ke sini?" tanyanya akhirnya, mencoba mencairkan suasana.

"Kadang-kadang. Kalau aku butuh tempat untuk berpikir," jawabnya, matanya masih tertuju pada halaman buku. "Kamu?"

Aruna mengangkat bahu. "Tempat ini cukup tenang. Lebih baik daripada terjebak macet di luar."

"Setuju." Pria itu menutup bukunya perlahan, lalu menatapnya. "Aku Rakha, by the way."

"Aruna," balasnya singkat.

Ada jeda aneh di antara mereka, seolah nama yang baru saja mereka sebutkan membawa sesuatu yang lebih dalam. Dan di saat itulah ponsel Aruna kembali bergetar di atas meja. Dio. Lagi.

Ia menghela napas pelan, mencoba mengabaikannya, tetapi Rakha rupanya menangkap perubahan di wajahnya.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya rendah dan lembut.

Aruna terkejut. Mereka bahkan baru saling mengenal beberapa menit, tapi mengapa pria ini bisa membaca kegelisahannya?

"Ya… hanya seseorang dari masa lalu," jawabnya, sedikit tergelincir.

Rakha tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk kecil, seolah memahami sesuatu tanpa perlu dijelaskan.

Aruna berpikir, mungkin ini hanya kebetulan. Mungkin pria ini hanya orang asing yang akan segera hilang dari hidupnya. Tapi di suatu sudut hatinya, ada bisikan halus yang bertanya-tanya—apakah pertemuan ini benar-benar hanya kebetulan?

Aruna berniat pulang ketika Rakha berdiri lebih dulu. Sebelum pergi, ia meletakkan kartu namanya di atas meja.

"Kalau butuh teman bicara yang bukan dari masa lalu, hubungi aku," ucapnya singkat, lalu melangkah keluar, membiarkan Aruna duduk sendiri dengan pikirannya yang semakin kacau.

Di luar, hujan belum reda. Dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, Aruna merasa ada sesuatu yang berbeda di dadanya—sesuatu yang bahkan ia sendiri belum siap untuk mengakuinya.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   Bab 11

    Bab 11: Saat Luka Bicara Jujur --- Empat hari kemudian, Jakarta. Langit sore menggantung kelabu di atas gedung kantor hukum Sujono & Rekan. Di dalam ruang kaca lantai lima, duduklah tiga orang: Kirana, Rakha, dan Aruna. Di hadapan mereka, seorang pria tua dengan jas abu-abu membuka map cokelat bertuliskan “Wasiat Ratna A. Putri”. “Terima kasih telah hadir,” ucap pria itu pelan. “Almarhumah Ratna menitipkan surat ini tiga bulan sebelum wafat. Ia ingin surat ini dibuka hanya jika Kirana hadir secara pribadi.” Kirana menunduk. Napasnya pelan, tapi berat. Tangannya gemetar saat map dibuka dan selembar kertas tipis ditarik keluar. Pria itu mulai membaca: > “Untuk anakku, Kirana. Jika surat ini sampai padamu, itu artinya aku sudah tidak bisa lagi memelukmu dan bilang: semuanya akan baik-baik saja. Tapi semoga lewat kata-kata ini, kamu tahu bahwa dari awal aku hanya ingin satu hal—menjagamu tetap utuh, walaupun dunia tidak pernah sepenuhnya milikmu.” Kirana menutup mulutnya. Matanya

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   Bab 10

    Bab 10: Rumah yang Terbelah Dua --- Kirana menatap foto di tangannya. Foto tua yang warnanya mulai pudar—memperlihatkan tiga orang: seorang pria muda yang ia kenali sebagai Rangga, seorang wanita paruh baya yang pasti Malia, dan seorang bayi perempuan dengan senyum kecil di pelukan Malia. Tapi yang membuat Kirana menggigil adalah tulisan di balik foto itu: > “Aku hanya membantu. Tapi dia... bukan darah Rangga.” Kirana membaca ulang tulisan itu berkali-kali, berharap kalimat itu berubah. Tapi tidak. Kalimat itu tetap sama, dan semakin lama dibaca, semakin kabur rasanya arah pencarian yang selama ini ia perjuangkan. Kalau bukan Rangga... bukan Rio... bukan Rakha... Siapa? Pertanyaan itu menghantam batinnya, mematahkan pijakan yang baru saja sempat terasa kokoh. Dalam satu malam, semuanya kembali menjadi teka-teki. --- Sementara itu, Aruna duduk di ruang tengah villa, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan terakhir dari Kirana: > “Aku butuh waktu sendiri. Jangan cari aku

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 9

    Bab 9: Istriku atau Anak Perempuanku?---“Akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggu dua puluh tahun.”Suara wanita tua itu pelan, namun tegas. Meskipun tubuhnya tampak rapuh, sorot matanya seperti menyimpan potongan-potongan rahasia yang telah lama terkubur. Kirana menatapnya tanpa bergerak, seakan namanya dipanggil oleh masa lalu.“Malia?” tanya Kirana, setengah berbisik.Wanita itu mengangguk pelan, kemudian menepuk bangku kosong di sampingnya. “Duduklah. Kamu pasti punya banyak tanya. Dan aku... punya lebih banyak hal untuk disampaikan.”Rakha dan Aruna saling pandang. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Kirana, memberi ruang, tapi tak benar-benar bisa menahan keingintahuan yang menekan dada.Kirana duduk di samping Malia. Suaranya gemetar. “Ibu saya... meninggal tanpa pernah memberitahu siapa ayah saya. Saya tahu dia menyimpan sesuatu. Tapi saya tidak tahu... bahwa saya harus datang ke sini untuk menemukannya.”Malia mengangguk perlahan. “Ibumu, Ratna, pernah datang pad

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 8

    Bab 8: Mencintai Ayah yang Tak Pernah Ada---Udara pagi di Ubud lebih dingin dari biasanya. Kabut belum sepenuhnya mengangkat diri dari pepohonan, seolah ikut menyimpan rahasia yang baru saja Kirana ketahui semalam.Ia duduk sendiri di balkon kamarnya, mengenakan hoodie abu-abu dan memeluk lututnya. Matanya sembab, belum tidur semalaman. Di tangannya, ponsel yang masih terbuka pada satu email:> “Dia bukan anak Rio. Tapi kau tak boleh memberitahunya sampai dia siap.”Kalimat dari Malia itu menghantam logikanya. Jika bukan Rakha, dan bukan Rio… lalu siapa?Selama beberapa hari terakhir, Kirana sudah mencoba menerima Rakha sebagai sosok ayah. Ia mulai belajar berdamai dengan perasaan terluka, kecewa, lalu perlahan membiarkan ruang kecil di hatinya terbuka untuk pria itu. Tapi sekarang?Ia bahkan tidak tahu siapa dirinya sebenarnya.“Siapa aku…?” bisiknya lirih.---Aruna menemukannya satu jam kemudian, masih di posisi yang sama.“Kirana?” panggilnya pelan.Kirana menoleh. Ada kelembuta

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 7

    Ketika Cinta Menemukan LukaBab 7: Saat Semua Terbuka---Kirana menyimpan kotak kecil itu dalam ranselnya. Nama “Malia” masih bergema di kepalanya. Surat dari almarhum ibunya tidak menyebut siapa Malia, hanya satu kalimat:> “Jika kau ingin tahu kebenaran sebenarnya, cari wanita bernama Malia.”Tapi sekarang bukan waktunya bicara soal itu. Belum.Pagi itu, Rakha mengajak Kirana sarapan di halaman belakang villa. Untuk pertama kalinya, mereka duduk bertiga. Aruna, Rakha, dan Kirana.Tak ada pembicaraan yang dalam, tapi keheningan itu tak lagi terasa seperti jurang.“Kalau kamu kembali ke Jakarta minggu depan,” kata Rakha sambil menuang teh, “aku akan carikan tempat tinggal yang dekat dengan studio. Supaya kita bisa mulai kenal lebih dalam.”Kirana mengangguk. “Tapi aku nggak mau ganggu kalian.”Aruna menoleh. “Kirana, kamu nggak ganggu. Kamu bukan tamu di hidup kami. Kamu bagian dari hidup kami.”Kirana menunduk, suaranya kecil. “Terima kasih… Mbak Aruna.”Aruna tersenyum. Itu pertama

  • CINTA YANG DATANG TANPA ISYARAT   SERI II - BAB 6

    Ketika Cinta Menemukan LukaBab 6: Darah yang Sama, Luka yang Sama---Aruna menatap layar ponsel lebih dari lima menit.Kalimat itu tidak berubah.> Kecocokan genetik menunjukkan kemungkinan hubungan ayah-anak sebesar 99.84%.Angka yang terlalu pasti untuk diabaikan. Terlalu jelas untuk dibantah. Dan terlalu dalam untuk tidak mengoyak sesuatu di dalam dirinya.Rakha adalah ayah kandung Kirana.Bukan dugaan. Bukan kemungkinan.Kenyataan.Ia duduk di ujung tempat tidur, menggenggam ponselnya erat seolah bisa meremukkan kenyataan itu jika ia genggam lebih kuat.---Di ruang dapur villa, Rakha sedang menyeduh kopi. Ia terlihat tenang. Tidak tahu bahwa dunia yang ia pikir sudah mulai tenang, akan kembali bergejolak dalam hitungan menit.Aruna berdiri di ambang pintu. Hening. Lalu akhirnya bersuara.“Rakha.”Pria itu menoleh, tersenyum. “Pagi. Mau kopi?”Aruna tidak menjawab. Ia hanya mengangkat ponselnya dan menunjukkannya ke arah Rakha. Layar masih menampilkan hasil PDF dari email klinik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status