Bab 4: Celah di Hati yang Tertutup
Tiga hari sejak pertemuan di kafe, dan Aruna masih belum menemukan jawabannya. Di tengah-tengah rapat yang membosankan, pikirannya terus melayang. Dio atau Rakha? Masa lalu yang pernah membuatnya merasa paling dicintai, atau masa kini yang perlahan menawarkan rasa aman tanpa banyak janji? Suara Nadira menyentaknya kembali ke realitas. "Aruna, lo nggak fokus banget hari ini," bisik sahabatnya saat mereka keluar ruang rapat. Aruna menghela napas, berjalan menuju mejanya. "Gue… bingung, Dir." "Masih soal Dio dan Rakha?" Nadira menebak dengan mudah. Aruna mengangguk. Ia ingin menceritakan segalanya, tapi bahkan untuk mengatur pikirannya sendiri terasa sulit. "Kalau gue jadi lo, gue bakal pilih orang yang tetap ada di saat lo hancur," Nadira melanjutkan dengan nada serius yang jarang terdengar darinya. "Bukan orang yang pergi di saat lo butuh dia." Kalimat itu menghantam sesuatu di dalam hati Aruna. Rakha. Dialah yang selalu ada. Tapi… apakah perasaan itu cukup untuk meninggalkan kisah yang pernah hampir menjadi masa depannya? --- Sore itu, Aruna memutuskan pergi ke studio arsitektur Rakha. Ia tidak memberi tahu siapa pun. Ada sesuatu yang ingin ia pastikan. Saat ia tiba, pintu kaca studio terbuka. Rakha sedang berdiri di depan meja kerjanya, matanya fokus pada gambar besar di atas papan. Namun, ketika melihat Aruna masuk, wajahnya melunak. "Kamu datang," ujarnya, terdengar sedikit terkejut. "Aku butuh udara segar," Aruna beralasan, meskipun ia tahu kedatangannya bukan hanya tentang udara. Rakha tersenyum tipis. "Mau lihat sesuatu?" tanyanya sambil memberi isyarat ke arah maket besar di mejanya. Aruna melangkah mendekat, memandangi desain bangunan modern dengan taman di tengahnya. "Ini proyek baru?" Rakha mengangguk. "Rumah rehabilitasi untuk anak-anak penyintas trauma. Ini proyek yang paling berarti buatku." Ada sesuatu di nada suaranya yang menarik perhatian Aruna. "Kenapa ini penting buat kamu?" tanyanya pelan. Rakha terdiam sejenak sebelum menjawab, "Karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang nggak akan pernah kembali." Aruna menatapnya. Ada beban di balik kata-kata itu—beban yang belum pernah ia dengar langsung dari Rakha. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi entah kenapa ia takut membuka luka yang mungkin terlalu dalam. "Kamu nggak perlu cerita kalau belum siap," ujar Aruna akhirnya. Rakha tersenyum tipis, tetapi ada kilatan rasa sakit di matanya. "Suatu hari nanti, aku akan cerita." --- Dua hari kemudian, Dio muncul di depan apartemen Aruna tanpa peringatan. Aruna baru saja pulang dari kantor ketika ia menemukannya berdiri di depan pintu. Dengan kemeja biru langit yang sedikit kusut dan wajah penuh harap, Dio tampak persis seperti pria yang dulu pernah ia cintai. "Aruna," katanya lirih. "Aku tahu aku muncul di waktu yang nggak tepat, tapi aku nggak bisa pura-pura baik-baik saja tanpa mencoba memperbaiki semuanya." Aruna menahan napas. "Dio… aku nggak tahu harus berkata apa." Dio menatapnya dalam. "Berikan aku kesempatan lagi. Aku masih mencintaimu." Kata-kata itu membekukan Aruna di tempat. Hatinya berdebar keras. Ia pernah menginginkan Dio kembali, tetapi sekarang, segalanya terasa jauh lebih rumit. --- Malam itu, Aruna duduk di sofa apartemennya, pikirannya kacau. Ia memandangi layar ponselnya, jari-jarinya ragu di atas nama Rakha. Akhirnya, ia mengetik pesan. "Bisa ketemu besok?" Jawaban Rakha datang lebih cepat dari yang ia duga. "Tentu. Ada apa?" Aruna menggigit bibirnya. Apa yang harus ia katakan? Apakah ia ingin menjelaskan tentang Dio? Atau… apakah ia hanya ingin memastikan bahwa Rakha masih ada untuknya? "Aku cuma butuh bicara," balasnya singkat. --- Keesokan malamnya, mereka bertemu di kafe tempat semuanya dimulai. Rakha sudah ada di sana saat Aruna tiba, duduk di meja yang sama di dekat jendela. Saat Aruna duduk, Rakha memandangnya dengan tenang, tetapi di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang berbeda—seolah ia sudah mempersiapkan hatinya untuk kemungkinan terburuk. "Kamu kelihatan lelah," ucap Rakha, suaranya hangat seperti biasa. Aruna mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. "Akhir-akhir ini banyak yang harus kupikirkan." Rakha mengangguk pelan, seolah memahami tanpa perlu penjelasan panjang. "Aku bertemu Dio," kata Aruna akhirnya, meskipun kata-kata itu terasa seperti batu di tenggorokannya. Rakha tidak terlihat terkejut. Ia hanya menatapnya lebih dalam. "Aku tahu dia akan kembali untukmu." Ada jeda di antara mereka—sunyi yang terasa menekan dada Aruna. "Aku bingung, Rakha," bisik Aruna. "Aku nggak tahu harus memilih siapa." Rakha menghela napas perlahan. "Aku bilang aku nggak akan memaksamu memilih," ujarnya lembut. "Tapi aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu, Aruna. Dan aku ada di sini, kalau kamu menginginkanku." Kata-katanya begitu tulus hingga dada Aruna terasa sesak. Rakha tidak pernah meminta, tidak pernah memaksa—tapi justru karena itulah ia semakin sulit diabaikan. --- Saat Rakha berdiri untuk pergi, ia berhenti di samping Aruna, suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku mencintaimu, tapi aku nggak bisa bersaing dengan bayangan masa lalumu. Kalau kamu memilih dia… aku akan pergi." Aruna hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, hatinya terasa semakin kacau. Dan untuk pertama kalinya, ia sadar—seseorang di antara mereka akan benar-benar pergi jika ia tidak segera membuat keputusan. ---Bab 12: Akhir yang Baru DimulaiEnam bulan setelah lamaran itu, pagi di Jakarta terasa lebih cerah dari biasanya. Matahari menyapu jendela apartemen Rakha, menyoroti kesibukan di dalamnya.Di ruang tamu, Aruna duduk di lantai dengan gaun putih sederhana, menata buket bunga yang akan ia bawa ke altar. Hatinya berdebar lembut, campuran antara kebahagiaan dan harapan. Hari ini, ia akan menjadi istri Rakha—pria yang mengajarkannya arti mencintai tanpa syarat."Kamu kelihatan cantik banget," suara Rakha terdengar dari belakang, lembut dan penuh kekaguman.Aruna menoleh, menemukan Rakha berdiri di ambang pintu dengan kemeja putih yang digulung hingga siku. Ia tampak santai, tapi matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam—kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikannya."Dan kamu tampak… cemas," goda Aruna, tersenyum lembut.Rakha berjalan mendekat, duduk di sampingnya. "Aku nggak pernah membayangkan aku bisa sampai di titik ini," ucapnya jujur. "Setelah semua yang terjadi… aku takut aku ngga
Bab 11: Saat Hati Kembali MemilihSudah seminggu sejak Rakha menerima email anonim itu. Dengan kebenaran yang akhirnya terungkap, beban di hatinya mulai terasa ringan. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia bisa bernapas lega—dan itu semua karena Aruna.Ia tahu, kini saatnya berhenti membiarkan masa lalu membayangi langkahnya. Ia telah memilih untuk melanjutkan hidup, dan di dalam hatinya, hanya ada satu orang yang ingin ia ajak berjalan bersamanya.Aruna.Sore itu, Aruna baru saja selesai rapat di kantor ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Rakha."Punya waktu malam ini? Aku ingin menunjukkan sesuatu yang spesial."Senyum kecil terbit di wajahnya. Tanpa ragu, ia membalas."Tentu. Aku akan menunggumu."Hatinya berdebar pelan. Ada sesuatu di nada pesan Rakha yang terasa berbeda—lebih serius, tapi juga penuh kehangatan yang membuatnya merasa… dicintai.Malam itu, Aruna berdiri di depan kafe tempat mereka pertama kali bertemu, tepat di bawah rintik hujan tipis yang membasahi
Bab 10: Luka yang Sembuh BersamaRakha menatap foto di tangannya, pikirannya berputar liar. Gambar Aulia yang tersenyum di depan rumah mereka dulu terasa seperti bayangan dari kehidupan yang sudah lama ia tinggalkan—tetapi catatan di balik foto itu menghantui pikirannya."Rahasia ini bukan hanya milikmu. Ada lebih banyak hal yang belum kau ketahui."Siapa yang mengirim foto ini? Apa yang mereka inginkan? Dan mengapa mereka terus membangkitkan luka yang berusaha ia sembuhkan?Aruna menemukan Rakha masih duduk di meja kerjanya ketika ia datang ke studio malam itu. Pria itu tampak lelah, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak bisa ia abaikan—kebingungan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu."Kamu baik-baik saja?" tanya Aruna pelan, suaranya penuh perhatian.Rakha mengangkat foto itu tanpa berkata-kata, membiarkan Aruna membacanya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang. "Aku pikir semuanya sudah berakhir. Tapi seseorang jelas ingin aku tahu… ada yang belum selesai."Aruna
Bab 9: Kebenaran yang TerlukaMalam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Aruna duduk di sofa apartemen Rakha, memperhatikan pria itu yang tampak tenggelam dalam pikirannya. Ia bisa merasakan beban yang semakin berat di pundak Rakha, terutama setelah panggilan misterius itu datang lagi siang tadi."Kita harus tahu siapa yang menghubungimu," ucap Aruna lembut, memecah keheningan.Rakha menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang kini terasa seperti bom waktu. "Aku sudah mencoba mencari tahu. Tapi mereka tidak pernah meninggalkan jejak yang jelas.""Kalau kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, rasa bersalah itu akan terus menghantuimu, Rakha," lanjut Aruna. "Aku di sini. Kita cari tahu bersama."Kata-katanya terasa menenangkan di tengah kekacauan yang dirasakan Rakha. Ia mengangguk perlahan. "Aku nggak bisa melakukannya sendiri," bisiknya.Aruna menggenggam tangannya erat. "Kamu nggak sendiri. Kita mulai dari awal."---Esok paginya, mereka memutuskan mengunjungi rumah sa
Bab 8: Mengejar yang PergiSudah dua hari sejak panggilan misterius itu, dan sejak saat itu… Rakha berubah.Ia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Setiap kali mereka bertemu, Aruna merasakan ada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka—sesuatu yang dingin dan menakutkan.Malam itu, di kafe tempat semuanya bermula, Aruna duduk di seberang Rakha. Biasanya, di tempat ini mereka berbagi tawa atau cerita ringan. Tapi kini, hanya ada kesunyian yang menggelayut di udara."Rakha," panggil Aruna lembut, mencoba memecah kebisuan. "Kamu kenapa akhir-akhir ini?"Rakha mengangkat pandangannya perlahan. Mata teduh yang biasanya menenangkan itu kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam—lebih gelap."Aku cuma… banyak pikiran," jawabnya pendek.Aruna menggenggam tangannya di atas meja. "Tentang apa? Kamu bisa cerita padaku."Rakha terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menarik napas dalam. "Ada seseorang yang menghubungiku. Mereka bilang ada hal yang belum selesai dari kecelakaan lima tahun lalu."J
Bab 7: Pilihan di Antara Dua HatiPagi itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Aruna berdiri di depan studio arsitektur Rakha, hatinya berdebar tak menentu. Pesan dari Rakha tadi malam membuatnya penasaran—apa yang begitu penting hingga Rakha ingin menunjukkan padanya secara langsung?Saat ia mendorong pintu kaca, Rakha sudah menunggunya di tengah ruangan. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, wajahnya tampak lebih tenang, tapi ada ketegangan halus di matanya."Kamu datang," ucap Rakha, suaranya lembut."Aku bilang aku akan datang," jawab Aruna dengan senyum kecil.Rakha mengangguk, lalu mengambil sebuah kotak kayu kecil dari meja kerjanya. "Aku ingin kamu lihat ini," katanya sambil menyodorkan kotak itu padanya.Dengan hati-hati, Aruna membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat sebuah liontin perak berbentuk bulan sabit yang terlihat sedikit tua, tapi masih bersinar indah di bawah cahaya pagi."Apa ini?" tanyanya, kebingungan.Rakha menatap liontin itu dengan tatapa
Bab 6: Kebenaran yang MenyakitkanMalam terasa lebih dingin dari biasanya. Aruna memandangi layar ponselnya, pesan dari Rakha masih terpampang jelas."Aku akan pergi besok. Kalau kamu ingin aku tetap di sini… beri aku alasan untuk tinggal."Kata-kata itu menggema di pikirannya. Sejak pertemuan pertama mereka di bawah hujan, Rakha tidak pernah meminta apa pun darinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, pria itu meminta jawaban—sebuah kepastian.Tapi sebelum Aruna bisa bergerak, Dio masih berdiri di hadapannya, menunggu jawaban yang sama pentingnya."Aku tahu ini sulit," ucap Dio lembut. "Tapi aku nggak bisa pura-pura lagi. Aku masih mencintaimu, Aruna. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku janji kita akan memperbaiki semuanya."Aruna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Kenapa sekarang, Dio?" suaranya terdengar nyaris patah. "Kenapa setelah lima tahun baru kamu kembali?"Dio menarik napas panjang, ekspresinya berubah serius. "Karena aku menyadari satu hal… A
Bab 5: Ketika Masa Lalu Mengetuk PintuHari-hari berlalu, tetapi hati Aruna terasa semakin sesak.Setiap pagi ia bangun dengan perasaan yang sama—terjebak di antara dua pilihan. Dio, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, kini kembali dengan janji memperbaiki segalanya. Dan Rakha, pria yang datang tanpa isyarat, menawarkan kedamaian yang tak pernah ia duga.Namun, di antara kedua pria itu, ada satu hal yang pasti: seseorang akan terluka jika ia tidak segera memutuskan.---Sore itu, setelah jam kantor, Dio kembali menunggunya di lobi. Tidak peduli seberapa sering Aruna mencoba menciptakan jarak, Dio selalu menemukan cara untuk hadir."Aku antar kamu pulang?" tawar Dio, senyum ramahnya masih sama seperti dulu.Aruna menatap pria itu dengan hati yang bimbang. Bagaimanapun, Dio pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ia mengangguk perlahan. "Baiklah."Di perjalanan, Dio berbicara tentang hal-hal kecil—tentang pekerjaannya, tentang kenangan mereka di masa lalu. Aruna mencoba fokus,
Bab 4: Celah di Hati yang TertutupTiga hari sejak pertemuan di kafe, dan Aruna masih belum menemukan jawabannya.Di tengah-tengah rapat yang membosankan, pikirannya terus melayang. Dio atau Rakha? Masa lalu yang pernah membuatnya merasa paling dicintai, atau masa kini yang perlahan menawarkan rasa aman tanpa banyak janji?Suara Nadira menyentaknya kembali ke realitas. "Aruna, lo nggak fokus banget hari ini," bisik sahabatnya saat mereka keluar ruang rapat.Aruna menghela napas, berjalan menuju mejanya. "Gue… bingung, Dir.""Masih soal Dio dan Rakha?" Nadira menebak dengan mudah.Aruna mengangguk. Ia ingin menceritakan segalanya, tapi bahkan untuk mengatur pikirannya sendiri terasa sulit."Kalau gue jadi lo, gue bakal pilih orang yang tetap ada di saat lo hancur," Nadira melanjutkan dengan nada serius yang jarang terdengar darinya. "Bukan orang yang pergi di saat lo butuh dia."Kalimat itu menghantam sesuatu di dalam hati Aruna. Rakha. Dialah yang selalu ada. Tapi… apakah perasaan itu