Share

BAB 3 NAMANYA DAMAR

Karena kesal dengan Kakaknya, Zivana sampai tidak bisa memejamkan matanya. Bayangan bahwa sebentar lagi akan ada pria asing yang  datang dalam hidupnya membuat dia tidak tenang. Hampir seharian dia mengurung diri di kamar, demi menunjukkan protesnya kepada Ibu dan Kakaknya. 

Pria yang akan membuat hidupnya yang sudah aman dan tentram sekarang ini menjadi berubah. Zivana bergidik, memikirkan bagaimana saat dia tidur tiba-tiba ada seseorang yang tidur di sebelahnya. Zivana tahu bahwa saat itu akan tiba, tetapi tidak sekarang, di saat dia sedang ingin menata hidupnya setelah kuliahnya selesai. Dia masih ingin bekerja, berlibur dan melakukan apapun yang menjadi kesukaannya. Rencananya untuk bisa hidup sendiri setelah kuliah, akan gagal jika dia menikah. 

"Menyebalkan," pekik Zivana, kesal.

Hari berganti, dari siang menjadi malam.

Zivana memutuskan turun dari kamarnya saat merasakan lapar yang teramat karena seharian memikirkan tentang perjodohan itu. Dia pun turun dari kamarnya dan melihat sang Ibu sedang menata makanan di atas meja. Tetapi dia tidak melihat kakaknya di sana. Ibunya menoleh ke arahnya begitu kaki Zivana sampai di lantai dasar. Tatapan mata Ibunya menyiratkan rasa tidak suka. Membuat hati Zivana spontan tidak enak. Mungkin dia masih merasa kesal, karena penolakan yang dilakukannya.

"Ayo sini sayang, kita makan dulu." 

Ahmad melambaikan tangan kepada Zivana. Memintanya untuk duduk di kursi sampingnya. Ucapan ayahnya itu, sedikit menenangkan hati Zivana yang sedang dilanda kegamangan. Zivana pun berjalan menghampiri meja makan dan duduk disamping ayahnya dengan tenang tanpa berkata sedikitpun. 

Dia langsung mengambil makanan yang tersaji di depannya, dan mulai menyantapnya saat  ayahnya mulai mengobrol dengan ibunya. Zivana hanya diam mendengarkan. Meskipun pikirannya kini sedang bingung.

"Kenapa Sherafina pulang terburu-buru?" tanya Ahmad.

"Katanya besok pagi-pagi ada meeting penting di perusahaan yang tidak bisa dia tinggal. Dia sungguh mengorbankan dirinya demi keluarga kita. Sampai tidak sempat makan malam. Dia pergi, saat ada seseorang yang menelponnya tadi," kata Ibunya.

Kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir sang Ibu, seolah merupakan sindiran untuk Zivana. Namun gadis itu memilih diam dan hanya menikmati makan malam itu meskipun jauh di dalam hatinya, dia merasa perih karena semua pengorbanannya selama ini tidak terlihat di mata sang Ibu. 

"Haruskah aku menerima perjodohan ini agar Ibu bisa melihat bahwa aku juga berkorban demi keluarga ini?" batin Zivana, menjerit.

Perlakuan tidak adil yang dilakukan sang Ibu kepadanya, menyisakan luka tidak berdarah di hati Zivana. Hal itulah yang selama ini membuat dirinya selalu merasa berkompetisi melawan sang Kakak. 

"Kenapa kamu tidak bisa, padahal Kakakmu bisa."

Kalimat itu seolah menjadi mantra sihir yang selalu berhasil membuat hati Zivana remuk dan melakukan apapun yang diinginkan orang tuanya, khususnya sang Ibu. Tetapi tidak untuk saat ini. Ini hidupnya!

Dia akan memilih dengan siapa dia akan menghabiskan sisa hidupnya. Dia hanya ingin mencintai dan dicintai oleh suaminya kelak. Bukan dengan perjodohan semacam ini. Menikah dengan pria yang tidak dia kenal, tidak pernah terbersit dalam hidupnya. Apakah dia harus menerima?

Ahmad melihat putrinya yang menunduk sambil mengaduk-aduk makanan yang ada di piringnya merasa bahwa Zivana sekarang pasti sedang kepikiran dengan perkataan ibunya. Dia pun menepuk bahu Zivana lembut. 

Namun saat Zivana menoleh, seorang pelayan datang dan mengatakan bahwa di depan ada tamu untuk ayahnya. Ahmad pun langsung berdiri dari tempatnya, lalu pergi ke ruang tamu untuk melihat siapa yang mencarinya itu.

Deg!

Jantung Zivana seketika berdegup kencang. Dia teringat dengan ucapan Sherafina yang mengatakan bahwa pria itu akan datang malam ini. Apakah tamu itu orangnya? Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Zivana dilanda kepanikan. Namun dia tetap harus berpikir jernih, dia berdiri dari tempatnya. Sehingga Ibunya melihat ke arahnya.

"Mau kemana kamu, Zi?" tanya Rika. 

"Aku sudah kenyang, Bu."

Zivana menjawab dengan singkat, tanpa mau berdebat.

Rika melihat piring Zivana yang masih penuh. Tidak sedikitpun yang berkurang. Dia mengernyitkan keningnya sesaat, namun kemudian menghela napas dalam. 

"Yasudah, pergilah!" kata Rika, pelan.

Tanpa mau menunggu lebih lama lagi, Zivana pun beranjak dari duduknya. Namun dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran ingin melihat seperti apa pria itu. Sehingga dia diam di tempatnya beberapa saat. Menunggu.

Ibunya yang masih menikmati makanannya, melihat ke arahnya lagi. 

"Kenapa lagi, Zi?" 

Zivana menatap Ibunya. Lalu menggeleng, dan pergi dari sana. Dia berjalan perlahan menuju tangga yang menghubungkan tempatnya saat ini ke kamarnya. Samar-samar dia mendengar ayahnya sedang berbicara dengan pria itu. Namun tidak terdengar terlalu jelas di posisinya sekarang ini. 

Saat kaki Zivana menaiki dua anak tangga di depannya. Papanya datang ke tempat makan. kembali.

"Pria ini dari Jakarta, namanya Damar."

Sang Ibu langsung meletakkan peralatan makan yang dia pegang dan berdiri. 

"Itu orangnya Yah, dia datang!" pekik Rika, bersemangat.

"Siapa?" tanya Ahmad.

"Pria yang akan menjadi jodoh Zivana."

Ahmad terkejut, begitu pun dengan Zivana yang sekarang ini diam mematung di tempatnya berdiri. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status