LOGIN
Alika menatap bayangan dirinya di cermin kecil yang tergantung di sudut kamar kos sederhana itu. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu menarik napas panjang, mengusap rambut panjangnya yang hitam berkilau, lalu merapikan lipstik merah yang menempel sempurna di bibirnya yang ranum . Gaun hitam ketat yang baru saja ia kenakan membuat tubuh rampingnya semakin terlihat menawan. Sepasang high heels menunggu di lantai, siap menemaninya menjalani malam.
Di balik pantulan cermin, Alika nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Di siang hari, ia hanyalah mahasiswi di sebuah universitas ternama berpenampilan sederhana, rajin, dan selalu berusaha terlihat ceria di depan teman-temannya. Namun saat malam menjelang, ia berubah menjadi sosok lain, seorang pemandu karaoke kelas premium. Gadis yang dipuja banyak lelaki karena kecantikan dan pesonanya. Kehidupan ganda itu bukanlah pilihan mudah. Tapi bagi Alika, dunia malam adalah pelarian, sekaligus bentuk perlawanan terhadap masa lalu yang suram. Masa Lalu yang Membentuk Alika remaja tumbuh tanpa panutan seorang ayah. Sejak usianya 15 tahun, ia hanya mengenal wajah ibunya, Ratna, dan kakak perempuannya, Bella. Ayahnya pergi meninggalkan keluarga mereka karna ketahuan berselingkuh dengan seorang gadis muda. Sejak saat itu, mentalnya benar-benar hancur, ayah yang terlihat selalu memperhatikannya ternyata seorang pengkhianat keluarga. Ditambah lagi sikap ibunya yang lebih condong dan selalu mencurahkan kasih sayangnya hanya untuk Bella, sang kakak sulung yang selalu dipuji karena pintar, patuh, dan menjadi kebanggaan keluarga. Sementara Alika? Ia selalu dianggap bayangan. “Kenapa kamu nggak bisa seperti Bella?” suara ibunya masih sering terngiang di telinga, penuh penekanan dan rasa kecewa. Setiap kali Bella berhasil memenangkan lomba, Ratna tersenyum bangga. Tapi setiap kali Alika berbuat salah sedikit saja, omelan panjang menanti. Perasaan disisihkan itulah yang membuat Alika tumbuh dengan luka yang tak kasat mata. Malam-malam sepi sering ia habiskan dengan menatap langit-langit kamar, bertanya-tanya kenapa hidupnya seperti ini, kenapa tidak ada orang yang berpihak padanya. Tidak ada pelukan, tidak ada kata-kata penguat. Yang ada hanyalah tekanan, perbandingan, dan rasa rendah diri yang makin menumpuk. Ketika menginjak usia yang semakin dewasa, Alika mulai mencari cara untuk merasa dihargai. Ia menyadari kecantikannya bisa membuat orang memandangnya berbeda. Dari sana, ia belajar merias diri, belajar menutupi kepedihan dengan senyuman manis, hingga akhirnya terjerumus ke dunia yang menawarkan pengakuan. Dunia malam. Di kampus, Alika berusaha sekuat tenaga membangun citra berbeda. Ia hadir dengan raut wajah polos, pakaian sederhana, dan selalu berusaha terlihat serius. Teman-temannya mengenalnya sebagai gadis yang rajin, tenang, dan sedikit pendiam. “Alika, nanti ikut belajar bareng, kan?” tanya seorang temannya, Sinta, suatu siang. Alika tersenyum samar. “Iya, nanti aku nyusul.” Tidak ada yang tahu bahwa selepas belajar, ia akan bergegas pulang untuk berganti rupa. Tidak ada yang tahu bahwa jam sepuluh malam, ia sudah duduk di ruang karaoke berlampu redup, ditemani dentuman musik dan gelas-gelas minuman yang tak pernah kosong. Bagi teman-temannya, Alika adalah mahasiswi polos namun, bagi klien-kliennya ia adalah wanita penghibur yang memesona. Dua dunia yang sangat berbeda, dua wajah yang tidak boleh saling bersinggungan. Malam yang Gelap “Selamat malam, Alika.” Suara resepsionis menyambutnya ketika ia melangkah masuk ke sebuah klub karaoke premium. Lampu kristal berkilauan di langit-langit, lantunan musik mengalun pelan dari balik pintu-pintu ruangan. Alika melangkah anggun, menebarkan senyum profesional. Para pria yang sudah menunggu menyambutnya dengan tatapan penuh antusias. Mereka tidak tahu, di balik senyuman itu tersimpan jiwa yang lelah dan kesepian. “Wah....kamu memang selalu terlihat mempesona Alika." salah seorang klien berujar sambil menawarinya segelas minuman. Alika hanya tersenyum tipis, menahan rasa getir yang menyesakkan dada. Malam demi malam, ia harus memainkan peran. Menjadi gadis yang penuh tawa, mendengarkan keluhan para pria yang membayar mahal untuk ditemani. Padahal, jauh di lubuk hatinya, Alika hanya ingin seseorang yang benar-benar peduli, bukan karena uang atau penampilan, tapi karena dirinya apa adanya. Setiap kali malam berakhir, Alika kembali ke kamar kosnya dengan tubuh letih dan hati kosong. Ia menatap dirinya di cermin, bertanya-tanya sampai kapan bisa terus menjalani dua kehidupan yang bertolak belakang. Di satu sisi, ia ingin berhenti. Ia ingin membuktikan pada ibunya bahwa dirinya bisa berhasil tanpa harus menjadi bayangan Bella. Tapi di sisi lain, dunia malam memberinya pengakuan yang tidak pernah ia dapatkan di rumah. Di sana, setidaknya ia merasa dilihat, dihargai, meski hanya semu. Meski lelah, Alika tetap mempertahankan nilai kuliahnya. Ia tahu, pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar. Ia bertekad suatu hari nanti bisa membuktikan dirinya pada dunia, terutama pada ibunya. Namun, jalan yang ia pilih penuh risiko. Ia tahu, jika ada yang tahu siapa dirinya di malam hari, reputasi di kampus akan hancur seketika. Semua yang ia bangun bisa runtuh dalam sekejap. Alika hidup di ambang ketakutan setiap hari, takut rahasianya terbongkar, takut dicemooh, takut kehilangan masa depan. Tapi di balik semua itu, ada semangat kecil yang terus menyala. Semangat untuk bertahan, meski caranya seringkali menyakitkan. Hidup Alika adalah panggung sandiwara yang tak pernah berhenti. Di siang hari ia menjadi gadis polos, di malam hari ia menjadi wanita yang penuh pesona. Dua dunia yang saling bertabrakan, tapi anehnya justru membuatnya merasa utuh. Di dalam hatinya, Alika tahu ia tidak bisa selamanya bersembunyi di balik dua wajah. Suatu saat nanti, kebenaran akan terungkap. Dan ketika saat itu tiba, ia hanya bisa berharap ada seseorang yang mau melihat dirinya bukan dari wajah siang atau malam, tapi dari hati yang sesungguhnya. Untuk saat ini, ia hanya bisa melangkah di antara dua dunia dunia terang yang penuh harapan, dan dunia gelap yang membelenggu. “Semoga suatu hari nanti, aku bisa memilih satu wajah saja,” bisiknya pelan, sebelum menutup mata dan membiarkan mimpi membawanya ke dunia yang lebih damai.Tok… tok… tok… Suara ketukan di kaca mobil terdengar lagi. Alika sontak membeku. Napasnya tertahan, jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat. Getaran ponselnya masih terasa di telapak tangan — suara drrrttt yang tadi berulang kini terasa seperti ledakan keras di telinganya. “Om… matiinnn!” bisiknya panik. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat Adam menoleh sekilas dengan ekspresi geli di wajahnya. “Tenang, dia nggak bakal tahu,” ucap Adam santai, tapi jemarinya dengan cepat meraih ponsel Alika dan menekan tombol senyap. Namun suara getaran itu sudah telanjur terdengar. Di luar, Henry tampak berhenti sejenak, menatap mobil itu lebih lama dari sebelumnya. Tatapannya tajam dan curiga. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. Tok! Tok! Tok! Alika tersentak. Ia spontan meringsek ke bawah kursi, berusaha menyembunyikan seluruh tubuhnya di kolong mobil. Rambutnya berantakan, napasnya tersengal-sengal. “Om… tolong jangan buka kaca ya… sumpah jangan!” katany
"Aku....." "Aku su-" DRRRTTTTTTT Suara getar dari ponsel Alika memecah keheningan diantara mereka. Reflek Alika mengambil ponselnya terburu-buru, ia melihat layar ponselnya yang terus bergetar tanda ada panggilan masuk. "Siapa yang menelfon?" ucap Adam sambil sedikit mengintip layar ponsel Alika. "Henry menelfon." Saat Alika hendak memencet tombol hijau untuk membalas panggilan dari Henry, dengan cepat Adam meraih ponsel itu. Adam tidak mematikan panggilan itu, ia hanya merampas ponsel Alika dan membiarkan panggilan dari Henry terus berbunyi tanpa dijawab. "Jangan angkat telfon nya!" Ucap Adam memerintah. Nadanya memang terdengar dingin tapi, Alika seperti merasakan hal lain dari ucapan Adam. Seperti.... "Kumohon Alika, dengarkan dulu ucapanku." Benar saja, ucapanya seperti memohon. Hal ini membuat Alika semakin bingung dengan keadaanya sekarang. Ponselnya terus berdering dan Adam masih memegang kendali atas ponselnya. Pria itu menarik napasnya makin dalam,
Ting tung Suara bel apartemen itu kembali lagi berbunyi, dan mereka masih dalam posisi yang sama. Dalam sunyi, bel tersebut berbunyi menggema keseluruh ruangan. Tubuh mereka masih saling menempel, kulit dengan kulit, dada dengan dada hingga detak jantung yang berdebar diantara mereka bisa terdengar dan terasa getarannya. Adam mendengus kesal, ia bangkit dari atas tubuh Alika lalu menggunakan celananya tanpa kembali mengenakan kemejanya. Sebelum benar-benar bangkit meninggalkan tubuh Alika, Adam menutup tubuh Alika kembali dengan kemeja putih itu. Jari-jarinya dengan tenang mengancing satu per satu, dan ia menyibakkan rambut Alika yang berantakan. “Jangan bergerak dulu,” ucapnya lirih. Suaranya datar, tapi tegas. Alika hanya menatapnya dari bawah, matanya masih memantulkan sisa-sisa kebingungan serta sedikit penyesalan. “Kenapa gue mau digituin lagi sih?” rutuknya dalam hati. Langkah sepatu Adam terdengar berat di lantai kayu apartemen. Setiap langkah terasa berirama den
“Selamat datang kembali… di neraka kecilmu, Alika.”Alika membeku. Tatapannya yang baru saja berusaha fokus langsung membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Suara Adam begitu dekat, begitu dingin, hingga membuat tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Ia ingin menjauh, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Tangannya yang terpasang infus hanya bisa bergerak sedikit, gemetar tanpa arah. Ketakutan kembali mencengkeram, menelan sisa-sisa kesadarannya yang baru saja pulih. Adam menatap reaksi itu dengan penuh kesenangan. Jemarinya masih menahan wajah Alika, ibu jarinya bergerak pelan menyapu air mata yang mulai mengalir lagi di sudut matanya. “Tenang saja,” bisiknya, suaranya terdengar nyaris menenangkan—tapi justru membuat bulu kuduk berdiri. “Kamu masih hidup. Dan aku yang memastikan itu.” Mata Adam berkilat. Senyumnya melebar, bukan sekadar puas, tapi juga seolah ingin menunjukkan bahwa kendali sepenuhnya ada di tangannya. Alika menelan ludah dengan susah payah. Tubuhnya le
Tubuh Alika melemah, pandangannya kabur, lalu perlahan terkulai. Pecahan botol yang tadi digenggamnya terlepas, jatuh berderak ke lantai. Namun sebelum tubuh rapuh itu benar-benar menghantam kerasnya lantai dan serpihan kaca, Adam lebih dulu menangkapnya. BRUK! Dengan satu gerakan mulus, lengan kokohnya merangkul bahu Alika, menahan tubuh mungil itu dalam dekapan. Kepala Alika terjatuh di dada bidangnya, rambutnya berantakan menempel pada jas Adam. Sekilas, Adam hanya menatap wajah pucat itu, tubuh Alika benar-benar lemas tak ada gerakan sedikit pun. Bibirnya terkatup, napasnya tipis, dan badannya terkulai tanpa daya dalam pelukan Adam. Semua karena rasa takut yang menelannya bulat-bulat. Dan saat itu, sudut bibir Adam perlahan terangkat. Ada sesuatu yang ironis di matanya. Dalam hati, ia setengah tertawa melihat betapa mudahnya ketakutan bisa meruntuhkan keberanian seorang gadis yang beberapa menit lalu masih menantangnya dengan pecahan kaca. Jadi segini nyalimu, Alika? b
BRAK! Adam membanting tubuh Alika kedalam mobil. Berkali-kali Alika mencoba membuka pintu mobil, tapi sia-sia, pintunya terkunci rapat. Panik, ia memukul-mukul kaca sambil berteriak minta tolong, berharap ada seseorang di luar sana yang mendengar jeritannya. Adam tetap diam. Tangannya kokoh menggenggam setir, wajahnya tegang, sorot matanya tajam, memantulkan amarah yang jelas sedang mendidih. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, tapi ketegangan di dalam kabin membuat Alika merasa terjebak dalam kurungan besi. Ketakutan yang semakin memuncak membuat Alika nekat. Tangannya meraih setir, membelokkannya dengan kasar. Mobil sontak oleng, klakson dari kendaraan lain bersahutan memenuhi jalan. Adam mengumpat pelan, dengan terpaksa ia meminggirkan mobil dan menghentikannya mendadak di tepi jalan. “Turunkan aku!” seru Alika dengan napas terengah, suaranya pecah, penuh tangis yang tertahan. Adam menoleh pelan. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya sorot mata dingin yang membuat darah Alik







