Share

PELUK DAN AIR MATA

"Panji?!"

Tangan Kirana menepuk bahu pria yang memunggunginya. Panji berbalik, kepalanya sedikit tertunduk untuk melihat wajah perempuan setinggi dadanya. Mata mereka bertemu. Waktu dipaksa untuk berhenti, orang-orang seolah tak ada, hanya ada mereka berdua sedang saling memandang satu sama lain. Kirana menitikkan air mata, tidak salah lagi, memang pria semrawut beraroma kayu di hadapannya ini adalah Panji. Panji mantan kekasih masa SMA yang delapan tahun menghilang tanpa jejak. Mata Panji berkedip-kedip, mereka berdua ditarik kembali pada kenyataan. Tangan Kirana terbuka hendak memeluk Panji, tapi Panji terlihat jelas menghindar, dan malah menjulurkan tangan kanannya.

"Lama gak ketemu, Ran," ucap Panji kikuk.

Wajah bulat Kirana yang sudah banjir air mata tampak plonga-plongo kebingungan, suasana yang tadi dirasa haru berubah menjadi canggung. Kirana menyeka air matanya lalu menyalami tangan besar Panji, dia sempat kaget lantaran telapak tangan Panji terasa sangat kasar dan tebal. Entah pekerjaan apa yang sudah dikerjakan tangan itu sampai begitu kasarnya.

"Kamu, ke mana aja?" lirih Kirana menahan supaya tidak menangis lagi.

"Pindah ke luar kota-,"

"AKH!!!" Tiba-tiba Kirana berteriak histeris sambil menjambak rambutnya. Panji kaget bukan kepalang, dikiranya Kirana kerasukan. Kirana menggoyang-goyang kepala frustrasi, dia sudah tidak sanggup menahan gejolak di dada. Dia ingin berteriak, dia ingin marah, dia ingin memukul Panji, tapi sekaligus ingin memeluknya erat-erat dan mengatakan seberapa kangen dia. Tumpukan perasaan tak bertuan itu mendidih di dalam tubuh Kirana. "Kamu ... Brengsek!" Kirana mengumpat pelan seraya menatap sinis Panji, lalu kemudian berlari sambil menangis.

Untuk sedetik Panji membeku, otaknya lambat memproses. Dia terkenang masa lalu, sudah biasa Kirana lari sambil menangis. Kalau dulu, dia akan memilih untuk membiarkan sampai Kirana kembali stabil dan tenang, tapi kalau sekarang dia biarkan, mungkin mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Dia menimbang sesaat, menyusul atau tidak? Buku tua di tangan yang belum sempat dibeli dia letakkan kembali ke atas tumpukan buku lainnya, secepat angin dia berlari menyusul kirana, tas sandang besar berbahan kain tua yang dia pakai ikut terguncang-guncang seiring langkah panjangnya.

Kirana tidak berlari jauh. Masih seperti dulu, dia selalu menepi ke tempat yang sepi untuk berjongkok memeluk lutut, dan menumpahkan air mata. Sekarang tempat yang dia pilih adalah di bawah pohon mangga yang cukup rindang, berada di pojokan tempat area hijau Plaza, nyaris tak ada orang yang lewat sanaDia kesampingkan nasihat neneknya dulu: kalau petang jangan berada di dekat pohon, awas kesambet. Lagian, siapa sih yang bakal peduli hal mistis kalau sedang berada di situasi seperti ini?

Kaki Panji mendekat pelan-pelan, takut jika emosi Kirana akan meletus lebih seram dari sebelumnya. "Ran?" Tangan kirinya mengusap lembut pundak Kirana. "Rana?" panggilnya lembut.

"Kamu tau gak sih apa yang udah kamu lakuin?! Kamu sadar gak?!" Kirana mengamuk lagi tapi posisinya tak berubah. "Kamu hilang gak tau ke mana! Aku hubungin gak bisa! Rumah kamu dipasang papan dijual! Aku hampir gila tau, gak?! Sekarang, bisa-bisanya kamu cuma bilang 'lama gak ketemu'?!!" semburnya lagi. Kalau saja nafas Kirana bisa mengeluarkan api seperti naga, pasti pohon di depannya tinggal sisa abu.

"Aku gak tau kalo kamu sampe kaya gitu," lirih Panji, "tapi aku sama sekali gak berniat untuk menyakiti kamu, kok." tutupnya.

"Gampang banget ya kamu ngomong gitu!" Kirana belum puas kalau tidak marah secara langsung. Dia berbalik, mereka berdiri bertatapan, tapi hatinya luluh setiap melihat wajah Panji. "Kamu kejam banget, Nji. Minimal waktu itu kalo kamu memang mau mengakhiri hubungan kita, kita bisa coba akhiri baik-baik, bukan pake cara hilang tiba-tiba. Kamu jahat banget." Kirana tampak seperti Cinta versi dramatis yang tengah memarahi Rangga.

Wajah Panji memelas, dia semakin mendekatkan dirinya pada Kirana. Walau Kirana awalnya sok jual mahal, tapi dia kalah juga pada kerinduan yang jauh lebih besar. Mereka akhirnya berpelukan. Tidak tahu itu pelukan bermakna apa, apakah sebagai temu kangen dua teman lama? Atau pertanda kembalinya terajut tali kasih? Baik Kirana maupun Panji, sama-sama tak tahu menafsirkannya.

"Maaf, ya. Maaf karna udah menyakiti kamu separah ini, sumpah aku sama sekali gak tau kalo kamu bakal nyariin aku. Aku pikir malah kamu gak mungkin ingat sama aku." Telapak tangan Panji yang besarnya nyaris menyamai kepala belakang Kirana, perlahan mengelus rambut Kirana sampai ke punggung.

Muka Kirana sudah tenggelam di dada bidang Panji, jaket tebal sedikit berbau apek itu telah basah oleh air matanya yang tak kunjung reda. "Kenapa kamu bisa mikir kaya gitu?! Memang apa yang salah sama hubungan kita waktu itu?!"

"Aku merasa waktu itu kita sama-sama gak bahagia, kita terlalu sering berdebat, berantem. Aku pikir kalo diteruskan, hubungan kita bakal berakhir gak sehat, makanya aku pilih pergi diam-diam. Takutnya kalo aku bilang ke kamu, aku bakal jadi ragu sendiri," aku Panji.

"Jadi waktu itu kamu memang sudah ada niatan untuk mutusin aku?" Suara Kirana merendah. Ada nada permohonan dugaannya akan dibantah. Sayangnya, Panji sama sekali tidak membantah.

"Iya. Aku pikir itu keputusan yang paling tepat buat kita."

Tubuh Panji terdorong ke belakang, untung keseimbangannya tidak goyah. "Kalo gitu jangan pernah lagi lu muncul di hadapan gue!" teriak Kirana, egonya berhasil dicabik-cabik. Mereka berdua kembali saling melempar pandang dalam kesunyian, saling bertanya dalam hati: benarkah semua akan betul-betul berakhir sekarang? Terutama untuk Kirana yang sudah jelas menanti selama delapan tahun, apa iya penantian delapan tahunnya akan selesai seperti ini saja?

Aksi saling lempar pandang itu terhenti setelah Akbar datang dengan muka super bingung. "Kamu ngapain di sini, Na? Aku nyariin kamu ke mana-mana, aku pikir kamu nyasar apa gimana. Gak mungkin juga kamu pulang gitu aja tanpa ngasih tau aku." Dia berceloteh panjang lebar, mengabaikan keberadaan Panji.

Kirana sengaja menggandeng tangan Akbar dengan harapan perbuatan itu sedikit banyak bisa mengganggu pikiran Panji, dan biar dia tahu kalau Kirana sudah move-on. "Jangan pernah muncul lagi di hadapan gue! Kalo pun kita gak sengaja ketemu, mending lu pura-pura gak kenal aja! Enyah aja selamanya!" Dia memaki-maki Panji sebentar sebelum menarik lengan Akbar untuk pergi dari sana, meninggalkan Panji yang hanya bisa memandangi punggung mereka dengan mata nanar.

***

"Tadi itu siapa, Na?" Akbar langsung angkat suara setiba mereka kembali ke kafe.

Kirana tak lekas menjawab, jantungnya bahkan belum stabil. Dia ambil dulu segelas air putih untuk diteguk habis. Akhirnya tenggorokannya yang kering sehabis berteriak-teriak tadi kembali segar. Kirana memastikan dulu otaknya sudah cukup jernih untuk menjawab rasa ingin tahu Akbar. "Dia mantan gue waktu SMA," jawabnya cuek sembari duduk.

Mendengar jawaban tak disangka itu, Akbar dan Fitri sama-sama memberi perhatian ekstra. Keduanya kepo ingin mengetahui lebih lanjut cerita Kirana. "Aku gak nyangka kamu bisa pacaran sama cowok seram kaya gitu." Akbar mengutarakan penilaiannya.

"Udah delapan tahun lalu, dulu dia gak kaya sekarang. Gue juga gak tau kenapa dia bisa kaya gitu, mungkin dia kerja di alam liar apa gimana, entahlah."

"Kamu gak pernah cerita sama aku kalo kamu punya mantan." Pilihan Akbar untuk merajuk betul-betul salah tempat dan waktu.

"Harus banget ya dibahas sekarang?! Kita juga baru pacaran, kita belum terlalu saling mengenal!" Amarah Kirana yang masih tersisa sedikit, dia tumpahkan pada Akbar.

"Maaf, Na. Aku gak bermaksud-,"

"Udah deh, persetan sama maksud lu! Niat lu! Gue mau pulang!" Kirana menyambar tas kerjanya.

"Na, tapi gimana sama makan malam kita?"

Emang dasar tolol bin blo'on nih Akbar, dalam situasi Kirana mode setan, bisa-bisanya malah lebih mementingkan soal rencana makan malam. Wajar saja Kirana tidak membalas lagi, hanya memberinya tatapan maut berikut tanduk setan di atas kepala. Akbar takut untuk bertanya lebih lanjut, dia biarkan saja kekasih satu harinya itu keluar untuk memanggil taksi. Diam-diam Fitri memandangi muka sedih bosnya.

"Mau aku bikinin kopi atau waffle?" Fitri memberi tawaran.

"Gak usah." Seperti biasa Akbar menyahut pendek.

Keduanya terdiam. Saling menenangkan hati masing-masing yang menerima penolakan sebagai makanan sehari-hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status