Jarum pendek jam dinding bergambar Spongebob yang tergantung di atas kepala Welas menunjuk angka 5. Kirana celingak-celinguk mengamati satu per satu rekan kerjanya yang masih sibuk bekerja. Pelan-pelan dia memadamkan komputer lalu memasukkan printilannya ke dalam tas. Dia celingak-celinguk sekali lagi, memastikan tak ada yang memperhatikan dirinya sekaligus memantapkan niat. Setelah yakin benar, Kirana mengendap-endap menuju pintu keluar. Sebelum sampai di pintu kaca tersebut, Kirana sekali lagi mengecek ke belakang, untung seluruh rekan sedivisinya masih sibuk berjibaku dengan komputer.
“E-HEM!”
Kirana langsung memejamkan mata dan meringis lebar. Dia tertangkap basah Pak Yayuk yang sedari tadi terus memantau gerak-geriknya dari CCTV.
“Sore, Pak Yayuk~” Kirana memasang tampang polos, berharap tidak kena sembur api maut Pak Yayuk yang maha sakti.
“Udah kerja bulan ini paling gampang, mau pulang paling cepat, lagi!” Mata Pak Yayuk yang kecil dipaksakannya untuk melotot. Jemari-jemari pendeknya yang bulat-bulat dan unyu-unyu sudah berada di pinggang.
“Hehe, kan udah pas Pak waktunya, udah jam 5 sore,” dalih Kirana terkekeh.
“Harusnya kamu itu lembur! Sekalian bantu divisi lain buat foto kopi! Ini malah pulang duluan!” Dialek khas Surabaya-an Pak Yayuk sampai keluar secara alami, ini sudah pertanda kemarahan Pak Yayuk hampir ultimate.
“Maaf ya, Pak~ Justru karna gak ada kerja lagi makanya saya mau pulang duluan.” Kirana pura-pura menyesal sambil mengerucutkan bibirnya.
“Siapa bilang gak ada kerja lagi?! Tuh!” teriak Pak Yayuk sambil menunjuk ke arah rekan-rekan kerja Kirana, “yang bikin kopi buat yang lembur siapa?!” sambungnya.
“Masa iya saya mesti nungguin mereka, Pak? Mereka kadang sampe jam 11, Pak.”
“Nah itu kamu tau! Mereka kerja sampe jam 11! Contoh itu!”
Kirana salah memilih diksi. “Gini deh, Pak. Saya beliin mereka kopi aja ya, Pak? Dari kafe punya pacar saja, saya traktir.” Kirana nyengir menunjukkan gigi-gigi besarnya.
“Kamu mau pamer kalo kamu sekarang udah gak jomblo lagi?! Mentang-mentang!” Pak Yayuk salah fokus, ada aja celah baginya untuk menguliti Kirana.
“Bukan gitu, Pak-,”
“Ya udah ok, deh!” sela Pak Yayuk. Tawaran Kirana cukup menggiurkan juga. Lumayan, hitung-hitung tak perlu lepas uang untuk membeli starbak. “Saya maunya kopi susu pake banyak krim, ya,” pintanya seraya berbalik kembali ke dalam ruangan.
Yes! Kirana bersorak lagi. Dia menggigit lidahnya pelan sebagai wujud kepuasan, lalu ngacir keluar. Pak Yayuk lemah, pikirnya. Disogok kopi saja selesai, bagaimana disogok yang lain? Untung dia bukan politisi.
***
Musik instrumental beraliran chill-hop—yang lagi hits di kalangan anak muda—diputar via Youtube mengisi latar sekaligus teman minum kopi santai. Kafe yang mengusung tema Pink itu terletak di salah satu kawasan Plaza, berdampingan dengan sebuah Pujasera. Kawasan yang tak terlalu strategis mengingat daerah itu cukup ramai, suasana santai dan tenang yang diinginkan malah sulit terealisasi. Meski ditutup pintu kaca, tetap saja suara dari jalan besar dan Pujasera tembus sampai ke dalam. Tapi, rezeki tak ke mana dan tak tertukar kalau kata orang-orang, kafe yang notabene milik Akbar itu memang selalu ramai pengunjung.
Selain kopi, menu andalan mereka adalah kue-kue tar manis sebagai pendamping. Rata-rata yang datang berkunjung pun adalah remaja-remaja kasmaran yang sedang berkencan murah meriah, atau pembeli-pembeli buku yang butuh ketenangan sejenak sehabis membeli buku dari toko buku bekas yang berada di seberang jalan. Lapak toko buku bekas itu juga adalah salah satu pemicu kebisingan. Saking populernya, mereka kerap kedatangan pembeli dari luar kota yang sengaja datang untuk berburu buku, persaingan dan saling sikut pun lumrah terjadi. Banyak yang tidak untuk dibaca sendiri, melainkan dijual kembali dengan harga lebih tinggi.
Seperti hari kerja biasa, Akbar turun sendiri menjaga kasir bahkan kadang menyiapkan kopi untuk pelanggan tertentu dengan pesanan khusus. Menjelang Magrib, para pengunjung satu per satu telah pulang, tersisa dua remaja putri yang masih menikmati kopi sambil membaca buku. Akbar bisa duduk santai sekarang. Dia menopang dagu di meja kasir sambil mesem-mesem sendiri.
“Senang banget, Bos. Habis dapat lotre?” Karyawan teladan nomor satu, Mahmud alias Mamut, iseng menyelidik sembari terus me-lap meja tamu.
“Maklum, Mut. Habis jadian sama doski.” Karyawan teladan nomor 2, Fitri, menimpali sinis.
Karyawan kafe cuma ada dua. Mamut dan Fitri. Dua-duanya kuliah di kampus yang sama, dan sudah berteman sejak SMP. Mamut bagian minuman, Fitri bagian kudapan, mereka saling melengkapi di dapur maupun di luar dapur. Hubungan mereka sebatas friend zone, Fitri jelas tahu bagaimana perasaan Mamut tapi dia menolak dengan alasan tidak suka rambut brokoli Mamut, padahal alasan sebenarnya karena dia diam-diam menginginkan Akbar. Sementara Akbar sama sekali tidak pernah melihat Fitri sebagai lebih dari karyawan, soalnya cewek tomboi seperti Fitri bukanlah tipenya. Ada cinta segi tiga tak terlihat di antara mereka.
“Jadi udah fix nih sama Kirana? Kereeenn.” Mamut mengacungkan jempol.
“Yoi!”
Kirana panjang umur, baru saja diomongin, dia pun datang, tapi mukanya masam cemberut. “Tumben, Na, kamu ke sini. Tau gitu tadi aku jemput.” Akbar jadi makin berbunga, pujaan hatinya tiba tanpa disangka-sangka. Mamut dan Fitri saling pandang dengan bibir meleot-leot seakan sedang berkomunikasi menggunakan bahasa siput.
“Iya! Gue pulang cepat tapi mesti traktir kopi buat yang lembur!” ungkap Kirana jengkel. “Tolong, dong. Buruan bikinnya, sebelum gue diteror pak Yayuk.” Dia memerintah tanpa sungkan.
“Biar gue yang atur, apa aja pesanannya?” Mamut mengeluarkan pena dan buku kecil lalu mencatat pesanan Kirana.
Mamut bergerak cepat menyiapkan beberapa gelas kopi dibantu Fitri. Tiap senggang, Fitri memang selalu ikut turut meringankan kerja Mamut.
“Berapa?” tanya Kirana seraya mengeluarkan dompet.
“Jangan! Biar aku aja.” Akbar lekas menolak.
“Gue ke sini buat beli kopi bukan malak kopi.”
“Gak usah, anggap aja ini salam perkenalanku sama rekan-rekan kerja kamu. Orang sekitar kamu kan nantinya juga akan jadi orang sekitarku juga.”
Ucapan semanis kurma barusan sukses bikin bulu kuduk Kirana berdiri, geli parah.
“Iya deh, Malih. Serah lu,” sahut Kirana cuek campur pasrah.
Selesai kopi dibuat, Kirana berniat untuk langsung mengantarkan, tapi lagi-lagi Akbar mencegah. Dia mau mengajak Kirana untuk sekalian makan malam, biar Mamut saja yang mengantar. Sekali lagi Kirana pasrah dan menyerahkan seluruhnya pada Akbar. Sambil mengingatkan alamat kantornya sekali lagi pada Mamut, Kirana ikut mengantar sampai ke halaman depan tempat sepeda motor Mamut diparkir. Saat mulutnya terus mengoceh, matanya turut bergerak-gerak sembarang tanpa arah yang jelas, ketika itu lah Kirana tak sengaja menemukan sosok yang sudah delapan tahun ini dia tunggu dan cari, Panji!
Dagu Kirana sampai terjatuh, jantungnya meletup-letup, membuat darahnya mengalir kencang seolah baru dibuka kerannya, kedua bola matanya pun tak berkedip. Pria tinggi berjaket tebal, bercelana gombrang serta berambut gondrong sedikit melewati bahu, dan memakai topi kupluk hijau tua yang sedang berdiri di toko buku bekas itu ... Mungkin kah panci? Eh, Panji?!
Bisa iya. Bisa tidak.
Bentuk pahatan mukanya yang besar memang Panji, ukuran dan tinggi badannya juga sangat Panji. Tapi gayanya kok lebih mirip gelandangan?! Kalau itu Panji, dia tampak seperti pendaki gunung yang baru saja melakukan teleportasi untuk sampai ke sini. Orang stres pun barangkali tidak akan keluar rumah dengan pakaian serba tertutup begitu di cuaca panas musim kemarau begini. Warna kulitnya yang hanya bisa dinilai dari muka pun, terlihat lebih gelap alias kucel. Rambut gondrongnya juga walau hanya dilihat dari jauh, tampak kasar tidak terawat.
Dia sedikit memberikan kesan anak indie-senja-kopi yang cukup dihindari Kirana selama ini (habisnya mereka suka mengkritik selera musik Kirana yang lebih doyan mendengar lagu-lagu Ariana Grande atau Taylor Swift. Siap, deh yang selera musiknya paling berkualiti). Oh, Panji. Kirana meratap masih memandangi, matanya mulai berkaca-kaca. Kamu benar Panjiku? Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, bagai adegan di film India, Kirana berlari menuju tempat Panji berdiri.
"Panji?!"Tangan Kirana menepuk bahu pria yang memunggunginya. Panji berbalik, kepalanya sedikit tertunduk untuk melihat wajah perempuan setinggi dadanya. Mata mereka bertemu. Waktu dipaksa untuk berhenti, orang-orang seolah tak ada, hanya ada mereka berdua sedang saling memandang satu sama lain. Kirana menitikkan air mata, tidak salah lagi, memang pria semrawut beraroma kayu di hadapannya ini adalah Panji. Panji mantan kekasih masa SMA yang delapan tahun menghilang tanpa jejak. Mata Panji berkedip-kedip, mereka berdua ditarik kembali pada kenyataan. Tangan Kirana terbuka hendak memeluk Panji, tapi Panji terlihat jelas menghindar, dan malah menjulurkan tangan kanannya."Lama gak ketemu, Ran," ucap Panji kikuk.Wajah bulat Kirana yang sudah banjir air mata tampakplonga-plongokebingungan, suasana yang tadi dirasa haru berubah menjadi canggung. Kirana menyeka air matanya lalu menyalami tangan besar Panji, dia sempat kaget lantaran telapak tanga
Seminggu lamanya Kirana mengurung diri di indekos. Dia mengajukan cuti, untungnya Pak Yayuk sedang berbaik hati untuk memberinya kelonggaran (kalau dipikir-pikir, Pak Yayuk kurang baik apa coba sama Kirana?). Sudah tiga hari juga Kirana jatuh sakit, dia menghabiskan waktu hanya dengan golekan di kasur, tidak memiliki motivasi untuk melakukan apapun, badannya jadi demam, dan kepalanya pusing. Nafsu makannya pun hilang, paling hanya sekali sehari memesan makanan cepat saji. Siapa lagi penyebab ini semua kalau bukan Panji. Gara-gara pertemuan dengan Panji minggu lalu, tak sedetik pun pikiran Kirana tenang. Ada banyak tentang Panji yang berseliwer silih berganti di otaknya, ada banyak pertanyaan yang sebetulnya ingin dia ajukan pada Panji. Rasa sesal setelah kemarin memaki Panji sekaligus bilang tak mau berjumpa lagi hanya membuat lukanya kembali bernanah.Tok! Tok! Tok!Pintu indekos digedor ketika Kirana sedang menonton TV dengan tenaga tersisa 5 watt. Mat
Pohon jambu air sedang berbuah lebat di halaman depan sebuah rumah tua berpagar rendah. Halaman yang cukup luas dikotori daun-daun dan jambu-jambu air yang jatuh dan telah membusuk, jauh dari kata rapi apalagi bersih. Rumah bercat putih pudar itu mengingatkan Kirana pada rumah-rumah yang dia lihat di film-film Warkop DKI, rumah era 80'an. Dengan pintu besi berukuran besar, jendela pun besarnya hampir menyamai sebagian tembok, berada di muka dan sisi samping rumah, serta berlantai teraso. Kalau saja diberi sedikit polesan dan dirawat benar-benar, tentu rumah lawas itu akan terlihat indah dan menawan. Sayangnya ini malah terlihat suram seperti rumah hantu, Kirana jadi ragu untuk masuk. Ada apa gerangan Panji menempati rumah seseram ini? pikir Kirana heran."Nji ...! Panji ... !" Kirana memutuskan berseru memanggil dari luar pagar yang juga telah berkarat di sana-sini.Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan rumah itu berpenghuni, masa iya Panji memberi alamat palsu? Emang
Bibir Kirana maju lima senti, tangan kirinya yang selama hampir tiga puluh menit menopang dagunya juga mulai kesemutan karena pegal, berkali-kali matanya melawan rasa kantuk yang menyerang. Keterlaluan sekali Panji, dia asyik memilih buku sampai mengabaikan Kirana. Ngapain ngajak kalo gini, anjrit! semprot Kirana dalam hati. Mereka tadinya memang ketemuan di toko buku bekas di depan kafenya Akbar, tapi karena Kirana tidak ingin Akbar tahu, dia mengajak Panji ke toko buku bekas lain dengan iming-iming dia tahu toko buku yang menyediakan lebih banyak pilihan buku tua.Sial, iming-iming asal bunyi itu malah jadi kenyataan. Panji sungguh berjumpa banyak buku-buku yang sudah lama dia cari. Kurang tega apa lagi si Panji, sudah membiarkan Kirana menunggu sekian tahun, seakan tidak cukup, sekarang dia membuat Kirana harus menunggu lagi.Puk!Buku setebal tiga ruas jari telunjuk orang dewasa tepat mendarat pelan di atas kepala Kirana. Rupanya Panji. "Kamu ngantu
Mari selisik sebentar, apa yang istimewa dari Panji? Sampai bikin Kirana cinta mati kewer-kewer padanya. Semua bermula di kelas 12 yang sebelumnya sudah dibahas. Tapi lebih tepatnya di akhir semester pertama. Hari jadwal piket Kirana jatuh di hari selasa. Memang sial, hari selasa diisi orang-orang malas. Bayu dan Raka duo tukang onar, sebelum bel pulang berbunyi, batang hidung keduanya sudah lenyap.Rasman cuma membersihkan papan tulis, setetes keringat saja tidak keluar dari pori-pori tapi dia sebut itu termasuk piket. Sisanya tinggal Ayudia dan Laksmi, Ayudia beralasan ada les piano yang mendadak, dan teramat sayang kalau dilewatkan. Nah, kalau Laksmi sedang absen. tersisalah Kirana satu-satunya hari itu untuk menyapu sekaligus mengepel seluruh kelas dan teras.Kirana yang sejatinya memang super lambat selambat keong bisa butuh waktu berjam-jam untuk menyelesaikan semua pekerjaan. Alhasil dia pulang sendirian lewat pukul 3, hanya tersisa beberapa adik kelas yang seda
“... Na! Kirana!” panggil Akbar. Berhubung Kirana terlalu larut berkutat dengan hape barunya, Akbar tidak punya pilihan selain menepuk bahunya.“Aposeh?” tanya Kirana agak sebal, arah matanya tidak bergeser dari layar hape.“Malam ini film yang kamu tunggu-tunggu udah rilis, loh.” Akbar duduk di hadapan Kirana lalu menopang dagu di atas meja, memasang tampang manis sebagai isyarat untuk mengajak nonton.“Film apaan ya, yang lagi gue tunggu-tunggu?” Kirana mengingat-ingat, alangkah banyak daftar film yang ingin dia tonton bulan ini. “Oh!” Dia berseru setelah menangkap satu judul. “Dua Garis Polisi! Yang itu, kan? Gue emang nungguin banget tuh film, udah rilis beneran?” Hape dia buka kembali untuk mengecek jadwal tayang bioskop di laman mbahgugel.“Bener, kan? Gimana kalo kita ajak Mila sama Adam? Kita kencan ganda?” usul Akbar yang langsung bikin Kir
Komputer di meja kerja Kirana masih memutar salah satu video dariyoutuberfavoritnya, Otto Gledek. Meski video itu seharusnya membuat penonton tertawa minimal mesem-mesem, Kirana malah bengong, matanya kosong. Welas yang baru kembali dari toilet mencuil pipi Kirana gemas. "Oi, kenapa lu? Kayak orang patah hati aja. Habis diputusin pacar lu yang punya kafe itu?" Dia menyelidik sambil menggoda."Hah! Kampret lu, Las," senggak Kirana, "lagi bingung nih gue. Udah seminggu gue dianggurin, cuma gara-gara gue ngajak mantan buat nonton bareng," bebernya curhat.Welas duduk anteng di kursinya, ingin tahu lebih lanjut, jarang-jarang Kirana mau cerita soal masalah pribadi. "Trus? Trus? Lu dicuekin pacar lu itu?" Sesekali Welas menyedot kopi dinginnya, menyiapkan diri untuk mendengar drama."Iya! Gue juga dicuekin sama mantan gue, itu yang paling bikin gue stres. Masa seminggu inichatgue kagak dibaca, padahal cuma hal sepele doang."
Mulut Kirana mengakak lebar menertawakan humor yang dilempar Welas sejak keluar dari lift tadi, gara-gara curhat kemarin sekarang mereka jadi mendadak bestfriend. Makan bareng, ngopi bareng, ke toilet bareng, pulang juga bareng seperti saat ini. Baru saja kaki Welas keluar dari pintu, tangannya lekas menyikut Kirana, lalu menunjuk sesuatu dengan bibirnya. Kirana mengikuti arah pandang Welas.Rupanya Akbar. Pria itu melipat tangan di depan dada, menunggu Kirana tidak jauh dari pintu keluar gedung tempat Kirana kerja. “Lu pulang duluan, ya. Biar gue selesaikan masalah gue,” kata Kirana sudah siap amunisi.“Good luckya, Na.See ya!” Welas beranjak, menyetop taksi.Kirana mendekati Akbar yang sedang memandangi jalan dengan muka gelisah. “E-hem! Lagi nunggu gue?” tanya Kirana dingin. Akbar menoleh cepat, wajah kagetnya berubah semringah setelah melihat sosok Kirana.“Iya! Kamu belum juga ba