Share

KIRANA UDAH GILA!

Seminggu lamanya Kirana mengurung diri di indekos. Dia mengajukan cuti, untungnya Pak Yayuk sedang berbaik hati untuk memberinya kelonggaran (kalau dipikir-pikir, Pak Yayuk kurang baik apa coba sama Kirana?). Sudah tiga hari juga Kirana jatuh sakit, dia menghabiskan waktu hanya dengan golekan di kasur, tidak memiliki motivasi untuk melakukan apapun, badannya jadi demam, dan kepalanya pusing. Nafsu makannya pun hilang, paling hanya sekali sehari memesan makanan cepat saji. Siapa lagi penyebab ini semua kalau bukan Panji. Gara-gara pertemuan dengan Panji minggu lalu, tak sedetik pun pikiran Kirana tenang. Ada banyak tentang Panji yang berseliwer silih berganti di otaknya, ada banyak pertanyaan yang sebetulnya ingin dia ajukan pada Panji. Rasa sesal setelah kemarin memaki Panji sekaligus bilang tak mau berjumpa lagi hanya membuat lukanya kembali bernanah. 

Tok! Tok! Tok!

Pintu indekos digedor ketika Kirana sedang menonton TV dengan tenaga tersisa 5 watt. Mata Kirana berkedip lemah menonton TV yang sedang menayangkan acara Brownies yang penuh gimik. Dia tidak membalas ketukan pintu sebab sudah yakin benar dia kalau yang datang adalah Mila.

“Woi, Kirana! Lu di dalam, kan?! Gue dobrak, nih!” ancam Mila tak main-main. “Jangan lu pancing-pancing sabuk hitam gue keluar!” Mila berteriak lagi.

“Iya .... ! Masuk aja, gak gue kunci pintunya,” sahut Kirana akhirnya pasrah. Mana mungkin menang kalau melawan Mila binti Suparna. 

“Bilang dari tadi, kek!” oceh Mila sambil memutar dan mendorong knop pintu. Dia segera disambut bau pengap lantaran nyaris tak ada sirkulasi udara. Mila membiarkan pintu terbuka supaya ada udara segar yang masuk. “Lu kenapa sih jadi kaya orang depresi begini? Lu dipecat apa gimana?” Mila mulai menginterogasi sambil berjalan ke dapur. Dia ambil mangkok besar, lalu menuang sop ikan yang dibawanya. “Nih, gue bawa sop ikan buatan nyokap gue, ya. Jangan lupa entar lu makan.” Soal perhatian, memang Mila juara. “Jadi, lu kenapa sih, Na?!” Fokusnya kembali ke topik semula yang jauh lebih penting.

“Gue minggu lalu ...” Kalimat Kirana menggantung. Menyebut nama Panji saja berat betul lidahnya. Dia memutuskan untuk duduk agar bisa lebih rileks, ditariknya nafas panjang. Mila telah kembali dari dapur, mereka duduk berhadapan. Muka Mila melongo, menunggu kelanjutan cerita sahabatnya. “... Gue ketemu Panji.”

“Panji milenium?” Sempat-sempatnya Mila berkelakar.

“Bukan!”

“Panji petualang?”

“Serah lu deh, Mil! Bete gue!” Kirana tidak jadi menangis sedih, malah sebal karena tingkah Mila yang usil.

“Iya sorry, hehe. Maksud lu si Panji mantan lu, kan? Yang badannya kaya raksasa? Dih, bukannya lu bilang lu udah move-on dari dia? Waktu itu cuma cinta monyet? Cinta gorila lu!” Mila menepuk pelan pipi bulat Kirana.

Kirana hening. Matanya kosong menatap ubin. Mila jadi merasa bersalah sudah usil pada Kirana, padahal dia tahu seberapa besar rasa cinta Kirana pada Panji, dan seberapa besar luka yang ditinggalkan. Kirana tentu malu jika ujungnya mesti mengaku lagi kalau dia sudah hancur hanya karena Panji (jadi, Panji ini manusia apa banjir rob? Kerjanya meluluh lantakan hati orang). 

“Jadi gimana, Na? Dia bilang gak dia ke mana aja?” Setelah semenit sunyi, Mila bertanya lagi, tapi dia jaga volume suaranya.

“Belum sampe sana obrolan kami.”

“Trus?”

“Ya gak ada apa-apa, bentar doang, kok. Dia bilang dia ada niat buat mutusin gue dulu, makanya gue ngamuk trus gue bilang aja jangan pernah lagi dia muncul di hidup gue!” Kirana menekankan suaranya pada ujung kalimat.

“Pasti lu sekarang nyesel? Gara-gara itu lu jadi uring-uringan? Syudah kuduga~” Mila tersenyum pahit.

“Jadi gue mesti gimana, Mil? Sakit hati banget gue, ternyata cuma gue doang yang hidup dalam penantian. Dianya santai-santai aja, malah ternyata udah ada keinginan mau putus!” kecam Kirana.

“Saran gue, nih ...”

Kirana mendengarkan baik-baik, barangkali ada petuah bijak yang akan menetas dari mulut kecil Mila. “... Malam ini kita party sampe pagi!”

Gubrak!

Buat apa lagian Kirana mengambil serius omongan tukang mabuk seperti Mila? Minum atau tidak minum, cewek itu selalu dalam keadaan “tidak sadar”. 

“Yang serius dikit dong, Mila! Pusing banget nih gue!” 

“Hehe, sorry. Habisnya lu juga payah, sih. Kalo gue bilang lu fokus aja ke Akbar, emang bakal lu denger? Gak, kan? Pasti juga ujung-ujungnya lu ngejar si Panji! Mesti deh nanti lu bakal nyariin dia lagi, jadi apa pentingnya saran gue? Lu hanya butuh validasi atas keinginan goblok lu, Na!” Boleh juga nih centong nasi kalau nalarnya lagi bagus.

“Iya, sih~” Kirana tidak menepis. 

“Biar tenang damai otak lu, sono cari dia, mumpung belum jauh perginya,” usul Mila.

“Tapi gue gak tau dia tinggal di mana. Waktu itu kami ketemu di toko buku bekas depan kafenya Akbar.”

“Ya lu ke sana aja! Cariin! Atau tungguin, pasti dia balik deh ke sana.”

“Kalo ketauan Akbar gue ngintilin Panji gimana?”

“Oh, jadi sekarang lu udah mikirin gimana perasaan Akbar? Udah mulai sayang, nih? Aciat-ciat~” Mila menggoda.

“Bukan gitu, pekok! Gimana pun juga, gue gak enak hati aja udah nerima perasaan dia tapi gue nya masih mikirin Panji. Mana hanya selisih sehari, lagi! Jangan-jangan ini memang cara alam bekerja, buat meyakinkan gue kalo Panji adalah jodoh sejati gue.” 

Kumat deh khayalan Kirana yang mendekati delusi. Semua kebetulan yang menyangkut Panji mesti disebutnya disebabkan oleh alam. 

“Ter-se-rah lu! Lu kejar aja terus tuh si raksasa, apa kerennya coba dia? Masih gantengan juga Akbar.” Mila bersungut-sungut.

“Lu kan sahabat gue! Support gue, dong!”

“Iye! Iye! Demi bumi dan langit, gue dukung lu, Na! Sekalipun itu pilihan paling tolol yang bisa menjerumuskan lu ke dalam lembah penderitaan, tetap gue dukung!” gerutu Mila hiperbola.

*** 

Satu hari.

Dua hari.

Tiga hari.

Setiap sepulang kerja Kirana menunggu di kafe milik Akbar. Hari pertama sampai ketiga sih masih ada semangat membara dengan harapan menggebu-gebu untuk bertemu Panji lagi, tapi di hari ke-empat, antusiasme Kirana mulai kedodoran. Tak ada tanda-tanda kemunculan batang hidung Panji. Kalau sampai kesempatan kecil ini pun akan pupus, entah jadi apa Kirana selanjutnya.

Kedua tangan Kirana dilipat di atas meja, dijadikan bantal untuk menopang dagunya. Wajahnya terus mengarah ke toko buku, tak sedetik pun dia lengah. Akbar mulai mencium ada sesuatu yang tidak beres. Seperti ada rempeyek di balik udang, eh, udang di balik rempeyek (padahal kan udang diselimuti tepung jadilah rempeyek bukannya dibalik. Terserah deh bodo amat, emangnya ini acara resep bikin rempeyek). 

“Kamu lagi nunggu siapa, Na?” tanya Akbar seraya meletakkan segelas kopi panas untuk Kirana.

“Gak ada.” Kirana berbohong.

“Jangan-jangan kamu nunggu mantan kamu itu, ya?” tebak Akbar. 

“Oh! Cowok gede yang kemaren-kemaren datang ke sini itu, Bos?!” Tiba-tiba Mamut ikut nimbrung, suaranya menggelegar sampai bikin Kirana terlonjak.

Muka Akbar pucat sambil melotot pada Mamut, sedang Mamut langsung pura-pura tidak mengucapkan apa-apa, tangannya kembali sok sibuk me-lap gelas-gelas yang baru dicuci Fitri.

“Cowok gede?! Datang ke sini?! Kapan?! Kok lu gak ngasih tau gue, Bar?!” Suara Kirana meninggi. Tidak salah lagi, pasti itu Panji, untuk apa dia datang ke kafenya Akbar? 

Tidak ada jawaban. Suasana keburu senyap. “Jawab gue, Mut!” Karena Akbar tidak mungkin menjawab, Kirana mendesak Mamut. Tapi Mamut juga kepalang takut. Akhirnya Fitri yang buka suara,

“Iya, Na. Sehari setelah lu pergi pas sore itu, ada cowok berbadan gede datang ke sini, nanyain lu ada atau gak. Dia juga mastiin nama lu, Kirana. Tapi bos gak mau ngasih tau,” terang Fitri panjang lebar. Dia menilik Akbar seolah sedang menyalahkannya. Akbar mematung tak berkutik. “Tapi tenang aja, gue dikasih alamatnya, kok.” Sebelum Kirana meletus, ada angin segar yang cukup membuatnya menarik nafas lega. 

Akbar tidak bisa mencegah, Fitri menyerahkan secarik kertas berisi alamat Panji pada Kirana. “Keterlaluan ya lu, Bar! Lu biarin gue nunggu kaya orang blo’on di sini! Padahal lu udah tau kalo gue dicariin!” sergah Kirana.

“Kamu pikir dulu, ini adil gak buat aku?!” Akbar balik emosi.

Untungnya sore itu kafe tidak ada pengunjung. Kirana, Mamut, dan Fitri sama-sama terkejut, baru kali ini si kalem Akbar naik suaranya. “Setahun ini aku yang menemani kamu, Kirana. Dia gak ada kabar 8 tahun! Lama banget itu, bayi udah jadi anak SD, tau gak? Hanya karna dia balik, kamu tega ngelupain semua usaha aku.” Sesi marah-marah berganti menjadi sesi curhat. Mata Akbar telah berkaca-kaca, rasanya ingin sekali Fitri berlari untuk memeluknya. Tapi apa daya. 

“Gue kan gak bilang mau balik ke dia.” Kirana gugup dilanda rasa tak enak hati. 

“Jadi buat apa lagi kamu nanya soal dia? Nungguin dia?” Akbar terus memojokkan.

“Ada sesuatu yang mau gue pastiin, itu aja,” kata Kirana melembek. 

“Apa lagi yang harus dipastikan, Na? Masa lalu ya masa lalu.”

Perdebatan harus disudahi. Beberapa pengunjung baru saja masuk, Mamut dan Fitri kembali bertugas. Akbar pun tak mau lagi memperpanjang masalah, sebetulnya bertengkar di depan karyawan pun sudah cukup memalukan. Kirana diam, dipeluknya kertas bertuliskan alamat Panji. Debar jantungnya makin keras. Tidak lama lagi, dia kan bertemu pujaan hatinya lagi. Malam cepat lah tidur agar pagi segera datang, desis Kirana dalam hati. Kenapa mendadak jadi puitis begini Kirana? Orang kalau sudah terlalu cinta memang begitu, suka sedeng. Dan untuk Kirana, kasusnya lebih unik, lebih ekstrem levelnya, dia sudah gila!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status