Kirana si perempuan unik, dia jutek tapi cengeng, galak dan doyan gosip. Panji si pria kompleks, dia berhati lembut tapi juga temperamen, dia yang judes sekaligus serampangan. Usai lulus SMA, Panji menghilang dibawa angin, ditelan bumi, tidak ada satu pun teman sekolah yang tahu keberadaannya. Tapi kemudian setelah bertahun-tahun, dia kembali lagi ke kehidupan Kirana tanpa diduga. Mimpi-mimpi Kirana dibangunkan kembali meski kini dia sudah punya gandengan baru. Kirana dijungkir balikkan, dia mengaku cinta mati pada Panji, walau dia tahu resiko berhubungan dengan pria tanpa komitmen seperti Panji: dia hanya akan buang-buang waktu dalam penantian. Demi mengikat Panji agar tidak pergi lagi, Kirana nekat, dia mendesak supaya bisa tinggal bersama Panji, bahkan pingin mengandung anaknya. Berhasilkah cara licik Kirana? Apa pria bebas seperti Panji pada akhirnya tunduk pada sebuah ikatan? Mungkinkah mereka bersama selamanya? Atau Panji datang hanya untuk mematahkan hati Kirana untuk kedua kali? Kisah ini bukan hanya romantis, tapi juga diisi humor segar nan nyeleneh yang ajaib ^^
더 보기Jari-jari kurus dan panjang milik Kirana lincah menari di atas keyboard, nyaris tidak ada jeda seakan dia sedang mengerjakan pekerjaan yang butuh keseriusan tingkat tinggi. Gadis berambut lurus sepunggung itu sampai menggigit bibirnya yang tipis dan bergincu merah muda, setetes keringat mengalir di pelipisnya yang putih.
Tak!
Tombol enter di-klik kuat-kuat. Yak, satu komentar panjang bernada kebencian baru saja dia luncurkan ke dalam kolom komentar salah satu I*******m selebriti Ibu Kota. Alih-alih mengerjakan laporan, tenaga dan waktu Kirana lebih banyak habis untuk julit pada selebritis kondang, padahal bukan sekali dua kali dia dapat teguran dari atasan di divisinya, Pak Yayuk.
Nah, kan. Sekarang teman kerja Kirana, Welas—si cewek bergigi kuning super kepo—memanggilnya untuk menemui Pak Yayuk. Semprotan macam apa lagi yang akan diterima Kirana kali ini?
“Kamu ini bagaimana?! Kamu kira ini laporan main-main, ya?! Kamu kira ini laporan penjualan warung kelontong?!” Suara Pak Yayuk naik satu oktaf. “Ini laporan keuangan perusahaan, Na!” Pak Yayuk mulai action melempar berkas hasil kerja Kirana. “Kamu niat gak sih kerja di sini?!” Pak Yayuk menggebrak meja lalu menatap lurus-lurus Kirana yang hanya bisa tertunduk lesu.
“Niat, Pak ... Maaf saya kurang tidur.”
Alasan klise Kirana itu bahkan tidak mungkin mempan membuat cicak di dinding mempercayainya. Pak Yayuk tepok jidat. Kalau dikalkulasi, sebulan ini dia sudah puluhan kali tepok jidat karena Kirana.
“Tugas kita ini sangat krusial, Na! Kamu jangan main-main!” Pak Yayuk menggoyang-goyang kursi sampai tubuh gempalnya terpental-pental, Kirana jadi mengikik dalam hati menyaksikan lipatan lemak di perut Pak Yayuk saling dorong.
“Ya maklum lah Pak, kan saya masih magang, baru kerja tiga bulan.” Kirana memasang muka sedih.
Pak Yayuk mencoba mengatur napas, jangan sampai asmanya kambuh gara-gara karyawan tulalit seperti Kirana. “Gini aja, sebulan ini kamu jangan pegang laporan dulu, kamu cukup bantu yang lain buat foto kopi sama bikin teh buat mereka. Daripada laporan penting jadi hancur berantakan karna ulah kamu!”
“Maksud Bapak ... Saya diturunkan jabatan?” tanya Kirana polos.
“Jabatan apa?! Kamu jangan melunjak, ya! Kamu kira magang kaya kamu udah di posisi apa, sih?!” damprat Pak Yayuk dongkol jilid kedua.
“Hehe, iya ya Pak ... Jadi saya bantu-bantu yang lain dulu ya, Pak?” Kirana nyengir tanpa dosa.
Saat pintu ruangan Pak Yayuk dia tutup, gadis itu langsung mengepal tinjunya. Yes! Dia bersorak dalam hati. Senang tiada terkira akhirnya pekerjaannya jadi lebih mudah dan santai. Dia bisa lebih aktif mengomentari foto-foto maupun video selebriti. Membaca komik w*****n pun bisa lebih leluasa, tidak ada lagi laporan jelimet yang bikin migran.
“Kamu diapain lagi sama Pak Yayuk?” tanya Welas seiring pantat Kirana kembali ke tempatnya.
“Mau tau aja urusan orang," jawab Kirana ketus. Welas langsung manyun sambil balik fokus menatap monitor di mejanya. Dia sudah biasa menghadapi sikap jutek Kirana.
Hape Kirana bergetar sedetik kemudian, ada pesan w******p dari sahabatnya, Mila, yang berbunyi:
Entar malem keluar, yuk. Kan udah lama kita gak kobam, cuy.
Duh, Mila. Cewek yang sudah berteman sepuluh tahun dengan Kirana ini memang hobinya pesta dan minum. Kalau orang normal slogannya tiada hari tanpa olahraga, si Mila slogannya malah tiada hari tanpa party. Tapi bukan Kirana namanya kalau tidak setuju. Karena bujuk rayu Mila, Kirana juga jadi ikut-ikut. Kebiasaan mabuk sampai pagi alhasil membuat kinerja dan gaya hidup Kirana makin keteteran. Tapi lebih dari sekadar hanya minum untuk bersenang-senang, Kirana memang butuh mabuk untuk melupakan sakit di hatinya. Hanya itu obat yang setidaknya bisa sedikit memberi rasa lega.
***
Suara musik elektronik memekakkan telinga, membuat jantung seisi klub berdebar dan memacu adrenalin. Lampu kerlap-kerlip bersinar di tengah kegelapan, orang-orang asyik tenggelam dalam tarian khas masing-masing. Seperti ulat keket, Mila berjoget cuek di lantai dansa. Kirana mencibir dalam hati. Norak. Mila selalu norak dan bikin malu. Dua cowok bergaya ala gangster mendekati Mila untuk menari bersama. Mula-mula goyangnya santai tapi mereka curi-curi kesempatan juga menyentuh tubuh Mila yang agak montok. Mila yang dalam keadaan setengah mabuk cuek saja, dia terus berjoget mengikuti irama musik.
“Sorry, bos,”
Sampai kemudian seorang pria berpakaian kasual datang dan memeluk Mila, menegaskan kalau Mila adalah miliknya. Dua cowok mafia wanna be itu pun berlalu. Kalau diladeni lebih jauh, bisa-bisa berujung baku hantam.
“Woi, temen lu digerepe-gerepe orang lu nya malah asik aja.” Adam yang notabene pacar Mila mengomel seraya mendudukkan kekasihnya di depan Kirana.
“Yeee ... Orang dia yang mau joget sendiri kok, ngapain juga gue larang-larang?” protes Kirana. “Lu sama siapa ke sini, Dam?” tanyanya kemudian.
“Sama Akbar, lagi ke toilet bentar dia," jawab Adam sembari menuang bir ke dalam seloki dan langsung menegaknya.
“Anjrit-lah, manusia batu itu lagi yang lu ajak ke sini," omel Kirana.
“Lu gak peka-peka juga ya, Na! Dia tuh demen sama lu! Udah gue bilang kan, terima aja kenapa, sih? Masa depan juga dijamin cerah.”
Mila yang sejak tadi tertunduk lemas langsung mengangkat kepala, soal begini-begini dia memang anti ketinggalan, apalagi menyoal Kirana-Akbar yang sudah setahun belakangan ini dia comblangin. “Bener tuh, Na. Lu udah dua puluhan, gak baik melajang lama-lama ...” Dia menimpali meski dalam kondisi tidak sadar sepenuhnya. “Lu liat baik-baik kualitas Akbar. Dia baik, sopan, penyayang anak dan keluarga, punya kafe, apa coba kurangnya?”
“Ah lu juga satu, gue kan udah tegasin, gue sama sekali gak mikirin soal jodoh.” Kirana menegak bir langsung dari mulut botol, saking sebalnya dicelotehi soal Akbar terus.
“Mau sampe kapan sih lu mikirin Panji? Bisa aja dia udah kawin.”
Dada Kirana nyeri lagi. Panji. Satu nama yang tak mau pergi dari otaknya walau sudah sewindu berlalu. Memang benar yang dikatakan Mila, Panji adalah penyebab Kirana tidak bisa melanjutkan hidup. Panji adalah alasan kenapa Kirana selalu bermimpi buruk setiap malam, selain Pak Yayuk tentunya.
Habis acara kelulusan SMA, Panji lenyap tanpa jejak. Tak ada satu pun yang tahu ke mana dia pergi, termasuk Kirana yang waktu itu statusnya digantung. Rumahnya dijual, nomornya tidak bisa dihubungi, ayahnya dipindahkan tugas kerja tapi tidak tahu ke mana. Dia hilang ditelan bumi. Bahkan setidaknya, sepucuk surat tanda perpisahan pun tidak sampai dikirim pada Kirana.
“Ah, siapa bilang gue galau gara-gara dia? Males banget kaya gak laku aja. Waktu itu juga kami cuma cinta monyet, kok. Gak ada yang spesial, lu nya aja yang suka nafsirin berlebihan.” Kirana selalu denial, malu dong jika harus jujur mengungkap kalau hatinya memang sudah diporak-porandakan oleh Panji. Pacaran lima bulan saja hancurnya sampai begini, bagaimana kalau waktu itu mereka pacaran bertahun-tahun, mungkin Kirana sudah tinggal nama.
Mulut Mila batal mendumel lagi lantaran Akbar sekarang telah ikut bergabung bersama mereka. Si pemuda berkemeja putih bersih dan berambut klimis serta berkacamata silinder ini adalah Akbar, sohibnya Adam sekaligus mantan teman satu kantornya dulu. Tidak ada yang istimewa darinya, tapi tidak kurang pula. Diibaratkan roti, dia adalah roti tawar tanpa selai, terasa datar dan tidak ada kejutan. Gaya bicaranya komunikatif parah, maklum lulusan komunikasi. Dia akrab dengan ibunya alias anak Mama, dan kini melanjutkan usaha keluarga menjalankan kafe untuk muda-mudi. Pokoknya, hidupnya terlalu normal untuk Kirana.
Sejak dicomblangi tahun lalu, hubungan mereka relatif lambat naiknya karena Kirana. Sekali tidak tetap tidak. Begitu pikir Kirana. Lagian dia juga belum yakin dengan kesungguhan Akbar. Dan ada satu hal lagi yang membuat Kirana selalu menghindari Akbar, Kirana punya satu teori: orang normal adalah orang paling berbahaya. Dia selalu merasa kalau Akbar sesungguhnya adalah psikopat yang bersembunyi di balik tampang polos. Tiap kali cowok itu mengeluarkan senyum manisnya, Kirana langsung merinding disko, yang diterimanya justru sebuah mimik mengancam yang mengatakan wajah tak berdosa itu suatu saat akan membunuhnya bahkan mencincangnya seperti di film-film gore. Au ah, Kirana. Absurd.
Gending manten kebo giro mengisi aula tempat berlangsungnya resepsi pernikahan Kirana dan Panji. Acara dilaksanakan secara sederhana dan tertutup hanya untuk keluarga dan sahabat terdekat. Kirana tidak bosan-bosan menoleh pada Panji yang tampak gagah mengenakan Solo Basahan. Senyum simpul terus merekah di bibir mereka berdua. Siapa sangka bahwa akhirnya mereka meraih akhir bahagia? (setidaknya sampai saat ini)."Keren! Jadi kawin juga lu! Emang jodoh gak ke mana, ya!" seru Mila yang baru datang bersama pacarnya, Adam. "Gue yang duluan pacaran, eh elu yang duluan kawin!" tambahnya sambil mencubit pipi Kirana."ish, nanti bedak gue cemong!" Kirana pura-pura ngambek."Tapi kalo lagi galau, ingat ... party dugem in the house, yo!" Adam mengekek. Dia sadar Panji langsung melempar lirikan tajam, dia segera berdalih, " Hehe ... canda ah, bro! Kirana udah gak main dugem lagi sekarang.""Ya gak papa juga sih
Suasana rumah Panji menjadi sangat kelabu dan kelam selama penyembuhan Kirana usai kehilangan calon jabang bayinya. Kirana diam total, sama sekali tak menyahut tiap kali diajak bicara. Rencana pernikahan pun batal, Kirana yang meminta untuk dibatalkan meski Panji bersedia untuk melanjutkan. Belum pernah Kirana merasa sekosong dan semenyesal ini, dia ingin tinggal bersama ibunya, hanya itu permintaan darinya. Setelah seminggu lebih pemulihan, Kirana pamit pulang, dia juga telah mengirim surat pengunduran diri ke tempat magang, dia berniat menyepi untuk waktu yang lama."Kamu pasti balik ke rumah kan, Ran?" tanya Panji sebelum Kirana menyeret kopernya masuk ke Bandara. Kirana diam, Panji mendesak lagi, "jawab aku, Rana! Kita masih bersama, kan?" Panji meminta janji Kirana. Begitulah manusia, kalau sudah tahu akan kehilangan, baru ketakutan sendiri (selama ini ke mana saja, Panji?)."Aku gak bisa janji." Suara Kirana datar.
Tidak semenakutkan bayangan Kirana, pihak keluarganya justru menyambut baik rencana pernikahannya dengan Panji. Ayahnya yang masih berada di Malaysia berjanji akan datang di hari pernikahan. Sikap sinis malah datang dari ibunya Panji. Setelah yakin akan menikah, Panji memboyong Kirana ke Malang untuk bertemu orang tuanya dan membahas persiapan pernikahan. Perempuan kepala 6 itu selayaknya calon mertua menerima kedatangan Kirana ke rumah tapi wajah pahitnya tidak bisa dia sembunyikan. Terlebih lagi Panji adalah anak laki-laki satu-satunya dan tertua, dia punya 2 adik perempuan kembar yang masih duduk di bangku SMA. Seorang ibu akan memasang benteng tertinggi bila ada perempuan lain yang siap menggeser posisinya, itulah yang dilakukan ibu Panji, Kirana menerima masalah baru: mertua."Bukan gitu caranya, begini!""Panji itu anaknya bebas, kebebasannya mutlak, kamu harus mengerti itu.""Kamu juga mesti tau dia itu alergi uda
Kirana turun dari mobil Akbar. Adegan mengantar romantis ini juga bagian dari rencana mereka. Sesuai harapan, Panji yang tengah bekerja di halaman belakang melongok dan melihat kekasihnya diantar Akbar, mereka berdua bahkan menyempatkan diri untuk mengobrol beberapa menit. Sebelum pergi, Akbar sengaja pula mengelus kepala Kirana, Panji diam-diam mengintip cemberut.“Keren, diantar mantan pacar sekarang. Bukannya kamu bete banget sama dia?” singgung Panji setelah Kirana berada di dapur. Gurat cemburu sama sekali tidak bisa dia tutupi.“Aku pikir itu bukan urusan kamu lagi.” Kirana memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan taringnya, sekalian saja dia membeberkan niatnya dengan Akbar, niatnya yang palsu itu. “Dia siap untuk menikahi aku supaya anakku punya bapak resmi.”Panji terbelalak, napasnya tercekat. “Yang bener aja kamu!” Panji berdiri, protes tanpa basa-basi. &ld
Aroma obat yang dibenci Panji menyerang dari tiap sudut lorong ruang tunggu rumah sakit. Kalau bukan karena Kirana pingsan, Panji sudah sejak tadi kabur dari sana. Rumah sakit adalah salah satu tempat yang paling dia benci. Dia cemas, berharap Kirana baik-baik saja. Dia sedikit banyak sudah bisa menebak kalau akhir dari touring ini akan buruk. Fisik Kirana memang tidak terlalu fit, di atas motor berjam-jam tentu lumayan berat baginya.“Keluarga ibu Kirana?” Suster melongok dari pintu ruangan Dokter, Panji langsung berdiri dan ikut masuk.Sekilas dia menengok Kirana yang sedang berbaring di atas kasur pasien, dia sudah siuman tapi matanya masih tampak sayu. Panji duduk di hadapan Dokter, keduanya siap mendengar hasil pemeriksaan.“Ibu Kirana hanya kelelahan, efek dari sengatan matahari,” ucap Dokter sesuai dugaan Panji. Baik Panji maupun Kirana sama-sama lega, untuk sesaat mereka bisa menarik napas
“Lusa aku mau pergi touring, Ran,” ujar Panji pada saat mereka sedang menyantap makanan pada suatu malam.“Ke mana? Sama siapa?! Berapa lama?!” Kirana langsung mencecar dengan muka panik akan ditinggal kekasih hati.“Cuma ke Bandung, kok. Paling juga dua hari satu malam, di Bandung nginep dulu semalam trus balik lagi.”“Kalo gitu aku ikut! Kan lusa hari sabtu itu, sore minggu udah balik, aku bisa ikut!” Kirana menggenggam erat punggung tangan Panji, memohon supaya diajak serta.“Jangan ngaco ah, kamu. Itu kan khusus anggota komunitas motoran aja.” Panji menolak.“Jangan kamu kira aku gak tau ya kalo temen-temen komunitas kamu juga suka bawa cewek mereka! Masa aku gak boleh ikut?! Nji~ Please~” Kirana bergelayut manja.“Soalnya kalo kamu ikut, nanti berantakan acaranya, R
Sejak kejadian malam pertama itu, Panji dan Kirana semakin menempel seperti kertas diberi lem nasi. Api cinta mereka membara kuat-kuatnya seperti tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka. Kirana rutin diantar jemput oleh Panji setiap hari, pun Kirana aktif mendukung dalam berbagai kegiatan pameran patung yang diikuti Panji. Pelan tapi pasti hubungan mereka kian membaik, dan terlihat arahnya akan ke mana. Kirana tak menyesal sama sekali telah membuat keputusan gila waktu itu, dia percaya hal itulah yang membuat Panji takluk.Setelah bertahun-tahun berkarier sebagai seniman topeng tanah liat, akhirnya impian Panji terwujud, dirinya terpilih menjadi salah satu pengisi pameran topeng di salah satu galeri kenamaan. Acara nya berlangsung sukses, Panji sendiri mendapat begitu banyak pujian. Topeng-topengnya laku keras, terjual dengan harga mahal.Tak hentinya Kirana memandangi Panji dengan muka super kagum.Usai pameran bergengsi itu terlaksan
Gantian sekarang malah Panji yang ngambek. Kirana mencoba mengajaknya bicara baik-baik tapi Panji tak menggubris. "Kamu udah makan?" Kirana terus berusaha membuka topik tapi Panji masih diam. Duh! Nih orang udah kayak cewek ABG lagi mens aja! Kirana menggerutu dalam hati. "Nji~ Dia itu tadi cuma teman kerjaku aja. Bener, kok!" Kirana menjelaskan meski Panji tak bertanya."Kamu bilang tadi ngantuk, ya udah sana tidur, aku masih mau bikin vas bunga pesanan Raras!" Kijang menyahut meski masih dongkol. Nampaknya juga dia sengaja menyebut nama Raras supaya Kirana balik cemburu.Kirana berbalik hendak masuk ke kamar, saat itulah terbit sebuah ide brilian. Obat dari Fitri belum juga dia pakai! Kirana memicingkan matanya penuh arti. Mereka tinggal berdua tanpa gangguan, sedang ngambek-ngambekan, oh! Inilah waktu yang paling tepat untuk melancarkan jurus pil biru! Kirana menelan sukar salivanya. Deg-degan, apa iya dia harus memakai cara nekat begitu?
Kilat menyambar-nyambar di atas kepala Kirana tatkala dia saksikan dengan kedua bola mata hitamnya, Panji sedang duduk berdua bersama seorang perempuan muda yang tak dia kenal. Bajingan betul si Panji, barupergi sebentar menemani Ladia ke Mol, eh dia di rumah sendiri malah asyik-asyik dengan perempuan lain! Kirana meracau dalam hati. Tangan sudah dilipat Kirana di dada, menyiapkan diri untuk aksi cekcok telenovela jilid ke sekian. Tapi perempuan itu malah berdiri dan tersenyum sok ramah pada Kirana.“Ran, ini Raras, temenku dari Malang.” Panji memperkenalkan cewek berambut keriting kriwil itu.Raras?! Itu kan nama mantan yang disebut Ladia tadi! Pekik Kirana dalam hati. Level toleransinya makin berkurang. “Temen?! Atau mantan?!” sambar Kirana.Mata Panji terbelalak. “Kok kamu ...” Kalimatnya menggantung, dia sudah langsung tahu, pasti Ladia yang telah memberi tahu. “L
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글