Share

Bab 3

Penulis: Mariahlia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-13 12:51:28

Nisa menghiraukan semua perkataan yang terlontar dari mulut mereka semuanya. Dirinya tidak ambil pusing, walaupun kenyataannya, rasa sesak di dalam dadanya itu ada. Tapi Nisa mencoba menahan rasa sesak itu.

Untuk apa dirinya bersedih, karena semua itu hanya akan mempengaruhi pikirannya saja, apa lagi saat ini dirinya tengah hamil.

Mereka juga sudah biasa menghinanya seperti itu. Bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nisa.

Berjalan beberapa langkah saja, Nisa sudah sampai di tempat tujuannya. Yaitu warung bakso Sira, satu-satunya wanita paruh baya yang menyukai Nisa.

Sebenarnya Sira itu masih ada sangkut pautnya saudara dengan keluarga Doni. Lebih tepatnya kakak kandung ibu Mirna. Namun, karena Mirna merasa jika hidupnya Sira itu lebih baik dari dirinya, wanita itu selalu memusuhi Sira.

Bahkan Mirna dengan terang-terangan membenci saudara kandungnya itu.

Aneh memang, tapi bude Sira tidak pernah marah dan selalu bersikap baik pada wanita itu.

"Assalamualaikum bude"

"Wa'alaikum salam, wah ada bumil, sini nak masuk sayang." Lihatlah, wanita paruh baya itu menyambut kedatangan Nisa dengan ramah, bahkan rela meninggalkan pekerjaan nya demi menghampiri Nisa dan menanyakan kabarnya. Padahal mereka baru saja bertemu kemarin.

"Bagaimana kabar kamu nak?" Sira bahkan mengelus perut buncit Nisa dan langsung menuntun Nisa untuk duduk di kursi yang memang ada di sana.

Nisa tersenyum, senang sekali dirinya mendapatkan perhatian dari wanita ini. Ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya. Berjauhan dari kedua orang tuanya, membuat Nisa sangat merindukan kasih sayang seperti ini. Apa lagi perlakuan yang dirinya dapatkan dari keluarga suaminya. Membuat Nisa rasanya ingin pergi saja.

Tapi sayang, Nisa tidak bisa melakukannya. Nisa terlalu baik untuk melakukan hal sejahat itu.

Perasaan Nisa itu sangat emosional saat ini, entah kenapa Nisa tiba-tiba menetes air matanya, padahal sudah dirinya tahan sejak tadi. Namun nyatanya air mata itu tiba-tiba jatuh. Mungkin efek dari kehamilannya yang meningkat kan rasa emosional di dalam dirinya.

"Kok kamu menangis sayang?" Sira langsung tersentak saat melihat Nisa menangis, segeralah dirinya memanggil Desi- anaknya untuk mengganti kan dirinya berjualan bakso,

"Des, bantu gantiin ibu jualan dulu ya" ucap Sira.

Dan Desi anak Sira ini sangatlah berbeda dari Kemuning, gadis yang berusia sama dengan Kemuning itu mengangguk patuh, bahkan dirinya sangat baik dan selalu bersikap ramah dengan Nisa.

"Iya buk. Eh mbak Nisa nya kenapa buk? Kok nangis?" Tanya Desi sesaat melewati tempat Sira dan Nisa.

"Enggak apa-apa, mungkin mbak mu kelelahan saja nak. Yaudah sana kamu bantu berjualan dulu ya. Ibuk enggak lama kok. Itu ada yang beli" tunjuk Sira saat melihat ada pelanggan yang datang.

Warung Sira ini terbilang sangat ramai pembelinya. Tak jarang sampai pembeli dari luaran desa yang datang. Kata mereka bakso buatan Sira ini sangat lezat, dan Nisa mengakuinya itu.

Setelah Desi pergi, Sira meraih satu gelas yang sudah berisi air putih, lalu memberikannya kepada Nisa. "Di minum dulu Nis." Ucapnya dengan lembut.

Nisa menganggukkan kepalanya, lalu meraih gelas itu dan langsung meminumnya hingga habis. Rasanya sedikit ada yang lega di dalam dadanya. Rasa sesak itu berkurang sedikit.

"Kamu kenapa nak? Mertuamu berbuat ulah lagi?" Tanya Sira yang memang sudah hafal dengan sifat Mirna. Karena Sira pernah memergoki Mirna sedang memarahi Nisa. Sira sempat menegur saudara kandungnya itu, namun dirinya malah berakhir menjadi amukan wanita paruh baya itu.

Siapa yang tega melihat wanita hamil seperti Nisa di perlakukan seperti itu oleh Mirna. Bahkan anak wanita itu, yang notabene nya sebagai suami Nisa, hanya diam saja saat istri nya di perlakukan seperti itu.

Kejam, bagi Sira mereka sangatlah kejam, meminta anak orang hanya untuk di perlakukan seperti itu. Sungguh hati mereka entah terbuat dari apa. Susah payah kedua orang tuanya membesarkan anaknya, dan selalu berdoa agar anak nya kelak bahagia, namun nyatanya malah hidup anak nya di jadikan seperti ini.

Nisa menggelengkan kepalanya, mana mungkin Nisa membuka aib keluarga suaminya "enggak bude. Tapi Nisa lagi kangen aja sama ibuk dan bapak." Sahut Nisa.

Sira menganggukkan kepalanya, lalu tangannya mengelus kepala Nisa yang tertutup oleh hijab lusuh dengan sayang. Sira tau jika itu hanya alibi Nisa saja, Sira tau semuanya, namun dirinya lebih memilih diam, dan tidak mau mengungkitnya. Agar Nisa tidak semakin kepikiran.

Sungguh malang perempuan ini. Dulu awal mula mengenal Nisa, wanita ini tidak selusuh sekarang, walaupun kedua orang tuanya tidak mampu, tapi Nisa menjadi gadis yang cantik dan terawat.

Orang tuanya selalu memanjakan Nisa. Walaupun bukan dengan barang-barang mewah dan mahal. Hanya sederhana.

"Yaudah, Minggu ini bude antar kamu pulang mau? Bude juga mau berkunjung ke rumah orang tua kamu, bude kangen sama masakan ibuk kamu" ucap Sira.

"Emm, nanti Nisa minta ijin sama bang Doni dulu ya bude."

Dan selalu, wanita itu akan menjawabnya seperti itu. Sungguh wanita yang mulia.

Tapi Sira tidak habis pikir kenapa suami dan mertuanya bisa memperlakukan wanita sebaik Nisa seperti itu.

Sira tersenyum, "iya nak." Lalu bangkit dari duduknya dan mengambilkan nasi serta lauk pauk yang di masaknya siang ini.

Sira meletakkannya di atas meja di depan Nisa. "Makan Nis. Bude tau kamu lapar " ucap Sira.

Ya, lagi-lagi Sira tau bahwa Nisa pasti kelaparan. Walaupun Nisa tidak pernah memberitahunya dan selalu menyangkalnya, tapi Sira tau.

Seperti ini.

"Nisa baru makan bude, tadi ibuk masak ayam kecap" ucap Nisa.

Sira tersenyum tipis, dirinya tau kalau Nisa pasti berbohong dan menutupinya. Hatinya rasanya amat sesak, melihat kebaikan wanita ini.

"Di makan nak, wanita hamil pasti sering merasa lapar. Bude tadi masak makanan spesial untuk kamu nak"

Air liur Nisa rasanya ingin menetes saat melihat makanan di depannya, dirinya yang memang kelaparan dari pagi belum makan apa pun rasanya ingin melahap saja. Namun sekali lagi, Nisa tidak mau menjatuhkan marwah keluarga suaminya.

"Bude nanti saja, Nisa akan bantu Desi dulu baru Nisa makan" ucap Nisa yang akan bangkit dari duduknya. Namun langsung di tahan oleh Sira.

"Makan dulu nak, Desi biar bude yang bantu. Nanti kalau sudah selesai makannya, kamu bisa langsung ke depan ya nak. Jangan menolak rezeki Nis, enggak baik." Ucap Sira.

Dan akhirnya Nisa menurut, Nisa memakan makanan yang di meja itu dengan lahap. Sungguh Nisa sangat lapar sekali, mengingat dirinya belum makan dan hanya meminum air putih saja tadi.

Sira langsung berlalu menghampiri anaknya yang ada di depan, tidak jauh, Desi masih bisa melihatnya.

Desi langsung memeluk tubuh ibunya dengan erat. "Ya Allah buk, terbuat dari apa hati wanita sebaik mbak Nisa" isak Desi saat melihat Nisa. Sungguh hatinya rasanya sangat sesak.

Sira menganggukkan kepalanya, diam-diam bulir bening jatuh menetes di pelupuk matanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 133

    Malam itu tidak hanya memeluk hutan — ia meresap sampai ke dasar akar, menyalakan napas tua yang tertidur selama ratusan tahun.Lira duduk bersila di depan makhluk itu, tubuhnya perlahan terbiasa dengan hawa dingin yang terbit setiap kali sang cahaya kecil merespons dunia. Reno berdiri setengah lingkaran di belakangnya, sementara tiga elder — Biru, Keemasan, dan Putih — melayang seperti bintang yang memilih menetap di bumi.Semua menunggu.Semua mendengarkan.Cahaya kecil itu terus berdenyut, seperti sebuah hati yang mencari irama pertamanya. Lira merasakan getaran kecil menyentuh kulitnya — seperti bulu halus air di permukaan sungai.Lalu sebuah bisikan muncul lagi:…Titik itu… memanggilku…Lira menarik napas. “Bisakah kau mendeskripsikannya?”Hening.Kabut menari sebentar, menyelip di antara akar seperti ular putih lembut.Lalu:Seperti… cahaya yang tidak lengkap.Seperti… akar yang belum menyentuh tanah.Seperti… aku.Reno bergerak sedikit. “Ia menemukan resonansi.”“Resonansi?” ta

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 132

    Cahaya kecil itu tertidur.Jika “tidur” adalah kata yang benar untuk menggambarkan keadaan makhluk yang belum sepenuhnya memiliki wujud. Namun demikianlah ia tampak: melayang tenang di atas akar waringin, berdenyut lembut seperti hembusan napas pertama anak manusia yang baru lahir. Kabut yang tadi terbelah kini berkumpul pelan, mengerut mengelilingi wujud mungil itu seolah menjadi selimut.Lira duduk bersila tak jauh darinya, kedua telapak tangannya hangat oleh sisa getaran makhluk tersebut. Ia merasa lelah — bukan lelah tubuh, melainkan lelah batin yang datang setelah menghadapi sesuatu yang belum sempat ia pahami sepenuhnya.Reno berdiri di sampingnya, cahaya tubuhnya memancar seperti api unggun yang dipenuhi kesabaran.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Lira tanpa membuka mata.“Mengawasinya,” jawab Reno. Suaranya tidak lebih keras dari desau kabut. “Ia belum menemukan bentuk, belum mengenali batas antara dirinya dan dunia.”Lira mengangguk pelan. “Ia menghilangkan energ

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 131

    Fajar merayap perlahan dari balik lembah, menyebarkan garis-garis cahaya keemasan yang menembus sela-sela pohon tinggi. Embun yang masih menempel di ujung daun memantulkan sinarnya, membuat hutan tampak seperti dipenuhi serpihan kaca kecil yang berkilau. Pada pagi itu, keheningan terasa bukan sebagai kekosongan, melainkan sebagai ruang luas tempat dunia bernapas dengan damai.Di bawah pohon waringin, tempat cahaya selalu kembali berkumpul, Lira duduk bersandar pada akar raksasa yang seolah memeluknya. Ia memejamkan mata, membiarkan suara dari kedalaman hutan memasuki dirinya perlahan, sampai ia bisa membedakan setiap detaknya: denyut sungai, bisik dedaunan, getar halus cahaya yang menari di udara.Namun pagi itu, ada sesuatu yang tidak sepenuhnya sama.Ada desah samar di antara irama hutan — suara yang bukan milik Reno, bukan milik para penjaga lama, dan bukan pula gema nyanyian Lira sendiri.Suara itu… muda.Seperti ranting kecil yang patah, atau seperti helaan napas yang belum diaja

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 130

    Pagi datang tanpa tergesa.Kabut tipis masih melayang di antara batang-batang pohon, membentuk tirai putih yang bergeser perlahan ketika cahaya pertama menyentuh daun-daun basah. Di udara, aroma tanah dan lumut berpadu lembut, seperti ingatan yang menolak pudar. Suara air menetes dari ujung daun terdengar seperti denting kecil, mengisi kesunyian yang tidak benar-benar sunyi.Reno berjalan tanpa suara.Langkahnya tak meninggalkan jejak di tanah, hanya pantulan samar cahaya yang sesekali menyala di sekitar rumput yang ia lewati. Wujudnya kini nyaris tak bisa dibedakan dari kabut—kadang tampak, kadang lenyap, seperti bagian dari napas hutan itu sendiri.Ia telah belajar hidup dalam keabadian yang tenang.Tidak ada siang, tidak ada malam; hanya irama panjang antara cahaya dan kabut, antara embun yang turun dan sungai yang bangun. Namun meski segalanya mengalir dalam keseimbangan, ia tahu hutan tak pernah benar-benar berhenti berubah. Setiap daun yang gugur, setiap akar yang merambat sedik

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 129

    Sejak malam purnama itu, hutan menjadi tempat yang berbeda.Tidak ada yang benar-benar berubah — pohon-pohon masih berdiri di tempatnya, akar-akar masih berkelindan di tanah lembab, dan kabut masih turun setiap malam — namun ada sesuatu yang kini berdenyut di bawah semuanya.Sebuah napas baru.Sebuah kesadaran yang lebih dalam dari diam.Kabut yang dulu sekadar tirai lembut kini bergerak seperti benang cahaya yang hidup. Ia melingkupi batang-batang pohon, menelusuri lekuk batu dan daun, membawa bisikan halus yang tak dapat diucapkan dalam bahasa manusia. Di sanalah Artha dan Reno kini tinggal — bukan lagi sebagai sosok yang terpisah dari hutan, melainkan sebagai bagian dari harmoni besar yang berputar tanpa akhir.Reno tumbuh di dalam cahaya.Tidak ada ukuran waktu di tempat itu, namun dalam setiap nyala lembut yang bergetar di udara, jiwanya bertambah matang. Ia belajar mendengarkan akar berbicara, belajar memahami bahasa serangga dan embun, belajar mengenali setiap suara yang tidak

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 128

    Kabut di hutan itu tak lagi menakutkan. Ia turun setiap malam, perlahan seperti tirai lembut yang menutupi dunia, membawa keheningan yang lebih dalam dari tidur, lebih hangat dari doa.Di bawah pohon waringin yang tua, cahaya putih lembut mengalir dari akar hingga ujung ranting. Tidak menyilaukan — hanya bersinar seperti napas bumi yang tenang. Di sanalah tiga sosok itu tinggal kini. Tidak benar-benar tubuh, tidak pula sekadar bayangan. Sesuatu di antara keduanya — bentuk dari kenangan yang masih ingin bertahan.Artha duduk di akar besar yang menonjol dari tanah lembab, jemarinya menelusuri guratan kayu yang hangat. Reno berlari kecil di sekitar mereka, tertawa dengan suara yang bergema pelan, seperti gema dari masa lalu yang kembali hidup.Dan Ayudia… berdiri di tepi cahaya, matanya menatap kabut yang bergulung di kejauhan.Ia tahu, di luar sana masih ada dunia lain — dunia ladang dan sungai, dunia tempat ayam berkokok di pagi hari, tempat suara genta sapi terdengar menjelang senja.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status