Share

S2 bab 107

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2025-09-10 07:31:30

Malam itu seakan lebih panjang dari biasanya, meski fajar sempat menyingsing, ketenangan tidak pernah benar-benar datang. Warga Desa Larung baru saja melepas kepergian Ki Darmaya, sosok yang selama ini menjadi penopang spiritual dan pelindung mereka. Kini, tanpa kehadirannya, desa ibarat anak ayam yang kehilangan induknya—bingung, rapuh, dan mudah diterkam.

Arthayasa masih duduk di depan rumah ketika kabut menipis. Ayudia telah tertidur dengan bayi mereka setelah berhasil mengusir bayangan dari hatinya sendiri. Namun, tatapan Artha terus menembus gelap, menatap hutan Larung yang sunyi tapi menyimpan ancaman.

Suara gamelan samar masih bergema di kejauhan. Bukan sekadar gema, melainkan panggilan. Dentingannya seolah memukul nadi desa, membuat darah Artha berdesir tidak tenang. Ia tahu, itu bukan sekadar suara. Itu adalah tanda bahwa pusaran malam belum berakhir.

Artha menggenggam kerisnya erat. “Ki, apa ini ujian terakhir yang kau titipkan padaku? Atau justru awal dari sesuatu yang lebi
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 107

    Malam itu seakan lebih panjang dari biasanya, meski fajar sempat menyingsing, ketenangan tidak pernah benar-benar datang. Warga Desa Larung baru saja melepas kepergian Ki Darmaya, sosok yang selama ini menjadi penopang spiritual dan pelindung mereka. Kini, tanpa kehadirannya, desa ibarat anak ayam yang kehilangan induknya—bingung, rapuh, dan mudah diterkam.Arthayasa masih duduk di depan rumah ketika kabut menipis. Ayudia telah tertidur dengan bayi mereka setelah berhasil mengusir bayangan dari hatinya sendiri. Namun, tatapan Artha terus menembus gelap, menatap hutan Larung yang sunyi tapi menyimpan ancaman.Suara gamelan samar masih bergema di kejauhan. Bukan sekadar gema, melainkan panggilan. Dentingannya seolah memukul nadi desa, membuat darah Artha berdesir tidak tenang. Ia tahu, itu bukan sekadar suara. Itu adalah tanda bahwa pusaran malam belum berakhir.Artha menggenggam kerisnya erat. “Ki, apa ini ujian terakhir yang kau titipkan padaku? Atau justru awal dari sesuatu yang lebi

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 106

    Fajar yang baru saja menyingsing di Desa Larung terasa berbeda. Cahaya matahari seakan tidak sepenuhnya mampu mengusir sisa kegelapan yang semalam menguasai langit. Pusaran mata langit memang telah sirna, suara gamelan gaib pun hilang, tetapi udara masih menyimpan getir yang menusuk. Seolah-olah seluruh desa bernapas bersama dalam satu ketakutan yang belum tuntas.Arthayasa berdiri di samping tubuh Ki Darmaya yang kini terbaring kaku. Lelaki tua itu telah kembali ke tanah, meninggalkan beban berat di pundak sang murid. Warga desa berkerumun, sebagian berdoa, sebagian menangis, dan sebagian lagi hanya menatap kosong.Ayudia berlutut, menutup wajah bayi mereka dengan kain agar tak melihat tangisan banyak orang di sekelilingnya. Tapi meski matanya tertutup, sang bayi meringis, bibir mungilnya bergerak seakan ikut merasakan kehilangan.“Artha…” suara Ayudia parau, penuh isak yang ditahan. “Ki Darmaya sudah tiada. Bagaimana desa ini tanpa beliau?”Arthayasa mengangkat kepalanya, menatap ma

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 105

    Langit Desa Larung pagi itu bukan lagi langit yang biasa mereka kenal. Pusaran awan yang berputar di atas kepala bagaikan mata raksasa, kelopaknya terbuat dari kabut pekat, irisnya dari cahaya keperakan yang menusuk. Burung-burung yang biasanya beterbangan di sawah kini lenyap entah ke mana. Angin yang berhembus membawa aroma besi berkarat bercampur kemenyan, menusuk hingga ke tenggorokan.Para warga desa mulai keluar dari rumah mereka, berdiri dengan wajah pucat di jalanan tanah. Ada yang memeluk anaknya erat-erat, ada yang memegangi tasbih sambil komat-kamit membaca doa, dan ada pula yang menangis lirih, seolah-olah mata langit itu adalah pertanda ajal yang tak bisa dihindari.Ayudia berdiri di samping Arthayasa, tangannya menggenggam jemari suaminya kuat-kuat. Gendongan bayi di dadanya bergetar kecil, seakan si kecil pun bisa merasakan getaran gaib yang menggetarkan seluruh desa.“Artha…” suara Ayudia bergetar, nyaris tenggelam oleh bunyi gong gaib dari arah hutan. “Apa ini… akhir

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 104

    Malam di Desa Larung terasa lebih pekat dari biasanya. Angin berhembus membawa dingin yang menusuk tulang. Para santri yang sebelumnya masih bergumam wirid kini telah kembali ke bilik masing-masing, meski sebagian besar memilih untuk tetap menyalakan lampu pelita. Tidak ada yang berani tidur dalam kegelapan sejak sosok berkerudung hitam itu menampakkan diri.Arthayasa duduk di serambi rumah, keris pusaka tergeletak di pangkuannya. Cahaya bulan merah menyoroti wajahnya yang letih, tetapi matanya masih menyimpan api yang tak padam. Sejak kejadian malam itu, dadanya terasa lebih berat. Ada semacam ikatan tak kasat mata yang membelit dirinya, seperti tali gaib yang menahan dan sekaligus menarik ke dalam kegelapan.Ayudia duduk tak jauh darinya, mengayun pelan gendongan bayinya. Ia nyaris tidak bisa memejamkan mata sejak suara-suara itu muncul. Setiap kali terpejam, ia merasa ada mata lain yang mengawasinya dari balik tirai kegelapan.“Artha…” suara Ayudia lirih, pecah karena lelah. “Apa k

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 103

    Langit pagi di Desa Larung tampak lebih jernih daripada biasanya. Seolah-olah hujan semalam yang turun tipis sudah mencuci segala kegelapan yang menggantung di udara. Awan putih bergerak pelan, sinar matahari menembus pepohonan, jatuh di halaman rumah Arthayasa yang semalam penuh doa dan jerit perlawanan.Namun, di balik keheningan itu, ada rasa ganjil yang masih tertinggal. Angin yang berhembus membawa aroma tanah basah bercampur sedikit anyir, seperti sisa-sisa pertempuran gaib yang belum benar-benar lenyap.Arthayasa duduk di serambi rumah, tubuhnya masih lemah. Keris warisan leluhur yang semalam ia tancapkan di tepi Sendang Larung kini tergeletak di sampingnya, berselimut kain putih. Ujungnya masih menyimpan kilau samar, seolah-olah benda itu sedang beristirahat, sama seperti tuannya.Ayudia keluar membawa mangkuk bubur hangat. Wajahnya pucat, tetapi matanya berbinar, ada lega sekaligus khawatir. Bayinya tertidur di dalam gendongan kain, napasnya teratur meski sesekali bibir mungi

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 102

    Angin pagi di desa itu terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang sudah menampakkan sinarnya, tapi seolah kehangatannya tertahan oleh tabir tipis yang tak kasatmata. Burung-burung yang biasa ramai berkicau di pepohonan kini hanya terdengar sesekali, dengan nada yang sumbang dan pendek, seperti ikut menyadari sesuatu yang sedang bersembunyi di balik alam.Di halaman rumah Arthayasa, beberapa santri duduk melingkar, membaca wirid dengan suara lirih. Obor yang semalam dinyalakan belum sepenuhnya dipadamkan, sisa asapnya masih mengepul tipis ke udara. Ki Darmaya berdiri di tengah halaman, matanya menerawang jauh ke arah timur, tempat Sendang Larung berada.“Waktu kita sempit,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Tujuh malam… hanya tujuh malam.”Arthayasa keluar dari rumah dengan langkah sedikit gontai. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi ia memaksa diri untuk tetap tegak. Keris warisan yang selalu menemaninya kini terselip erat di pinggang, seolah menj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status