Share

S2 bab 120

Penulis: Mariahlia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-27 08:37:34

Api biru itu berkobar semakin tinggi, menjilat udara malam dengan panas yang aneh—bukan panas biasa, melainkan panas yang menusuk ke dalam tulang dan menggetarkan jiwa. Angin berhembus berlawanan arah, membuat kabut hitam berputar di sekitar mereka. Batu-batu berlumut yang mengelilingi altar tampak bergetar, seakan hendak runtuh sewaktu roh-roh menjerit di udara.

Artha berdiri paling depan, keris pusaka di tangannya kini memancarkan cahaya putih kebiruan, kontras dengan api neraka biru yang menyala di altar. Cahaya itu berdenyut seperti jantung hidup, dan setiap denyutnya membuat roh-roh di sekitar meringis, terhuyung, bahkan ada yang lenyap seperti asap yang tertiup angin.

Namun sosok perempuan berjubah hitam itu sama sekali tidak gentar. Senyum dingin tersungging di bibirnya. Rambut panjangnya melayang seolah bergerak sendiri. Matanya kosong, seperti jurang tak berujung yang bisa menelan siapa saja.

“Artha…,” suaranya bergaung, berat dan dalam, bercampur dengan bisikan ribuan suara
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 121

    Malam itu, langit desa masih diselimuti cahaya bulan pucat. Awan tipis bergerak perlahan, seakan-akan enggan menutupi bulan yang menjadi satu-satunya saksi perjuangan mereka. Angin malam bertiup lembut, namun bagi Ayudia, setiap hembusan angin terasa menusuk, membawa kecemasan yang tak terkatakan.Ia masih berlutut di samping tubuh Artha. Air matanya jatuh membasahi wajah pucat suaminya, sementara bayi kecil di pelukannya menangis, seperti merasakan duka yang sama.“Artha… dengar aku. Aku di sini. Aku dan anakmu menunggumu. Jangan pergi, tolong jangan tinggalkan kami…” suaranya pecah, gemetar, bercampur dengan tangis bayi yang semakin keras.Raden duduk terengah, menatap sahabatnya dengan mata merah. Tombak yang tadi digenggamnya tergeletak di tanah, penuh goresan dan noda tanah. “Aku tak bisa membayangkan jika dia benar-benar tak kembali…” gumamnya lirih.Saka menunduk, tangannya yang masih menggenggam pedang gemetar. “Dia satu-satunya alasan kita semua bisa keluar hidup-hidup dari h

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 120

    Api biru itu berkobar semakin tinggi, menjilat udara malam dengan panas yang aneh—bukan panas biasa, melainkan panas yang menusuk ke dalam tulang dan menggetarkan jiwa. Angin berhembus berlawanan arah, membuat kabut hitam berputar di sekitar mereka. Batu-batu berlumut yang mengelilingi altar tampak bergetar, seakan hendak runtuh sewaktu roh-roh menjerit di udara.Artha berdiri paling depan, keris pusaka di tangannya kini memancarkan cahaya putih kebiruan, kontras dengan api neraka biru yang menyala di altar. Cahaya itu berdenyut seperti jantung hidup, dan setiap denyutnya membuat roh-roh di sekitar meringis, terhuyung, bahkan ada yang lenyap seperti asap yang tertiup angin.Namun sosok perempuan berjubah hitam itu sama sekali tidak gentar. Senyum dingin tersungging di bibirnya. Rambut panjangnya melayang seolah bergerak sendiri. Matanya kosong, seperti jurang tak berujung yang bisa menelan siapa saja.“Artha…,” suaranya bergaung, berat dan dalam, bercampur dengan bisikan ribuan suara

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 119

    Kabut pagi itu tampak berbeda. Bukan sekadar kabut biasa yang biasa turun dari lereng hutan ke sawah-sawah desa. Kabut itu lebih pekat, lebih dingin, dan membawa bisikan samar yang hanya bisa terdengar oleh mereka yang masih waspada. Seolah bumi masih menyimpan sisa-sisa jeritan roh yang semalam hancur oleh cahaya keris pusaka. Artha duduk di beranda rumahnya, tangannya terbalut kain putih karena luka dari genggaman keris. Nafasnya masih berat, dadanya naik turun. Pandangannya kosong menatap sawah yang tertutup kabut, namun telinganya tajam menangkap setiap suara. Di dalam rumah, Ayudia masih belum beranjak dari sisi bayi mereka. Wajah istrinya pucat, tapi ada kilatan harapan baru di matanya. Tangis semalam yang panjang kini berganti dengan keheningan yang mencekam. Pak Ranu datang, tongkatnya mengetuk pelan lantai kayu. “Artha,” katanya lirih, “apa kau mendengar?” Artha mengangguk pelan tanpa menoleh. “Ya. Hutan belum benar-benar diam.” Raden yang sejak pagi sudah bersiap di lu

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 118

    Malam itu, desa seolah ditelan kegelapan yang lebih pekat dari biasanya. Lampu-lampu minyak di rumah-rumah penduduk padam satu per satu, seperti ada tangan tak kasatmata yang meniupkan api mereka. Angin bertiup kencang dari arah hutan, membawa bau anyir, amis seperti darah yang lama mengering.Artha duduk di ruang depan rumahnya, keris pusaka ia letakkan di pangkuan. Tangannya terus bergerak, mengelus gagang kayu yang halus dan dingin, seolah sedang bicara pada benda itu. Sesekali matanya melirik ke pintu kamar, di mana Ayudia duduk bersandar di samping buaian bayi mereka. Wajah istrinya pucat, air mata belum juga berhenti sejak kebenaran itu terungkap di makam leluhur.Pak Ranu duduk bersila, menutup mata, bibirnya komat-kamit membaca doa-doa lama. Raden dan Saka berjaga di luar, membawa obor dan tombak seadanya, meski mereka tahu senjata biasa mungkin tak berarti melawan makhluk dari perjanjian kuno.Ketegangan itu memuncak ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar rumah. T

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 117

    Senja telah runtuh, dan malam kembali menurunkan tirainya di desa kecil itu. Di langit, bulan sabit perlahan merayap naik, redup, bersembunyi di balik awan. Namun, bagi Artha, Raden, Saka, dan Pak Ranu yang baru saja keluar dari hutan larangan, malam itu seperti tak memberi ruang istirahat.Keringat dingin masih menempel di dahi mereka, meski udara sekitar menusuk dengan hawa lembap. Artha menggenggam kerisnya begitu erat, seolah pusaka itu adalah satu-satunya yang mengikatnya pada kewarasan. Ia menatap ujung senjata itu, yang masih berkilau samar, bergetar halus seakan menyimpan napas hidup.“Pak Ranu,” suara Artha akhirnya pecah, lirih namun dipenuhi kegelisahan. “Apa maksudnya… aku keturunan yang membawa kunci? Apa pusaka ini memang… ditakdirkan untuk menahan roh itu?”Pak Ranu berhenti melangkah, menatap Artha lama. Wajahnya yang tua semakin suram diterpa cahaya obor. “Artha, leluhurmu—leluhur kita semua—dulu adalah orang yang membuat perjanjian pertama. Tapi ada satu yang berkhia

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 116

    Malam itu, udara desa terasa lebih berat dari biasanya. Seakan-akan setiap hela nafas membawa serta aroma tanah basah yang bercampur darah. Angin tidak hanya sekadar berhembus—ia berisik, mengguncang genteng-genteng rumah, membuat dedaunan saling bergesekan dengan bunyi yang menyerupai bisikan samar. Bulan sabit yang tadi tergantung redup kini hampir sepenuhnya tertutup awan kelabu, seolah ikut bersekongkol menyembunyikan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kegelapan malam.Artha duduk di lantai dengan tubuh masih gemetar. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Tatapannya kosong, menembus ke luar jendela tempat sosok menyerupai Ayudia tadi berdiri. Suara itu masih terngiang jelas di telinganya: “Berikan bayi itu padaku. Ia lahir dari darahku. Ia anakku…”Ia menggenggam keris lebih erat, seolah benda pusaka itu adalah satu-satunya yang menahannya agar tidak pecah oleh tekanan. Sementara itu, Ayudia terus memeluk bayi mereka, mengayun-ayun pelan meski tangis si kecil tak juga mere

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status