Share

Bab 6

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-11 17:22:06

Biru terpaku di tempat, mata birunya melebar dalam ketidakpercayaan. "Nikah sama siapa, Ma?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Rasa panik melanda, bagai badai yang tak terduga, mengingat ia masih tengah duduk di bangku sekolah. 

 Dari ambang pintu, Bu Siska, yang sedang hendak meninggalkan kamar, menoleh dan melemparkan jawaban yang santai. "Tenang saja, yang penting dia perempuan," ucapnya dengan nada yang datar. 

 "Mama, kok jawabnya gitu sih," rengek Biru, kebingungan mewarnai suaranya. 

 Bu Siska menatapnya dengan sorot mata yang tajam, terasa bagai peluru. "Kamu tahu, mama masih kesal sama kamu. Kamu seharusnya yang memasang cincin itu, tapi malah mama yang harus melakukannya. Kamu membuat kami malu, Biru. Sekarang, cepat siapkan dirimu!" geramnya. 

 Meski di luar Biru tampak arogan, di hadapan ibunya, dia seperti lilin yang leleh. Dengan kepala tertunduk, ia mengangguk, namun di dalam hatinya, dia memutar berbagai rencana untuk melarikan diri. 

 Dengan gerakan cepat, Biru membuka jendela kamarnya dan melirik ke luar. Setelah yakin keadaan aman, ia melompat keluar. "Cuma segini, Pa, pengamanannya?" gumamnya dengan nada mengejek, takjub bahwa keamanan rumahnya begitu mudah untuk ditembus.

Langkah Biru baru saja dimulai ketika tiba-tiba ada yang mencengkeram baju bagian belakangnya dengan kuat. Ia menoleh dan mendapati Om Bram, tangan kanan Pak Indra, dengan tatapan tajam. 

 "Mau kemana? Jangan kira aku nggak tau kalau kamu lompat dari jendela. Sejak tadi aku ngawasin kamu," ucap Om Bram dengan suara yang rendah tapi penuh ancaman. 

 Biru menghela napas berat, raut wajahnya mencerminkan frustrasi dan kemarahan yang mendalam. "Lepas! Gue nggak mau nikah, Om!" teriaknya sambil dengan keras menepis tangan Bram. 

 Perebutan yang keras terjadi di antara mereka. Biru terus berusaha melepaskan diri, tapi dengan cepat Bram berhasil menguasai dan menyeretnya kembali. 

 "Cuma segini kemampuan kamu? Ketua geng?" cibir Bram dengan sinisme yang menajam. 

 Sementara itu, Pak Indra yang telah berdiri tidak jauh dari mereka, mengarahkan pandangan dinginnya kepada Biru. "Jangan biarkan dia di dalam mobil sendiri," perintahnya kepada Bram, yang kemudian dengan taat mendorong Biru ke dalam mobil.

***

Aku mengepal erat tangan yang terasa dingin, berusaha meredakan kegugupan yang menghantui sejak pagi. Dua makeup artist sibuk dengan jemari terampil mereka, menyapukan bedak dan eyeshadow di wajahku. 

"Mbak Aya cantik banget, pasti pengantin prianya juga tampan," komentar salah satunya sambil mengatur gaun putih yang melingkar di tubuhku. 

Aku membalas dengan senyuman tipis. Sebuah bayangan calon suamiku yang tak pernah kutemui sejak ia tidak muncul saat tunangan kami membuatku merasa was-was. 

 "Kalau nanti dia nggak datang, aku pasti malu," bisikku lirih, perasaan malu dan khawatir berseliweran dalam pikiranku.

 Ketakutan itu makin menjadi ketika Anggia tiba-tiba berteriak kasar, "Heh, Aya! Lo cepat keluar. Di panggil papa!" Mata Anggia menyapu tubuhku dari atas sampai bawah dengan penuh kebencian.

Anggia menarikku dengan kekuatan yang cukup besar, membuatku hampir terjatuh. "Lo dengar nggak sih gue ngomong apa. Buruan turun!" teriaknya, urat-urat di lehernya tampak menonjol, matanya menyala-nyala penuh amarah.

"Apaan sih lo! Gue bisa jalan sendiri tanpa lo dampingi," balasku dengan nada tinggi, berusaha melepaskan genggaman tangannya yang semakin mengencang.

"Jangan sok lo! Ingat, calon suami lo juga nggak akan datang. Jadi lo nggak usah ngerasa sok cantik!" Anggia menyindir dengan nada sinis, mencoba menghunjamkan setiap kata ke dalam hatiku.

Sudut bibirku terangkat menjadi senyum sinis. "Kenapa? Lo iri sama gue? Gue emang lebih cantik kok," ucapku sambil menggoda, melihat wajah Anggia yang semakin memerah karena marah.

"Halah, bentar lagi juga lo bakal malu. Cepat keluar," desisnya, mendorongku agar bergerak lebih cepat. Kedua tangannya masih menggenggam lenganku, tak memberiku kesempatan untuk melawan.

Langkahku pelan menelusuri lorong rumah bersama Anggita yang mengenggam tanganku. Dari ujung koridor, Papa dan Tante Ayuni mendekat dengan senyum lebar. 

 "Ya ampun, sayang, cantik banget," puji Tante Ayuni sambil tersenyum ke arah Papa. Senyum itu terasa hambar, seolah hanya sebuah topeng untuk menutupi ketidakikhlasan di hadapanku. 

 "Papa bangga lihat Aya sudah besar," ucap Papa dengan nada haru, matanya menatapku penuh arti. Perlahan, dia dan Tante Ayuni memandu langkahku menuju ruang tamu, di mana calon suamiku sudah menunggu. 

 Saat aku memasuki ruangan, pandanganku langsung tertuju pada seorang pria yang duduk dengan tenang, mengenakan setelan jas yang tampak mahal. Mataku tak bisa menyembunyikan kejutan saat bertemu pandang dengannya. 

 "Lo!" seru kami bersamaan saat kami saling memandang terkejut. 

 Dia bergerak mendekat, menarikku ke sudut ruangan. 

"Ngapain lo kesini!" nada suaranya penuh kekesalan. 

 "Lo yang ngapain di sini!" balasku, tak mau kalah. 

 "Demi apa? Jadi lo yang mau nikah sama gue?" kejut dan amarah bercampur dalam tatapan tajam yang dia lemparkan ke arahku.

Kulirik Biru dengan tatapan yang tajam dan sinis. "Mana gue tau kalau lo calon suami gue. Kalau tau, gue juga ogah kali!" teriakku, memotong keheningan. 

Sementara itu, Biru mengepalkan kedua tangannya, urat lehernya menonjol sebagai tanda ia sedang menahan amarah. 

 "Kenapa sih harus lo!" Teriak kami bersamaan, suara kami menyatu di udara yang tegang. 

Kami terengah-engah, dan secara instinktif, kami memilih untuk saling membelakangi, seolah-olah mencari ruang untuk bernafas. 

 Para orang tua dan tamu undangan di sekitar kami mulai bertukar pandang, kebingungan dan rasa ingin tahu bercampur dalam ekspresi mereka. Dengan langkah cepat, Pak Indra dan Bu Siska menghampiri, mencoba meredam situasi. 

 "Ayo duduk, pak penghulu sudah menunggu," bisik Bu Siska dengan nada yang menenangkan. 

"Biru, cepat duduk!" perintah Pak Indra, tegas pada putranya. Dengan langkah berat, aku dan Biru mendekati penghulu dan duduk bersebelahan, masih dengan rasa tidak nyaman menguar di antara kami.

 Jantungku berdegup kencang, semakin tidak terkendali saat Biru menjabat tangan papaku. Kemudian dengan napas dalam, Biru mengucapkan ijab qobul dengan suara yang lantang dan jelas. 

 "Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu. 

"Sah!" jawab para saksi serempak. 

Semuanya berjalan begitu cepat, sehingga aku merasa linglung, hingga suara lembut memerintahkan untuk mencium tangan Biru, yang akhirnya membuyarkan lamunanku.

"Aya, ayo cium tangan suami kamu," tegur papa dengan lembut.

Hah! Aku mengedipkan kedua mataku, sekilas aku melirik ke arah Biru yang tampak dingin.

Dengan ragu aku meraih tangan Biru yang terulur menggantung di udara. Aku mencium punggung tangannya. 

"Biru, kamu cium kening Cahaya," ucap Bu Siska yang membuatku berdiri mematung. 

"Demi apa? Biru mau cium kening gue? Nggak, ini nggak boleh terjadi!" batinku dengan kedua mata terpejam rapat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cahaya Biru   Bab 50

    Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,

  • Cahaya Biru   Bab 49

    Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem

  • Cahaya Biru   Bab 48

    "Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s

  • Cahaya Biru   Bab 47

    Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku

  • Cahaya Biru   Bab 46

    Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal

  • Cahaya Biru   Bab 45

    Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status