Masih sulit dipercaya olehku, bagaimana aku tiba-tiba menjadi tunangan orang yang tak kukenal? Dalam hati gelisah dan pikiran berkecamuk, pertanyaan-pertanyaan tak henti bergelayut. "Gue, tunangan? Siapa, Bi? Besok gue akan menikah?" Kalimat-kalimat itu terus bergema di dalam benakku.
Tiba-tiba suara papa memecah lamunanku. "Ayo, Aya, itu keluarga calon tunangan kamu sudah datang," ucapnya seraya menunjuk keluar jendela. Segera pandanganku teralih ke depan rumah. Rombongan mobil telah berhenti, beberapa orang mulai turun. Mataku tertuju pada seorang pria yang seumuran dengan papa dan seorang wanita yang tampak anggun namun cemas. Pria itu memberikan isyarat tangan, mengirimkan dua orang kembali ke dalam mobil yang lalu segera meninggalkan pekarangan rumah dengan aura misterius yang meninggalkan lebih banyak pertanyaan dalam benakku. Mereka berdua berjalan mendekat dan tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan. "Selamat malam, Aya. Saya Pak Indra, ayah dari calon suami kamu," ucapnya seraya menjabat tanganku. Aku hanya bisa menatapnya bingung, belum sepenuhnya menerima kenyataan ini. Papa tersenyum sambil menarikku ke dalam rumah, "Ayo masuk, kita bicara lebih nyaman di dalam." Di dalam rumah, suasana sudah dipersiapkan untuk pertemuan ini. Ruang tamu penuh dengan hiasan bunga dan kue-kue yang menggoda selera. Tante Ayuni tersenyum ramah pada para tamu yang datang sedangkan Anggia, ia duduk dengan menatap marah ke arahku. Wanita yang datang bersama Pak Indra duduk di seberangku, dia memperkenalkan diri sebagai Ibu Siska. Matanya terus menatapku, seolah mencoba membaca pikiranku. "Kami tahu ini mendadak, Aya, tapi kami merasa kamu dan Bi sangat cocok," ujarnya dengan lembut. Aku terdiam, mencoba mencerna segalanya. Di satu sisi, rasa terkejut masih mendominasi, namun di sisi lain, kehangatan yang ditunjukkan oleh kedua orang tua ini membuatku merasa sedikit lega. Aku menoleh ke arah pintu saat seorang pria muda masuk. Dia berjalan dengan tergesa menuju ke arahku, lalu memberikan senyum yang membuat hati ini berdebar. Pria itu mengatakan sesuatu pada Pak Indra dengan berbisik lalu ia keluar dari ruangan. Aku mengerutkan dahi, tapi tak berani bertanya. "Aya, maaf ya calon suamimu masih dalam perjalanan ke sini," kata Pak Indra dengan nada tak enak hati. Bu Siska mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku. Sentuhan tangannya memberikan rasa yang hangat, campuran antara ketakutan dan kegembiraan. "Ada apa? Apa cowok yang akan jadi tunangan gue kabur?" tanyaku dalam hati saat melihat mata Bu Siska berkaca-kaca dan menyiratkan ketakutan dan kekhawatiran. Di ruangan yang tenang, Papa dan Pak Indra sedang asyik serius membahas detail pertunangan ku dengan Bi. Waktu terus berlalu hingga hampir setengah jam, namun Bi, calon tunanganku, masih belum juga muncul. Mataku berpindah-pindah mencari sosoknya yang tak kunjung datang. "Aya, maaf ya, sudah malam tapi Bi belum juga datang. Mama akan mewakili Bi memakaikan cincin tunangan ini di jari kamu. Tenang saja besok pagi Bi akan datang untuk menikahimu," kata Bu Siska dengan lembut, sambil mengeluarkan kotak cincin berkilauan. Kejutan itu membuatku terdiam sejenak, hati serasa terhenti. Ketika pandanganku secara tidak sengaja tertuju ke samping, aku menangkap senyum sinis yang tersungging di bibir Anggia. Saudara tiriku itu seolah merasa puas melihat calon tunanganku yang tidak datang. "Aya, berikan jari kamu sama mamanya Bi," ujar Pak Erwin, papaku mengejutkanku. Dengan perasaan bercampur aduk, aku menatap wanita yang duduk di depanku itu. Bu Siska, dengan senyuman yang menenangkan, seolah memberikan kekuatan padaku yang tampak ragu dan cemas. Dengan napas yang terengah-engah dan jantung berdebar, tanganku yang gemetar perlahan terulur. Sinar gemerlap dari cincin permata itu terpasang di jari manisku. Suasana di ruangan pun bergema dengan suara tepuk tangan dan ucapan syukur dari para tamu. Anggia melangkah masuk ke kamarku tanpa permisi, wajahnya penuh sindiran saat acara selesai dan tamu telah pergi. Dia langsung melontarkan kata-kata yang memojokkan, "Sukurin, Biru nggak mau datang buat tunangan sama lo, gimana besok? Pasti saat ini Biru udah kabur dari rumah," kata Anggia dengan nada mencemooh. Aku hanya diam, membiarkan kata-katanya menggantung di udara kamar yang tiba-tiba terasa pengap. Dalam hati, aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi esok hari. "Kenapa diam? Pasti sangat malu karena calon tunangannya nggak datang. Kasian banget sih lo Aya," ejeknya sambil menatapku dengan pandangan sinis. "Berisik! Sana keluar," bentakku sambil menunjuk ke arah pintu. "Nanti lo ngadu yang nggak-nggak lagi sama nyokap lo dan nyalahin gue!" Ketika aku menyuruhnya keluar, wajah Anggia memerah karena kesal. Dia membalas dengan nada tinggi, "Sombong! Liat aja besok lo pasti akan malu seumur hidup lo karena Biru nggak akan pernah datang. Dan lo akan di ketawain banyak orang!" Dengan langkah berat, Anggia beranjak meninggalkan kamarku, menutup pintu dengan hentakan yang membuktikan amarahnya. Aku terlonjak kaget, seandainya aku nggak memakai pakaian yang membuatku sulit bernafas ini mungkin sudah aku ajak baku hantam suadara tiriku yang mulutnya pedas bak bon cabe itu. "Kenapa Biru? Nggak mungkin Biru, nama Biru di kota ini sangat banyak dan nggak mungkin Biru Samudra, cowok sekelasku yang rese itu," gumamku menepis pikiran buruk yang ada di dalam otakku. Tapi kenapa Anggia mengatakan kalau calon suamiku itu Biru-nya? Bukankah yang dia maksud itu Biru musuhku itu? Aku benar-benar bingung dengan semua ini. *** Di sisi lain, Biru membeku sejenak saat layar ponselnya berkedip-kedip menampilkan notifikasi dari para anggota gengnya. Pada layar itu tertulis pesan mendesak bahwa salah satu dari mereka mendapatkan serangan. Meskipun sedang dalam perjalanan ke sebuah acara penting bersama orang tuanya, kekhawatiran mendalam terpantul dari sorot matanya. "Gue harus ke sana," gumamnya pelan, mencoba meredam gelisah yang meluap. Saat mobil orang tuanya mengalir perlahan mengikuti arus lalu lintas, Biru dengan cekatan memutar kemudi, mencari celah untuk bermanuver. Ketika jalanan sedikit terbuka, ia segera mempercepat laju mobilnya, membelah keramaian menuju base camp. Begitu tiba, pertanyaan terlontar dari mulutnya secepat detak jantungnya. "Siapa yang kena serang? Kondisinya gimana?" Bukan hanya keadaan yang mendadak kacau, tapi penampilannya yang sangat tidak biasa—mengenakan batik—juga menarik perhatian dan keheranan Jeno dan Radit, rekan-rekannya. Jeno mengerutkan kening, bingung, "Lo kenapa pakai batik sih? Mau ke nikahan ya?" Pandangan serupa terhempas dari Radit dan yang lainnya, meningkatkan kebingungan di udara yang sudah tegang. Atmosfer base camp itu, kini, tidak hanya dirundung kekhawatiran tapi juga rasa ingin tahu yang amat besar tentang pilihan pakaian sang ketua. Biru mendengus kesal. "Gue sama nyokap bokap ada acara," katanya, suaranya berusaha tegar meski kecewa. Anggota gengnya mengangguk mengerti, matanya terbakar dengan semangat. "Cepat, siap-siap. Kita serbu mereka!" seru Biru, raut wajahnya memperlihatkan determinasi. Mereka mengangguk, bersiap menyusun strategi balas dendam. Kendaraan Biru menderu memecah keheningan malam, menuju markas musuh. Hanya beberapa meter setelah mereka meninggalkan markas mereka, tiba-tiba sebuah mobil menerjang, menghadang jalan mereka. "Sial!" teriak Biru, frustrasi. Seorang pria muda dengan wibawa tiba-tiba muncul di sampingnya, menatapnya dengan tegas. "Pulang!" perintahnya, suara penuh otoritas. "Tapi Om, Biru akan..." sela salah satu temannya dengan rasa was-was. "Cepat pulang. Aku hanya menjalankan tugas!" potong pria itu, tak tergoyahkan. Biru terdiam, jelas tak punya pilihan. "Kita tunda dulu," teriak Biru, menoleh ke anggota gengnya melalui jendela mobil. Jeno dan Radit mengangguk paham, mengetahui posisi Biru yang rumit sebagai anak konglomerat. Plak! Sebuah tamparan keras mendarat, saat Biru memasuki rumah, pipinya panas terasa pedih. Wajah ayahnya memerah, urat-urat di lehernya menonjol, mata menatap tajam penuh kemarahan. "Ini yang kamu inginkan! mencoreng nama baik keluarga kita!" teriak Pak Indra, suaranya bergema di ruang tamu. Biru, kepalanya tertunduk, merasakan setiap kata itu seperti cambuk menyakitkan. Tidak ada jawaban yang bisa dia berikan, hanya diam membisu. "Jika kamu berani kabur lagi, ingat, papa akan tarik semua fasilitasmu!" Pak Indra menambahkan dengan nada tegas, yang belum pernah Biru rasakan sebelumnya dari sang papa. Pak Indra memandang seorang pria di sudut ruangan. "Awasi dia. Jangan sampai dia kabur lagi hingga acara besok selesai!" perintahnya dengan tegas. Keesokan harinya, di tengah kegelisahan Biru, sang mama memasuki kamar dengan membawa setelan jas rapi. "Sebenarnya ada acara apa sih, Ma? Sampai-sampai aku nggak boleh kemana-mana?" tanya Biru dengan rasa penasaran yang menggumpal. "Nggak usah banyak tanya. Cepat siap-siap, sebentar lagi kamu akan menikah," jawab mamanya singkat. "Apa, menikah?!" rasa terkejut menyergap Biru, lebih mengejutkan dari tamparan semalam.Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,
Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s