Share

Kejadian Konyol

Author: Fafafe 36
last update Last Updated: 2024-10-02 16:46:28

Pagi itu, Sarah duduk di meja makan sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Langit biru cerah yang seharusnya memberikan semangat, baginya masih terasa abu-abu dan suram. Ketika Ana datang dengan secangkir teh hangat, wajah Sarah masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa depannya.

"Aku sudah membuatkan teh hijau kesukaanmu," kata Ana dengan senyum hangat. "Ayo, jangan terus terlarut dalam pikiran. Hari ini kamu ada janji dengan dokter Fajar, kan?"

Sarah hanya mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum meminum teh itu. Ana selalu tahu apa yang membuatnya nyaman. Setelah kegagalan pemotretan kemarin, Sarah merasa seperti semakin tenggelam ke dalam rasa putus asa. Dia tahu dia harus berjuang, tetapi melawan perasaan yang begitu berat terasa seperti melawan arus laut yang ganas.

"Kau tahu, Ana," Sarah berkata pelan. "Aku merasa seperti kehilangan arah. Dunia modeling dulu adalah segalanya buatku, dan sekarang… rasanya aku tidak tahu siapa diriku tanpa itu."

Ana duduk di hadapannya, dengan tenang meletakkan tangannya di atas tangan Sarah. "Sarah, aku selalu percaya bahwa di balik setiap kesulitan, ada kesempatan untuk menemukan kembali dirimu sendiri. Kau bukan hanya seorang model. Kau lebih dari itu. Dan aku ada di sini untuk memastikan kau menyadarinya."

Sarah menatap Ana dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Ana bukan hanya asisten, dia adalah teman setianya, seseorang yang selalu ada di sisinya sejak kecelakaan itu.

"Aku pikir mungkin ini saatnya aku mempertimbangkan terapi," ujar Sarah tiba-tiba. "Aku sudah cukup lama menunda-nunda. Mungkin itu bisa membantu."

Ana tersenyum lebar, mengangguk penuh semangat. "Itu adalah keputusan yang luar biasa, Sarah! Terapis bisa membantumu menemukan cara untuk menghadapi trauma ini. Ingat, kamu tidak perlu menjalani ini sendirian."

---

Beberapa jam kemudian, Sarah berada di ruang tunggu klinik dokter Fajar. Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Meski ini hanya kunjungan kontrol, pertemuan dengan dokter Fajar selalu membuatnya merasa sedikit lebih baik. Sosok dokter muda itu tidak hanya profesional dalam merawat fisiknya, tetapi juga memberikan dukungan emosional yang sangat berarti.

Pintu ruangan dokter terbuka, dan dokter Fajar muncul dengan senyum hangat. "Sarah! Masuklah, aku sudah menunggumu."

Sarah tersenyum tipis dan memasuki ruang periksa. "Bagaimana kabarmu, Dok?"

"Saya baik, terima kasih," jawab Fajar, sembari mempersilakan Sarah duduk. "Bagaimana dengan kamu? Bagaimana perasaanmu setelah kunjungan terakhir?"

Sarah menghela napas panjang. "Sejujurnya, Dok, hari-hariku masih terasa berat. Pemotretan kemarin berjalan buruk, dan aku mulai merasa mungkin aku memang sudah tidak cocok lagi di dunia itu."

Dokter Fajar mendengarkan dengan seksama, menatap Sarah dengan empati. "Sarah, pemulihan itu tidak hanya soal fisik. Kadang, yang lebih sulit adalah menyembuhkan luka batin. Ketika kita mengalami trauma besar, kita perlu memberikan waktu untuk diri sendiri. Itu sangat wajar."

Sarah menunduk. "Aku takut, Dok. Takut aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti dulu lagi."

Fajar mengangguk pelan. "Aku mengerti. Dan aku ingin kau tahu, kau tidak perlu melalui ini sendirian. Selain terapi fisik, aku sangat menyarankan kau untuk mencoba konseling atau terapi psikologis. Mereka bisa membantumu menemukan cara untuk mengatasi perasaan ini. Jika kau ingin berdiskusi lebih jauh tentang perasaanmu, aku di sini untukmu."

Mata Sarah sedikit berkaca-kaca mendengar tawaran itu. Ada sesuatu dalam cara bicara Fajar yang menenangkan, seolah mengatakan bahwa tidak apa-apa merasa rapuh.

"Aku mungkin akan mencobanya, Dok. Terapis, maksudku," kata Sarah pelan. "Aku sudah bicara dengan Ana tentang ini. Aku tidak bisa terus mengabaikan perasaanku."

"Bagus sekali, Sarah," Dokter Fajar tersenyum lagi. "Langkah kecil menuju penyembuhan adalah sesuatu yang sangat besar. Dan jangan lupa, ada banyak orang yang siap membantumu, termasuk aku."

---

Setelah sesi kontrol selesai, Sarah keluar dari klinik dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Saat menunggu Ana yang sedang memarkir mobil, Sarah duduk di ruang tunggu dan memperhatikan sekelilingnya. Di seberang ruangan, ia melihat seorang wanita muda yang duduk dengan kaki yang terbalut perban.

Wanita itu tersenyum ramah saat menyadari Sarah sedang menatapnya. "Kecelakaan juga, ya?" tanya wanita itu dengan nada ringan.

Sarah tersenyum tipis. "Iya, beberapa bulan yang lalu. Kamu juga?"

Wanita itu mengangguk. "Ya, kecelakaan motor. Awalnya, aku pikir hidupku sudah berakhir. Tapi di sini aku sekarang, masih mencoba bertahan."

Mendengar kata-kata itu, Sarah merasa ada secercah rasa lega. Mungkin dia tidak sendirian dalam perjuangannya. Ada banyak orang di luar sana yang juga sedang berusaha pulih, dan mereka semua sama, sedang mencoba mencari jalan kembali ke kehidupan mereka.

"Kamu kuat," kata Sarah tulus. "Aku masih berjuang dengan itu."

"Kita semua begitu," jawab wanita itu. "Tapi kita akan sampai di sana. Satu langkah kecil pada satu waktu."

---

Ketika Sarah dan Ana akhirnya meninggalkan klinik, hari sudah mulai senja. Ana mengajak Sarah untuk makan malam di sebuah restoran kecil yang nyaman di dekat rumah mereka. Sarah setuju, meski pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja ia alami di klinik.

Namun, ketika mereka sedang berjalan menuju restoran, tiba-tiba sebuah truk air yang melintas di jalan basah tergelincir dan menyemprotkan air ke segala arah. Sarah, yang berdiri di pinggir trotoar, langsung terkena cipratan besar dari genangan air.

"Ya Tuhan!" teriak Sarah, terkejut dan basah kuyup dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ana, yang berdiri di belakangnya, langsung tertawa terbahak-bahak.

"Astaga, Sarah! Maaf, tapi kamu terlihat sangat konyol sekarang!" Ana mencoba menahan tawanya tapi gagal.

Sarah, yang awalnya terkejut dan kesal, akhirnya ikut tertawa. "Tentu saja! Tentu saja ini terjadi padaku! Setelah hari yang berat, kenapa tidak?"

Ana menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar. "Mungkin ini tanda bahwa kau butuh lebih banyak momen konyol dalam hidupmu. Mungkin ini yang kita butuhkan untuk melepas stres."

Mereka berdua tertawa sambil melangkah ke dalam restoran, Sarah dengan pakaian yang setengah basah, tapi dengan hati yang lebih ringan. Konyol atau tidak, tawa itu adalah sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Sarah merasa sedikit lebih bebas. Mungkin, pikirnya, pemulihan itu memang penuh kejutan, baik yang manis maupun yang basah kuyup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cahaya di Ujung Jalan   Cahaya di Ujung Cerita

    Waktu terasa berjalan lambat sejak kejadian malam itu. Sarah masih sering terbangun di tengah malam dengan napas memburu dan keringat dingin membasahi dahinya. Fajar, yang selalu ada di sampingnya, akan menggenggam tangan istrinya dengan lembut dan membisikkan kata-kata penenang. Namun, keduanya tahu bahwa selubung ancaman masih menggantung di atas mereka.Hari ini, Sarah duduk di teras rumah sambil memangku salah satu bayi kembarnya, Aisyah. Di dekatnya, Arfan tertidur di bouncer kecil. Mata Sarah terlihat kosong, pikirannya melayang pada sosok Raka, orang yang selama ini berada di balik semua kejadian buruk yang menimpa keluarganya.Fajar keluar dari dalam rumah dengan membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di sebelah Sarah dan memandang wajah istrinya dengan penuh kasih sayang."Kau harus istirahat, Sayang. Kau tak bisa terus memikirkan hal ini." ujar Fajar sambil menyerahkan secangkir teh.Sarah menghela napas panjang. "Aku tahu, Mas Fajar. Tapi aku tidak akan merasa tenang samp

  • Cahaya di Ujung Jalan   Kebenaran yang Terungkap

    Bab 58: Kebenaran yang TerungkapMalam itu, Sarah duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar sambil menatap layar ponselnya. Pesan singkat yang masuk beberapa menit lalu terasa seperti palu godam yang menghantam hatinya."Kau pasti tahu sekarang siapa di balik semua ini. Tapi berhati-hatilah, Sarah. Jangan gegabah jika kau ingin keluargamu selamat."Nama pengirim tidak ada, hanya nomor tak dikenal. Namun, Sarah tahu persis siapa yang dimaksud oleh pesan itu. Sebuah nama yang selama ini tak pernah ia duga, Raka, sepupu jauh Fajar, yang selama ini bersikap baik dan ramah di hadapannya.Sarah memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan napas yang tersengal. Ia tak pernah berpikir bahwa orang yang dikenal keluarga mereka dengan baik bisa melakukan hal sekeji ini. Dengan tangan bergetar, ia menggenggam ponsel lebih erat.Fajar yang baru saja pulang dari pertemuan dengan Jo, masuk ke rumah dan langsung melihat wajah pucat istrinya. "Sayang, ada apa? Kau terlihat ketakutan."Sarah menatap

  • Cahaya di Ujung Jalan   Ancaman

    Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya meski suara tangisan Arfan sesekali memecah keheningan. Sarah duduk di tepi ranjang dengan Arfan dalam gendongannya, wajahnya masih terlihat pucat dan matanya sembab akibat tangisan sepanjang malam. Fajar berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan tatapan kosong."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Siapa yang tega melakukan ini pada kita?" suara Sarah lirih namun penuh tuntutan jawaban.Fajar berbalik, matanya bertemu dengan mata istrinya yang penuh kecemasan. Ia mendekat dan duduk di samping Sarah, tangannya menggenggam tangan istrinya erat."Aku tidak bisa memberitahumu detailnya sekarang, Sayang. Tapi yang jelas, ini belum berakhir. Aku sudah membuat kesepakatan dengan mereka demi Arfan," ucap Fajar dengan suara bergetar.Sarah terdiam, napasnya tercekat. "Kesepakatan apa? Kau… kau tidak melakukan sesuatu yang membahayakan, kan?"Fajar menggeleng pelan. "Aku hanya diminta untuk melakukan operasi pada seseorang. Aku tidak tahu

  • Cahaya di Ujung Jalan   Ancaman dibalik Pisau

    Asap masih mengepul di sekitar dermaga tua ketika Fajar terduduk di papan kayu yang mulai retak. Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar akibat luka dan kelelahan. Namun, di balik semua itu, satu hal memenuhi pikirannya, Arfan harus ditemukan.Sirene polisi semakin dekat. Beberapa petugas berlari menghampiri lokasi ledakan, namun Fajar sudah bangkit sebelum mereka sempat menanyakan apa pun."Pak, Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu polisi."Saya baik-baik saja. Tapi anak saya diculik, dan pelakunya ada di sini!" Fajar berseru dengan nada panik namun tegas.Polisi itu menatap Fajar dengan serius. "Kami akan menyisir area ini. Anda sebaiknya diperiksa di rumah sakit dulu, Pak.""Tidak!" Fajar menepis tangan polisi yang mencoba menahan bahunya. "Waktu saya tidak banyak. Setiap detik yang terbuang bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati untuk anak saya."---Fajar kembali ke mobilnya dengan langkah tergesa. Ponselnya bergetar, Jo menelepon."Jar, aku sudah melacak sinyal terakhir dar

  • Cahaya di Ujung Jalan   Jejak yang Hilang

    Pagi itu, mentari menyinari halaman kecil di belakang rumah Fajar dan Sarah. Kedua bayi kembar mereka, Aisyah dan Arfan, sedang berjemur di bawah sinar matahari pagi di dalam keranjang bayi masing-masing. Sarah duduk di dekat mereka sambil mengawasi dengan senyum lembut di wajahnya."Mbak, aku masuk sebentar ya, ambil jus buat kita," ujar Sarah pada pengasuh bayi mereka, Mbak Rina, yang sedang sibuk melipat selimut di samping keranjang.Mbak Rina mengangguk. "Iya, Bu Sarah, biar saya yang jaga di sini."Sarah bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil jus segar di dapur. Namun, beberapa menit kemudian, suara jeritan Mbak Rina terdengar memecah keheningan."Bu Sarah! Bu Sarah! Arfan hilang! Arfan hilang!"Sarah berlari secepat mungkin ke halaman belakang. Matanya membelalak melihat salah satu keranjang bayi kosong, Arfan tidak ada di sana. Mbak Rina tampak gemetar dan menangis di samping keranjang yang kosong itu."Apa yang terjadi? Di mana Arfan?!" suara Sarah bergetar, matanya mul

  • Cahaya di Ujung Jalan   Momen Manis di Tengah Ketegangan

    Pagi itu, sinar matahari hangat menyinari halaman rumah kecil keluarga Fajar dan Sarah. Suara tawa kecil bayi kembar, Aisyah dan Arfan, memecah keheningan di taman kecil tempat mereka menggelar tikar piknik. Fajar dengan cekatan menyiapkan tempat duduk nyaman untuk Sarah dan memastikan kedua bayi mereka terlindungi dari sinar matahari langsung."Mas, ini pertama kalinya kita piknik lagi sejak bayi-bayi lahir," ujar Sarah sambil merapikan kerudungnya dan tersenyum lembut ke arah suaminya.Fajar mengangguk sambil menuangkan jus jeruk ke gelas kecil untuk Sarah. "Iya, Sayang. Aku pikir kita butuh momen seperti ini. Jauh dari keramaian, hanya kita berempat."Meski senyumnya lebar, Sarah bisa menangkap ada sesuatu di balik mata suaminya, kewaspadaan yang terus-menerus. Fajar selalu melirik ke sekeliling mereka, memastikan tak ada hal mencurigakan yang mendekati keluarga kecilnya."Mari kita nikmati momen ini, Mas. Aku ingin lihat senyum yang benar-benar lega dari kamu," kata Sarah sambil m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status