Share

Bab 4: Hamil

“Raya, siapkan pesanan buket ini. Akan diambil jam dua siang nanti.” Nila, teman kerja Raya meletakkan kartu pesanan di meja.

Raya yang sedang membuat buket bunga untuk pelanggan yang menunggu di hadapannya melirik jam tangannya, masih ada waktu empat jam. Kemudian menoleh ke arah Nila, “oke.”

Toko bunga ini memiliki konsep rumah kaca. Jadi ketika masuk, pelanggan bisa memilih duduk di lounge saat mendiskusikan buket yang diinginkannya, atau bisa juga bicara sambil berjalan dirumah kaca dimana bunga hidup dalam perawatan yang teliti.

Ada banyak karyawan disini. Dari yang bertugas merawat bunga, merangkai bunga, menerima pesanan sampai mengantar bunga.

Raya adalah satu dari tiga orang yang bertugas merangkai bunga.

Setelah mengantar pelanggan yang sudah mendapatkan buket bunganya pergi, Raya kembali masuk. Dia membaca kartu pesanan dan bersiap merangkai bunga selanjutnya.

“Raya, apa yang kau makan akhir-akhir ini?” tanya Hani, teman kerjanya yang sedang merangkai bunga pesanan lain.

“Masih take away dari bos. Kenapa?” Raya duduk disamping Hani dengan membawa kumpulan bunga yang dia butuhkan.

“Kau kelihatan lebih gemuk,” komentar Hani sambil tertawa.

“Yang benar?” gumam Raya ragu.

Dia memang merasa enggan melakukan banyak hal akhir-akhir ini. Bahkan dia beberapa kali hampir melanggar kebiasaan hidup hematnya dengan membeli jajanan diluar.

“Iya. Kau kelihatan gemuk. Tapi juga agak pucat. Coba periksa ke dokter. Mungkin saja ada yang salah dengan tubuhmu.” Hani memberikan saran.

“Oke.” Raya menyetujui dengan ringan.

Setelah mendengar komentar Hani seperti itu, Raya jadi berpikir apa yang salah pada tubuhnya. Dia berpikir lama hingga tertegun saat mengingat sesuatu.

Dia belum mendapatkan menstruasi sejak lama.

Awalnya dia pikir itu normal karena dia mengalami stres berat dan trauma. Belakangan ini kondisinya membaik, tapi dia masih belum mendapatkan menstruasi.

Tiba-tiba Raya merasa takut. Jantungnya berdebar kencang. Tangannya agak gemetar. Bahkan keringat dingin mulai muncul dimana-mana.

“Raya?” Panggil Hani bingung karna melihat Raya yang sedetik lalu terlihat baik-baik saja kini terlihat sangat sakit. “Raya, hei apa yang terjadi padamu?”

Bibir Raya agak gemetar saat dia berusaha menjawab, “Hani, aku pikir... aku tidak sehat. Bisakah... bisakah aku ijin pulang? Maksudku bisakah kau memintakan ijin pulang ketika bos datang nanti?”

Hani akan menjawab namun dia tercengang melihat mata Raya mulai tidak fokus. Bahkan temannya itu mulai berkeringat dan bergetar.

“Apa yang terjadi padamu?” tanya Hani panik sambil memegang tangan Raya. Lagi-lagi dia terkejut merasakan suhu yang sedingin es. “Pulang... tidak, ayo kerumah sakit. Aku akan meminta Adnan mengantarmu.”

“Tidak... aku ingin pulang saja. Aku akan lebih baik nanti,” ucap Raya gugup.

Melihat kondisi Raya, Hani tidak memaksa. Dia segera mencari Adnan, yang bertugas mengantar pesanan dan memintanya mengantar Raya pulang.

Melihat kondisi Raya tidak sehat, Adnan dengan cepat mengantar Raya pulang. Ditengah jalan, Raya meminta berhenti di apotek. Beralasan membeli obat namun diam-diam dia membeli test pack.

Ketika sampai di apartemennya, Raya berterima kasih kepada Adnan dan membiarkan pria itu kembali bekerja.

“Jika sakitmu menjadi serius, hubungi aku atau yang lain,” pesan Adnan sebelum pergi.

Raya mengangguk. Dia mengunci pintu. Pergi ke kamar mandi. Menatap test pack dengan ketakutan dan permusuhan.

Tapi dia tidak bisa tidak melakukannya. Jadi dengan hati tercabik-cabik, dia menggunakan test pack itu.

Tidak terlalu lama sampai mata nanar Raya menatap garis dua yang mencolok. Membuat mata dan seluruh tubuhnya terasa sakit.

Dia sesak nafas. Melemparkan alat ramping itu hingga membentur tembok kamar mandi.

“Tidak mungkin! Tidak mungkin! Kenapa dia meninggalkan jejaknya padaku?!” Jerit Raya frustasi.

Dia menjambak rambutnya, memukul perutnya, berteriak histeris. Merasa sangat sengsara karena penjahat itu seolah tidak mau membiarkan hidupnya lebih mudah dengan meninggalkan tanda yang benar-benar tidak bisa dihapus olehnya.

Raya menjerit pilu dalam tangis, memukuli perutnya dengan putus asa. Dia sangat membenci calon bayi ini. Bagaimana dia bisa menghadapi dunia sendirian dengan perutnya yang membesar?!

Saat ini mimpinya begitu sederhana. Hanya ingin mengembalikan tanah dan properti senilai peninggalan orangtuanya. Tapi dengan adanya tambahan bayi diperutnya, hampir dipastikan jika mimpinya akan hancur lagi.

Lama Raya menangis pilu. Dia terlalu tenggelam dalam kesedihannya hingga tak menyadari jika para tetangga telah berkumpul didepan pintunya karena keributan yang dia buat. Tepat saat Raya pingsan karena terlalu berduka, semua tetangga sepakat untuk masuk dan melihat apa yang terjadi.

Begitu mereka mendapati Raya pingsan, segera saja salah satu dari mereka menelepon ambulan.

“Apa yang terjadi padanya? Dia terlihat sangat sengsara,” bisik seorang wanita tua.

“Pertama kali datang dia juga terlihat tidak sehat. Tapi semakin hari dia semakin sehat dsn cantik. Kali ini mungkin sesuatu yang buruk dimasa lalu terjadi lagi,” balas wanita yang lebih muda.

“Berhenti bergosip. Ambulan akan segera datang. Ayo kita bawa dia ke bawah.“ ucap seorang pria paruh baya.

Disaat penghuni gedung sibuk mengangkat Raya ke ambulan, tepat disamping gedung apartemen itu, Kal Elshaad atau yang memiliki nama panggung Kal El menurunkan naskahnya dan menatap ke arah gedung apartemen dimana suara teriakan dan keributan itu berasal.

Hari ini akan menjadi hari terakhir setelah syuting selama tiga bulan dikota ini.

Kal mengernyitkan dahinya. Keributan yang terlalu besar semacam ini akan mengganggu proses syuting.

“Wi, tanyakan pada sutradara, kenapa mereka belum mengatasi keributan di atas sana.” Perintah Kal pada asistennya.

“Oke, kak.”

Setelah Tiwi pergi, Kal kembali menatap naskah ditangannya, mengabaikan keributan yang sepertinya mulai mereda.

Dia pikir ada kecelakaan atau sesuatu karena terdengar suara ambulan.

Nyatanya, sutradara itu sudah menghentikan syuting yang sedang dilakukan aktris utamanya dan meminta wakilnya untuk pergi melihat penyebab keributan itu ketika keributan baru saja dimulai. Bahkan jika memungkinkan, sutradara meminta wakilnya untuk segera mengembalikan ketenangan seperti semula.

Tidak lama kemudian Tiwi kembali.

“Aku bertemu asisten sutradara dan beberapa lainnya yang kebetulan pergi untuk melihat juga. Menurutnya, ada seorang wanita yang sepertinya sedang depresi atau semacamnya. Tapi jangan khawatir kak, dia sudah dibawa ke rumah sakit. Tidak akan ada keributan lagi.”

Kal mengangguk mendengar penjelasan Tiwi. Dia pikir kehidupan dikota besar dan kota kecil pada akhirnya kurang lebih sama. Akan ada orang yang tidak mampu menanggung tekanan hidup dan menjadi stres. Menggelengkan kepalanya, Kal tidak memikirkannya lagi. Dia terus berkonsentrasi membaca naskah. Dalam setengah jam ke depan akan menjadi gilirannya untuk syuting.

Tapi belum lama Kal membaca, ponselnya yang berada di meja bergetar. Kal melirik id penelepon dilayar dan kemudian menggeser tombol hijau.

“Gin mendapatkan masalah,” ujar suara diseberang telepon.

_

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status