Share

10. Aturan

Masih dalam suasana tegang karena perdebatan Vana dan Fandra, keduanya sama-sama memalingkan muka setelahnya membuat penonton merasa geli.

“Sudah, simpan dulu pertikaian kalian. Nenek sengaja memanggil bukan untuk melihat kalian bertengakar,” ujar nenek. Nada suaranya tidak ada kemarahan, malah terlihat begitu senang.

Vana melirik Fandra dari balik bulu matanya tapi hanya sekilas lalu memalingkan muka, kesal sekali karena sang tuan muda.

“Baiklah. Nenek akan mulai, kalian dengarkan dengan baik, Vana …” Nenek menatapnya Vana mengangguk. “Bagus. Maka kita akan mulai,” lanjutnya.

Semua orang mendengarkan dengan baik, termasuk Vana. Nenek mengumpulkan semua orang untuk memperkenalkannya juga tapi Fandra justru mengacau dengan mendebatnya. Menyebalkan sekali bukan.

“Baik. Pertama, kamu akan tinggal di rumah itu untuk waktu yang tak tentu, tapi selama tinggal di sini kamu harus melakukan serangkaian latihan untuk menjadi bagian dari keluarga Alatas,” jelas sang ratu untuk aturan pertama. “Bagaimana?” Nenek bertanya. Tatapannya lembut mengarah pada Vana sementara tangan kanannya terangkat mengarah pada Fandra agar sang cucu tak menyela.

“Ya, Nenek, aku akan menyanggupinya,” jawab Vana tanpa ragu tapi terdengar pelan.

Fandra mendesis kasar.

“Bagus. Terima kasih, Vana,” ucap nenek dengan senyuman tercetak di wajahnya juga wajah yang lainnya tentu saja kecuali Fandra yang menahan marah.

 Vana tidak tahu apa itu tapi dia akan mencobanya selama bisa mendapatkan jaminan. Teringat akan sang ibu dan adiknya, Vana tidak punya keberanian untuk bertemu, dia khawatir bagaimana mereka bereaksi nanti.

“Baik. Kita akan melanjutkan,” ujar sang ratu kembali memulai.

Menarik napasnya dalam, semua orang diam. Fandra menunggu ada aturan yang membuat Vana keberatan yang mungkin bisa dia gunakan untuk menyerang.

“Kami akan memenuhi semua janji yang disampaikan selama kamu bersedia melakukan apapun sebagai peranmu, menantu Alatas. Apakah kamu bersedia?” tanya nenek lagi.

Melakukan hal yang sama, menatap lembut Vana, menghentikan Fnadra untuk menyela.

“Ya, aku bersedia selama itu tak merugikanku dan keluarga Alatas, aku akan melakukannya,” jawab Vana tanpa keraguan.

Datangnya dia ke keluarga Alatas bukan tanpa pertimbangan. Tentu Vana sadar tidak ada yang gratis di dunia ini tapi dia tak meminta banyak selain untuk keluarganya, dua perempuan yang berarti besar untuknya.

“Tentu. Masih ada lagi,” ujar nenek lalu mengangguk ke arah pelayan.

Tiga orang pelayan muda berjalan mendekat ke singgasana sang ratu menunduk hormat.

“Ini adalah pelayanmu, yang mengurus semua keperluanmu selama berada di sini sekaligus yang mengawasi dan menjagamu,” jelas nenek.

 Perhatian Vana dan yang lain teralihkan pada tiga pelayan itu. Satu di depan, dua di belakang berdampingan dan masih menunduk dengan kedua tangan bertaut. Vana mengalihkan lagi perhatiannya merasa masih bisa di terima meskipun bertanya dalam hatinya apakah perlu?

“Baik,” sahut Vana.

“Bagus. Untuk sekarang, itu saja, ya, sayang. Untuk aturan- aturan lainnya bisa menyusul. Mega, adalah kepala pelayan yang akan bertanggung jawab untukmu, akan menjelaskan aturannya nanti. Sementara untuk aturan di rumah ini, Kepala Pelayan Alfa dan Bu Diara, yang akan menjelaskannya padamu,” jelas Nenek memperkenalkan.

Vana hanya mengangguk meskipun mulai kewalahan untuk mengingat apa saja yang di jelaskan oleh sang ratu.

“Baiklah. Itu saja untuk saat ini, kamu hanya perlu mengikuti arahannya dan semoga betah di sini terlepas dari ganguannya, ingat kamu masih punya kami,” pesan nenek dengan senyum menenangkan tentu saja itu membuat Fandra kebakaran jenggot.

Mendengar apa yang dikatakan wanita tua itu, tiba- tiba Vana terpikirkan sebuah ide untuk menjahili Fandra. Dengan senyum tipis di bibirnya, sebelah alis Vana terangkat, satu sudut bibirnya tertarik dan ekor matanya mengarah pada Fandra.

“Terima kasih banyak Nenek. Aku sungguh beruntung sekali bertemu denganmu, dan keluarga Alatas,” ucap Vana melanjutkan dengan menyanjung setinggi- tingginya sampai membuat orang lain terheran-heran melihat sikapnya bahkan mereka saling pandang.

“Sama-sama, Sayang. Terima kasih sudah bersedia datang ke keluarga ini dan memberikan cahaya,” balas sang nenek yang entah mengapa dengan mudahnya menangkap maksud Vana tanpa gadis itu memberi tahunya.

Tangan tua nan keriput itu meraih tangan Vana yang berada di atas pangkaun sebelumnya dan hal itu mengejutkan Vana. Tapi itu berhasil membuat wajah Fandra merah padam merasa dicucu-tirikan oleh sang nenek yang selalu dia hormati.

“Aku tak tahan lagi!” sentaknya mengejutkan semua orang. Fandra bangun dari duduknya dengan pandangan mengarah tajam pada Vana. “Terserah kalian saja mau lakukan apapun tapi jangan harap aku akan berbaik hati padanya!” tegasnya kemudian berlalu dengan perasaan kesal yang meluap-luap.

Terlepas dari apa yang Fandra katakan, Vana tersenyum penuh kemenangan. Dia seolah tak peduli dengan kemarahn Fandra atau peringatannya merasa senang mempermainkan pria itu.

“Lihat saja. Entah aku atau kau yang takluk.”

Sarah Nurlatifah

Halo, aku mamak dari Alfandara, eh, autor maksudnya. ihihihi. Untuk pembaca Calon Istri Tuan Muda, tolong tinggalkan jejaknya ya biar otor semangat nulisnya dan insyaallah akan ada reward untuk kalian yang banyak memberikan ulasan di kolom komentar. Terima kasih. Salam sayang.

| Sukai
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Hemiati Koesniasari
ceritanya amat menarik
goodnovel comment avatar
EMull Ya
cerita yg menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status