Masih dalam suasana tegang karena perdebatan Vana dan Fandra, keduanya sama-sama memalingkan muka setelahnya membuat penonton merasa geli.
“Sudah, simpan dulu pertikaian kalian. Nenek sengaja memanggil bukan untuk melihat kalian bertengakar,” ujar nenek. Nada suaranya tidak ada kemarahan, malah terlihat begitu senang.
Vana melirik Fandra dari balik bulu matanya tapi hanya sekilas lalu memalingkan muka, kesal sekali karena sang tuan muda.
“Baiklah. Nenek akan mulai, kalian dengarkan dengan baik, Vana …” Nenek menatapnya Vana mengangguk. “Bagus. Maka kita akan mulai,” lanjutnya.
Semua orang mendengarkan dengan baik, termasuk Vana. Nenek mengumpulkan semua orang untuk memperkenalkannya juga tapi Fandra justru mengacau dengan mendebatnya. Menyebalkan sekali bukan.
“Baik. Pertama, kamu akan tinggal di rumah itu untuk waktu yang tak tentu, tapi selama tinggal di sini kamu harus melakukan serangkaian latihan untuk menjadi bagian dari keluarga Alatas,” jelas sang ratu untuk aturan pertama. “Bagaimana?” Nenek bertanya. Tatapannya lembut mengarah pada Vana sementara tangan kanannya terangkat mengarah pada Fandra agar sang cucu tak menyela.
“Ya, Nenek, aku akan menyanggupinya,” jawab Vana tanpa ragu tapi terdengar pelan.
Fandra mendesis kasar.
“Bagus. Terima kasih, Vana,” ucap nenek dengan senyuman tercetak di wajahnya juga wajah yang lainnya tentu saja kecuali Fandra yang menahan marah.
Vana tidak tahu apa itu tapi dia akan mencobanya selama bisa mendapatkan jaminan. Teringat akan sang ibu dan adiknya, Vana tidak punya keberanian untuk bertemu, dia khawatir bagaimana mereka bereaksi nanti.
“Baik. Kita akan melanjutkan,” ujar sang ratu kembali memulai.
Menarik napasnya dalam, semua orang diam. Fandra menunggu ada aturan yang membuat Vana keberatan yang mungkin bisa dia gunakan untuk menyerang.
“Kami akan memenuhi semua janji yang disampaikan selama kamu bersedia melakukan apapun sebagai peranmu, menantu Alatas. Apakah kamu bersedia?” tanya nenek lagi.
Melakukan hal yang sama, menatap lembut Vana, menghentikan Fnadra untuk menyela.
“Ya, aku bersedia selama itu tak merugikanku dan keluarga Alatas, aku akan melakukannya,” jawab Vana tanpa keraguan.
Datangnya dia ke keluarga Alatas bukan tanpa pertimbangan. Tentu Vana sadar tidak ada yang gratis di dunia ini tapi dia tak meminta banyak selain untuk keluarganya, dua perempuan yang berarti besar untuknya.
“Tentu. Masih ada lagi,” ujar nenek lalu mengangguk ke arah pelayan.
Tiga orang pelayan muda berjalan mendekat ke singgasana sang ratu menunduk hormat.
“Ini adalah pelayanmu, yang mengurus semua keperluanmu selama berada di sini sekaligus yang mengawasi dan menjagamu,” jelas nenek.
Perhatian Vana dan yang lain teralihkan pada tiga pelayan itu. Satu di depan, dua di belakang berdampingan dan masih menunduk dengan kedua tangan bertaut. Vana mengalihkan lagi perhatiannya merasa masih bisa di terima meskipun bertanya dalam hatinya apakah perlu?
“Baik,” sahut Vana.
“Bagus. Untuk sekarang, itu saja, ya, sayang. Untuk aturan- aturan lainnya bisa menyusul. Mega, adalah kepala pelayan yang akan bertanggung jawab untukmu, akan menjelaskan aturannya nanti. Sementara untuk aturan di rumah ini, Kepala Pelayan Alfa dan Bu Diara, yang akan menjelaskannya padamu,” jelas Nenek memperkenalkan.
Vana hanya mengangguk meskipun mulai kewalahan untuk mengingat apa saja yang di jelaskan oleh sang ratu.
“Baiklah. Itu saja untuk saat ini, kamu hanya perlu mengikuti arahannya dan semoga betah di sini terlepas dari ganguannya, ingat kamu masih punya kami,” pesan nenek dengan senyum menenangkan tentu saja itu membuat Fandra kebakaran jenggot.
Mendengar apa yang dikatakan wanita tua itu, tiba- tiba Vana terpikirkan sebuah ide untuk menjahili Fandra. Dengan senyum tipis di bibirnya, sebelah alis Vana terangkat, satu sudut bibirnya tertarik dan ekor matanya mengarah pada Fandra.
“Terima kasih banyak Nenek. Aku sungguh beruntung sekali bertemu denganmu, dan keluarga Alatas,” ucap Vana melanjutkan dengan menyanjung setinggi- tingginya sampai membuat orang lain terheran-heran melihat sikapnya bahkan mereka saling pandang.
“Sama-sama, Sayang. Terima kasih sudah bersedia datang ke keluarga ini dan memberikan cahaya,” balas sang nenek yang entah mengapa dengan mudahnya menangkap maksud Vana tanpa gadis itu memberi tahunya.
Tangan tua nan keriput itu meraih tangan Vana yang berada di atas pangkaun sebelumnya dan hal itu mengejutkan Vana. Tapi itu berhasil membuat wajah Fandra merah padam merasa dicucu-tirikan oleh sang nenek yang selalu dia hormati.
“Aku tak tahan lagi!” sentaknya mengejutkan semua orang. Fandra bangun dari duduknya dengan pandangan mengarah tajam pada Vana. “Terserah kalian saja mau lakukan apapun tapi jangan harap aku akan berbaik hati padanya!” tegasnya kemudian berlalu dengan perasaan kesal yang meluap-luap.
Terlepas dari apa yang Fandra katakan, Vana tersenyum penuh kemenangan. Dia seolah tak peduli dengan kemarahn Fandra atau peringatannya merasa senang mempermainkan pria itu.
“Lihat saja. Entah aku atau kau yang takluk.”
Halo, aku mamak dari Alfandara, eh, autor maksudnya. ihihihi. Untuk pembaca Calon Istri Tuan Muda, tolong tinggalkan jejaknya ya biar otor semangat nulisnya dan insyaallah akan ada reward untuk kalian yang banyak memberikan ulasan di kolom komentar. Terima kasih. Salam sayang.
“Sudah. Kamu bisa pergi ke kamarmu sekarang, Vana. Kita akan makan siang bersama,” kata nenek.“Ah. Baik. Terima kasih,” balas Vana seramah mungkin.Gadis itu melirik sekitarnya beberapa saat. Mulai dari sang ratu, lalu menatap putra dan menantunya yang merupakan orang tua dari Fandra, lalu pada saudaranya kakak dan adik juga kakak ipar dari Fandra mereka semua tersenyum pada Vana. Senyum tulus yang menyambut hadirnya dengan baik. Meskipun bingung, Vana menundukan kepalanya sekilas dan bangun dari duduknya.Tiga pelayan yang berdiri tak jauh dari nenek itu bergerak memberi jalan pada Vana sambil tetap menundukan. Begitu Vana lewat ketiganya mengekor. Entah akan pergi ke mana dia karena yang lain masih tetap di sana.Berjalan melewati pintu yang tadi Vana lalui bersama Fiona. Tapi langkahnya terhenti ketika pembahasan mulai terdengar lagi dari arah depan. Entah apa yang menahan langkah Vana sampai gadis itu tak bergerak. Untunglah dia tersembunyi begitu juga tiga pelayannya.“Nenek su
Ruang ballroom itu ada banyak pilar, tapi di tengahnya kosong melompong hanya ada gambar bunga teratai dari lantai marmer dan meja bundar di tengah. Lampu hias Kristal yang cukup besar terdapat tiga menggantung di langit- langit. Tangga berlapis karpet merah selebar tiga meter menuju atas, di samping tangga itu terdapat sebuah sofa. Dari balik pilar rupanya terdapat beberapa pintu dan entar datangnya dari pintu mana Fandra ada di sana.Kedua tangan kekarnya melingkar di pinggung Vana yang kecil berbalut dress. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Tatapan Fandra juga tertuju pada wajah Vana.Ketiga pelayan yang menyaksikan masih tegang tapi menonton apa yang terjadi dengan diam. Dua dari mereka bahkan menahan senyumnya.Yang pertama kali sadar adalah Vana. Dia segera melepaskan tangan Fandra dari pinggangnya dan mundur dua langkah sambil menundukan pandangannya dari pria itu. Bagaimanapun juga Vana malu.“Woah. Siapa ini?” Suara baritone dari arah belakang Fandra mengusik keduanya untuk
Kembali turun mengelilingi ruang demi ruang yang ada di mansion itu, Vana nyaris bosan tapi dia memperhatikan ruangan dan merekamnya dalam otak. Mungkin dia yang akan pergi sendirian nanti, bagaimana kalau tersesat.Ruang makan itu berada di bangunan utara sementara kediaman nenek berada di barat begitu juga kediaman, maksudnya kamar ibu dan ayah Fandra berada di barat supaya bisa mengontrol nenek dengan mudah. Tentu saja, setiap ruangan itu ukurannya besar dan luas, Vana tidak bisa mengira-ngira berapa luasnya yang pasti seukuran orang kaya raya.Bila kediaman sang ratu di barat, ruang makan dan dapur di utara, ballroom dan segala macam untuk penyambutan tamu di timur, maka kediaman pangeran arogan di selatan.“Banyak sekali ruangannya,” desah Vana tanpa suara ketika kakinya terus berjalan sementara otaknya mengingat-ingat di mana saja para penghuni berada. “Selatan itu adem seharusnya, bukan panas. Tapi, dia dingin, masuk akal juga,” lanjutnya mendumel sendiri.“Lewat sini, Nona,” t
Ruang makan itu akhirnya hening dari semua kegiatan karena baru saja selesai menyantap hidangan yang tampaknya sangat enak sekali. Namun tidak bagi Vana yang sepanjang makan itu dia melamun. Barulah mengangkat wajah ketika semua orang selesai makan.“Nenek, ada yang ingin aku sampaikan,” katanya sebelum nenek bangun dari duduknya.Wanita tua yang menjadi ratu di rumah itu menatap Vana dengan heran begitu juga yang lain.“Ada apa, Vana? Apakah kamu tidak nyaman?” tanya nenek khawatir.“Ah, tidak. Bukan itu,” aku Vana sedikit salah tingkah.“Lalu, apa?”Tapi Vana ragu, dia mengitari meja makan itu yang semu piringnya kosong, hanya menyisakan lemak dan hiasannya.“Ah, kita bisa pindah ke ruang tengah. Kebetulan juga ada yang masih ingin kami sampaikan padamu,” ujar nenek yang mengerti. Vana tersenyum kecil. “Tolong siapkan buah untuk cemilan di depan,” titahnya pada pelayan.Seorang kepala pelayan mengangguk menyanggupinya.“Mari. Tapi, ini untuk yang mau mendengar saja, sekalian mengobr
Hening. Semua orang diam setelah mendengar apa yang Vana katakan dan dia pun ikut diam, berpikir kembali apakah perkataannya salah atau tidak? Entahlah. Yang pasti, suasana hening itu membuat Vana merasa bersalah dan dia menundukan kepalanya.“Ekhem. Vana,” panggil Alifika melirik padanya.Vana mengangkat wajahnya, menatap.“Bolehkah bertanya sesuatu padamu?” lanjut Alifika masih menatap gadis itu.“Ya. Tentu, silakan,” jawab Vana.Senyum Alifika hadir dan mengangguk namun dia diam untuk beberapa saat lamanya tampak menimbang-nimbang sesuatu kemudian menarik napasnya dan menatap Vana sekali lagi, lebih intens dari sebelumnya.“Apakah, kamu sungguh, tidak apa-apa bertunangan dengan Fandra?” tanyanya hati-hati.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan itu Vana terdiam. Pertanyaan yang membuat Vana sendiri mempertanyakan keputusannya untuk datang ke mansion itu. Untuk apa dia berada di sana dan apa keputusannya? Vana sama sekali tidak atau mungkin belum menjelaskannya. Masih ada banyak yang
Aturan yang disebutkan kali ini adalah tentang pelatihan menjadi seorang putri. Keluarga Alatas adalah kalangan atas yang sering kali mendapat sorotan media. Bagai keluarga kerajaan. Setiap perempuan yang ada di keluarga itu harus digambarkan sefeminim mungkin bak putri bangsawan.Vana yang menyimak semua penuturan akan aturan yang berlalu menatap dirinya sendiri, menilainya. Apa yang salah dengan tampilannya? Apakah harus berubah menjadi seseorang yang bahkan bukan dirinya? Vana nyaman menjadi dirinya sendiri, sedikit tomboy dan ala kadarnya serta sesungguhnya, dia tidak mau diatur.“Asal kalian bisa menjaga keselamatan Ibu dan adik, aku bersedia.” Mata Vana terpejam ketika dia teringat kembali alasannya berada di sana. Bukan karena desakan keluarga Alatas, atau ibunya, melainkan keputusannya sendiri dengan gantinya yang lebih mudah.Dia sadar, tidak akan bisa melindungi keluarga kecilnya yang tinggalkan dua pria gagah, ayah dan kakeknya yang selalu ada kala mereka masih hidup. Namun
Tanpa ekspresi apa pun. Baik dari Vana atau dari seseorang yang berdiri di pembatas balkon. Tinggi menjulang dengan raut wajah yang datar, khas sekali Tuan Muda Arogan itu. Vana tak berkedip, entah mengapa selalu terpesona pada tatapan sang tuan muda secara tak sadar tentunya.Fandra sendiri diam, pandangannya menatap Vana yang berada di lantai bawah. Sunyi, hanya terdengar suara mesin AC atau alat elektronik lain yang berada di ruangan itu. Sorot mata yang tajam menusuk tapi kosong itu seolah menghipnotis Vana untuk diam di tempatnya.“Bagaimana ini?” bisik Nina khawatir. Tapi Asisten Pelayan Diara hanya diam, mengangkat tangannya untuk memberi isyarat agar mereka diam. Rupanya Fandra tak sendiri, muncul Arvan tak lama kemudian dan mendapati Vana di bawah sana. Senyum jahilnya hadir di wajah.“Halo gadis kecil,” sapanya dengan suara baritonnya yang memantul-mantul di ruangan itu menyadarkan Vana dari diamnya.Arvan melambaikan tangannya antusias bahkan tak menggubris tatapan tajam n
Vana bertanya-tanya reaksi apa yang Fandra tunjukan tadi. Keningnya mengerut dan diam sepanjang jalan. Para pelayan di belakangnya juga tak berusaha menghentikan atau menegurnya. Tapi Pelayan Diara pamit lebih dulu tanpa memberitahu Vana dan menyerahkan pengawasan pada Pelayan Mega. Sadar kalau dirinya kembali melamun, Vana menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Mereka berada di lorong balkon yang mengarah ke gedung selatan, istana Fandra. Tapi langkahnya terhenti ketika ekor matanya menangkap pergerakan. Lorong balkon itu menghadap sudut timur, tempat parkir yang luas di depan taman. Meskipun terhalang pepohonan cemara, Vana bisa dengan jelas melihat gerak langkah Fandra yang terburu menuju mobil yang terparkir. Namun, sebelum pria itu masuk ke mobil, sesaat dia terdiam dan kembali pandangan mereka sama-sama bertemu lagi. Tak hanya Vana yang menyadari keanehannya, bahkan Fandra sendiri pun merasa aneh setela