Rungan itu hening meskipun banyak orang di sana, diam sampai sang ratu memberikan instruksi untuk memulai.
“Baiklah, kita mulai,” ujar sang ratu memberi perintah pada sekretarisnya.
Seorang pria paruh baya menghampirinya. Sejak tadi berdiri tak jauh dari kursi sang ratu. Vena memperhatikannya, pria itu menaruh sebuah berkas di depan nenek.
Semua pandangan tertuju pada berkas di atas meja itu yang entah apa isinya.
“Ini berisi peraturan untuk keluarga ini, terkhusus untuk Vana,” kata nenek.
Mendengar namanya di sebutkan Vana menatap sang ratu bingung tapi wanita tua itu hanya tersenyum lembut padanya lain dengan Fandra yang mendengus.
“Pertama, Nenek akan memperkenalkan Vana sebagai anggota baru kita,” lanjutnya dengan tangan kanan mengarah pada Vana. “Untuk semua orang yang ada di sini, berlaku untuk para pelayan dan penjaga perlakukan Vana seperti tuan kalian,” tegasnya mengumumkan.
Di ruangan itu tak hanya terdapat keluarga tapi juga kepala pelayan, sekretaris, dan kepala lain yang mengatur kepeluan rumah besar itu.
“Vana akan tinggal di sini untuk waktu yang sangat lama. Keputusanku tidak dapat diganggu gugat lagi. Siapa yang keberatan bisa angkat tangan sekarang,” tambahnya dengan sorot mata tajam yang mengitari ruangan.
Semuanya diam tapi ada satu tangan yang terangkat mengalihkan semua perhatian termasuk Vana. Jelas gadis itu bingung dengan tangan yang terangkat itu milik Fandra.
“Aku keberatan!” seru Fandra. Dia menatap neneknya balas menatapnya menunggu alasan atas keberatannya. “Aku tidak ingin dia tinggal di kamar itu. Daerahku tidak boleh ada orang asing,” dia menegaskan.
Tapi tatapan santai dari sang nenek jelas meremehkannya. Bagaimana Fandra berani mengusuk keputusan sang ratu yang telah bulat.
“Ada lagi, Fandra?” tanya sang nenek tenang.
Tatapan Fandra kini tertuju pada Vana di seberang sofanya yang duduk bersama sang kakak.
“Dan, aku tidak sudi jika berhubungan dengannya,” lanjutnya. “Jadi Nenek, tolong pindahkan dia ke kamar lain, akan lebih bagus kalau pulangkan saja daripada orang kampungan sepertinya menjadi pengganggu,” katanya menekankan setiap hal yang berhubungan dengan Vana sampai gadis itu tak percaya menatapnya.
Entah mengapa setiap kali Fandra bicara membuat kekesalan Vana tertarik untuk membalas. Dia sungguh tak percaya Fandra akan merendahkannya seperti itu. Meskipun faktanya memang berasal dari keluarga yang tak punya apa-apa, Vana cukup berpendidikan dengan banyak pengalaman hidup dia tak pantas direndahkan oleh tuan muda yang tak tahu apa-apa. Sementara Fandra terus protes pada sang nenek, wajah Vana memerah.
“Kau pikir aku mau?” sela Vana tak tahan lagi karena Fandra terus merendahkannya hanya untuk mengusirnya dari daerah kekuasaannya.
Lagi, semua mata tertuju pada Vana. Jelas dia marah tapi berusaha untuk menahannya.
“Aku juga tak sudi berada satu atap dengan Tuan Muda arogan sepertimu!” tegasnya menekankan kata tuan muda. Jelas, itu mengejutkan banyak orang termasuk para pelayan.
Kakak sulung Fandra bahkan menutup mulutnya, mengulum kedua bibirnya. Sedangkan sang adik terlihat senang dengan perlawanan Vana, jelas mereka akan menjadi kubu terbaik. Sang nenek juga santai saja sekalipun ada pertarungan antar anak muda itu. Kedua orang tua Fandra dan sang kakak ipar pun tak turun capur menonton saja meski sama-sama terkejut karena baru kali ini ada yang berani membalas Fandra. Mungkinkan itu sebabnya sang nenek tampak santai?
“Apa katamu?” Fandra berang, tatapannya tajam menghunus kepada Vana. Tapi gadis itu mengangkat dagunya tak gentar.
“Aku bilang, Tuan Muda arogan. Kenapa? Kau keberatan? Sama denganku yang kau rendahkan! Kau pikir aku mau? Tidak sama sekali. Siapa pula yang ingin bersanding denganmu, Tuan? Tapi maaf, aku tidak bisa mengangkat kaki sekalipun kau memohon pada Nenek untuk mengusirku,” jelasnya dengan penuh penekanan.
Fandra mendesah tak percaya melihatnya. Baru kali ini ada orang yang berani melawannya dan tetap bertahan di daerah kekuasaannya, lantai atas sebelah selatan mansion Alatas.
“Kau sungguh tidak akan pergi?”
“Ya!” Bahkan nada suara Vana naik satu oktav untuk mempertegasnya.
“Hah! Kita lihat saja, siapa yang akan kalah,” tantang Fandra akhirnya tanpa mengalihkan tatapan dari gadis di hadapannya.
“Siapa takut?” balas Vana sama sekali tidak ada rasa takutnya terhadap Fandra.
Vana baru akan pergi bila sang ratu yang menginginkannya. Dia datang ke rumah itu bukan karena Fandra sang tuan muda arogan tapi atas permintaan nenek yang memberikan sebuah janji padanya.
Rahang Fandra mengeras, dia tetap menatap Vana yang masih mengangkat dagunya.
“Sudah, sudah,” lerai sang ratu akhirnya menengahi.
Barulah Vana menurunkan dagunya tapi tatapannya masih tertuju pada Fandra di depan yang ditenangkan kakak iparanya.
“Kalian ini, belum juga mulai sudah berseteru saja, bukankah itu bagus, artinya kalian berjodoh,” ujar sang ratu.
“Tidak!” Seruan kedua anak muda itu bersamaan menyahut tak terima dengan perkataan nenek.
Yang lain menahan senyuman dan tawa, merasa lucu ketika Fandra untuk pertama kali sejak sang kakek meninggal dan kekasihnya pergi banyak bicara. Perasaan semua orang yang ada di ruangan itu lega melihat reaksinya seketika mendukung keberadaan Vana. Mungkinkah itu juga yang menjadi alasan nenek dan ibunya menempatkan Vana di kamar yang berhadapan dengan Fandra meski tahu sang putra akan marah besar.
Masih dalam suasana tegang karena perdebatan Vana dan Fandra, keduanya sama-sama memalingkan muka setelahnya membuat penonton merasa geli. “Sudah, simpan dulu pertikaian kalian. Nenek sengaja memanggil bukan untuk melihat kalian bertengakar,” ujar nenek. Nada suaranya tidak ada kemarahan, malah terlihat begitu senang. Vana melirik Fandra dari balik bulu matanya tapi hanya sekilas lalu memalingkan muka, kesal sekali karena sang tuan muda. “Baiklah. Nenek akan mulai, kalian dengarkan dengan baik, Vana …” Nenek menatapnya Vana mengangguk. “Bagus. Maka kita akan mulai,” lanjutnya. Semua orang mendengarkan dengan baik, termasuk Vana. Nenek mengumpulkan semua orang untuk memperkenalkannya juga tapi Fandra justru mengacau dengan mendebatnya. Menyebalkan sekali bukan. “Baik. Pertama, kamu akan tinggal di rumah itu untuk waktu yang tak tentu, tapi selama tinggal di sini kamu harus melakukan serangkaian latihan untuk menjadi bagian dari keluarga Alatas,” jelas sang ratu untuk aturan pertama
“Sudah. Kamu bisa pergi ke kamarmu sekarang, Vana. Kita akan makan siang bersama,” kata nenek.“Ah. Baik. Terima kasih,” balas Vana seramah mungkin.Gadis itu melirik sekitarnya beberapa saat. Mulai dari sang ratu, lalu menatap putra dan menantunya yang merupakan orang tua dari Fandra, lalu pada saudaranya kakak dan adik juga kakak ipar dari Fandra mereka semua tersenyum pada Vana. Senyum tulus yang menyambut hadirnya dengan baik. Meskipun bingung, Vana menundukan kepalanya sekilas dan bangun dari duduknya.Tiga pelayan yang berdiri tak jauh dari nenek itu bergerak memberi jalan pada Vana sambil tetap menundukan. Begitu Vana lewat ketiganya mengekor. Entah akan pergi ke mana dia karena yang lain masih tetap di sana.Berjalan melewati pintu yang tadi Vana lalui bersama Fiona. Tapi langkahnya terhenti ketika pembahasan mulai terdengar lagi dari arah depan. Entah apa yang menahan langkah Vana sampai gadis itu tak bergerak. Untunglah dia tersembunyi begitu juga tiga pelayannya.“Nenek su
Ruang ballroom itu ada banyak pilar, tapi di tengahnya kosong melompong hanya ada gambar bunga teratai dari lantai marmer dan meja bundar di tengah. Lampu hias Kristal yang cukup besar terdapat tiga menggantung di langit- langit. Tangga berlapis karpet merah selebar tiga meter menuju atas, di samping tangga itu terdapat sebuah sofa. Dari balik pilar rupanya terdapat beberapa pintu dan entar datangnya dari pintu mana Fandra ada di sana.Kedua tangan kekarnya melingkar di pinggung Vana yang kecil berbalut dress. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Tatapan Fandra juga tertuju pada wajah Vana.Ketiga pelayan yang menyaksikan masih tegang tapi menonton apa yang terjadi dengan diam. Dua dari mereka bahkan menahan senyumnya.Yang pertama kali sadar adalah Vana. Dia segera melepaskan tangan Fandra dari pinggangnya dan mundur dua langkah sambil menundukan pandangannya dari pria itu. Bagaimanapun juga Vana malu.“Woah. Siapa ini?” Suara baritone dari arah belakang Fandra mengusik keduanya untuk
Kembali turun mengelilingi ruang demi ruang yang ada di mansion itu, Vana nyaris bosan tapi dia memperhatikan ruangan dan merekamnya dalam otak. Mungkin dia yang akan pergi sendirian nanti, bagaimana kalau tersesat.Ruang makan itu berada di bangunan utara sementara kediaman nenek berada di barat begitu juga kediaman, maksudnya kamar ibu dan ayah Fandra berada di barat supaya bisa mengontrol nenek dengan mudah. Tentu saja, setiap ruangan itu ukurannya besar dan luas, Vana tidak bisa mengira-ngira berapa luasnya yang pasti seukuran orang kaya raya.Bila kediaman sang ratu di barat, ruang makan dan dapur di utara, ballroom dan segala macam untuk penyambutan tamu di timur, maka kediaman pangeran arogan di selatan.“Banyak sekali ruangannya,” desah Vana tanpa suara ketika kakinya terus berjalan sementara otaknya mengingat-ingat di mana saja para penghuni berada. “Selatan itu adem seharusnya, bukan panas. Tapi, dia dingin, masuk akal juga,” lanjutnya mendumel sendiri.“Lewat sini, Nona,” t
Ruang makan itu akhirnya hening dari semua kegiatan karena baru saja selesai menyantap hidangan yang tampaknya sangat enak sekali. Namun tidak bagi Vana yang sepanjang makan itu dia melamun. Barulah mengangkat wajah ketika semua orang selesai makan.“Nenek, ada yang ingin aku sampaikan,” katanya sebelum nenek bangun dari duduknya.Wanita tua yang menjadi ratu di rumah itu menatap Vana dengan heran begitu juga yang lain.“Ada apa, Vana? Apakah kamu tidak nyaman?” tanya nenek khawatir.“Ah, tidak. Bukan itu,” aku Vana sedikit salah tingkah.“Lalu, apa?”Tapi Vana ragu, dia mengitari meja makan itu yang semu piringnya kosong, hanya menyisakan lemak dan hiasannya.“Ah, kita bisa pindah ke ruang tengah. Kebetulan juga ada yang masih ingin kami sampaikan padamu,” ujar nenek yang mengerti. Vana tersenyum kecil. “Tolong siapkan buah untuk cemilan di depan,” titahnya pada pelayan.Seorang kepala pelayan mengangguk menyanggupinya.“Mari. Tapi, ini untuk yang mau mendengar saja, sekalian mengobr
Hening. Semua orang diam setelah mendengar apa yang Vana katakan dan dia pun ikut diam, berpikir kembali apakah perkataannya salah atau tidak? Entahlah. Yang pasti, suasana hening itu membuat Vana merasa bersalah dan dia menundukan kepalanya.“Ekhem. Vana,” panggil Alifika melirik padanya.Vana mengangkat wajahnya, menatap.“Bolehkah bertanya sesuatu padamu?” lanjut Alifika masih menatap gadis itu.“Ya. Tentu, silakan,” jawab Vana.Senyum Alifika hadir dan mengangguk namun dia diam untuk beberapa saat lamanya tampak menimbang-nimbang sesuatu kemudian menarik napasnya dan menatap Vana sekali lagi, lebih intens dari sebelumnya.“Apakah, kamu sungguh, tidak apa-apa bertunangan dengan Fandra?” tanyanya hati-hati.Mendengar pertanyaan yang dilontarkan itu Vana terdiam. Pertanyaan yang membuat Vana sendiri mempertanyakan keputusannya untuk datang ke mansion itu. Untuk apa dia berada di sana dan apa keputusannya? Vana sama sekali tidak atau mungkin belum menjelaskannya. Masih ada banyak yang
Aturan yang disebutkan kali ini adalah tentang pelatihan menjadi seorang putri. Keluarga Alatas adalah kalangan atas yang sering kali mendapat sorotan media. Bagai keluarga kerajaan. Setiap perempuan yang ada di keluarga itu harus digambarkan sefeminim mungkin bak putri bangsawan.Vana yang menyimak semua penuturan akan aturan yang berlalu menatap dirinya sendiri, menilainya. Apa yang salah dengan tampilannya? Apakah harus berubah menjadi seseorang yang bahkan bukan dirinya? Vana nyaman menjadi dirinya sendiri, sedikit tomboy dan ala kadarnya serta sesungguhnya, dia tidak mau diatur.“Asal kalian bisa menjaga keselamatan Ibu dan adik, aku bersedia.” Mata Vana terpejam ketika dia teringat kembali alasannya berada di sana. Bukan karena desakan keluarga Alatas, atau ibunya, melainkan keputusannya sendiri dengan gantinya yang lebih mudah.Dia sadar, tidak akan bisa melindungi keluarga kecilnya yang tinggalkan dua pria gagah, ayah dan kakeknya yang selalu ada kala mereka masih hidup. Namun
Tanpa ekspresi apa pun. Baik dari Vana atau dari seseorang yang berdiri di pembatas balkon. Tinggi menjulang dengan raut wajah yang datar, khas sekali Tuan Muda Arogan itu. Vana tak berkedip, entah mengapa selalu terpesona pada tatapan sang tuan muda secara tak sadar tentunya.Fandra sendiri diam, pandangannya menatap Vana yang berada di lantai bawah. Sunyi, hanya terdengar suara mesin AC atau alat elektronik lain yang berada di ruangan itu. Sorot mata yang tajam menusuk tapi kosong itu seolah menghipnotis Vana untuk diam di tempatnya.“Bagaimana ini?” bisik Nina khawatir. Tapi Asisten Pelayan Diara hanya diam, mengangkat tangannya untuk memberi isyarat agar mereka diam. Rupanya Fandra tak sendiri, muncul Arvan tak lama kemudian dan mendapati Vana di bawah sana. Senyum jahilnya hadir di wajah.“Halo gadis kecil,” sapanya dengan suara baritonnya yang memantul-mantul di ruangan itu menyadarkan Vana dari diamnya.Arvan melambaikan tangannya antusias bahkan tak menggubris tatapan tajam n