Share

9. Tuan Muda Arogan

Rungan itu hening meskipun banyak orang di sana, diam sampai sang ratu memberikan instruksi untuk memulai.

“Baiklah, kita mulai,” ujar sang ratu memberi perintah pada sekretarisnya.

Seorang pria paruh baya menghampirinya. Sejak tadi berdiri tak jauh dari kursi sang ratu. Vena memperhatikannya, pria itu menaruh sebuah berkas di depan nenek.

Semua pandangan tertuju pada berkas di atas meja itu yang entah apa isinya.

“Ini berisi peraturan untuk keluarga ini, terkhusus untuk Vana,” kata nenek.

Mendengar namanya di sebutkan Vana menatap sang ratu bingung tapi wanita tua itu hanya tersenyum lembut padanya lain dengan Fandra yang mendengus.

“Pertama, Nenek akan memperkenalkan Vana sebagai anggota baru kita,” lanjutnya dengan tangan kanan mengarah pada Vana. “Untuk semua orang yang ada di sini, berlaku untuk para pelayan dan penjaga perlakukan Vana seperti tuan kalian,” tegasnya mengumumkan.

Di ruangan itu tak hanya terdapat keluarga tapi juga kepala pelayan, sekretaris, dan kepala lain yang mengatur kepeluan rumah besar itu.

“Vana akan tinggal di sini untuk waktu yang sangat lama. Keputusanku tidak dapat diganggu gugat lagi. Siapa yang keberatan bisa angkat tangan sekarang,” tambahnya dengan sorot mata tajam yang mengitari ruangan.

Semuanya diam tapi ada satu tangan yang terangkat mengalihkan semua perhatian termasuk Vana. Jelas gadis itu bingung dengan tangan yang terangkat itu milik Fandra.

“Aku keberatan!” seru Fandra. Dia menatap neneknya balas menatapnya menunggu alasan atas keberatannya. “Aku tidak ingin dia tinggal di kamar itu. Daerahku tidak boleh ada orang asing,” dia menegaskan.

Tapi tatapan santai dari sang nenek jelas meremehkannya. Bagaimana Fandra berani mengusuk keputusan sang ratu yang telah bulat.

“Ada lagi, Fandra?” tanya sang nenek tenang.

Tatapan Fandra kini tertuju pada Vana di seberang sofanya yang duduk bersama sang kakak.

“Dan, aku tidak sudi jika berhubungan dengannya,” lanjutnya. “Jadi Nenek, tolong pindahkan dia ke kamar lain, akan lebih bagus kalau pulangkan saja daripada orang kampungan sepertinya menjadi pengganggu,” katanya menekankan setiap hal yang berhubungan dengan Vana sampai gadis itu tak percaya menatapnya.

Entah mengapa setiap kali Fandra bicara membuat kekesalan Vana tertarik untuk membalas. Dia sungguh tak percaya Fandra akan merendahkannya seperti itu. Meskipun faktanya memang berasal dari keluarga yang tak punya apa-apa, Vana cukup berpendidikan dengan banyak pengalaman hidup dia tak pantas direndahkan oleh tuan muda yang tak tahu apa-apa. Sementara Fandra terus protes pada sang nenek, wajah Vana memerah.

“Kau pikir aku mau?” sela Vana tak tahan lagi karena Fandra terus merendahkannya hanya untuk mengusirnya dari daerah kekuasaannya.

Lagi, semua mata tertuju pada Vana. Jelas dia marah tapi berusaha untuk menahannya.

“Aku juga tak sudi berada satu atap dengan Tuan Muda arogan sepertimu!” tegasnya menekankan kata tuan muda. Jelas, itu mengejutkan banyak orang termasuk para pelayan.

Kakak sulung Fandra bahkan menutup mulutnya, mengulum kedua bibirnya. Sedangkan sang adik terlihat senang dengan perlawanan Vana, jelas mereka akan menjadi kubu terbaik. Sang nenek juga santai saja sekalipun ada pertarungan antar anak muda itu. Kedua orang tua Fandra dan sang kakak ipar pun tak turun capur menonton saja meski sama-sama terkejut karena baru kali ini ada yang berani membalas Fandra. Mungkinkan itu sebabnya sang nenek tampak santai?

“Apa katamu?” Fandra berang, tatapannya tajam menghunus kepada Vana. Tapi gadis itu mengangkat dagunya tak gentar.

“Aku bilang, Tuan Muda arogan. Kenapa? Kau keberatan? Sama denganku yang kau rendahkan! Kau pikir aku mau? Tidak sama sekali. Siapa pula yang ingin bersanding denganmu, Tuan? Tapi maaf, aku tidak bisa mengangkat kaki sekalipun kau memohon pada Nenek untuk mengusirku,” jelasnya dengan penuh penekanan.

Fandra mendesah tak percaya melihatnya. Baru kali ini ada orang yang berani melawannya dan tetap bertahan di daerah kekuasaannya, lantai atas sebelah selatan mansion Alatas.

“Kau sungguh tidak akan pergi?”

“Ya!” Bahkan nada suara Vana naik satu oktav untuk mempertegasnya.

“Hah! Kita lihat saja, siapa yang akan kalah,” tantang Fandra akhirnya tanpa mengalihkan tatapan dari gadis di hadapannya.

“Siapa takut?” balas Vana sama sekali tidak ada rasa takutnya terhadap Fandra.

Vana baru akan pergi bila sang ratu yang menginginkannya. Dia datang ke rumah itu bukan karena Fandra sang tuan muda arogan tapi atas permintaan nenek yang memberikan sebuah janji padanya.

Rahang Fandra mengeras, dia tetap menatap Vana yang masih mengangkat dagunya.

“Sudah, sudah,” lerai sang ratu akhirnya menengahi.

Barulah Vana menurunkan dagunya tapi tatapannya masih tertuju pada Fandra di depan yang ditenangkan kakak iparanya.

“Kalian ini, belum juga mulai sudah berseteru saja, bukankah itu bagus, artinya kalian berjodoh,” ujar sang ratu.

“Tidak!” Seruan kedua anak muda itu bersamaan menyahut tak terima dengan perkataan nenek.

Yang lain menahan senyuman dan tawa, merasa lucu ketika Fandra untuk pertama kali sejak sang kakek meninggal dan kekasihnya pergi banyak bicara. Perasaan semua orang yang ada di ruangan itu lega melihat reaksinya seketika mendukung keberadaan Vana. Mungkinkah itu juga yang menjadi alasan nenek dan ibunya menempatkan Vana di kamar yang berhadapan dengan Fandra meski tahu sang putra akan marah besar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status