Vana bertanya-tanya reaksi apa yang Fandra tunjukan tadi. Keningnya mengerut dan diam sepanjang jalan. Para pelayan di belakangnya juga tak berusaha menghentikan atau menegurnya. Tapi Pelayan Diara pamit lebih dulu tanpa memberitahu Vana dan menyerahkan pengawasan pada Pelayan Mega. Sadar kalau dirinya kembali melamun, Vana menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Mereka berada di lorong balkon yang mengarah ke gedung selatan, istana Fandra. Tapi langkahnya terhenti ketika ekor matanya menangkap pergerakan. Lorong balkon itu menghadap sudut timur, tempat parkir yang luas di depan taman. Meskipun terhalang pepohonan cemara, Vana bisa dengan jelas melihat gerak langkah Fandra yang terburu menuju mobil yang terparkir. Namun, sebelum pria itu masuk ke mobil, sesaat dia terdiam dan kembali pandangan mereka sama-sama bertemu lagi. Tak hanya Vana yang menyadari keanehannya, bahkan Fandra sendiri pun merasa aneh setela
Vana harus menyesuaikan dirinya dengan kehidupan yang sama sekali berbeda dari yang sebelumnya. Bangun pagi sekali adalah kebiasaannya, namun di rumah besar itu baru para pelayan yang telah sibuk dengan pekerjaannya, para tuannya masih terlelap. Gadis itu kesulitan, tentu saja. Lebih-lebih dengan gaya hidup orang kaya yang begitu teratur dan bak putri raja dengan pelayan yang membantu.Jam menunjukan pukul lima lewat empat puluh delapan menit saat Vana membuka tirai yang menutup jendela kamarnya. Ada balkon kecil di sana, dia buka pintu agar udara pagi yang sejuk bertamu ke kamarnya, memberikan ketenangan dalam gelisah yang diraskannya.“Apakah pilihanku salah?” bisiknya mendadak ragu akan keputusannya.Mata dengan iris coklat terang itu menerawang jauh pada awan-awan tipis putih yang membentuk garis tipis di langit. Bersandar di bingkai pintu sambil melipat kedua lengan. Vana melamun, memikirkan ulang alasannya berada di sana.“Aku yang bersedia untuk menepati janji. Kutukar keamanan
“Kau taruh di mana matamu, hah?” Suara berat itu lebih dulu menusuk gendang telinga Vana. Teguran yang terdengar begitu sinis, sarat akan ketidaksukaanya terhadap gadis itu.Mulut gadis itu terkatup rapat, bibirnya bergerak-gerak lalu mencebik kemudian perlahan mengangkat wajahnya untuk menatap wajah datar nan dingin di depannya.“Mataku di tempatnya. Mana tau kau keluar juga,” bela Vana menatapnya sengit.“Oh. Di tempatnya? Kau, nyaris menabrakku, Gadis Kampungan!”Gigi Vana mengatup, rahangnya mengeras setiap kali Fandra menyebutnya Gadis Kampungan. Entah pria itu sengaja atau tidak, tapi itu berhasil membuat Vana marah tak terima dengan panggilan Fandra untuknya.Mengepalkan kedua tangannya, memejamkan mata sesaat, Vana kembali menatap Fandra dingin.“Astaga, Tuan Muda Arogan yang Tak Berhati. Jika matamu melihat, lantas, mengapa berhenti di depanku, hah? Kau, memang sengaja membuatku kesal, bukan?” tuduhnya dengan tatapan tajam menusuk Fandra yang tak kalah menatapnya tajam.Fandr
Kepala pria itu bergerak maju lalu berbisik tepat di sisi telinga Vana yang masih diam di tempatnya. Sepertinya dia shock. “Bernapaslah,” bisiknya pada gadis itu yang membeku kaku di dekapan satu tangan Fandra sementara satu tangannya berpegangan pada besi di sisi tangga. Menelan ludahnya, Vana menurut dan mulai bernapas pelan. Embusan napas dari Fandra yang mengenai tengkuknya membuat gadis itu bergidik geli sekaligus menyadarkan. Seulas senyum miring tiba-tiba hadir di wajah Fandra. Dia melangkah, menggeser Vana di depannya tanpa melepaskan pelukan. Rupanya mereka sudah sampai di dasar tangga dan dengan mudah Fandra menggeser tubuh kecil Vana. “Kelihatannya kau menikmatinya, Nona?” sindirnya tepat di telinga Vana. Mata indah Vana membulat sempurna, beringsut dia melepaskan tangan besar Fandra, tapi entah bagaimana pria itu justru menarik tangan Vana sehingga tubuh gad
Semua mata tertuju pada Vana yang seketika itu ingin sekali menghilang. Dalam hatinya dia merutuki Fandra, tuan muda menyebalkan itu membuat semua orang pasti salah paham. Sampai-sampai Vana tak punya tenaga untuk mengangkat wajahnya. Sungguh memalukan sekali, bukan?“Lihat saja. Aku akan membalasmu nanti. Dasar Tuan Muda Tak Berwajah,” rutuknya kembali menciptakan julukan yang kesekiannya untuk pria itu.Mudah sekali membuat julukan untuk Fandra karena memang cocok dengan semua panggilan yang Vana ciptakan, tak berhati, tak berwajah, dingin, arogan, angkuh dan lain sebagainya. Julukan itu tercipta lagi saat Vana kesal. Namun, mengapa dia tak terima ketika Fandra menyebutkan julukan untuknya.Sebenarnya, Vana bisa saja pergi keluar untuk melakukan aktivitas hariannya seperti sebelum dia memutuskan untuk pindah ke Mansion Alatas dan menukar janjinya untuk janji lain. Sayangnya, salah satu aturan mengatakan, Vana harus tetap di rumah dan menjalani latihan selama satu bulan minimal dan d
Sebenarnya ada banyak yang ingin Vana lakukan, banyak sekali. Sebagian dirinya merasa tak nyaman karena sejak kecil sudah terbiasa mandiri. Jadi saat nenek mengatakan itu langsung saja terpikirkan olehnya beberapa hal.“Kalau begitu Nenek, bolehkah aku menjadi diriku?” tanya Vana hati-hati.Nenek menolehkan wajahnya pada Vana yang tengah menatpnya, menunggu reaksi wanita tua yang berkuasa atas jalan yang dipijaknya.“Menjadi dirimu?” ulang nenek sedikit tidak paham maksud Vana.Vana mengangguk kecil. “Ya.” Dia menarik napas panjang dan dalam sebelum memulai menjelaskan maksud keinginannya itu. “Aku,” ekor mata Vana melirik nenek kemudian melanjutkan, “sejak kecil sudah biasa melakukan banyak hal sendiri bahkan sampai besar. Jadi, kalau Nenek tidak keberatan, bisakah aku menjadi diriku sendiri, dengan kata lain, aku ingin bebas,” ungkapnya masih dengan hati-hati.Tidak ada tanggapan untuk beberapa saat. Nenek masih melangkah sambil memikirkan permintaan Vana itu. Sementara Vana menungg
“Ayo lanjut jalan, ada yang ingin Nenek tunjukan padamu,” ujar nenek setelah beberapa saat mereka diam beristirahat.Vana menatap nenek ingin tahu dengan apa yang dimaksudnya. Tapi nenek tak mengatakan apa pun, hanya tersenyum dan mengajak Vana untuk melanjutkan jalan di bebatuan jalan setapak itu.“Tamannya luas, bukan? Melelahkan,” komentar nenek begitu kembali melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak yang di kanan kirinya terdapat hiasan bunga- bunga.“Sepertinya bangunan itu di kelilingi taman. Lahannya luas sekali, persis seperti lapangan golf,” papar Vana ikut berkomentar.Sepanjang mata memandang tempat itu menang hanya berupa lahan dengan rumput hijau dan taman bersama kawanan tumbuhan yang hiasi tempat itu. Luasnya tak terkira sampai- sampai ada mobil khusus di lapangan golf itu tapi tidak akan mungkin menjejakan rodanya di jalan setapak berbahan baru granit itu. Vana meragukan kalau ada yang menjelajahi tempat itu.Nenek tak mengatakan apa pun lagi setelahnya, diam sambi
Kendaraan taman itu akhirnya sampai di halaman bangunan arah barat yang Vana ketahui sebagai kediaman sang ratu. Sepanjang jalan itu nenek tak lagi bercerita hanya larut dalam pikiran dan kenangannya. Vana tak ingin menganggu maka dari itu ikut diam mengawasi kalau- kalau terjadi sesuatu pada nenek tapi syukurlah tidak. Seorang pria paruh baya yang merupakan penjaga di sana mengulurkan tangannya untuk membantu nenek turun dari kendaraan. Vana ikut turun di sisi lain tanpa bantuan. Perasaannya sedikit tidak enak, ada sesuatu yang mengganjalnya tapi entah apa itu. “Kamu pasti lelah, istirahatlah Vana. Terima kasih sudah menemani Nenek jalan- jalan setelah sekian lama,” katanya begitu Vana kembali mengapit lengan nenek. “Terima kasih kembali karena Nenek mengajakku jalan dan melihat pondok itu. Sesungguhnya aku jadi penasaran bagaimana dalamnya,” aku Vana. Nenek terkekeh. “Nanti kamu akan tahu e